Ads

Sunday, September 16, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 027

◄◄◄◄ Kembali

Listyarini yang menonton perkelahian itu, terbelalak dengan hati penuh ketegangan. Karena mereka bicara dalam bahasa asing, ia tidak mengerti persoalannya akan tetapi dapat menduga bahwa ini tentu ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di Negeri Cina seperti pernah diceritakan Ki Tejoranu kepadanya. Ia menjadi khawatir sekali, la tidak tahu bagaimana keadaan perkelahian itu, apakah K i Tejoranu terdesak ataukah sebaliknya karena mengikuti bayangan mereka saja sudah amat sukar. Yang tampak hanya bayangan berkelebatan, sinar bergulung-gulung, percikan bunga api dan bentakan-bentakan mereka. Tentu saja di dalam hatinya, Listyarini berdoa agar K i Tejoranu yang sudah diakuinya sebagai kakaknya itu, akan dapat menang dalam pertandingan itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa dua orang yang bertanding melawan Ki Tejoranu adalah paman guru Ki Tejoranu sendiri, sedangkan kakek berpakaian serba putih itu, yang kini berdiri menonton dengan sikap tenang dan wajah dingin, malah guru Ki Tejoranu. Kalau ia mengetahui hal ini, tentu saja hati Listyarini akan merasa gelisah sekali.

Namun, kenyataannya ternyata jauh berbeda dengan harapannya, walaupun ini terjadi di luar pengetahuannya. Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Ki Tejoranu sekarang sudah banyak maju sehingga dia mampu menyamai dan menandingi tingkat kepandaian seorang paman gurunya.

Akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang paman gurunya, sungguh terlalu berat baginya. Dia berusaha keras melawan mati-matian, namun karena memang berat sebelah, perlahan lahan dia mulai terdesak dan terkurung ketat oleh sinar dua pedang yang menyambar-nyambar dan bergulung-gulung itu.

Setelah Ki Tejoranu berada dalam titik yang paling lemah terdesak, dua orang itu membentak nyaring dan tahu-tahu ujung pedang mereka telah mengenai kedua lengan Ki Tejoranu. Dia mengeluh lirih dan kedua goloknya terlepas dari pegangan, terpental dan pada saat itu, kedua batang pedang  sudah menempel di lehernya!

"TAHAN....!" Seru Pek Kiam-sian kepada dua orang sutenya (adik seperguruannya).

Dua orang itu mundur dan Peki Kiam-sian maju menghampiri Ki Tejoranu.

"Sekarang terimalah hukumanmu! Ciaaaattt .....!" Kakek berpakaian putih itu memukul dengan telapak tangannya ke arah dada Ki Tejoranu yang tidak dapat menghindar lagi.

"Wuuuttt ..... desss .....I" Tubuh Ki Tejoranu terjengkang roboh. Akan tetapi dia teringat akan Listyarini yang sudah berdiri tak jauh di belakangnya. Dia cepat bangkit dan mundur, mengembangkan kedua lengannya seperti melindungi Listyarini yang kini berada di belakangnya. Dengan wajah berubah pucat sekali dan napasnya terengah-engah, kedua lengannya berdarah karena terluka dua pedang kedua orang paman gurunya tadi, dia berkata.

"Harap kalian jangan mengganggu wanita ini! la tidak tahu apa-apa, ia tidak bersalah apa-apa. Jangan ganggu ia!!"

Melihat sikap Ki Tejoranu seperti menantang itu, Gan Hok dan Giam Lun menjadi penasaran dan mereka berdua menghampiri dengan sikap mengancam.

"Cukup, sute, mundurlah kalian. Dia sudah terkena Hwetok-ciang (Tangan Racun Api), dalam waktu satu dua hari semua kekuatannya akan musnah dan itu merupakan hukuman yang tepat baginya." kata Peki Kiam-sian.

"Akan tetapi, suheng. Wanita itu, ia tentu sekutunya....." kata Gan Hok.

"Jangan, toa-susiok (paman guru tertua), jangan ganggu Lini! Ia tidak bersalah apa-apa. Kalau diganggu, aku akan melawan sampai mati!" kata Ki Tejoranu sambil mengembangkan kedua tangan menahan rasa nyeri di dadanya yang membuat dadanya sesak, siap untuk membela Listyarini.

Wanita itu tidak mengerti ucapan mereka, akan tetapi dari sikap Ki Tejoranu ia tahu laki-laki yang diaku sebagai kakaknya itu agaknya mati-matian hendak membelanya.

"Sudah cukup, sute. Mari kita pergi." kata Peki Kiam-sian dan dua orang adik seperguruannya tidak berani membantah.

Ketiganya lalu berlompatan seperti terbang cepatnya, meninggalkan tempat itu. Setelah tiga orang itu tak tampak lagi bayangan mereka, Ki Tejoranu juga tidak kuat lagi menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk jantungnya dan diapun mengeluh panjang lalu tubuhnya terkulai dan jatuh pingsan di depan kaki Listyarini yang tadi berdiri di belakangnya, dan dilindunginya.

Melihat para musuhnya sudah pergi dan penolongnya roboh dan tidak bergerak lagi, telentang dengan muka pucat sekali dan mata terpejam, Listyarini lalu berlutut dan menggoyang-goyangkan pundak Ki Tejoranu.

"Tejo! Tejo .....I Ahh, Tejo, sadarlah .....!" Listyarini merasa bingung dan takut. Ia melihat wajah itu pucat seperti mayat dan kedua lengan itupun terluka bacokan mengeluarkan darah. Ia merasa takut sekali kalau-kalau Ki Tejoranu mati!

Padahal di situ hanya ada ia dan Ki Tejoranu. la menoleh ke kanan kiri. Sunyi dan menakutkan sekali pada saat seperti itu. la seolah melihat bayangan Nismara yang kembali dari kematian untuk membalas dendam! Ia ingin menjerit, ingin menangis, dan kembali diguncangnya kedua pundak Ki Tejoranu. Kemudian ia teringat. Luka di kedua lengan itu! Harus dicuci bersih. Ia teringat betapa suaminya, Ki Patih Narotama pernah memberitahu bahwa kalau ada yang terluka, yang lebih dulu harus dilakukan adalah mencuci luka itu sampai bersih, lalu membalutnya dengan kain bersih untuk menghentikan keluarnya darah.

Seperti mendapat tenaga baru, Listyarini lalu mencari daun lompong yang lebar untuk mengambil air di telaga, lalu dengan hati-hati kembali kepada Ki Tejoranu agar air di daun lompong tidak tumpah dan dengan air itu ia mulai mencuci kedua lengan yang terluka. Kemudian, ia mengambil sehelai kain yang ia pergunakan sebagai saputangan, mencoba untuk merobek kain itu menjadi dua. Akan tetapi ia tidak kuat melakukannya, maka ia lalu mempergunakan giginya yang rapi dan kuat. Digigitnya kain itu lalu dirobeknya menjadi dua dan dibalutnya luka di lengan itu.

Ki Tejoranu mengeluh lirih. Timbul harapan dalam hati Listyarini. Dia tidak mati, pikirnya dan diguncangnya perlahan kedua pundak Ki Tejaranu.

"Tejo....., Tejo..... sadarlah, Tejo.....!" ia memanggil.

Ki Tejoranu membuka kedua matanya yang sipit itu dan memandang wajah Listyarini. Dengan perlahan dia mengangkat kedua tangannya, diusapnya kedua pipi Listyarini dengan kedua tangannya, lembut sekali dan dia berkata dalam bahasa Cina,

"Mei Hwa..... Mei Hwa..... aku cinta padamu, jangan tinggalkan aku, Mei Hwa".

Tentu saja Listyarini tidak mengerti maksud ucapan itu, akan tetapi mendengar disebutnya nama Mei Hwa berkali kali, ia dapat menduga bahwa agaknya Ki Tejoranu menduga ia Mei Hwa, tunangan laki-laki itu yang direbut orang, la menjadi terharu sekati, dapat membayangkan betapa duka nestapa membuat pria ini hidup sengsara lahir batin. Tak tertahankan lagi iapun mencucurkan air mata, menangis karena merasa kasihan.

"Tejo, kakang Tejo ..... ini aku, Listyarini ..... aku, Lini ....."

Mendengar ucapan bahasa daerah ini, agaknya pikiran Ki Tejoranu yang belum sadar betul masih terbawa hanyut oleh kenangannya tentang kekasih atau tunangannya dulu, maka diapun berkata lirih.

'Jangan tinggalkan aku ..... jangan.... "

Listyarini memegang kedua tangan laki-laki yang dianggapnya seperti kakaknya itu, menggenggamnya dan dengan air mata menetes-netes ia berkata.

"Tidak, kakang Tejo, aku tidak akan neninggalkanmu sebelum ada bantuan datang ....."

Listyarini yang masih menggenggam kedua tangan Ki Tejoranu yang baru setengah sadar itu sama sekali tidak tahu bahwa saat itu ada dua pasang mata mengamatinya dari jarak yang tidak berapa jauh. Kedua orang itu bukan lain adalah..... Ki Patih Narotama dan Lasmini! Seperti kita ketahui, Ki Tejoranu telah menyuruh seorang penduduk di sebuah dusun kaki Gunung Lawu sebelah timur yang bernama Sukardi untuk pergi menghadap Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan dan memberitahukan bahwa Sang Puteri Listyarini berada di Telaga Sarangan.

Sukardi menunggang kuda dan agar dipercaya oleh Ki Patih Narotama, Sukardi membawa sebuah cincin yang biasa dipakai oleh Listyarini. Setelah Sukardi berhasil menghadap Ki Patih Narotama dan menyampaikan kabar itu, dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Ki Patih Narotama. Akan tetapi sebaliknya Lasmini yang ikut mendengarkan ketika Sukardi membawa berita itu, diam-diam merasa terkejut, kecewa dan juga gelisah sekali, la mencoba untuk memompa keterangan dari Sukardi, akan tetapi Sukardi yang memang tidak tahu menahu akan halnya Puteri Listyarini dan hanya membawa perintah itu, tidak dapat menceritakan apa-apa. Hal ini membuat Lasmini menjadi semakin gelisah dan menduga-duga apa yang telah dilakukan Nismara dan apa yang telah terjadi. Bagaimana mungin Listyarini yang telah dilarikan Nismara dengan tujuan ke selatan, ke daerah Kerajaan Parang Siluman, tiba-tiba kini bisa berada di Telaga Sarangan di Gunung Lawu?

Ki Patih Narotama, ditemani Lasmini, segera menunggang kuda dan bersama Sukardi mereka berangkat ke Gunung Lawu. Karena kuda tunggangan kedua orang bangsawan ini jauh lebih baik daripada yang ditunggangi Sukardi, apalagi karena keduanya juga lebih tangkas menunggang kuda, maka ketika tiba di jalan tanjakan yang berat, Lasmini dan Narotama dapat lebih dulu tiba di telaga dan mereka dapat melihat ketika Listyarini menangisi Ki Tejaranu. Melihat pemandangan ini, sejenak Narotama tercengang dan hatinya mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi Lasmini sudah menjebikan bibirnya yang mungil dan merah, berkata lirih.

"Sungguh memalukan sekali..... tidak pantas..... melanggar kesusilaan..... tak pernah kubayangkan ia dapat melakukan perbuatan kotor dan hina ini....."

Ki Patih Narotama yang sedang bimbang ragu melihat pemandangan itu, tidak tahan mendengar bisikan Lasmini yang seolah api yang menyulut dan membakar hatinya. Maka dia lalu memanggil isterinya dengan nada suara mengandung teguran.

"Diajeng Listyarini....."

Listyarini yang masih memegang kedua tangan Ki Tejoranu itu terkejut dan menoleh, akan tetapi ia tidak melepaskan pegangannya karena memang tidak ada perasaan-bersalah sedikitpun di hatinya. Akan tetapi melihat Lasmini dating bersama suaminya, ia berseru, suaranya mengandung tangis, sisa yang tadi dan juga karena girang dan terharu melihat suaminya sudah datang menjemputnya, bercampur kemarahan melihat Lasmini.

"Kakangmas Narotama! Berhati-hatilah dengan wanita itu! Yang menculikku adalah Nismara dan yang menyuruhnya adalah Lasmini itu!" Listyarini menudingkan telunjuknya kearah muka Lasmini.

Lasmini membentak marah. "Listyarini, jangan asal membuka mulut kau! Mana buktinya, mana saksinya kalau betul Nismara yang menculikmu atas suruhanku. Mana, suruh Nismara menghadap di sini dan mengaku! Huh, engkau melempar fitnah setelah tertangkap basah, ya? Jelas bahwa engkau telah melarikan diri dengan laki-laki itu, engkau melarikan diri bersama kekasihmu itu dan kami melihat sendiri betapa engkau berkasih-kasihan dengannya. Laki-laki jahanam itu harus mampus, mencemarkan nama baik Ki Patih Narotama yang terhormat dan mulia! Dan engkau juga isteri tidak setia dan nyeleweng, tidak pantas dibiarkan hidup. Haiiiiitttt.....!!"

Lasmini sudah melangkah maju dan mendorongkan kedua tangannya ke arah listyarini dan Ki Tejoranu! Ia tidak mau tanggung-tanggung dalam penyerangannya karena ia mengambil keputusan untuk sekali pukul membunuh Listyarini dan laki-laki itu. Mumpung ada kesempatan dan ada alasan, pikirnya. Ki Patih Narotama pasti tidak dapat mengampuni isterinya yang menyeleweng, berjina dengan laki-laki lain!

"Siuuuuttt ..... tappp .....!" Tubuh Lasmini tergetar, pukulannya membalik sehingga ia agak menggigil sedikit. Aji pukulannya tadi memang dahsyat sekali, berhawa dingin karena itu adalah Aji Ampak-ampak yang dapat membuat darah dalam tubuh lawan membeku kalau terlanda pukulan ini. Akan tetapi sebelum pukulan itu mengenai sasaran, dari samping Narotama menangkis dengan dorongan tangan dan tiupan angin dahsyat menangkis pukulan itu tadi.

"Kakangmas Narotama! Mengapa paduka menangkis pukulanku dan melindungi perempuan yang menyeleweng itu? Jelas bahwa ia menjatuhkan fitnah atas diriku dan ia telah melakukan penyelewengan. Apakah semua yang tampak ini bukan merupakan bukti? Dan paduka masih melindunginya! Mustahil paduka lebih percaya ia daripada aku!"

"Tenang dan bersabarlah, diajeng. Kalau ada persoalan sebaiknya dibicarakan dulu." kata Narotama yang menahan kesabarannya walaupun hatinya juga terbakar oleh pemandangan yang menimbulkan cemburu itu.

"Paduka memang selalu melindungi Listyarini dan menyudutkan saya! Lebih haik aku pulang saja!" Setelah berkata demikian, Lasmini cepat memutar tubuhnya dan lari menuruni lereng, lalu melompat ke atas punggung kudanya dan dilarikan cepat meninggalkan tempat itu. Narotama menghela napas panjang lalu sekali melompat dia sudah tiba di dekat Listyarini yang masih berlutut dekat tubuh Ki Tejoranu yang belum sadar betul.

"Kakangmas, agaknya paduka juga meragukan kesetiaan saya....." Listyarini menangis lirih.

"Lini..... kenapa engkau menangis.....?" tanya Ki Tejoranu dengan suara lirih, lalu ia melihat Ki Patih Narotama, maka dengan pandangan mata heran dia bertanya, ".....dan siapakah kisanak ini, Lini .....?"

"Kakang Tejo, ini adalah junjunganku, suamiku, Gusti Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan." kata Listyarini sambil melepaskan tangan Ki Tejoranu, akan tetapi tetap saja berlutut. Mendengar ini, Ki Tejoranu bangkit duduk dan hendak berdiri, akan tetapi dia jatuh terduduk lagi lalu bersila.

"Gusti Patih....., hamba Teiolanu menghaturkan sembah."

Ki Patih Narotama dapat melihat dengan jelas bahwa orang yang bicaranya pelo ini bukan orang pribumi dan sedang dalam keadaan luka dalam yang parah dan keracunan.

"Duduk sajalah, andika terluka. Diajeng Listyarini, aku tidak akan membiarkan hatiku terseret oleh prasangka buruk dan cemburu, asal engkau cepat menceritakan apa artinya semua ini?"

"Aduh, kakangmas, biarlah para dewata mengutuk hamba sekiranya saya berdusta kepada paduka. Ketika itu, saya sedang duduk seorang diri di pondok dalam taman seperti biasa, setelah saya memotongi bunga yang sudah layu dengan tang pisau dapur. Tiba-tiba muncul Nismara dan entah mengapa dia berubah seperti iblis. Dia hendak membawa saya pergi. Saya menyerangnya dengan pisau dapur, akan tetapi dia dapat meringkus saya dan memanggul saya lalu membawa saya lari."

"Hemm, keparat Nismara. Mengapa dia berani berbuat seperti itu?" kata Narotama karena diapun merasa heran karena biarpun Nismara pernah dihukum karena perbuatannya yang kurang baik, namun selama ini tampaknya sudah berubah baik dan setia.

"Dia membawa saya berlari terus sampai beberapa hari lamanya. Saya hanya dapat berdoa, memohon perlindungan Sang Hyang Widhi dan agaknya doa saya terkabul karena selama beberapa hari itu dia sama sekali tidak pernah mengganggu saya. Kemudian dia membawa saya sampai ke pegunungan ini. Baru setelah tiba di sini dia berusaha untuk menggangguku. Dia mengaku bahwa dia melakukan ini atas perintah Lasmini, kakangmas ....."

Narotama mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia adalah seorang yang bijaksana, tidak mudah begitu saja terpengaruh keterangan sepihak. Dia percaya bahwa Listyarini tidak mungkin berbohong, akan tetapi jahanam yang bernama Nismara itu mungkin sekali berbohong dan menjatuhkan fitnah untuk mengadu domba.

"Hemm, lalu bagaimana?" tanyanya.

"Pada saat yang amat gawat itu, muncullah Kakang Tejoranu ini..... eh, nama aselinya adalah Te.... Te....."

Listyarini merasa sukar sekali mengingat nama aseli Ki Tejoranu. Melihat ini Ki Tejoranu menyambung.

"Nama aseli hamba adalah The Jiauw Lan, Gusti Patih."

Narotama mengangguk-angguk. Tahulah dia kini bahwa laki-laki itu adalah seorang bangsa Cina dari sebuah negeri yang jauh di seberang lautan.

"Teruskan ceritamu, diajeng."

"Saya mengubah nama yang sukar disebut itu menjadi Tejoranu, kakangmas. Dia muncul pada saat yang gawat itu dan dia membebaskan saya dari kekejian Nismara. Jahanam itu melarikan diri, akan tetapi dia datang lagi bersama dua orang kawannya dan mereka hendak merampas saya lalu mengeroyok Kakang Tejo. Saya menyebutnya kakang karena dia menganggap saya sebagai adik sendiri, kakangmas. Kakang Tejo berhasil membunuh Nismara dan dua orang penjahat yang lain melarikan diri."

"Hemm, sayang si keparat Nismara itu telah tewas sehingga dia tidak dapat menjadi saksi apakah benar yang menyuruhnya berbuat jahat itu adalah diajeng Lasmini."

"Begitulah menurut pengakuan Nismara, kakangmas. Kakang Tejo ini adalah penolong saya. Kalau tidak ada dia, tentu saya sudah..... mati, tak sudi saya hidup lebih lama lagi kalau saya dijamah pria lain!" Teringat akan dakwaan Lasmini yang kotor dan menghina tadi, Listyarini tak dapat menahan keluarnya air matanya lagi, namun ia menahan tangisnya.

"Akan tetapi, kenapa dia sekarang terluka separah ini?" tanya Narotama, menahan kerinduannya kepada isterinya.

Sebetulnya sudah sejak tadi dia ingin merangkul dan menghibur isterinya, menyatakan kegembiraan hatinya mendapatkan isterinya dalam keadaan selamat. Namun keadaan dan dakwaan Lasmini tadi membuat dia terpaksa menahan perasaannya.

"Saya sendiri tidak mengerti urusannya, kakangmas. Ada muncul tiga orang asing, Kakang Tejo dan mereka bicara dalam bahasa yang tidak kumengerti, lalu kakang Tejo dikeroyok dua di antara mereka, kemudian yang seorang lagi memukulnya dan kakang Tejo masih tetap melindungi saya dari tiga orang itu. Setelah mereka pergi, kakang Tejo lalu roboh pingsan. Dia sendiri yang dapat menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."

"Ki Tejoranu, coba ceritakan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang Cina dan bagaimana engkau dapat berada disini dan apa pula urusanmu dengan tiga orang yang membuatmu terluka ini."

Dengan suaranya yang lemah lirih karena menahan rasa nyeri di dadanya, dan ucapannya yang pelo, Ki Tejoranu lalu bercerita tentang dirinya yang tersiksa melarikan diri dari Negeri Cina karena membunuh putera seorang bangsawan yang membunuh kedua orang tuanya. Betapa kemudian bangsawan itu menyuruh gurunya sendiri dan dua orang paman gurunya untuk mengejarnya.

"Gulu dan paman-gulu menemukan saya di sini. Saya melawan akan tetapi kalah dan gulu memukul saya..... pukulan ini akan melenyapkan semua kekuatan saya..... aughhh ....." Ki Tejoranu yang memaksa dirinya bercerita banyak itu terkulai dan roboh pingsan lagi. Melihat ini, Listyarini bangkit berdiri dan menubruk kedua kaki suaminya.

"Duh, kakangmas. Ampunkan saya..... saya bersumpah tidak ada hubungan kotor antara saya dan kakang Tejo. Dia..... dia seorang yang baik budi dan sopan, kakangmas. Saya berhutang budi, berhutang nyawa padanya. Percayalah, kakangmas dan mohon paduka suka menolongnya untuk membalas budi kebaikannya kepada saya ....."

Narotama tidak dapat menahan rasa cinta kasihnya yang sudah menggelora sejak tadi. Dia mengangkat tubuh isterinya itu, mendekap dan menciuminya.

"Diajeng ..... diajeng Listyarini. Dijauhkan Sang Hyang Widhi kiranya aku dari perasaan cemburu dan tidak percaya kepadamu. Kasihan engkau telah menderita sengsara selama beberapa hari ini karena kealpaanku. Akan tetapi Hyang Widhi agaknya telah memunculkan orang ini untuk menolongmu. Sekarang aku mengerti mengapa engkau begitu menyayangnya seperti seorang kakak sendiri. Dia memang patut mendapatkan kasih sayangmu, diajeng."

"Kakang Tejo seorang yang sengsara hidupnya, kakangmas. Kehilangan orang tua yang terbunuh, kehilangan tunangan yang dirampas orang, kehilangan adik kandung yang hilang tak diketahui di mana. Setelah dia tahu bahwa saya adalah isteri paduka dan telah mengandung, dia lalu menganggap saya sebagai pengganti adiknya yang hilang itu....." Listyarini membela Ki Tejoranu sambil menangis dalam rangkulan suaminya, hatinya penuh kebahagiaan karena suaminya tidak termakan oleh hasutan Lasmini tadi.

"Minggirlah dulu, diajeng. Biar akan kucoba untuk menyembuhkan dia."

Mendengar ucapan ini, Listyarini demikian gembiranya sehingga ia mencium pipi suaminya dengan mesra sebelum melepaskan rangkulannya dan ia lalu duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari situ untuk menonton suaminya mengobati Ki Tejoranu.

Narotama berjongkok dan memeriksa tubuh Ki Tejoranu. Luka kedua lengannya itu tidak berarti, akan tetapi ketika dia membuka baju memeriksa dada, dia terkejut bukan main. Ada bekas tapak lima jari tangan di dada itu yang kulitnya seperti terbakar dan dada itu terasa panas bukan main. Setelah memeriksa sejenak, tahulah Narotama bahwa Ki Tejooranu telah terkena aji pukulan yang amat ampuh, pukulan yang mengandung hawa panas seperti api.

Narotama mengambil tongkat pusaka Tunggul Manik yang tergantung di pinggangnya. Dia memang sengaja membawa tongkat pusaka ini untuk berjaga-jaga kalau kalau Listyarini ditemukan dalam keadaan keracunan seperti tempo hari. Dan ternyata kini tongkat itu memang dibutuhkan, walaupun bukan untuk mengobati Listyarini. Khasiat tongkat Tunggul Manik adalah terutama untuk menyedot keluar segala macam racun dari tubuh manusia.

Narotama menggunakan tongkat itu, menggosok-gosokkan ke dada Ki Tejoranu. Perlahan-lahan, tanda tapak lima jari menghitam di dada yang kulitnya kekuning-kuningan itu perlahan-lahan hilang, tinggal hawa panas itu saja yang masih terasa. Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna lalu menempelkan telapak tangan kirinya ke dada Ki Tejoranu, menggunakan kekuatan saktinya untuk mendorong dan mengusir hawa panas itu dari dalam tubuh Ki Tejoranu.

Beberapa saat kemudian, hawa panas itupun terusir keluar dari dalam dada Ki Tejoranu dan dia mengeluh perlahan lalu membuka kedua matanya. Ketika dia melihat betapa Ki Patih Narotama berada di dekatnya dan menempelkan tangan yang terasa dingin sejuk di dadanya, dan mendapat kenyataan betapa luka di dalam dadanya sembuh sama sekali, dia menjadi kagum bukan main.

"Thian ..... (Ya Tuhan), paduka telah ..... menyembuhkan hamba ....." Ki Tejoranu segera bangkit duduk dan berlutut sambil menyembah ke arah ki patih. "Paduka sungguh seolang yang sakti mandlaguna dapat menyembuhkan akibat pukulan Tangan Lacun Api! Paduka telah menyelamatkan nyawa hamba"

Narotama tersenyum, bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan Ki Tejoranu agar bangkit berdiri pula. Listyarini merasa girang sekali, la menghampiri dan memegang tangan Ki Tejoranu.

"Ah, syukur engkau telah dapat disembuhkan, kakang Tejo .....!"

Ki Tejoranu dengan halus merenggutkan tangannya dan melangkah ke belakang, lalu membungkuk dengan hormat kepada Listyarini.

"Gusti Puteli, seolang sepelti hamba tidak pantas beldekatan dengan paduka. Maafkan hamba yang selama ini kulang holmat kepada paduka ....." Kata-kata pelo itu diucapkan dengan nada hormat, namun dalam suaranya terkandung kepedihan hati.

"Ah Kakang Tejo, jangan begitu. Engkau bagiku tetap Kakang Tejoranu yang baik hati dan aku tetap Lini bagimu!" kata Listyarini, kini mendekati suaminya dan memegang tangan suaminya, seolah minta dukungan pendapat suaminya.

Ki Patih Narotama tersenyum. "Garwaku (isteriku) benar, Ki Tejoranu, manusia hanya dibagi menjadi dua golongan, yaitu manusia yang berbudi baik penyembah Sang Hyang Widhi dan manusia yang berwatak jahat penyembah setan. Harta, kedudukan, kekuatan dan kepandaian tidak masuk hitungan. Engkau adalah seorang manusia berbudi baik, sudah sepatutnya kalau garwaku menganggap engkau seorang kakak."

"Hayaaa, Gusti Patih, paduka telah menyelamatkan nyawa hamba, hamba menghatulkan telima kasih ....."

"Ki Tejoranu, engkaupun telah menyelamatkan nyawa garwaku, semua pertolongan itu datang dari kekuasaan Sang Hyang Tunggal (Yang Maha Esa) melalui engkau dan aku, maka marilah kita menghaturkan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi saja."

Ki Tejoranu membungkuk dan menyembah.

"Paduka amat bijaksana, gusti."

"Hanya sayang sekali engkau telah terlanjur membunuh Nismara, Ki Tejoranu. Andaikata tidak, tentu dia dapat menceritakan yang sebenarnya mengapa dia melakukan perbuatan terkutuk menculik diajeng Listyarini dan membawanya sampai di sini."

"Kakangmas, penjahat itu sudah mengaku bahwa dia melakukan itu atas perintah Lasmini." kata Listyarini.

Ki Patih Narotama tersenyum. "Itu hanya pengakuannya, diajeng, dan kini dia tidak ada sehingga aku tidak dapat memaksa dia mengaku terus terang. Tidak ada bukti dan saksinya bahwa diajeng Lasmini yang menyuruhnya. Tidak adil kalau kita mengambil kesimpulan bahwa pengakuan penjahat itu benar. Bisa saja dia sengaja melempar fitnah untuk mengadu domba. Ketahuilah bahwa sejak engkau hilang, diajeng Lasmini berusaha mati-matian untuk mencarimu."

Mendengar ucapan suaminya, Listyarini menghela napas panjang. Ia sendiri sudah yakin bahwa keterangan atau pengakuan Nismara itu benar. "Hamba serahkan kepada kebijaksanaan paduka, kakangmas."

Mendengar nada kecewa dalam suara isterinya, Narotama merangkulnya. Ki Tejoranu juga melihat suasana itu dan dia berkata, "Gusti Puteli, apa yang dikatakan Gusti Patih itu bijaksana dan benal sekali. Menuduh olang tanpa bukti dan saksi itu namanya fitnah."

"Ki Tejoranu, kalau engkau mau, mari ikut dengan kami ke Kahuripan dan aku akan mintakan pangkat bagimu kepada Sang Prabu. Orang seperti engkau ini dibutuhkan kerajaan kami." kata Narotama sambil menatap wajah yang kuning sekali itu. Wajah itu kini menjadi kuning dan tidak wajar, semua itu merupakan akibat dari luka oleh pukulan Hwe-tokcia (Tangan Racun Api) tadi.

Ki Tejoranu memberi hormat. "Telima kasih, gusti. Akan tetapi hamba lebih suka melantau dan bebas dali semua ikatan."

Ki Patih Narotama tentu saja tidak dapat memaksa dan dia memaklumi pendirian orang itu. Dia tahu Ki Tejoranu adalah seorang yang berjiwa petualang. Dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bahkan untuk kembali ke kampong halamannya di tanah airnya sana dia tidak berani. Dia sudah kehilangan segala-galanya dan hal ini membuatnya putus asa dan tidak tertarik lagi akan segala urusan duniawi. Dia hanya ingin menyendiri di tempat-tempat yang sunyi seperti di Telaga Sarangan itu. Diam diam Narotama merasa iba kepada Ki Tejoranu. Kepada orang yang tertekan jiwanya seperti ini, dia tidak dapat menawarkan apa-apa. Maka, diapun berpamit dan ketika berpamit, Listyarini memandang Ki Tejoranu dengan kedua mata basah.

"Engkau tidak mau ikut ke Kahuripan, Kakang Tejo? Kalau begitu, selamat tinggal dan jaga dirimu baik-baik, kakang. Sebaiknya, engkau pindah saja ke tempat lain, jangan tetap tinggal di sini karena kalau orang-orang jahat itu datang lagi....."

Ki Tejoranu tersenyum mengangguk. "jangan khawatil, Gusti Puteli, saya akan pelgi melantau. Selamat jalan dan semoga paduka hidup belbahagia."

Suami isteri itu pergi meninggalkan telaga, kemudian berboncengan kuda dan perlahan-lahan menuruni lereng Gunung Lawu.

Semua punggawa kepatihan menyambut kembalinya Listyarini dengan gembira karena lenyapnya sang puteri itu sungguh membuat semua punggawa menjadi gelisah. Memang sebelum Sukardi datang membawa cincin Sang Puteri dan mengabarkan bahwa Listyarini dalam keadaan selamat di Telaga Sarangan, Narotama sudah menduga bahwa Nismara tentu tersangkut dengan peristiwa hilangnya isterinya itu. Hal ini dapat diketahui karena Nismara juga tidak dapat ditemukan jejaknya dan tak seorangpun mengetahui ke mana perginya.

Namun, Ki Patih Narotama tidak menghukum keluarga Nismara yang terdiri dari ibunya dan dua orang adiknya karena mereka dianggap sama sekali tidak tahu menahu akan perbuatan Nirmara yang kini telah tewas itu. Kembalinya Listyarini membuat semua orang gembira, kecuali Narotama sendiri yang terkejut melihat bahwa Lasmini tidak berada di kepatihan! Beberapa orang dayangnya hanya mengatakan bahwa Lasmini yang pergi bersama Ki Patih Narotama itu kembali seorang diri beberapa hari kemudian akan tetapi pada hari itu juga lalu pergi lagi. Narotama memanggil Sarti, wanita berwajah buruk bertubuh tinggi besar yang menjadi pelayan pribadi Lasmini.

"Sarti, ceritakan ke mana gusti puterimu pergi dan kenapa pergi. Engkau pasti tahu karena engkau adalah pelayan pribadinya." kata Ki Patih Narotama.

Lanjut ke Jilid 028 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment