Ads

Sunday, September 16, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 029

◄◄◄◄ Kembali

"Begini, maksud hamba. Kalau hamba sudah diberitahu tentang tempat, waktu atau saat yang tepat untuk bertindak, hamba dapat membunuh pangeran kecil itu dan sekaligus diusahakan agar yang disangka melakukan perbuatan itu adalah sang puteri dari Sriwijaya! Masuk diakal kalau puteri Sriwijaya itu ingin melenyapkan putera pertama yang akan menjadi putera mahkota itu, bukan? Tentu saja dengan keinginan agar kelak, kalau ia melahirkan seorang putera, puteranya itu yang akan menjadi pangeran mahkota. Dengan demikian, sekali bertindak, mendapatkan dua hasil. Pertama, kematian Pangeran pertama itu tentu akan merupakan pukulan hebat bagi keluarga Sang Prabu Erlangga dan ke dua, kalau Puteri Sriwijaya dituduh melakukan pembunuhan dan ditindak, maka kerukunan antara Kahuripan dan Sriwijaya menjadi rusak."

"Ah, bagus sekali!" Lasmini berseru girang dan ia memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata yang mengandung kegairahan. Pemuda seperti inilah yang dapat dijadikan sekutu, juga patut untuk menjadi teman untuk memuaskan gairahnya yang berkobar.

Linggajaya tersenyum dan menyambut pujian Lasmini itu dengan pandang mata yang penuh arti. pandang mata yang merayu dan seolah dengan pandang matanya itu dia membelai tubuh selir Kepatihan itu!

"Sekarang tinggal Gusti Puteri Mandari yang dapat memberi petunjuk kepada hamba tentang cara, tempat dan saat hamba harus bertindak karena tentu saja paduka yang lebih mengetahui keadaan dalam istana ini," kata Linggajaya.

“AKU sudah pikirkan hal itu," kata Mandari dengan suara yang bernada gembira. "Sebaiknya diatur begini." Ia lalu berbisik-bisik lirih sekali sehingga terpaksa Lasmini dan Linggajaya mendekatkan telinga mereka untuk menangkap apa yang dikatakan selir Sang Prabu Erlangga Itu. Dan tanpa disengaja, ketika mendekatkan telinga, muka Linggajaya berlekatan sekali dengan muka Lasmini sehingga keduanya dapat merasakan tiupan napas masing-masing di pipi mereka. Kembali mereka bertukar pandang yang penuh arti, penuh daya tarik dan sekaligus penuh tantangan!

"Nah, sudah mengerti benarkah andika, Linggajaya?" Tanya Mandari setelah selesai berkasak-kusuk.

Linggajaya mengangguk. "Hamba sudah mengerti, gusti puteri.” Akan tetapi mata pemuda itu mengerling ke arah Lasmini.

"Kalau begitu, aku akan mempersiapkan perlengkapan yang kaubutuhkan. Besok malam, datanglah ke sini untuk menerima barang-barang itu."

"Sendiko, gusti puteri. Kalau begitu hamba mohon diri. Sudah terlalu lama hamba di sini."

Kedua orang puteri itu mengangguk dan ketika Linggajaya hendak melangkah pergi, Lasmini memanggilnya lirih,

"Linggajaya .....!"

Pemuda itu berhenti dan menghadapi puteri itu. "Kalau semua sudah dapat terlaksana dengan baik, andika harus meninggalkan istana, akan tetapi jangan pergi jauh. Datanglah ke kepatihan, kami membutuhkan seorang juru taman yang pandai dan kalau engkau berada dekat sana, siapa tahu engkau dapat pula membantuku."

"Sendika, gusti puteri, dan terima kasih." jawab Linggajaya dengan wajah berseri dan dia lalu menyelinap lenyap ditelan kegelapan malam di balik pohon-pohon dalam taman itu.

Dua orang puteri itu merasa gembira sekali dan mereka lalu melangkah perlahan-lahan kembali ke istana. Ketika memasuki bangunan yang megah itu, karena tidak melihat ada orang dan suara perayaan pesta itu masih ramai terdengar di bagian depan dan luar istana, Lasmini berkata kepada adiknya.

"Wah, Mandari, kalau anak itu dapat dibunuh, akan berhasillah jerih payah kita selama ini."

"Ssttt ..... kita sudah di sini, jangan bicarakan itu lagi," bisik Mandari memperingatkan kakaknya.

Mereka tertawa tawa dan tampak gembira sekali ketika memasuki ruangan itu. Sama sekali mereka tidak tahu bahwa ketika mereka bicara tadi, ada sepasang telinga yang menangkap ucapan Lasmini tadi. Pemilik sepasang telinga ini adalah Dyah Untari, selir pertama Sang Prabu Erlangga. Tadinya, melihat dua orang puteri itu datang dari taman, Dyah Untari hendak menyambut dan menyapa dengan ramah seperti biasanya, akan tetapi melihat keduanya berbisik-bisik, ia merasa heran dan cepat menyelinap di balik tiang besar. Ketika mendengar bisikan yang diucapkan Lasmini, ia makin terkejut pula dan tidak memperlihatkan diri. Kecurigaan menyelinap dalam hatinya.

Biarpun Dyah Untari tidak cemburu kepada Mandari, namun dalam hatinya ia kurang suka kepada selir termuda dan terkasih dari Sang Prabu Erlangga ini. Bukan karena cemburu, melainkan karena sikap Mandari terkadang angkuh dan sering kali selir ini memperlihatkan sikap kasar kepada para dayang, ringan tangan menampar dayang hanya karena kesalahan kecil saja dan terutama sekali, di luar tahu sang prabu, Mandari suka memaki dengan kata-kata yang tidak bersusila dan tidak pantas dikeluarkan dari mulut seorang selir raja besar! Akan tetapi di depan Sang Prabu Erlangga, Mandari selalu tampak lemah lembut, halus menyenangkan, seperti seekor domba yang berbulu indah bersih dan jinak lembut. Seringkah Dyah Untari melamun bahwa domba jinak itu tidak mustahil sewaktu waktu akan berubah menjadi seekor serigala!

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment