Ads

Friday, September 14, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 017

◄◄◄◄ Kembali

Sambil bergandengan tangan mereka berdua memasuki ruangan di mana Empu Kanwa masih duduk sambil makan ubi rebus dengan enaknya. Empu Bharada tidak merasa heran melihat sikap sahabatnya ini, yang masih duduk enak-enak dan tenang-tenang saja walaupun maklum bahwa dia berhadapan dengan orang orang yang memaksanya bertanding. Padahal Empu Kanwa adalah seorang yang lemah jasmaninya. Namun dia adalah seorang yang sudah sepenuhnya percaya dan pasrah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi, maklum bahwa kalau Hyang Widhi menghendaki seseorang selamat, biarpun dikeroyok selaksa bahayapun akan dapat lolos, namun sebaliknya kalau Hyang Widhi menghendaki seseorang mati, biarpun seribu orang dewa tidak akan mampu menghindarkannya dari kematian! Karena kepasrahannya itu, juga karena merasa tidak berdaya, dia tenang tenang saja. Kalau sahabatnya itu masuk lagi dengan selamat, hal itu tidak aneh baginya, juga kalau sahabatnya itu digotong masuk menjadi jenazah, diapun tidak akan merasa aneh!

Betapapun juga, ketika dia melihat Empu Bharada memasuki ruangan itu,bergandengan tangan dengan seorang pria sederhana yang tidak dia kenal, senyumnya semakin cerah dan pandang matanya bersinar-sinar, lalu memandang kepada Ki Bargowo dengan sinar mata penuh selidik.

"Kakang Kanwa, perkenalkan. Ini adalah adik seperguruan, juga adik angkatku bernama Ki Bargowo yang tinggal di Sungapan, muara Kali Progo. Dialah yang tadi datang secara kebetulan dan dapat membantuku sehingga kami dapat mengusir Resi Bajrasakti dan Ki Nagakumala yang dating dengan niat menantang yang berarti mereka hendak membunuhku." Kemudian Empu Bharada menoleh kepada adiknya. "Adi Bargowo, sahabat baikku ini adalah Kakang Kanwa, sastrawan paling terkenal di Kahuripan."

"Kakang Empu Kanwa, saya Bargowo menghaturkan salam hormat." kata Ki Bargowo. Empu Kanwa mengangkat tangan sebagai tanda salam dan berkata.

"Adi Bargowo, karena andika ini adik Adi Bharada, maka seperti adikku juga. Mari kita duduk dan bicara dengan enak."

Setelah mereka duduk bersila mengelilingi meja pendek, Ki Bargowo yang tidak sabar lagi lalu bertanya kepada Empu Bharada.

"Kakang Bharada, apakah yang andika maksudkan tadi Resi Bajrasakti datuk dari Kadipaten Wengker, dan Ki Nagakumala itu kakak dari Sang Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman?"

"Benar, adi. Serbuan mereka ke sini itu memperkuat dugaanku bahwa Wengker dan Parang Siluman telah bersekutu dan mulai melakukan aksi pengacauan keKahuripan. Tidak mungkin aku yang menjadi sasaran, karena aku tidak mempunyai permusuhan atau permasalahan pribadi dengan mereka. Mereka tentu menyerang dan hendak membunuhku sebagai penasihat Gusti Sinuwun Erlangga."

"Perang, perang, perang .....! Selama manusia masih dikuasai dan diperbudak nafsu daya rendah yang berada dalam dirinya sendiri, maka permusuhan, perang dan bunuh membunuh antara manusia masih akan terus terjadi. Bumi akan menjadi neraka dan manusia hanya akan menderita kesengsaraan." kata Empu Kanwa seperti orang bertembang.

Mendengar ini, Empu Bharada tersenyum saja, akan tetapi Ki Bargowo mendengarkan dengan hati tertarik, "Maaf, Kakang Empu Kanwa, apa yang kakang ucapkan itu sungguh tepat dan kenyataannya memang demikian. Apakah dengan demikian kakang hendak mengemukakan pendapat bahwa orang yang mempelajari aji kanuragan dan olah gegaman (senjata) itu tidak benar?"

Empu Kanwa juga tersenyum dan setelah mengamati wajah Ki Bargowo sejenak, dia lalu menembang dengan tembang Sekar Pangkur.

"Kawaca raras kawuryan
Miwah mundi saradibya umingis
Ing mangka punika tuhu Aling-aJinging anggo
Ananangi hardaning kang hawa napsu
Manawi sampun angrcdha
Dadya rubeda ngribedi."

( Suka akan baju perang dan membawa senjata terhunus padahal semua itu sesungguhnya menutupi kebersihan hati membangkitkan gelora hawa nafsu kalau sudah merajalela menjadi halangan yang mengganggu. )

Empu Bharada dan Ki Bargowo saling pandang dan merasa penasaran karena dalam tembang itu Empu Kanwa jelas mencela orang yang. mempelajari kedigdayaan dan olah senjata. Empu Bharada yang sudah tanggap akan pandangan Empu Kanwa hanya tersenyum, akan tetapi Ki Bargowo yang merasa penasaran bertanya lagi, dan nada suaranya membantah.

"Akan tetapi. Kakang Empu Kanwa, terkadang, bahkan sering terjadi, perbuatan baik yang membela kebenaran dan keadilan, harus dilengkapi dengan aji kanuragan, baru dapat terlaksana dengan baik. Bagi perorangan, kepandaian itu penting untuk membela diri dan bagi negara, kekuatan balatentara amat penting untuk menegakkan kedaulatan negara. Apakah setiap orang yang mempelajari kanuragan lalu menjadi hamba nafsu dan jahat?"

Kembali Empu Kanwa bertembang, masih dengan tembang Sekar Pangkur.

"Datan pisah mg gegaman karsanira kinarya ngreksa mnng
raharjaning bawana gung sarana anumpesa sagung ingkang
dadya memala satuhu pra manungsa ingkang sasar marang
anggering durnadi."

( Tidak pisah dari senjata agar dapat menjaga ketentraman dunia dengan membinasakan segala yang menjadi penyakit para manusia yang menyimpang dari kebenaran hidup. )

"Ha-ha-ha!" Empu Bharada tertawa. "Kakang Kanwa semula mencela, kemudian membela orang yang mempelajari kanuragan."

Empu Kanwa juga tersenyum. "Sesungguhnya, aji kanuragan dan senjata hanyalah alat dan seperti segala macam alat di dunia ini, tidak mempunyai sifat baik maupun buruk. Baik dan buruknya suatu alat tergantung dari manusianya sendiri yang mempergunakannya. Para satria mempergunakan aji kanuragan dan senjata untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang penindasan dan kejahatan, membela mereka yang tertindas, dengan demikian maka kanuragan dan senjata itu menjadi alat yang baik. Akan tetapi banyak orang tersesat yang mempergunakan kanuragan dan senjata untuk memaksakan keinginan mereka, sewenangwenang, melakukan hukum rimba sehingga dengan demikian maka kanuragan dan senjata itu menjadi alat yang amat buruk. Akan tetapi, Adi Bargowo, kanuragan dan senjata itu mendatangkan kekuatan yang memberi kekuasaan kepada manusia. Kekuasaan inilah yang condong untuk mendorong manusia melakukan tindakan sewenang-wenang, mengandalkan kekuatannya dan kekuasaannya. Bukan berarti bahwa orang seperti aku, yang lemah dan bisanya hanya termenung mengkhayal, menerawang dan menulis tidak akan dapat melakukan kejahatan mencelakai orang lain. Tentu saja dapat, walau tidak dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan. Akan tetapi kecondongannya tidak sekuat orang yang menjadi ahli kanuragan. Karena itu, yang terpenting adalah jangan sampai nafsu daya rendah yang semestinya menjadi pembantu itu berubah menjadi majikan."

Kembali terdengar Empu Bharada tertawa. "Wah, wah! Andika beruntung sekali, Adi Bargowo. Begitu datang bertemu dengan seorang guru yang memberi wejangan yang amat berharga. Akan tetapi, setelah lama tidak berjumpa denganmu, aku ingin sekali mendengar keterangan tentang keadaanmu sekarang, adi. Yang terakhir kita bertemu adalah ketika andika melaksanakan pernikahanmu tiga tahun yang lalu. Bagaimana kabarnya dengan isterimu?"

"Keadaan kami baik saja, kakang. Kami telah mempunyai seorang anak perempuan yang kini berusia satu tahun."

"Ah, aku ikut berbahagia mendengarnya, Adi Bargowo. Mudah-mudahan anakmu kelak menjadi seorang manusia yang berbakti kepada Sang Hyang Widhi, kepada orang tuanya, dan kepada bangsa dan negara."

"Terima kasih, Kakang Bharada. Semoga doa restu kakang menyertai kami dan harapan kakang itu akan terjadi."

"Sekarang katakan, kepentingan apakah yang membawamu datang ke sini?"

"Sesungguhnya tidak ada persoalan apapun, kakang. Aku hanya merasa kangen dan ingin bertemu dan bercakap-cakap denganmu. Kebetulan sekali kedatanganku tepat pada saat andika dikeroyok dua orang datuk itu. Sebetulnya, apakah yang menyebabkan mereka berdua itu menyerangmu?"

"Sudah kukatakan tadi, Adi Bargowo. Mereka dating mencari gara-gara, memusuhi aku hanya karena aku menjadi penasihat Sang Prabu Erlangga. Jelas mereka itu bermaksud mendatangkan kekacauan di Kahuripan. Aku harus melaporkan hal ini kepada Gusti Sinuwun agar beliau berhati-hati dan kalau perlu mengirim para petugas untuk melakukan pemantauan gerak-gerik dan kegiatan di Kadipaten Wengker dan Parang Siluman."

"Kakang Bharada orang-orang dari daerah-daerah yang dikuasai orang-orang sesat itu memang kejam sekali. Dalam perjalananku menuju ke sini, akupun mendengar berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Empu Dewamurti yang bertapa di tepi Laut Kidul dekat dengan dusun Karang Tirta, juga menjadi korban keganasan mereka. Kabar yang kudengar mengatakan bahwa Empu Dewamurti tewas. Memang tidak ada penduduk sekitar Karang Tirta melihat kejadian itu, akan tetapi mereka melihat munculnya lima orang di dusun itu sebelum Empu Dewamurti tewas. Dan menurut penggambaran penduduk mengenai lima orang itu, aku menduga bahwa mereka itu adalah Resi Bajrasakti yang tadi, Ratu Mayang Gupita, ratu kerajaan kecil liar Siluman Laut Kidul, dan tiga orang yang terkenal dengan sebutan Tri Kala, para jagoan dari Wura-wuri."

"Jagad Dewa Bathara.....! Mulai berjatuhan korban keganasan mereka.....! Empu Dewamurti adalah seorang ahli membuat keris pusaka yang pandai dan dia juga seorang yang sakti mandraguna. Kahuripan kehilangan seorang empu pembuat pusaka yang pandai." kata Empu Bharada.

"Ketika aku berada di Karang Tirta, aku mendengar pula kabar dari penduduk di sana bahwa mendiang Empu Dewamurti meninggalkan seorang murid bernama Nurseta dan kabarnya pemuda itu telah menemukan sebatang keris pusaka bernama Kyai Megatantra. Pemuda itu telah pergi dan tak seorangpun mengetahui ke mana dia pergi."

"Sang Megatantra .....?" Empu Bharada dan Empu Kanwa berseru hampir berbareng.

"Wah, Megatantra adalah sebuah keris pusaka di jaman Kerajaan Medang Kamulan yang terkenal ampuh sekali dan kabarnya pusaka itu hilang puluhan tahun yang lalu!" kata Empu Kanwa.

Empu Bharada mengangguk-angguk. "Benar, Kakang Kanwa. Megatantra merupakan satu di antara pusaka-pusaka istana Mataram, bahkan dianggap sebagai satu di antara wahyu mahkota kerajaan Mataram. Pusaka itu lenyap sekitar tujuh puluh tahun yang lalu. Kalau benar Sang Megatantra kini telah muncul kembali, Gusti Sinuwun harus mengetahuinya. Harus diusahakan agar pusaka itu kembali ke istana Kahuripan sebagai keturunan Mataram. Kalau sampai pusaka itu terjatuh ke tangan orang jahat, hal itu berbahaya sekali dan dapat menimbulkan bencana."

Tiga orang itu bercakap-cakap sampai malam. Pada keesokan harinya, baik Empu Kanwa maupun Ki Bargowo berpamit dan meninggalkan Lemah Citra, pulang ke tempat tinggal masing-masing.

****  ****
Lanjut ke Jilid 018 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment