Ads

Sunday, September 16, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 021

◄◄◄◄ Kembali

Ki Suramenggala terkejut mendengar ini. Tadi dia sudah mendengar dan ketika gerombolan yang menjadi anak buahnya itu bahwa gerombolan itu dibinasakan seorang pemuda dusun Karang Sari. setelah sekarang melihat pemuda itupun segera mengenalnya sebagai Nurseta. Maka dia lalu berseru keras,

"Tangkap bocah ini!"

Pada saat itu, dari dalam gedung berlari keluar tiga orang jagabaya lain. Tiga orang jagabaya yang tadi dirobohkan Nurseta juga sudah bangkit dan mereka semua mencabut klewang mengepung Nurseta. Kepala gerombolan yang tinggi besar itupun ikut mengepung. Dia sudah mencabut senjatanya, sebatang pedang berpunggung gergaji yang menyeramkan. Kini, kepala gerombolan itu merasa yakin bahwa dia akan dapat membalas dendam kepada pemuda itu. Selain dia sendiri dapat mempergunakan senjatanya yang ampuh, juga di situ ada Ki Lurah Suramenggala yang membantunya dengan para jagabayanya.

"Bunuh saja dia! Bocah ini jahat dan berbahaya sekali!" bentak raksasa itu dan dia sudah mendahului para jagabaya menyerang dengan pedangnya. Gerakannya tangkas dan kuat sekali sehingga pedang gergaji itu mendesing nyaring ketika menyambar ke arah leher Nurseta.

"Singgg .....!"

Pedang itu meluncur lewat di atas kepala Nurseta yang menekuk kedua lututnya merendahkan diri sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran. Pada saat itu, enam orang jagabaya telah menghujankan serangan kepadanya dari belakang, depan, kiri dan kanan.

Melihat gerakan mereka, maklumlah Nurseta bahwa para pengeroyoknya itu tidak merupakan lawan yang berbahaya maka diapun tidak merasa gugup dan dengan Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya seringan dan secepat angin, dia bersilat dengan ilmu silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar tujuh buah senjata tajam itu dan para pengeroyoknya menjadi bingung karena mereka merasa seolah-olah mereka mengeroyok sebuah bayangan saja.

Dengan tamparan tamparan tangannya yang ampuh, tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga, Nurseta membuat enam orang jagabaya itu seorang demi seorang terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena ada yang merasa kepalanya pening seperti hendak pecah, ada yang tulang pundaknya terkilir, bahkan ada yang tulang lengannya retak.

Melihat ini, kepala gerombolan yang sejak tadi menyerang tanpa hasil menjadi terkejut dan gentar. Di Karang Sari enam orang anak buahnya roboh oleh pemuda ini dan sekarang enam orang jagabaya juga roboh. Tahulah dia bahwa pemuda sakti itu bukan tandingannya dan amat berbahaya kalau dia melanjutkan perkelahian itu. Maka dia lalu memutar tubuhnya hendak melarikan diri dari tempat itu. Melihat ini, Nurseta yang tahu betapa jahatnya orang itu dan betapa orang itu merupakan ancaman bahaya bagi orang-orang lain, cepat mengambil sebatang klewang milik para jagabaya yang jatuh ke tanah, kemudian dia menyambitkan kelewang itu ke arah kepala gerombolan yang melarikan diri.

"Wuuuttt ..... cappp!!" Tubuh raksasa itu roboh tertelungkup dengan punggung ditembusi kelewang yang runcing dan tajam. Dia tewas seketika.

Ki Lurah Suramenggala menjadi pucat melihat betapa semua jagoannya roboh, bahkan kepala gerombolan yang dia andalkan itu agaknya telah tewas. Dia lalu membalikkan tubuh dan lari hendak memasuki gedungnya. Akan tetapi tampak bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Nurseta telah berdiri menghadang di depannya! Ki Suramenggala terkejut dan gentar. Akan tetapi dia teringat bahwa dahulu Nurseta pernah "berhutang budi" kepadanya, maka dia hendak menggunakan gertakan untuk memulihkan wibawanya terhadap pemuda itu.

"Nurseta! Berani engkau membikin Kacau di sini? Lihat baik-baik, siapa aku? Aku adalah lurahmu, aku yang dulu memeliharamu ketika engkau masih kecil dan hidup sebatang kara!"

Nurseta memandang wajah lurah itu dengan alis berkerut. "Aku tidak lupa, Ki Suramenggala. Engkaulah yang merampas tanah dan sawah ladang peninggalan orang tuaku dan memberi aku makan selama tiga tahun saja!"

"Heh! Berani engkau kurang ajar kepadaku, bocah tak mengenal budi?" Ki Suramenggala menampar dengan tangan kanannya seperti yang dia lakukan kalau dahulu Nurseta berani membantahnya ketika pemuda itu masih kecil. Akan tetapi Nurseta menangkis sambaran tangan itu sambil mengerahkan tenaga.

"Wuuutt..... dukkk.....! Aduhhh" Ki Suramenggala merasa lengannya seperti bertemu linggis dan tulangnya seperti patah. Dia memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri, mengeluh kesakitan.

"Ki Suramenggala, kedatanganku ini bukan untuk membuat keributan. Orang orangmu yang tadi mengajak ribut. Aku datang hanya ingin bertanya padamu tentang orang tuaku! Dari mana orang tuaku datang dan di mana sekarang mereka berada? Hayo katakan dan aku tidak akan mengganggumu lagi!"

Ki Suramenggala tidak berani berlagak lagi. "Ayahmu bernama Ki Darmaguna dan ibumu bernama Nyi Sawitri. Mereka berasal dari kota raja Kahuripan, pindah ke Karang Tirta sini ketika engkau masih kecil, berusia kurang lebih tiga tahun."

"Ketika aku berusia sepuluh tahun, tiba-tiba saja mereka pergi dari sini. Kemanakah mereka pergi dan di mana sekarang mereka berada?"

Ki Suramenggala menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, Nurseta. Mereka juga tidak pamit kepadaku dan sampai sekarang aku tidak tahu ke mana mereka pergi."

"Benarkah andika tidak tahu?" desak Nurseta.

"Benar! Sungguh, aku tidak berbohong, Nurseta."

"Sekarang, jawab pertanyaanku ini. Kenapa andika bersahabat dengan jahanam Itu?" Nurseta menunjuk ke tubuh raksasa kepala gerombolan yang sudah menjadi mayat. "Siapakah dia dan bagaimana andika bersahabat dengan orang jahat seperti itu?"

Ki Suramenggala melebarkan matanya seolah merasa heran dan kaget. "Dia bukan orang jahat, Nurseta. Aku mengenal dia sebagai seorang jagoan gagah yang tinggal di barat, di perbatasan Wengker."

"Hemm, jadi dia itu orang Kadipaten Wengker? Andika bilang dia tidak jahat Ki Suramenggala? Dia dan anak buahnya telah mengganas dan melakukan perampokan dan kejahatan di dusun Karng Sari!"

"Ah, begitukah? Aku..... aku sungguh tidak tahu....., kalau aku tahu tentu aku tidak sudi bersahabat dengan dia!" kata Ki Suramenggala.

"Hemm, sudahlah. Mudah-mudahan peristiwa hari ini menjadi pelajaran bagi andika harus mengusahakan kesejahteraan penduduk dusun ini, bukan hanya mencari kesejahteraan untuk diri sendiri. Jangan bergaul dengan orang jahat dan jangan sekali-kali menggunakan kekerasan menggunakan tukang pukul untuk menakut nakuti dan menindas rakyat. Nah, aku pergi!" Setelah berkata demikian, Nurseta cepat meninggalkan pekarangan gedung ki lurah itu.

Tentu saja dia tidak puas dengan keterangan Ki Suramenggala. Lurah itu hanya memberitahukan nama ayah ibunya yang masih diingatnya, akan tetapi sama sekali tidak dapat menunjukkan di mana adanya ayah bundanya sehingga dia tidak tahu ke mana harus mencari mereka. Kini dia segera menuju ke bekas rumah orang tuanya.

Agaknya penduduk Karang Tirta sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di pekarangan rumah gedung Ki Lurah Suramenggala karena ketika Nurseta berjalan menuju ke bekas rumah orang tuanya, para penduduk keluar dari rumah dan memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan kekaguman.

Ketika dia tiba di dekat rumah bekas tempat tinggal orang tuanya, seorang laki-laki berusia enam puluh tahun berlari menyongsongnya. Dengan ramah dan gembira laki-laki itu memegang lengan Nurseta.

"Aduh, Nurseta! Sungguh tidak sangka bahwa engkau telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, yang berani menghajar Ki Lurah Suramenggala dan para tukang pukulnya! Ah, sungguh kami seluruh penduduk merasa gembira sekali dan aku amat bangga kepadamu Nurseta!"

Nurseta segera mengenal laki-laki itu. "Paman Tejomoyo, andika baik-baik saja bukan?"

Ki Tejomoyo ini adalah seorang tetangga yang sejak dulu hidup sebatang kara dan dulu sering menolong Nurseta, memberinya makan kalau Nurseta sedang kekurangan. Mereka berangkulan, lalu Tejomoyo menarik lengan Nurseta, diajak masuk ke rumahnya yang sederhana.

"Mari, Nurseta, kita bicara di dalam. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, kemana saja selama lima tahun lebih ini engkau pergi dan bagaimana sekarang setelah muncul tahu-tahu engkau menjadi seorang yang sakti mandraguna!"

"Akupun ingin sekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada andika, paman dan mengharapkan keterangan dari andika." Nurseta mengikuti Ki Tejomoyo memasuki rumah itu.

Setelah mereka duduk di atas bale-bale bambu, Nurseta memenuhi permintaan tuan rumah, menceritakan bahwa selama ini dia berguru kepada Empu Dewamurti yang membawanya ke lereng gunung Arjuna. Setelah menceritakan keadaan dirinya, dia lalu berkata dengan wajah serius.

"Paman Tejomoyo, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu dan kuharap Andika suka memberi keterangan yang sejelas-jelasnya."

"Apa yang hendak kautanyakan, Nurseta? Tanyalah, tentu aku akan menerangkan apa saja yang kuketahui."

"Begini, paman. Paman adalah tetangga yang baik dari orang tuaku, tentu paman mengenal baik ayah ibuku, bukan?"

Ki Tejomoyo tersenyum. "Mengenal avah ibumu? Tentu saja aku mengenal mereka dengan baik. Ayahmu adalah orang yang bijaksana dan pandai, seorang sasterawan yang halus budi bahasanya dan ramah terhadap siapa saja." Dia termenung, mengingat-ingat. "Biarpun dia tidak pernah mengaku, namun aku yakin bahwa Ki Darmaguna dan Nyi Sawitri ayah ibumu itu, tentulah keluarga bangsawan. Biarpun mereka bukan orang kaya dan hidup sederhana, namun sikap dan tutur sapa mereka demikian halus sehingga mudah diduga bahwa mereka tentulah berdarah bangsawan. Seperti engkau ini, Nurseta, engkau seorang anak desa dibesarkan di Karang Tirta ini, akan tetapi engkau lain dibandingkan anak anak desa pada umumnya."

"Yang ingin kutanyakan, paman. Tahukah paman kemana mereka pergi dan dimana mereka kini berada?" Sambil bertanya demikian, Nurseta menatap wajah orang dengan penuh selidik.

Ki Tejomoyo menghela napas panjang "Sungguh menyesal sekali bahwa aku tidak dapat menjawab kedua pertanyaanmu itu, Nurseta. Aku sendiri sampai sekarang masih merasa heran kemana ayah ibumu itu pergi dan di mana mereka kini berada. Mengapa pula mereka sampai sekarang tiada beritanya seolah lupa kepadamu, padahal aku yakin benar bahwa ayah ibumu itu saying kepadamu. Sungguh aku tidak mengerti."

Nurseta merasa terpukul sekali hatinya mendengar ucapan ini. Seakan sudah putuslah harapannya. Siapa lagi yang dapat ditanyai? Ki Tejomoyo ini merupakan tetangga yang paling dekat dan paling akrab dengan ayahnya. Dia hanva dapat termenung dengan kedua alis berkerut dan pandang matanya kosong dan sayu. Melihat keadaan pemuda itu, Ki Tejomoyo merasa iba sekali dan dia berkata.

"Nurseta, agaknya di dusun ini hanya ada satu orang yang akan mampu menjawab dua pertanyaanmu tadi."

Sepasang mata Nurseta mencorong dan harapannya muncul kembali. "Begitukah, paman? Siapakah orang itu?"

"Dia itu bukan lain adalah Ki Lurah Suramenggala! Dialah yang tahu, setidaknya tahu mengapa orang tuamu pergi meninggalkan dusun ini!"

Nurseta terkejut. "Ah, benarkah itu, Paman? Akan tetapi ketika tadi aku bertanya kepadanya, dia mengatakan tidak tahu."

"Bohong! Dia berbohong. Aku yakin dia pasti tahu mengapa ayah ibumu pergi, karena dialah yang menjadi biang keladi perginya orang tuamu."

"Eh? Mengapa begitu, paman? Apakah yang telah terjadi ketika itu? Harap paman suka memberi penjelasan."

Kembali Ki Tejomoyo menghela napas panjang. "Dahulu aku takut untuk menceritakan hal ini kepada siapapun juga Akan tetapi setelah mendengar betapa tadi engkau telah berani menghajar dia dan para tukang pukulnya, biarlah kuceritakan kepadamu. Di antara Ki Darmaguna dan Ki Lurah Suramenggala memang terdapat semacam perasaan saling membenci atau setidaknya saling tidak suka. Hal itu terjadi karena ulah Ki Suramenggala. Baru beberapa bulan setelah orang tuamu pindah ke dusun ini Ki Suramenggala itu agaknya tergila gila kepada ibumu, Nyi Sawitri yang memang merupakan seorang wanita berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita ketika itu. Ki lurah itu berusaha untuk merayu Nyi Sawitri pada saat ayahmu tidak berada di rumah. Akan tetapi niat kotor ki lurah itu ditolak mentah-mentah oleh ibumu, bahkan ibumu lalu melaporkan hal itu kepada ayahmu. Maka terjadilah rasa saling tidak suka di antara ayahmu dan ki lurah."

"Hemm, manusia hina!" seru Nurseta marah mendengar ibunya dirayu oleh Ki Lurah Suramenggala.

"Ya, memang Ki Suramenggala terkenal sebagai seorang laki-laki yang mata keranjang dan suka mengandalkan kekuasaan dan kekayaannya untuk menggoda wanita, baik gadis, janda, maupun isteri orang. Akan tetapi karena ayahmu seorang yang memiliki wibawa sebagai seorang bangsawan dan terpelajar, Ki Suramenggala tidak berani lagi mencoba-coba untuk mengulangi perbuatannya, tidak berani pula menggunakan kekerasan. Kemudian terjadilah hal itu yang membuat aku yakin bahwa Ki Suramenggala yang menjadi biang keladi perginya orang tuamu dari sini."

"Apa yang telah terjadi, paman?"

Ki Tejomoyo melanjutkan ceritanya tujuh tahun sejak Ki Darmaguna dan anak isterinya tinggal di Karang Tirta pada suatu pagi Ki Tejomoyo memikul dagangannya, yaitu alat-alat dapur dan tanah, hendak dijual ke dusun-dusun lain. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Tardi, seorang jagabaya anak buah Ki Lurah Suramenggala. Tardi ini masih terhitung keponakan Ki Tejomoyo dan dia menghentikan kudanya ketika bertemu dengan pamannya yang memikul dagangannya.

"Eh, Tardi, ke mana sepagi ini engkau hendak pergi?" Tanya Ki Tejomoyo kepada keponakannya itu.

"Paman Tejomoyo, aku hendak pergi ke kota raja, menjadi utusan Ki Lurah Suramenggala!" kata Tardi dengan nada suara bangga.

"Ke kota raja? Ada keperluan apakah"

"Wah, penting sekali, paman. Ada kabar yang amat menghebohkan! Dusun kita pasti akan geger!"

"Eh? Ada apakah?"

"Begini, paman. Akan tetapi ..... hemm. Ini rahasia lho, jangan sampai terdengar orang lain. Bisa celaka engkau dan aku kalau sampai terdengar orang lain kemudian ki lurah mengetahui bahwa kita yang membocorkan."

"Tentu saja tidak akan kuceritakan pada orang lain. Ada apa sih?"

"Paman tahu, Ki Darmaguna, tetanggamu itu ....."

"Ya, kenapa dia?"

"Dia itu seorang pelarian yang kabur dari kota raja!"

"Eh? Jangan main-main, Tardi!"

"Sungguh, paman. Ini, aku membawa surat Ki Lurah untuk disampaikan kepada Senopati Sindukerta di kota raja!" Setelah berkata demikian, Tardi membedal kudanya. "Selamat tinggal, paman!"

Mendengar berita itu, Ki Tejomoyo yang amat menghormati Ki Darmaguna sekeluarga, membatalkan kepergiannya berjualan grabah (prabot dapur dari tanah) dan kembali ke rumahnya. Dia lalu langsung saja melaporkan kepada Ki Darmaguna dan isterinya.

"Demikianlah, Nurseta. Setelah menerima lapora ku bahwa Ki Lurah Suramenggala mengutus jagabaya pergi ke kota raja untuk melapor kepada Senopati Sindukerta bahwa Ki Darmaguna sekeluarga tinggal di Karang Tirta, ayah ibumu meninggalkan Karang Tirta pada malam hari itu juga. Jadi, kalau engkau hendak mengetahui sebabnya, kiranya Ki Lurah Suramenggala yang mengetahui dengan pasti."

Sejak tadi Nurseta mendengarkan cerita K i Tejomoyo dengan penuh perhatian sambil membayangkan wajah ayah dan ibunya. Dia masih ingat wajah mereka. Ayahnya seorang laki-laki tampan dan ibunya seorang wanita cantik sekali. Setelah Ki Tejomoyo selesai bercerita dia menanyakan apa yang selama ini selalu menjadi gangguan dalam hatinya yang membuat dia merasa penasaran

"Akan tetapi, paman. Ketika itu, aku masih kecil."

"Ya, usiamu baru kira-kira sepuluh tahun ketika ayah ibumu pergi."

"Itulah yang membuat hatiku selalu merasa penasaran, paman. Mengapa kalau orang tuaku pergi, mereka tidak membawa aku?"

Ki Tejomoyo menghela napas panjang. "Aku hanya dapat mengira-ngira. Mereka pergi tergesa-gesa, seperti orang yang terancam bahaya. Maka, karena mereka menyayangmu, mereka sengaja meninggalkanmu agar jangan sampai engkau juga ikut terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ingin tahu lebih jelas, Ki Lurah Suramenggala tentu akan dapat bercerita banyak."

"Baiklah, paman. Aku akan pergi ke rumah Ki Lurah Suramenggala dan memaksa dia untuk mengaku!" Setelah berkata demikian, Nurseta meninggalkan tempat itu dan berjalan cepat menuju ke rumah Ki Lurah Suramenggala.

Ketika dia tiba di pekarangan kelurahan, suasana dalam rumah Ki Lurah Suramenggala masih diliputi kekagetan dan kebingungan karena amukan Nurseta tadi. Maka, ketika melihat pemuda itu datang lagi, para sisa jagabava sudah lari lintang pukang karena takut. Nurseta memasuki serambi dan berseru,

“K i Lurah Suramenggala, keluarlah, aku mau bicara!”

Ketika berseru dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya terdengar lantang dan bergema memasuki setiap ruangan di rumah besar itu.

Pada saat itu, Ki Lurah Suramenggala sedang diobati lengannya oleh para selirnya, termasuk Nyi Lasmi. Nyi Lasmi adalah ibu kandung Puspa Dewi yang telah menjadi janda. Ketika Puspa Dewi diculik lima tahun yang lalu bersama Linggajaya putera Ki Lurah Suramenggala berusia tiga puluh satu tahun dan Nyi Lasmi memang terkenal cantik. Peristiwa itu membuat ia sering bertemu dengan Ki Lurah Suramenggala karena sama sama kehilangan anak dan Ki Lurah Suramenggala yang mata keranjang itu segera jatuh cinta. Maka dipinanglah Nyi Lasmi dan semenjak itu, Nyi Lasmi menjadi seorang selirnya yang terkasih.

Lengan Ki Lurah Suramenggala dibebat semacam param karena terasanya ketika pukulannya ditangkis Nurseta tadi. Pada saat itu, terdengarlah suara Nurseta memanggilnya. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi dia tidak berani membangkang. Segera dia membereskan pakaiannya dan keluar untuk menemui pemuda itu. Begitu melihat lurah itu muncul seorang diri dengan muka pucat, Nurseta cepat menghampirinya dan berkata dengan suara bernada marah dan mengancam.

"Ki Suramenggala, aku tidak ingin mempergunakan kekerasan, maka andika ceritakan sejujurnya apa yang terjadi sebelas tahun yang lalu, mengapa ayah ibuku meninggalkan aku dan rumah mereka."

Wajah yang sudah pucat itu semakin ketakutan. "Nurseta..... demi Sang Hyang widhi ....."

"Tidak usah engkau menyebut Sang Hyang Widhi. Hatimu terlalu kotor untuk menyebut namaNya. Kalau andika tidak mau mengaku terus terang, terpaksa aku harus menyiksamu sampai andika mengaku. Ingat, aku sudah tahu bahwa sebelum orang tuaku pergi tanpa pamit, andika telah mengutus seorang jagabaya untuk membawa surat laporan kepada Senopati Sindukerta di kota raja!"

K i Lurah Suramenggala membelalakan kedua matanya. "Dari..... dari mana..... engkau tahu.....?"

"Tidak perduli dari mana aku tahu Hayo ceritakan sejelasnya dan selengkapnya, atau haruskah kupatahkan kedua tangan dan kakimu lebih dulu?"

"Tidak..... tidak, jangan pukul aku Nurseta. Baiklah, akan kuceritakan apa yang kutahu. Mari, silakan duduk," kata Ki Lurah Suramenggala.

Mereka lalu duduk di kursi yang terdapat di serambi itu. "Nah, ceritakanlah!" kata Nurseta.

"Ketika ayah ibumu datang dan tinggal di dusun ini, aku hanya tahu bahwa mereka itu pindah dan kota raja. Ayahmu seorang ahli sastra dan orang baik, maka selama tujuh tahun tinggal di sini, tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi ketika aku pergi ke kota raja karena suatu urusan aku mendengar bahwa Ki Darmaguna dan isterinya adalah pelarian, orang-orang yang sedang dicari-cari oleh Senopati Sindukerta. Mendengar ini, sebagai seorang lurah tentu saja aku harus membantu pamong praja yang lebih tinggi kedudukannya. Maka aku lalu mengirim utusan ke kota raja, melaporkan bahwa orang-orang buruan itu telah tujuh tahun tinggal di dusun ini. Kalau aku tidak melaporkan, aku bisa dituduh menyembunyikan dan membantu mereka. Nah, ketika utusanku pulang membawa perintah Senopati Sindukerta untuk menangkap Ki Darmaguna dan isterinya, ternyata mereka sudah melarikan diri."

"Ke mana mereka pergi?" tanya Nurseta.

"Sungguh, aku tidak tahu, Nurseta. Sebetulnya antara aku dan orang tuamu tidak ada permusuhan apapun, akan tetapi karena mereka itu orang buruan Senopati Sindukerta, dan aku adalah lurah, maka terpaksa ....."

"Hemm, mengapa ayahku dikejar-kejar senopati Sindukerta Mengapa mereka menjadi buruan?"

"Aku tidak tahu, Nurseta, sungguh aku tidak tahu. Ayahmu seorang yang baik, aku tidak tahu mengapa Senopati Sindukerta memusuhinya. Aku sendiri menganggap Ki Darmaguna sebagai seorang sahabat baik."

"Hemmm, andika bohong, Ki Suramenggala! Aku tahu bahwa dulu engkau tergila-gila kepada ibuku dan pernah berusaha untuk merayunya! Hayo menyangkal kalau berani!"

Wajah lurah itu menjadi pucat, akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya dan tersenyum dan mengangguk-angguk

"Tidak kusangkal, Nurseta. Ibumu adalah seorang wanita yang paling cantik yang pernah kulihat. Aku tergila-gila kepadanya, apakah itu salah? Aku tidak pernah mengganggunya. Dan percaya atau tidak, kenapa engkau tidak kulaporkan sebagai anak ayahmu yang menjadi buruan? Karena melihat engkau, aku teringat kepada Sawitri, ibumu. Aku kasihan kepadamu maka aku sengaja menyelamatkanmu dan memeliharamu."

"Cukup!" hardik Nurseta sehingga mengejutkan hati sang lurah yang menjadi ketakutan lagi. "Tidak perlu andika membohongi aku lagi. Andika hanya hendak merampas tanah dan rumah orang tuaku. Kalau aku teringat akan semua Itu, sudah sepatutnya kalau sekarang kuhancurkan kepalamu!"

"Aduh..... ampun, Nurseta. Jangan lakukan itu.....! Kalau engkau ingin membalas dendam, carilah Senopati Sindukerta. Dialah yang memusuhi orang tuamu, bukan aku!"

Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan tiba-tiba diserambi itu telah berdiri seorang pemuda tampan. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun, pakaiannya mewah. Tubuhnya tinggi tegap, mata lebar, hidung mancung dan mulutnya tersenyum mengejek. Wajah yang tampan memandang kepada Ki lurah Suramenggala yang masih berlutut minta ampun kepada Nurseta, lalu memandang wajah Nurseta dengan mata mencorong marah.

"Keparat!" pemuda itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Nurseta.

"Siapa engkau yang berani mengancam dan menghina ayahku?!"

Ki Lurah Suramenggala yang tadi merasa terkejut dan pangling, kini melompat dan menghampiri pemuda itu sambil berseru girang, "Kau..... kau puteraku Lingga jaya .....!" Dia merangkul pemuda itu dengan girang sekali. Akan tetapi dengan lembut pemuda itu mendorong Ki Lurah Suramenggala dan berkata sambil tetap memandang Nurseta.

"Bapak, nanti saja. Sekarang masuklah dulu, biar aku menghajar bocah kurang ajar ini!"

"Engkau benar, Linggajaya. Hajarlah dia. Dia itu Nurseta bocah tak mengenal budi itu. Dia tadi hendak membunuh aku!" Setelah berkata demikian, Ki Lurah Suramenggala lalu berlari memasuki rumahnya.

Nurseta berdiri berhadapan dengan Linggajaya. "Hemm, kiranya engkau Nurseta bocah jembel itu? Tak tahu malu dan tidak mengenal budi. Bukankah dulu yang memberi engkau makan adalah keluarga kami?" Linggajaya menegur marah. "Sekarang berani engkau mengancam ayahku?"

"Dan engkau Linggajaya, bocah yang sombong dulu itu! Ayahmu memang sudah sepatutnya dihajar karena dia adalah seorang yang jahat dan suka bergaul dengan penjahat dan perampok!"

"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Linggajaya dan pemuda yang baru saja meninggalkan gurunya, Resi Bajrasakti di Kerajaan Wengker itu, sudah menggerakkan tangan memukul ke arah muka Nurseta. Linggajaya yang sejak kecil memang terlalu dimanja, menyadari bahwa ayahnya adalah orang nomor satu seluruh dusun Karang Tirta, memupuk watak yang sombong, tinggi hati dan menganggap diri sendiri dan keluarganya paling hebat. Apalagi sekarang, setelah dia mewarisi ilmu-ilmu tinggi yang membuat dia menjadi seorang pemuda sakti, kesombongannya bertambah, bagaikan seekor harimau tumbuh sayap dan dia memandang remeh orang lain. Sekarangpun, ketika menyerang Nurseta, dia memandang rendah pemuda yang pernah menjadi kuli borongan atau pekerja kasar itu dan dia merasa yakin bahwa pukulannya yang dilakukan sembarangan saja itu sudah cukup untuk membikin remuk muka Nurseta.

"Wussss .....!" Linggajaya kecelik dan menjadi semakin marah karena pukulannya amat kuat dan cepat itu dapat di elakkan dengan mudah oleh Nurseta.

Rasa penasaran membuat kemarahannya memuncak dan diapun menyusulkan serangan dengan tendangan kedua kakinya silih berganti. Namun, Nurseta yang cepat menyadari bahwa Linggajaya yang menyerangnya ini sama sekali bukan Linggajaya yang dahulu, melainkan seorang pemuda yang memiliki kedigdayaan maklum bahwa kalau dia melayani bertanding di dalam rumah, dia yang akan menderita rugi. Maka diapun melompat ke belakang menghindari dua tendangan itu, lalu terus berlompatan keluar dari serambi.

"Nurseta, jahanam keparat, jangan lari kau!" seru Linggajaya dan pemuda inipun melompat keluar dan mengejar.

Akan tetapi Nurseta tidak melarikan diri, hanya mencari tempat yang lebih luas. Kini dia sudah berdiri di pekarangan yang luas itu dan siap menanti Linggajaya.

"Linggajaya, ayahmu adalah seorang jahat. Kalau engkau membelanya, berarti engkau juga jahat!" Nurseta memperingatkan.

"Bocah jembel kurang ajar. Bersiaplah untuk mampus! Terimalah Aji Gelap Sewu! Ciaaattttt......!"

Linggajaya menyerang dengan hebatnya. Gerakan tangan terbuka yang memukul itu bagaikan petir menyambar dan mengandung hawa yang amat panas. Diam-diam Nurseta merasa heran. Kiranya pemuda sombong ini bukan sekadar menyombong, melainkan benar-benar memiliki ilmu pukulan yang ampuh sekali. Maka diapun waspada, mengerahkan aji meringankan tubuh Bayu Sakti dan kaki tangannya bergerak-gerak memainkan ilmu silat Baka Denta (Bangau Putih). Hantaman tangan terbuka lawannya itu dia elakkan dengan lincah dan dari samping diapun membalas dengan totokan dua jari tangan kirinya ke arah lambung Linggajaya.

Lanjut ke Jilid 022 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment