Ads

Thursday, September 20, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 039

◄◄◄◄ Kembali

"Hemm, mungkin engkau benar, dia puteriku tidak dapat disalahkan. Akan tetapi si Dharmaguna itu tetap bersalah. Kalau saja Endang Sawitri tidak saling mencinta dengan dia, tentu puteriku itu tidak akan dapat melarikan diri sampai sekarang."

"Maaf, eyang senopati. Salahkah itu kalau ada dua orang muda saling jatuh cinta? Mereka berdua saling jatuh cinta, hidup bersama sebagai suami isteri yang berbahagia walaupun bukan kaya raya, dan mereka telah mempunyai seorang anak. Kenapa paduka masih terus mencari dan membenci mereka. Kalau paduka berhasil menemukan mereka, apakah paduka akan membunuh puteri, mantu, dan cucu paduka, darah daging paduka sendiri?"

Senopati Sindukerta itu terbelalak memandang kepada Nurseta.

"Anakku Endang Sawitri mempunyai seorang anak Dhuh Jagad Dewa Bathara .....! Di mana mereka sekarang berada? Nurseta, apa engkau kira aku telah gila? Aku mencinta puteriku. Kalau saja si Dharmaguna itu datang bersama Endang Sawitri dan mohon ampun kepada kami, tentu saja kami akan mengampuni semua kesalahannya. Engkau tahu mengapa aku mencari mereka? Karena aku sudah rindu sekali kepada puteri kami. Akan tetapi si jahanam Dharmaguna itu tidak pernah datang, bahkan dia selalu membawa pergi anakku, selalu menghindar sehingga sampai saat ini, kami belum juga dapat bertemu kembali dengan Endang. Apalagi sekarang ia telah mempunyai seorang anak, tentu saja kami mau menerima Dharmaguna sebagai mantu kami, sebagai ayah dari cucu kami. Akan tetapi di mana mereka kini berada? Di mana? Katakan, dimana mereka?"

"Saya juga tidak tahu, Eyang Senopati. Mereka itu selalu melarikan diri dan bersembunyi bukan sekali-kali karena tidak lagi mau mengakui paduka sebagai ayah melainkan karena ketakutan kalau-kalau mereka akan dihukum berat dan dipaksa saling berpisah kalau paduka menemukan mereka. Saya sendiri juga tidak tahu dimana adanya mereka, bahkan kedatangan saya ini juga dalam usaha saya mencari mereka."

Senopati Sindukerta menatap wajah pemuda itu dengan penuh perhatian,

"orang muda, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa mereka takut bertemu dengan kami? Dan apa pula maksudmu mencari mereka? Ada urusan apakah kau dengan puteriku Endang Sawitri?"

Nurseta tidak dapat menyembunyikan kenyataan tentang dirinya lagi dan dia menganggap bahwa
sudah tiba saatnya dia harus memperkenalkan diri kepada orang yang sesungguhnya menjadi kakeknya ini.

"Saya mencari mereka karena Endang Sawitri adalah ibu kandung saya dan Darmaguna adalah ayah saya, eyang."

Sepasang mata tua itu terbelalak, wajah tua itu menjadi pucat, lalu berubah merah.

"Kau ..... kau .....?"

"Saya Nurseta, cucu eyang ....."

"Cucuku .....!" Senopati Sindukerta lalu melompat berdiri, menubruk ke depan dan merangkul Nurseta. Lalu digandengnya lengan pemuda itu dan ditariknya "Mari, mari cucuku, mari kita bicara didalam dan mari engkau menghadap nenekmu! Ah, betapa akan bahagianya nenekmu melihat cucunya!"

Nurseta dengan kedua mata basah karena terharu membiarkan dirinya ditarik memasuki gedung itu dari pintu belakang. Para pelayan tentu saja merasa terkejut dan heran melihat sang senopati masuk rumah dari pintu belakang sambil menggandeng dan menarik tangan seorang pemuda yang tidak mereka kenal. Akan tetapi melihat wajah senopati itu berseri gembira, mereka tidak menyangka buruk dan tidak berani bertanya. Ki Sindukerta tidak memperdulikan para pelayan yang keheranan itu dan terus menarik tangan Nurseta, dibawa masuk keruangan paling dalam.

Nyi Sindukerta yang sedang duduk melamun di ruangan itu, tentu saja terkejut dan heran pula melihat suaminya memasuki ruangan menggandeng seorang pemuda. Akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Senopati Sindukerta sudah berseru dengan gembira.

"Diajeng, lihat siapa yang kuajak masuk ini! Dia ini anak Endang!"

Wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun dan yang tampaknya lesu digerogoti kesedihan itu terbelalak, bangkit berdiri dan wajahnya seketika menjadi pucat.

"Anak..... anak..... Endang? Cucuku.....?"

Nurseta merasa terharu sekali. Dia cepat maju berlutut dan menyembah didepan wanita tua itu,

"Saya Nurseta, menghaturkan sembah hormat saya kepada eyang puteri."

"Cucuku .....!" Nenek itu merangkul pemuda yang masih berlutut dan ia menangis tersedu-sedu. Setelah beberapa saat ia menangis, suaminya lalu menepuk-nepuk pundaknya dan membantunya bangkit berdiri.

"Sudahlah, diajeng. Tenangkan hatimu dan mari kita dengarkan cucu kita bercerita tentang anak kita."

Nenek itu menurut dan mereka lalu duduk di atas kursi dan mempersilakan Nurseta duduk diatas kursi di depan mereka.

"Cucuku, di mana ibumu? Di mana anakku Endang Sawitri?" tanya Nyi Sindukerta dengan suara serak. "Kenapa engkau kini mencari ayah Ibumu, Nurseta Apakah engkau berpisah dari mereka? Lalu kenapa berpisah? Dan bagaimana pula engkau mengetahui bahwa dahulu aku membenci Dharmaguna dan mencari mereka?" tanya Ki Sindukerta.

"Apakah engkau mempunyai kakak atau adik? Berapa anak Endang Sawitri? Bagaimana kehidupannya? Apa anakku itu sehat-sehat saja? Gemuk atau kurus ia sekarang?" tanya Nyi Sindukerta.

Dihujani pertanyaan bertubi oleh kakek dan neneknya itu, Nurseta merasa terharu. Dia tahu betapa suami isteri yang sudah tua ini amat menderita selama ini. Dia menghela napas panjang lalu berkata dengan lembut.

"Semua pertanyaan kanjeng eyang kakung dan eyang puteri itu akan terjawab dalam riwayat yang akan saya ceritakan kepada paduka berdua."

"Ceritakan, ceritakanlah, Nurseta!" kata sang senopati tidak sabar lagi

"Nanti dulu, Nurseta. Engkau harus minum dulu!" sela Nyi Sindukerta yang lalu memanggil pelayan dan meuyuruh pelayan mengambilkan minuman. Setelah pelayan datang menghidangkan minuman air teh dan karena desakan neneknya Nurseta sudah minum, mulailah pemuda itu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh kakek dan neneknya

"Seingat saya, ketika saya masih kecil, ayah dan ibu se lalu berpindah pindah tempat. Saya adalah anak tunggal dan mereka tidak pernah bercerita tentang riwayat mereka kepada saya. Paling akhir, kami pindah ke dusun Karang Tirta di tepi Laut Kidul, dan tinggal sana. Ketika saya berusia kurang lebih sepuluh tahun, tiba-tiba saja ayah dan ibu saya pergi meninggalkan saya di rumah. Mereka pergi tanpa pamit dan saya sama sekali tidak tahu mengapa dan ke mana mereka pergi. Saya menjadi sebatang kara dan hidup seorang diri."

"Aduh kasihan sekali engkau cucuku!" kata Nyi Sindukerta sambil mengusap dua titik air mata yang membasahi pipinya.

"Kemudian di pantai Laut Kidul saya bertemu dengan Eyang Empu Dewamurti dan saya diambil sebagai murid. Saya mengikuti beliau, mempelajari ilmu kanuragan selama lima tahun. Ketika saya bertemu Eyang Empu, saya berusia enam belas tahun dan saya turun gunung setelah Eyang Empu wafat. Setelah saya memiliki aji kanuragan dan merasa kuat, mulailah saya menyelidiki tentang perginya kedua orang tua saya. Saya mendatangi kepala dusun Karang Tirta, yang bernama Ki Suramenggala."

"Hemm, Ki Suramenggala? rasanya pernah aku mendengar nama itu....., oya, dia pernah menjadi perajurit dalam pasukan yang kupimpin, malah menjadi perwira rendahan. Dia melakukan penyelewengan, mengganggu penduduk maka dikeluarkan dari pasukan."

Nurseta mengangguk. "Agaknya benar dia, eyang. Ki Suramenggala memang bukan manusia baik-baik. Setelah saya melakukan penyelidikan, saya mendengar bahwa Ki Suramenggala mengirim utusan untuk melapor kepada paduka tentang ayah dan ibu yang tinggal di dusun itu

"Ah, benar! Aku ingat sekarang. Lima tahun lebih yang lalu memang ada berita darinya bahwa puteriku tinggal di Karang Tirta. Akan tetapi ketika aku mengirim pasukan ke sana, ternyata mereka telah pergi dan tidak ada seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Gilanya, Suramenggala itu tidak mau memberitahukan komandan pasukan bahwa anakku meninggalkan seorang cucuku di sana." kata Ki Sindukerta dengan marah. "Lalu bagaimana, Nurseta?"

"Saya lalu memaksa Ki Suramenggala untuk mengaku dan dari dialah saya mengetahui bahwa dia melaporkan tentang ayah dan ibu saya kepada paduka. Karena itulah maka saya sengaja datang berkunjung menemui kanjeng eyang untuk bertanya tentang ayah ibu saya itu”

"Akan tetapi, mengapa Endang sawitri dan suaminya itu melarikan diri dan meinggalkan engkau yang baru berusia sepuluh tahun seorang diri di Karang Tirta?" tanya Nyi Sindukerta.

"Kanjeng Eyang Puteri, sekarang saya dapat mengerti mengapa ayah dan ibu melarikan diri begitu mendengar berita bahwa Ki Lurah Suramenggala melaporkan kehadiran mereka di dusun itu kepada kanjeng eyang di sini. Mereka itu agaknya masih merasa takut kalau-kalau mereka akan dihukum dan diharuskan pisah. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa paduka berdua mencari mereka karena rindu dan ingin mereka kembali, bukan untuk menghukum."

"Akan tetapi kenapa mereka meninggalkan engkau seorang diri?" tanya Ki Sindukerta, mengulang pertanyaan isterinya tadi.

"Hal itupun tadinya membuat saya merasa penasaran, eyang. Akan tetapi sekarang saya mengerti. Mereka sengaja meninggalkan saya karena mereka tidak ingin membawa saya ikut-ikutan menjadi pelarian. Mereka tidak ingin saya juga terancam bahaya seperti yang mereka kira."

Dua orang tua itu mengangguk-angguk.

"Kasihan Endang....." kata Nyi Sindukerta dengan suara gemetar karena begitu teringat kepada puterinya, tangisnya sudah mendesak lagi.

"Ini semua gara-gara si Dharmaguna itu! Dia yang menyeret anak kita kedalam jurang kesengsaraan!" kata Ki Sindukerta dan kemarahannya muncul lagi. Dia memang selalu marah kalau teringat kepada Dharmaguna karena dialah yang menjadi gara-gara anaknya menghilang sampai dua puluh tahun lamanya!

Melihat kemarahan kakeknya, Nurseta dapat mengerti. Dia maklum kalau kakeknya mempunyai rasa benci kepada Dharmaguna karena ayahnya itu dianggap sebagai biang keladi terpisahnya kakek dan neneknya dari anak tunggal mereka.

"Kanjeng eyang berdua, sayalah yang mohonkan ampun untuk ayah saya karena saya yakin bahwa ayah saya itu sama sekali tidak bermaksud untuk melarikan dan memisahkan ibu saya dari paduka berdua. Ayah dan ibu saya selalu bersembunyi dan tidak mau kembali kepada paduka berdua hanyalah karena merasa takut. Biarlah saya yang akan mencari mereka sampai dapat dan kalau sudah dapat saya temukan, pasti saya akan menceritakan kepada mereka bahwa paduka berdua sesungguhnya amat rindu kepada ibu saya dan mengharapkan agar mereka berdua segera kembali ke sini."

'Benar, cucuku Nurseta. Cepat temui ibumu, aku sudah rindu sekali kepada anakku Endang Sawitri ....." kala Nyi sindukerta dengan suara gemetar. Ki Sindukerta mengangguk dan berkata kepada cucunya.

"Carilah mereka sampai dapat, Nurseta."

"Akan tetapi kanjeng eyang berdua sudi mengampuni ayah saya, bukan?" Nurseta memohon.

"Sudah lama kami mengampuninya, apalagi sekarang mereka berdua mempunyai putera. Dharmaguna adalah mantu kami. Dahulu kami hanya marah karena mereka berdua lari dan tidak pulang."

"Baik, saya akan mencari sampai dapat menemukan ayah dan ibu." Nurseta berpikir sejenak lalu bertanya. "Apakah paduka sudah mencoba untuk minta petunjuk orang tua dari ayah Dharmaguna"

"Tentu saja sudah. Resi Jatimurti, ayah Dharmaguna juga tidak tahu kemana puteranya pergi dan keterangannya itu dapat dipercaya sepenuhnya karena Resi Jatimurti adalah seorang pertapa yang alim dan hidup sederhana. Setelah ditinggal pergi puteranya, dia hidup seorang diri dan lima tahun setelah Dharmaguna menghilang, Resi Jatimurti meninggal dunia."

Malam itu, Nurseta bercakap-cakap berdua saja dengan Senopati Sindukerta.

"Nurseta, kedatanganmu sungguh membahagiakan hatiku dan hati eyang puterimu, apalagi kalau engkau nanti berhasil mengajak ayah ibu pulang kesini."

"Sayapun merasa amat berbahagia eyang. Tadinya saya sama sekali tidak mengira bahwa paduka adalah eyang saya, malah saya kira bahwa paduka adalah musuh ayah ibu saya."

Senopati itu menghela napas. "Yah, agaknya Sang Hyang Widhi merasa kasihan kepada kami yang sudah menderita selama lebih dari dua puluh tahun ini, Aku sudah mendengar riwayatmu tadi, akan tetapi ceritakanlah tentang orang sakti mandraguna yang menjadi gurumu itu. Aku ingin sekali mendengarnya."

"Eyang Empu Dewamurti adalah seorang pertapa yang berbudi luhur, bijaksana dan sakti mandraguna. Akan tetapi sayang, beliau tewas karena luka-lukanya setelah dikeroyok para datuk besar dari Kerajaan Wura-wuri, Wengker, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul."

"Ahh! Orang-orang dari tiga kerajaan itu memang terkenal jahat dan sejak dulu memusuhi Mataram dan keturunannya sampai sekarang. Akan tetapi Empu Dewamurti tidak langsung mengabdi kepada Kahuripan, mengapa dikeroyok para datuk tiga kerajaan itu?"

"Eyang Empu Dewamurti dikeroyok bukan karena urusan kerajaan, eyang. Mereka itu mengeroyok guru saya untuk memaksa guru saya menyerahkan keris pusaka Sang Megatantra kepada mereka! "

"Ahli!" Senopati Sindukerta terbelalak terkejut dan heran.

"Sang Megatantra!.....? Kaumaksudkan, keris pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu? Jadi pusaka itu berada di tangan mendiang Empu Dewamurti?"

"Sesungguhnya bukan di tangan Empu Dewamurti, melainkan di tangan saya eyang. Sayalah yang menemukan pusaka itu ketika saya mencangkul dan menggali tanah, sebelum saya menjadi murid Eyang Empu Dewamurti. Setelah lima tahun lebih saya belajar kanuragan dari Eyang Empu Dewamurti, saya diperintahkan turun gunung dan pada waktu saya pergi itu, Eyang Empu Dewamurti didatangi para datuk yang mengeroyoknya. Para pengeroyok itu dapat dikalahkan dan melarikan diri, akan tetapi akibat pengeroyokan lima orang datuk dari tiga kerajaan itu, eyang guru yang sudah tua terluka parah dan akhirnya meninggal dunia."

Senopati Sindukerta mengangguk-Angguk. "Dan bagaimana dengan keris pusaka Sang Megatantra itu?"

"Eyang Empu Dewamurti sebelum wafat menyerahkan Sang Megatantra kepada saya dan beliau mengutus saya untuk pertama menyerahkan Sang Megatantra yang dulu saya temukan itu kepada yang berhak memilikinya, yaitu Sang Prabu Erlangga."

"Wah, bijaksana dan tepat sekali itu!" seru Senopati Sindukerta girang.

"Kedua, saya harus mencari kedua orang tua saya dan ke tiga, saya diharuskan membantu Kahuripan yang menurut mendiang eyang guru akan menghadapi banyak cobaan dari Sang Hyang Widhi."

Senopati Sindukerta kembali mengangguk-angguk. "Tugas yang harus engkau lakukan itu memang sudah tepat sekali. Dan bagaimana dengan pelaksanaannya. Sudahkah engkau menghaturkan sang Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga""

Kini Nurseta menghela napas. "Itulah yang memusingkan kepala saya, eyang. Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Pangeran Hendratama. Tentu saja saya tidak tahu akan ulahnya yang membuat ibu saya melarikan diri. Saya mengira dia orang baik-baik karena sikapnya amat ramah dan baik. Tidak tahunya dia seorang jahat yang menipuku. Dia menawarkan untuk membuatkan gagang dan warangka yang indah untuk keris pusaka Megatantra. Tidak tahunya dia menukar Megatantra dengan sebuah keris palsu dan dia melarikan diri, membawa Sang Megatantra."

"Ahh .....! jadi sekarang pusaka itu berada di tangan Pangeran Hendratama?"

"Benar, eyang. Akan tetapi saya akan mencarinya dan akan merampasnya kembali pusaka itu dari tangannya, kecuali kalau dia sudah menyerahkan Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga, saya tidak akan memperpanjang urusannya. Siapa saja yang menghaturkan pusaka itu kepada Sang Prabu Erlangga, bukan masalah bagi saya. Yang terpenting pusaka itu kembali kepada yang berhak."

"Akan tetapi engkau yang menemukannya kembali .pusaka yang hilang selama puluhan tahun itu, Nurseta. Engkau yang berhak mengembalikannya kepada Sang Prabu Erlangga dan menerima hadiah besar dari Sang Prabu !"

Nurseta menggeleng kepala sambil tersenyum. "Eyang, guru saya mengajarkan bahwa setiap saya melakukan sesatu, saya harus menganggap bahwa apa yang saya lakukan itu sebagai suatu kewajiban. Melakukan kewajiban itu berarti tanpa pamrih untuk mendapatkan Imbalan dalam bentuk apapun juga. Melakukan segala sesuatu yang baik dan benar merupakan kewajiban dan untuk itulah kita dilahirkan di dunia ini. Akan tetapi, eyang tentu akan mengetahui kalau pusaka itu sudah diserahkan kepada Sang Prabu Erlangga. Sudahkah hal itu terjadi, eyang?"

Senopati Sindukerta mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.
"Berita yang kaubawa mengenai Sang Megatantra Ini teramat penting sekali, Nurseta! Ini menguatkan dugaanku semula bahwa Pangeran Hendratama tentu mempunyai niat yang amat buruk sekali! Tidak salah lagi dugaanku sekarang bahwa dia pasti akan berkhianat dan memberontak kepada Sang Prabu Erlangga! Ini gawat sekali Nurseta!"

"Eh, apakah yang terjadi, eyang? Apakah Pangeran Hendratama berada di kota raja? Apakah eyang mengetahui dimana dia?"

"Tentu saja aku tahu, Nurseta. Sudah jelas dia berniat buruk. Baru beberapa bulan dia menghadap Sang Prabu Erlangga yang masih adik iparnya dan mohon diperkenankan tinggal di kota raja, diluar istana. Tentu saja Sang Prabu Erlangga memberi ijin dan kini dia tinggal di sebuah gedung mewah. Aku sudah merasa curiga karena dia menghubungi para pejabat, para perwira dan pamong yang berkedudukan tinggi, menjalin persahabatan dengan mereka. Juga dia pernah mengunjungi aku dan sikapnya memang ramah sekali. Agaknya dia hendak menanam pengaruh di kota raja dan mungkin dia akan melakukan pemberontakan kalau sudah menghimpun kekuatan dan..... tentu saja, dia dapat mempergunakan pengaruh Sang Megatantra yang dipercaya mengandung wahyu kraton yang memberi hak kepada seseorang untuk menjadi raja!"

"Hal ini harus dicegah, eyang! Kalau dia tinggal di kota raja, sungguh kebetulan sekali. Saya akan pergi ke sana sekarang juga untuk merampas kembali pusaka Sang Megatantra!"

"Tenang dulu, Nurseta. Engkau tidak boleh bertindak sembarangan tanpa perhitungan. Gedung Pangeran Hendratama merupakan bangunan yang kokoh dan dijaga ketat, begitu yang kudengar dari para perwira yang dekat dengannya. Dia mengumpulkan jagoan-jagoan untuk menjadi pengawal pribadinya, dan dia sendiri juga seorang yang tangguh. Kalau engkau ke sana malam ini juga, selain engkau mungkin menghadapi bahaya....."

"Kanjeng eyang, saya tidak gentar menghadapi semua itu." potong Nurseta. karena dia tidak ingin kakeknya mengkhawatirkan dirinya.

"Mungkin engkau memiliki kesaktian, hai ini sudah kubuktikan sendiri tadi. Akan tetapi bukan penjagaan ketat itu yang terpenting. Bagaimana kalau engkau datang ke sana akan tetapi kebetulan Pangeran Hendratama tidak berada di gedungnya? Nah, semua jerih payahmu yang mengandung resiko bahaya besar itu tidak ada gunanya, bukan?"

Nurseta tertegun. Apa yang diucapkan kakeknya itu memang bukan tak mungkin. Memang, kalau pangeran itu tidak berada di rumahnya, usahanya akan gagal karena pangeran itu tentu akan mengetahuinya dan dapat menyembunyikan diri atau pergi dari kota raja sehingga sulit baginya untuk menemukannya.

"Lalu, menurut paduka, bagaimana baiknya, kanjeng eyang?"

"Begini, Nurseta. Besok pagi, aku akan menyelidiki dan mencari keterangan apakah Pangeran Hendratama besok malam berada di gedungnya atau tidak. Kalau sudah pasti berada di rumahnya, nah, engkau boleh mendatanginya dan merampas kembali pusaka Sang Megatantra. Kalau ternyata besok dia bepergian dan malamnya tidak berada di rumahnya, tentu engkau harus menunda lagi usahamu. Bagaimana bukankah usulku ini baik?"

Nurseta memandang wajah kakeknya dengan mata bersinar dan wajah berseri.

"Wah, terima kasih banyak, kanjeng eyang. usul paduka itu memang baik sekali dan tepat. Memang segala tindakan harus diperhitungkan dengan matang lebih dulu agar tidak mengalami kegagalan. Pantas saja sejak dulu paduka menjadi senopati yang tentu saja harus mahir menggunakan siasat!"

Kakek itu tersenyum, senang mendapat pujian dari cucunya.
"Selain itu, besok pagi-pagi engkau akan kuperkenalkan kepada semua abdi (pelayan) di rumah ini agar mereka mengenal bahwa engkau adalah cucuku dan tidak menimbuikan keheranan dan pertanyaan karena tahu-tahu engkau tinggal di sini."

"Baiklah, eyang, dan terima kasih." Pada saat itu, Nyi Sindukerta muncul di pintu.

"Aeh, malam sudah begini larut dan kalian belum tidur? Kakangmas senopati, biarkan Nurseta beristirahat dan tidur. Dia tentu lelah. Nurseta, aku sudah mempersiapkan kamar untukmu. Hayo, istirahatlah dan tidur. Besok kan masih ada waktu untuk bercakap-cakap lebih lanjut!"

Senopati Sindukerta tertawa. "Ha ha, aku sampai lupa. Benar nenekmu Nurseta. Sana, pergilah ke kamarmu dan tidur!"

Nurseta tidak membantah dan dia lalu mengikuti neneknya yang menunjukkan kamar yang dipersiapkan untuknya. Karena memang lelah, malam itu Nurseta tidur dengan nyenyak. Apalagi karena hatinya merasa senang. Pertama, secara tidak terduga-duga dia bertemu dengan kakek dan
neneknya, orang tua ibunya. Kedua, dia mendapatkan bahwa Pangeran Hendratama tinggal di kota raja sehingga dia tidak perlu susah-susah mencari pangeran yang licik itu.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan bersama kakek dan neneknya, Nurseta lalu diperkenalkan kepada semua pelayan dan juga perajurit-perajurit pengawal. Mereka semua tampak gembiar ketika diberi tahu bahwa pemuda yang sikapnya lembut dan sederhana itu adalah cucu sang senopati dan yang mulai hari itu akan tinggal di gedung senopati itu. Baik Senopati Sindukerta maupun Nurseta sama sekali tidak menyadari bahwa Pangeran Hendratama pada pagi hari itu juga sudah mendengar dan mengetahui bahwa cucu Ki Sindukerta telah datang dan tinggal di rumah sang senopati. Pangeran Hendratama yang sudah bertekad bulat untuk merebut kekuasaan dan menjadi raja di Kahuripan, selain menjalin hubungan erat dengan para pembesar yang ambisius dan sekiranya dapat diajak bersekongkol, juga menyeludupkan seorang yang dapat dijadikan kaki tangannya ke dalam rumah setiap orang pembesar tinggi yang setia kepada Sang Prabu Erlangga.

Tugas mata-mata ini, yang merupakan karyawan di rumah sang pembesar itu sendiri dan telah disuapnya dengan uang, adalah untuk memata-matai gerak gerik pembesar itu. Senopati Sindukerta adalah seorang di antara para pejabat tinggi yang selalu diamati gerak geriknya dan di dalam rumahnya terdapat seorang kaki tangan Pangeran Hendratama. Mata-mata itu adalah seorang yang sudah lama bekerja di gedung sang senopati, yaitu tukang kebun yang sudah dipercaya. Begitu Nurseta diperkenalkan kepada semua pembantu di senopaten itu, kaki tangan Pangeran Hendratama ini segera memberi kabar kepada sang pangeran tentang kedatangan Nurseta sebagai cucu Senopati Sindukerta.

Pangeran Hendratama terkejut sekali mendengar berita ini. Timbul rasa khawatir bercampur benci. Khawatir mengingat bahwa dia telah mencuri keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan timbul rasa benci di dalam hatinya mendengar bahwa Nurseta adalah cucu Senopati Sindukerta. Cucu sang senopati, berarti putera Endang Sawitri. Ini dia merasa yakin, mengingat bahwa Senopati Sindukerta tidak mempunyai anak lain kecuali Endang Sawitri yang dulu membuat dia tergila-gila, dan yang melarikan diri, tidak mau menjadi isterinya. Dia merasa khawatir membayangkan betapa saktinya pemuda itu. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Nurseta pasti akan berusaha untuk merampas Sang Megatantra dari tangannya! Maka, begitu mendengar berita tentang Nurseta, Pangeran Hendratama cepat mempersiapkan penjagaan ketat di gedungnya. Bahkan diam-diam dia menghubungi selir Sang Prabu Erlangga, yaitu Mandari yang diam-diam sudah mengadakan persekutuan dengannya, dan mohon bantuan Mandari untuk melindunginya.

Mandari cepat menanggapi permohonan ini dan ia lalu menugaskan Puspa Dewi untuk membantu sang pangeran. Puspa Dewi tidak dapat membantah dan ia lalu ikut utusan Pangeran Hendratama pergi ke gedung sang pangeran yang besar dan kokoh seperti istana berbenteng itu.

Kehadiran Puspa Dewi di tempat kediaman Pangeran Hendratama menarik banyak perhatian. Bahkan Pangeran Hendratama sendiri yang memang berwatak mata keranjang, terpesona dan tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi. Apa lagi para jagoan yang sudah diundang untuk menjadi pengawal-pengawalnya mereka terkagum-kagum melihat gadis yang masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, amat cantik jelita akan tetapi sudah menjadi kepercayaan Puteri Mandari sehingga dikirim untuk diperbantukan menjaga keselamatan Pangeran Hendratama?

Akan tetapi, bagaimanapun juga, baik Pangeran Hendratama sendiri maupun para jagoan itu, merasa sangat sangsi dan memandang rendah kepada gadis ini. Sampai dimana sih kesaktian gadis muda seperti itu, demikian pikir mereka. Biarpun demikian, para jagoan itu merasa segan mengingat bahwa Puspa Dewi dikirim ke istana Pangeran Hendratama sebagai utusan Gusti Puteri Mandari, selir terkasih Sang Prabu Erlangga dan mereka semua mengetahui betapa saktinya selir yang merupakan puteri Kerajaan Parang Siluman itu. Maka, para jagoan itu bersikap hormat kepada Puspa Dewi dan menyimpan rasa kagum mereka di dalam hati, tidak berani bersikap kurang ajar. Akan tetapi, di antara mereka ada seorang jagoan yang merasa berani. Usianya lebih muda dibandingkan yang lain, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat. Dia adalah seorang jagoan dari pesisir utara dan belum banyak mengenal para datuk di daerah selatan. Maka, tidak seperti yang lain, diapun belum mengenal betul ketenaran nama besar Puteri Mandari dan memandang rendah para jagoan yang lain. Maka, diapun memandang rendah Puspa Dewi yang dianggapnya seorang gadis remaja yang masih ingusan. Karena tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi, diapun tidak seperti yang lain, memandang dengan mata kurang ajar dan mulutnya menyeringai. Bahkan ketika Puspa Dewi baru datang dan diperkenalkan oleh Pangeran Hendratama kepada para jagoan itu sebagai utusan Gusti Puteri Mandari untuk memperkuat penjagaan di istananya, dia berani mengedipkan sebelah matanya kepada Puspa Dewi cara kurang ajar sekali. Akan tetapi Puspa Dewi pura-pura tidak melihatnya karena ia sebagal utusan Puteri Mandari tentu saja tidak ingin membikin ribut hanya karena urusan sekecil itu.

Banyak sudah dara perkasa ini bertemu dengan laki-laki seperti itu, yang suka berlagak melihat gadis cantik dan mengedipkan sebelah mata. Akan tetapi ketika la berada di taman seorang diri, datanglah Ki Lembara, jagoan pesisir utara itu, bersama tiga orang jagoan lain yang usianya sedikit lebih tua, menghampirinya di dalam taman. Tiga orang jagoan lain ini diajak oleh Lembara untuk menggoda Puspa Dewi dan keberanian Lembara yang membuat mereka juga berani, walaupun hanya sekedar ingin menonton bagaimana jagoan pesisir itu menggoda dara cantik jelita utusan dari istana raja itu.

Puspa Dewi yang sedang duduk seorang diri sambil termenung itu melihat empat orang yang memasuki taman dari sebelah kanannya, akan tetapi ia diam saja. la sedang memikirkan keadaannya. Ia memenuhi perintah gurunya atau ibu angkatnya untuk membantu dua orang Puteri Kerajaan Parang Siluman yang berusaha untuk menghancurkan Kahuripan dan menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia berhasil masuk ke istana dan diterima sebagai dayang istana, akan tetapi ia belum tahu apa yang harus ia lakukan di sana. Kini, tiba-tiba ia diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu menjadi pengawal Pangeran Hendratama yang belum dikenalnya, akan tetapi yang sudah diketahui bahwa pangeran inilah yang telah mencuri Keris Pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta! Pangeran Hendratama inilah yang kini memegang Sang Megatantra, akan tetapi kenapa dia tidak menyerahkan kepada Sang Prabu Erlangga? Ketika ia disuruh oleh Gusti Puteri Mandari, selir Sang Prabu Erlangga untuk ikut menjadi pengawal pangeran itu, sudah menduga bahwa Pangeran Hendratama tentu merupakan sekutu dari Puteri Mandari. Berarti Pangeran Hendratama adalah orang yang juga memusuhi Sang Prabu Erlangga. Padahal, bukankah pangeran itu merupakan kakak dari Permaisuri atau kakak ipar sang prabu sendiri Puspa Dewi diam-diam dapat mengambil kesimpulan bahwa tentu Pangeran Hendratama merencanakan pemberontakan dan untuk itu dia bergabung dengan kedua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga!

Lanjut ke Jilid 040 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment