Ads

Saturday, September 22, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 043

◄◄◄◄ Kembali

Ki Patih Narotama menerima panggilan Sang Prabu Erlangga yang disampaikan oleh perajurit pengawal. Kalau Sang Prabu memanggilnya di luar waktu persidangan, itu berarti ada terjadi hal-hal yang luar biasa dan penting, maka diapun bergegas menunggang kuda menuju ke istana.

Seperti biasa, Ki Patih Narotama memasuki istana dengan leluasa. Semua perajurit pengawal mengenalnya dan tahu belaka bahwa Ki Patih Narotama dapat tiap saat memasuki istana menghadap Sang Prabu Erlangga, tidak usah dilaporkan lebih dulu seperti para pembesar lain kalau mohon menghadap sang prabu. Ki Patih Narotama membiarkan kudanya diurus oleh seorang perajurit dan dia hanya bertanya kepada perajurit pengawal dalam istana di mana adanya Sang Prabu Erlangga. Setelah mendapat keterangan bahwa sang prabu menantinya di ruangan persidangan, Ki Patih bergegas menuju ke ruangan itu lalu memasuki pintu ruangan yang dibukakan oleh dua orang perajurit pengawal.

Ketika dia memasuki ruangan persidangan, dia melihat Sang Prabu Erlangga telah duduk di atas singasana. Di sebelah kiri sang prabu duduk selir cantik jelita Mandari. Hanya puteri inilah yang menemani Sang Prabu Erlangga, tidak ada orang lain, bahkan para pengawal juga hanya menjaga di luar ruangan. Ini merupakan pertanda bahwa, sang prabu hendak membicarakan urusan yang dirahasiakan sehingga tidak boleh terdengar orang lain. Akan tetapi mengapa Mandari, puteri Ratu Durgamala Kerajaan Parang Siluman itu berada di situ, berdua saja dengan sang prabu, tanpa dihadiri dua orang permaisuri yang kedudukannya lebih tinggi? Ki Patih Narotama menduga bahwa urusan ini tentu ada sangkut-pautnya dengan Puteri Mandari.

Lasmini dan Mandari memang selalu membuat ulah setelah menjadi selirnya dan selir sang prabu. Akan tetapi wajah cantik itu sama sekali tidak kelihatan tegang atau khawatir, bahkan senyumnya yang manis menunjukkan bahwa hatinya bergembira!

Ki Patih Narotama memberi hormat dengan sembah dan hendak duduk bersila di atas lantai. Akan tetapi Sang Prabu Erlangga mencegahnya.

"Duduklah di kursi yang telah disediakan untukmu, Kakang Patih Narotama."

Narotama menurut. Memang biasanya kalau menghadap sang prabu secara pribadi, bukan dalam paseban, dia dipersilakan duduk di kursi. Akan tetapi saat itu, selir Mandari hadir di situ, maka tadinya dia hendak duduk bersila untuk menghormati sang prabu. Setelah melirik ke arah Mandari, dia menyembah lagi, lalu duduk.

"Terima kasih, gusti. Paduka memanggil hamba, perintah apakah yang harus hamba lakukan?"

"Ada urusan yang gawat sekali, kakang patih. Karena urusan ini amat penting, maka kami sengaja mengundangmu karena hanya andika saja yang akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Yayi Mandari kami hadirkan karena mengingat akan kemampuannya, ia dapat membantu pelaksanaan tugas ini, kakang."

Diam-diam Ki Patih Narotama merasa heran. Mengapa mendadak selir ini diajukan oleh sang prabu untuk membantunya? Tugas apakah gerangan yang harus dilaksanakan dengan bantuan Puteri Mandari? Ataukah, urusan ini mengenai diri puteri dari Kerajaan Parang Siluman itu?

"Hamba siap melaksanakan semua perintah paduka, Sinuwun."

Sang Prabu Erlangga memang sengaja membawa Mandari ke dalam persoalan ini karena dia hendak menguji sampai di mana kesetiaan selir tersayangnya yang terkadang menimbulkan rasa curiga dalam hatinya itu. Bagaimana selir itu akan menanggapi kalau terjadi pemberontakan terhadap kerajaannya? Maka, dia sengaja menghadirkan Puteri Mandari ketika dia memanggil patihnya.

"Kakang Patih Narotama, kerajaan kita sedang terancam pemberontakan!"

Baik Ki Patih Narotama maupun Mandari terkejut bukan main. Ki Patih Narotama tentu saja terkejut mendengar ada pemberontakan, sebaliknya Mandari terkejut juga, namun ia terkejut karena sesungguhnya ia dan sekutunya yang memusuhi kerajaan Kahuripan dan tentu saja merencanakan pemberontakan.

"Siapakah yang berani memberontak kepada paduka, gusti? Beritahukan kepada hamba. Hamba yang akan memberantasnya!" kata Narotama penuh semangat.

Puteri Mandari diam saja, hanya mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang.

"AKU mendengar hal itu dari Kakang Pangeran Hendratama. Pemberontakan itu memang belum terjadi, akan tetapi kami dapat menduganya dengan munculnya pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun lalu, yaitu Sang Megatantra."

Kini Ki Patih Narotama yang meragu walaupun dia terkejut mendengar bahwa sang Megatantra yang dinyatakan hilang puluhan tahun itu, kini muncul. Dia meraba gagang kerisnya sendiri yang terselip di pinggangnya. Keris pusakanya itu adalah keris pusaka Sang Megantoro, yang merupakan pasangan keris pusaka Sang Megatantra. Dia mendapatkan keris itu dari Sang Resi Satyadharma di Nusa Bali. Gurunya itu mengatakan bahwa keris Sang Megantoro adalah pasangan keris Sang Megatantra. Kalau Sang Megatantra mengandung wahyu bagi seorang raja, keris Megantoro mengandung wahyu bagi seorang pamongnya yang paling dekat dengan raja, yaitu patihnya. Kalau rajanya memegang Sang Megatantra dan patihnya memegang Sang Megantoro, maka kerajaan akan menjadi kuat sekali. Sayang, keris pusaka Sang Megatantra lenyap puluhan tahun yang lalu hingga Sang Prabu Erlangga tidak memilikinya. Akan tetapi kini keris itu muncul! Inilah yang mengejutkan dan juga menggirangkan hati Narotama. Akan tetapi mendengar bahwa pembawa kabar tentang pemberontakan itu Pangeran Hendratama hatinya menjadi ragu dan bimbang. Dia merasa tidak senang dan tidak percaya kepada pangeran ini, bahkan dia mulai curiga mendengar betapa pangeran yang baru pindah ke kota raja itu seringkali kasak-kusuk dengan para pembesar dan mengobral banyak hadiah kepada mereka. Sebaliknya, ketika mendengar bahwa pembawa berita itu adalah Pangeran Hendratama, hati Mandari menjadi girang sekali. Pangeran itu adalah sekutunya, Maka, ia cepat berkata penuh semangat

"Kakanda Prabu, siapakah keparat yang hendak memberontak itu? Dia harus dihancurkan!"

Sang Prabu Erlangga tersenyum mendengar ucapan selirnya ini.

"Kalian dengarlah dulu apa yang diceritakan Kakang Pangeran Hendratama kepadaku tadi. Beberapa bulan yang lalu dia membeli sebuah keris dari seorang pengemis tua. Setelah keris itu dibersihkan, dia mengenalnya sebagai Sang Megatantra. Pengemis itu mengatakan bahwa dia menemukan keris pusaka itu di dekat pantai Laut Kidul. Akan tetapi agaknya pengemis itu menceritakan tentang keris itu kepada seorang penjahat muda yang sakti mandraguna. Penjahat itu mencuri Sang Megatantra dari Kakang Pangeran Hendratama dan menggantinya dengan sebuah keris palsu. Kakang pangeran lalu berusaha untuk mencari dan merampasnya kembali, namun usahanya sia-sia. Maksudnya untuk mendapatkan kembali pusaka itu dan menghaturkannya kepadaku. Nah, malam tadi, rumahnya didatangi pencuri keris itu dan dia nyaris dibunuh penjahat itu. Agaknya penjahat itu ingin merahasiakan penemuannya dan karena yang mengetahui tentang Sang Megatantra hanya kakang pangeran, maka penjahat itu hendak membunuhnya. Dari kenyataan ini dapat diduga bahwa pencuri itu hendak mempergunakan Sang Megatantra untuk mengangkat diri sendiri sebagai raja. Setelah para pembantu Kakang Pangeran Hendratama membayangi ke mana larinya pencuri yang malam tadi hendak membunuhnya itu, maka jelaslah bahwa memang ada usaha pemberontakan di kerajaan ini."

"Hemm, si keparat!" Mandari berseru marah. "Kalau begitu, mohon penjelasan, Kakanda, siapakah pencuri itu? Biar hamba binasakan dia!"

Sang Prabu Erlangga tersenyum. Hatinya merasa lega karena selirnya ini ternyata bersemangat membela kerajaan Kahuripan!

"Hamba menanti penjelasan paduka, gusti." kata Narotama yang juga ingin sekali mengetahui siapa gerangan mereka yang hendak mengadakan pemberontakan itu.

"Setelah dibayangi orang-orangnya Kakang Pangeran Hendratama, ternyata bahwa pencuri itu melarikan diri kerumah Paman Senopati Sindukerta dan pencuri Sang Megatantra yang sakti mandraguna itu adalah cucunya yang bernama Nurseta."

"Paman Senopati Sindukerta? Bukankah dia itu kabarnya dahulu menjadi calon mertua Pangeran Hendratama?" Tanya Narotama.

"Benar, Kakang Narotama. Paman Senopati Sindukerta memang pernah kesalahan terhadap mendiang Romo Prabu Teguh Dharmawangsa dan Kakang Pangeran Hendratama karena menyembunyikan puterinya yang akan dijodohkan dengan Kakang Pangeran Hendratama sehingga dia dicopot dari kedudukannya sebagai senopati. Akan tetapi karena dia banyak membantuku mengusir musuh-musuh dari Kahuripan seperti andika sendiri mengetahui, maka aku mengangkatnya kembali menjadi senopati. Sungguh tidak kusangka dia mempunyai niat untuk memberontak. Hal ini mungkin karena cucunya itu telah mendapatkan Sang Megatantra."

Mandari bangkit dari tempat duduknya dan berkata lantang. "Si keparat tak mengenal budi itu! Kakanda Prabu, biarlah hamba berangkat sekarang juga untuk membasmi keluarga Sindukerta! Hamba akan membawa pasukan pengawal untuk menghancurkan para pemberontak itu!"

"Tenanglah dan duduklah dulu, yayi. Kita rundingkan dulu bagaimana sebaiknya dan tindakan apa yang harus diambil." kata Sang Prabu Erlangga.

Mandari duduk kembali dan kedua pipinya masih kemerahan karena marah, bibirnya yang mungil itu cemberut.

"Hamba menanti perintah, apa yang harus hamba lakukan terhadap Paman Senopati Sindukerta dan cucunya itu gusti." kata Narotama dengan tenang. Bagaimanapun juga, cerita itu berasal dari Pangeran Hendratama yang tentu saja mendendam kepada Senopati Sindukerta karena niatnya memperisteri puteri senopati itu tidak tercapai dan dia memang meragukan kepribadian pangeran yang pernah ngambek bertahun-tahun meninggalkan kota raja karena Erlangga yang diangkat atau dipilih oleh para bangsawan untuk menjadi raja.

"Sekarang pimpinlah pasukan pilihanmu dan pergilah ketempat tinggal Paman Senopati Sindukerta. Andika telah mengetahui persoalannya dan aku memberi purbawisesa (kekuasaan penuh) kepadamu untuk bertindak bagaimana baiknya terhadap mereka."

"Bunuh saja mereka! Basmi pemberontak itu sampai keakar-akarnya. Binasakan seluruh keluarganya!" kata Mandari sambil mengepal tangannya.

"Hamba akan menangkap Paman Senopati Sindukerta dan cucunya yang bernama Nurseta itu dan membawa mereka menghadap paduka, gusti." kata Narotama dengan tenang.

"Hamba akan menyertai Ki Patih Narotama dan pasukannya!" seru Mandari. 'Kalau pencuri pusaka itu sakti mandraguna, hamba yang akan menandinginya!"

Sang Prabu Erlangga tersenyum. 'Tidak, Yayi Mandari. Justeru karena kekerasanmu itu, aku tidak mengijinkan engkau ikut pergi. Kakang Patih Narotama benar. Paman Senopati Sindukerta dan cucunya itu harus ditangkap dan akan kami periksa di sini."

"Akan tetapi, Kakanda Prabu, mereka itu sudah jelas hendak memberontak! Mereka itu pantas dibinasakan, tunggu apalagi?" kata Mandari.

"Bukan begitu sikap seorang penguasa yang bijaksana, yayi. Tidak benar menjatuhkan keputusan kepada seorang terdakwa tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Kalau sudah terbukti kesalahannya, barulah dijatuhi hukuman, itupun harus sesuai dengan peraturan, bukan hantam-kromo dibunuh dan dibasmi begitu saja."

"Akan tetapi buktinya sudah jelas kakanda! Buktinya Nurseta itu telah mencuri Sang Megatantra dan semalam berniat membunuh Pangeran Hendratama untuk menutupi rahasianya. Melihat kenyataan bahwa dia cucu Senopati Sindukerta, sudah jelas bahwa senopati itu yang menjadi dalangnya dan merencanakan pemberontakan terhadap paduka!"

Sang Prabu Erlangga menanggapinya dengan senyum. "Itu belum menjadi bukti, yayi. Baru kesaksian Kakang Pangeran Hendratama, berarti kesaksian satu pihak saja. Karena itu, Paman Senopati Sindukerta dan cucunya perlu ditangkap dan diperiksa di sini untuk didengar keterangan mereka. Sudahlah, yayi, jangan mencampuri urusan ini karena sudah kuserahkan kepada Kakang Narotama untuk menyelesaikannya. Kakang patih, sekarang siapkanlah pasukan dan tangkaplah Paman Senopati Sindukerta dan cucunya."

Mandari hanya cemberut dan diam saja. Wanita yang cerdik ini tahu kapan ia harus bersikap diam. Kalau ia berkelanjutan membantah, tentu akan menimbulkan kecurigaan Sang Prabu Erlangga dan terutama Ki Patih Narotama yang ia takuti itu.

"Hamba- akan pergi seorang diri dan mengajak Paman Senopati Sindukerta dan cucunya menghadap paduka, gusti”.

"Akan tetapi itu berbahaya sekali!" Mandari berseru, seolah ia mengkhawatirkan keselamatan Narotama. Tentu saja semua ini memang disengaja untuk mendatangkan kesan bahwa ia adalah seorang yang setia kepada Sribaginda dan membela patihnya.

"Ah, yayi. Bahaya adalah keadaan yang sudah biasa dihadapi Kakang Narotama. Karena purba-wisesa sudah kuserahkan kepadamu, kakang Narotama, maka terserah bagaimana sekehendakmu saja."

"Terima kasih, gusti. Hamba mohon doa restu."

"Berangkatlah, kakang patih dan laksanakan dengan baik."

Narotama lalu mengundurkan diri keluar dari istana. Dia tidak ingin membawa pasukan karena hal itu tentu akan menarik perhatian orang dan menghebohkan. Dia masih tidak percaya sedikitpun bahwa Senopati Sindukerta hendak melakukan pemberontakan. Dia mengenal baik kepribadian senopati tua itu. Bahkan kalau diharuskan membuat perbandingan antara Senopati Sindukerta dan Pangeran Hendratama, dia akan lebih mempercayai senopati tua itu. Tidak ada alasan kuat untuk mendorong Senopati Sindukerta untuk memberontak dan merebut singasana. Sebaliknya, amat kuat alasannya bagi Pangeran Hendratama untuk merebut kedudukan raja. Dia adalah putera mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa, walaupun terlahir dari seorang selir, bahkan dia putera tertua, kakak dari Puteri Sekar Kedaton yang kini menjadi permaisuri Sang Prabu Erlangga. Pangeran itu tentu merasa lebih berhak menjadi raja daripada Senopati Sindukerta yang hanya orang biasa, bukan keturunan raja.

Kunjungan Ki Patih Narotama disambut dengan sikap hormat oleh Senopati Sindukerta. Senopati tua ini amat kagum kepada dua orang yang kini menjadi pucuk pimpinan Kerajaan Kahuripan, yaitu kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Dia merasa kagum dan hormat sekali karena tahu betul betapa sakti mandraguna dan bijaksana kedua orang pemimpin besar ini. Karena itu, kunjungan Ki Patih yang tidak terduga-duga itu segera disambutnya dengan penuh penghormatan.

Setelah saling memberi salam dan mempersilakan tamu agungnya duduk dalam ruangan tamu, berhadapan dengannya, Senopati Sindukerta lalu berkata dengan ramah.

"Selamat datang, Gusti Patih Narotama. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami bahwa paduka berkenan mengunjungi kami hari ini. Entah angin baik apakah yang bertiup dan membawa paduka datang kesini?"

Ki Patih Narotama merasa rikuh sekali mendengar ucapan yang demikian ramah dari Ki Sindukerta. Diapun bersikap tenang dan sopan menghadapi senopati tua itu.

"Paman Senopati, kedatangan saya ini mengemban tugas dari istana. Saya diutus Gusti Sinuwun, Sang Prabu Erlangga untuk menemui paman. Pertama-tama saya ingin bertanya kepada paman, apakah paman mempunyai seorang cucu bernama Nurseta yang tinggal di sini bersama paman?"

Diam-Diam Ki Sindukerta terkejut. Bagaimana Ki Patih atau Sang Prabu dapat mengetahui bahwa cucunya Nurseta berada disitu? Padahal semalam Nurseta telah gagal merampas Sang Megatantra dari tangan Pangeran Hendratama karena dia ketahuan dan mendapatkan perlawanan, dikeroyok banyak pengawal? Seperti kilat memasuki pikirannya bahwa tentu Pangeran Hendratama yang melaporkan ke istana tentang penyerangan yang dilakukan Nurseta ke rumah pangeran itu.

"Benar, Gusti Patih. Memang cucu saya Nurseta tinggal dirumah kami." jawabnya jujur karena diapun merasa tidak perlu untuk menyembunyikan kenyataan ini, mengingat bahwa Nurseta tidak melakukan kesalahan apapun.

"Kuharap paman suka memanggil dia ke sini karena ada yang hendak kutanyakan padanya." kata pula Narotama dengan sikap yang masih sopan dan suaranya lembut.

Senopati Sindukerta masih bersikap tenang pula. Andaikata telah diketahui bahwa malam tadi Nurseta mendatangi rumah dan membikin ribut di sana, itupun ada alasannya yang kuat dan cucunya itu tidak bermaksud jahat atau buruk. Dia lalu membuka pintu ruangan dan memanggil seorang pelayan dan disuruhnya pelayan itu mengundang Nurseta ke ruangan itu.

Nurseta mendapat keterangan dari pelayan bahwa dia dipanggil kakeknya yang sedang bercakap-cakap dengan Ki Patih Narotama di ruangan tamu. Diam diam dia merasa heran, lalu membereskan pakaiannya agar tampak sopan karena di sana ada seorang tamu agung, yaitu Ki Patih Narotama yang nama besarnya sudah dia dengar, bahkan dulu gurunya, Empu Dewamurti pernah menyatakan kekagumannya kepada Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga sebagai dua orang muda yang sakti mandraguna dan sekarang menjadi patih dan raja di Kahuripan yang terkenal bijaksana.

Ketika dia memasuki ruangan tamu itu, Nurseta melihat seorang laki-laki masih muda, sekitar dua puluh delapan tahun usianya, duduk di atas kursi berhadapan dengan kakeknya yang bersikap sopan kepada tamunya itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi, berwajah tampan dan pakaiannya bersih dan bagus, akan tetapi tidak terlalu mewah. Sepasang matanya mencorong penuh kewibawaan ketika memandang kepadanya. Kalau orang ini Ki Patih Narotama, alangkah sederhananya bagi seorang patih besar yang terkenal, pikir Nurseta kagum. Demi menjaga kesopanan, diapun bersikap seolah olah belum mengenal tamu itu dan menghampiri kakeknya, bertanya dengan halus.

"Eyang memanggil saya, apakah gerangan yang dapat saya lakukan untuk eyang?"

"Nurseta cucuku, kita mendapat kehormatan menerima kunjungan seorang tamu dan beliau ini adalah Gusti Patih Narotama."

Nurseta lalu bersembah simpuh di depan Ki Patih Narotama. "Hampa Nurseta menghaturkan hormat kepada paduka, Gusti Patih."

Sejak tadi Narotama mengamati pemuda yang memasuki ruangan itu dengan sinar mata kagum. Pemuda itu bertubuh sedang, kulitnya agak gelap, wajah dan sikapnya amat sederhana seperti seorang pemuda petani biasa, juga pakaiannya bersih namun sederhana. Akan tetapi sepasang mata itu mempunyai sinar yang amat tajam dan dari sinar matanya saja Narotama dapat melihat bahwa pemuda itu memiliki kekuatan batin yang hebat, juga mulutnya terhias senyum ramah dan penuh pengertian. Baru melihat sepintas saja sudah timbul perasaan suka dalam hati Narotama dan dia semakin ragu akan kebenaran cerita Pangeran Hendratama yang didengarnya dari Sang Prabu Erlangga.

Melihat pemuda itu memberi sembah sungkem, Ki Patih Narotama cepat berkata. "Cukup, duduklah di kursi, Nurseta. Aku datang sebagai tamu dan andika adalah tuan rumah, tidak perlu menggunakan segala upacara yang membuat percakapan kita tidak leluasa. Duduklah di kursi itu!"

Narotama menunjuk kepada sebuah kursi kosong di dekat tempat duduk Ki Sindukerta.

"Duduklah, Nurseta. Gusti Patih sudah memberi perkenan." kata pula kakeknya. Nurseta lalu menyembah.

"Terima kasih, gusti patih." Dia lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu dengan sikap menunggu. Di dalam hatinya dia merasa bahwa kedatangan Ki Patih Narotama ini tentu membawa urusan penting dan kalau dia tidak keliru sangka, mungkin sekali ada hubungannya dengan peristiwa tadi malam di rumah gedung Pangeran Hendratama. Semenjak dia datang di kota raja, hanya peristiwa semalam itulah kiranya yang dapat menimbulkan urusan.

"Nurseta, aku mendengar bahwa andika adalah cucu Paman Senopati Sindukerta. Benarkah itu?" tanya sang patih.

"Benar, gusti patih. Eyang senopati adalah ayah dari ibu hamba"

"Cocok sekali kalau begitu. Sekarang sebuah pertanyaan lagi dan aku minta agar andika menjawab sejujurnya. Apakah keris pusaka Sang Megatantra ada padamu?" Setelah mengeluarkan pertanyaan ini sepasang mata Narotama menatap tajam penuh selidik sehingga Nurseta merasa seolah-olah sepasang mata itu menembus dan menjenguk isi hatinya. Akan tetapi dengan tenang dia menjawab.

"Tidak, gusti patih. Memang hamba pernah menemukan Sang Megatantra dan menaati perintah mendiang eyang guru, hamba hendak menghaturkan pusaka itu kepada Gusti Sinuwun yang berhak atas pusaka itu, akan tetapi dalam perjalanan hamba, Sang Megatantra dicuri orang."

K i Patih Narotama mengerutkan alisnya. "Hemm, siapa yang mencuri Sang Megatantra?"

"Yang mencurinya adalah Pangeran Hendratama, gusti."

Ki Patih Narotama mengangguk-angguk, dalam hatinya merasa heran. Pangeran Hendratama melaporkan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa dia menemukan Sang Megatantra akan tetapi keris pusaka itu dicuri Nurseta. Sebaliknya Nurseta mengaku bahwa dialah penemunya dan pusaka itu dicuri Pangeran Hendratama!

"Nurseta, siapa gurumu?"

"Guru hamba mendiang Eyang Empu Dewamurti."

"Eyang Dewamurti? Mendiang? Jadi..... beliau telah wafat?" Ki Patih Narotama bertanya. Dia mengenal sang empu sebagai seorang tokoh tua yang selain sakti mandraguna, juga setia kepada Mataram dan berbudi luhur.

"Benar, gusti. Eyang guru dikeroyok oleh para datuk dari Wengker, Wura wuri, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul. Para pengeroyok dapat dikalahkan dan melarikan diri, akan tetapi eyang guru terluka parah dan meninggal dunia."

Kembali Narotama mengangguk-angguk. Pemuda sederhana ini murid Sang Empu Dewamurti, menurut perasaan hatinya pemuda ini lebih dapat dipercaya daripada Pangeran Hendratama! Akan tetapi dia tidak berani mendahului keputusan Sang Prabu Erlangga, maka dia lalu berkata kepada Senopati Sindukerta.

"Paman senopati, seperti saya katakan tadi, kedatangan saya ini diutus Sang Prabu Erlangga. Saya ditugaskan untuk membawa paman dan Nurseta menghadap sang prabu sekarang juga."

Nurseta cepat berkata, "Maaf, gusti patih! Kalau penangkapan ini ada hubungannya dengan penyerangan ke rumah Pangeran Hendratama, maka hambalah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Hamba pelaku tunggalnya dan eyang senopati sama sekali tidak tersangkut. Tangkaplah hamba, hamba tidak akan melawan. Akan tetapi kalau paduka hendak menangkap eyang, maaf, terpaksa hamba mencegah paduka!"

Setelah berkata demikian, Nurseta bangkit berdiri dan menentang pandang mata Ki Patih Narotama dengan sepasang mata yang mencorong. Bibirnya tersenyum. Pemuda ini benar-benar memiliki watak ksatrya, berani menentangnya untuk membela eyangnya yang memang tidak berdosa. Sikap yang mengagumkan dan gagah perkasa sehingga membuat dia ingin sekali mengukur sampai di mana kesaktian pemuda ini yang menjadi murid Sang Empu Dewamurti.

"Nurseta, sambutlah ini!" Ki Patih Narotama juga bangkit berdiri dan tiba tiba tangan kanannya didorongkan ke arah pemuda itu. Dia mempergunakan pukulan jarah jauh dengan Aji Hasta Dibya yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat.

Nurseta maklum akan hebatnya serangan jarak jauh itu, maka diapun cepat mengerahkan tenaga saktinya, menyalurkan ke arah kedua tangannya yang didorongkan ke depan untuk menyambut serangan ki patih itu.

"Syuuuuttt ..... blaarrr ....."

Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu. Dahsyat dan menggetarkan seluruh ruangan. Nurseta terdorong mundur satu depa. Narotama memandang kagum dan dia mengangguk-angguk. Dia sendiri merasa dirinya terguncang keras ketika tenaga saktinya bertemu dengan tenaga Nurseta. Walaupun pemuda itu terdorong mundur satu depa, namun kedua kakinya tidak pernah terangkat dari lantai, hanya tergeser ke belakang dan meninggalkan bekas pijakan kaki yang dalam dan panjang pada lantai? Hal ini membuktikan betapa kokoh pasangan kuda-kuda Nurseta, dan dalam hal tenaga sakti, pemuda itu hanya kalah setingkat dibandingkan tenaganya.

"Nurseta, jangan menentang perintah Gusti Sinuwun! Aku dipanggil dan harus menghadap. Hentikan perlawananmu!" bentak Senopati Sindukerta.

"Maafkan hamba, gusti patih!" kata Nurseta sambil memberi hormat dengan sembah kepada Narotama.

Narotama tersenyum. "Nurseta, engkau tidak mengecewakan menjadi murid mendiang eyang Dewamurti. Marilah paman senopati dan engkau, Nurseta, kalian ikuti denganku menghadap gusti sinuwun."

Setelah berganti pakaian dan berpamit kepada keluarganya, Senopati Sindukerta dan Nurseta berangkat, ikut Ki Patih Narotama ke istana.

000000oo0ooooo00000
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment