Ads

Friday, October 5, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 001

◄◄◄◄ Kembali

TANAH PERDIKAN Lemah Citra merupakan sebuah dusun yang tidak banyak penduduknya. Tanahnya subur, loh jinawi, tanahnya gembur airnya cukup, bahkan di musim kemarau pun  sumber air di lereng bukit yang membentuk anak sungai itu tidak pernah kering. Segala tumbuh-tumbuhan yang ditanam para petani tumbuh dengan suburnya sehingga tanah perdikan itu kalau dilihat dari atas bukit tampak ijo royo-royo menyegarkan penglihatan. Hawanya pun sejuk di waktu pagi dan sore, hangat di siang hari, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas.

Penduduknya percaya, bahkan yakin bahwa tanah di situ mendapatkan berkat yang berlimpah dari Sang Hyang Widhi karena tanah perdikan itu milik Sang Empu Bharada, seorang pertapa yang selain sakti mandraguna, juga luhur budi pekertinya, bijaksana, setia kepada Kerajaan Kahuripan dan selalu menjadi pembela kebenaran dan keadilan, menjadi penentang kejahatan dan keangkaramurkaan. Tanah perdikan Lemah Citra itu merupakan tanah yang dihadiahkan Sang Prabu Erlangga kepada Sang Empu Bharada.

Wibawa Sang Empu yang bijaksana itu mendatangkan suasana tenteram dan damai di tanah perdikan itu. Para penduduknya setiap hari bekerja dengan gembira dan tenang, yakin bahwa semua orang yang diperbudak nafsu-nafsunya menjadi tunduk dan lemah kalau memasuki daerah itu sehingga tidak pernah ada yang berani melakukan kejahatan.

Para penduduknya merasa berkecukupan sandang pangan papan. Walaupun pakaian mereka sederhana, makanan juga seadanya dan rumah tinggal bersahaja, namun perasaan cukup itu letaknya dalam hati sanubari. Berbahagialah orang yang merasa cukup hidupnya sehingga dalam keadaan bagaimana pun juga, dia akan selalu memuji syukur dan berterima kasih kepada Sang Hyang Widhi atas semua kasih dan berkatNya. Apa pun yang dimakan terasa nikmat, apa pun yang dikenakan di badan terasa nyaman, dan bagaimanapun keadaan rumahnya terasa menyenangkan. Demikianlah keadaan hati seorang yang selalu merasa diberkati dan menyerah kepada Sang Hyang Widhi, bukan menyerah lalu diam saja, melainkan penyerahan yang mendasari usaha sekuat memampuannya.

Berikhtiar atau berusaha sekuat kemampuannya sebagai kewajiban hidup mempergunakan semua alat tubuh dan pikiran menggarap bumi dan hasilnya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup jasmani. Penyerahan sebagai kesadaran bahwa di atas semua kuasa manusia ada Yang Maha Kuasa, di atas semua peraturan manusia terdapat Yang Maha Pengatur, dan di atas semua rencana manusia terdapat Yang Maha Pengatur.

Malam itu hawanya amat dingin di Lemah Citra. Tanah dan segala yang berada di atasnya basah semua karena sejak sore tadi hujan turun deras dan menjelang tengah malam baru reda. Akan tetapi malam itu gelap karena masih ada sisa mendung mengambang di atas Lemah Citra. Tidak tampak seorang pun di luar rumah. Semua orang merasa lebih enak berada di rumah bahkan sebagian besar telah tidur pulas karena pekerjaan sehari tadi cukup melelahkan. Alangkah nikmatnya tidur malam itu setelah siang tadi bekerja berat. Tubuh lelah, udara dingin, hati akal pikiran tidak terganggu apa pun. Tidur di dalam rumah sederhana, di atas amben kayu atau bambu beralaskan tikar pun sudah nyaman sekali.

Rumah Empu Bharada yang terbuat dari kayu jati, juga hadiah Sang Prabu Erlangga juga sunyi. Para cantrik yang menjadi murid merangkap pelayan Sang Empu, sudah tidur semua. Kesunyian malam menjadi syahdu dengan adanya suara mahJuk malam, kutu-kutu walang atogo (segala macam serangga belalang dan jangkerik). Dalam bilik sanggar pamujan yang sederhana, Empu Bharada duduk bersila di atas bale-bale di mana dia biasa duduk bersamadhi. Dia tidak tidur, melainkan sedang tenggelam dalam samadhi, membiarkan sukmanya mengadakan kontak dengan Hyang Widhi Wasa melalui Suara Kehidupan yang tidak pernah berhenti mengiang ngiang dalam kepalanya, berpusat di belakang kedua matanya. Seluruh keadaan dirinya berpusat pada suara itu yang kini terdengar bagaikan air hujan, atau berdesahnya angin di antara daun-daun, berkericiknya air sungai, begitu tenang, begitu menghanyutkan. Suara-suara dari luar yang tertangkap oleh pendengarannya, suara keheningan (suaraning asepi), suara kutu-kutu walang atogo, seolah nyanyian yang mengikuti alunan lagu sorgawi yang terdengar tiada hentinya dalam kepalanya, terasa oleh seluruh panca inderanya, namun tidak menimbulkan suatu rangsangan, bahkan menenteramkan segala sesuatu yang berada di luar maupun di dalam dirinya.

Sang Empu membiarkan dirinya hanyut dalam suasana yang maha agung itu. Tiba-tiba penglihatan batinnya melihat segala itu terjadi dengan jelas. Dia melihat suatu tempat yang juga bukan dapat dinamakan tempat tertentu, bentuknya tidak dapat direka atau dikenal oleh akal pikiran, namun terasa amat indahnya. Keindahan yang juga tidak dapat dikenal oleh akal pikiran, atau lebih tepat disebut kebahagiaan. Lalu tiba-tiba Sang Empu mengerutkan alisnya. Dia melihat atau lebih tepat merasakan angkara murka dan segala macam nafsu daya rendah berdatangan, bagaikan raksasa-raksasa dalam pewayangan, mengamuk dan mengacau tempat itu sehingga dia melihat kegelapan, kilat menyambar-nyambar, awan gelap menyelubungi dan menutupi semua keindahan atau kebahagiaan itu. Menuruti nalurinya Empu Bharada segera berdoa, setelah dia merasa tidak kuasa melawan gerombolan raksasa itu.

“Duh Gusti, hanya kepada Padukalah hamba mengharapkan pertolongan. Terjadilah, duh Gusti, segala kehendak Paduka..."

Dengan khidmat dia berdoa terus dan tiba-tiba dia melihat cahaya putih meluncur dan cahaya putih ini menerjang gerombolan pengacau dan perlahan-lahan membuyar dan menghilanglah semua awan kegelapan yang tadi menutupi semua keindahan yang membahagiakan tadi.

Empu Bharada membuka kedua matanya. Laki-laki setengah tua itu berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya cukup tampan dengan jenggot panjang hitam, matanya agak cekung dengan sinar yang lembut namun penuh wibawa, mulutnya selalu terhias senyum simpul membayangkan
kesabaran dan pengertian. Tubuhnya tinggi agak kurus. Pakaiannya sederhana saja, serba hitam. Empu Bharada ini merupakan seorang tokoh yang terkenal dan dihormati semua orang di kota raja Kahuripan. Bahkan Sang Prabu Erlangga dan semua ponggawa Kahuripan menghormatinya. Biarpun tidak menduduki jabatan apa pun karena dia tidak mau terikat oleh jabatan, Empu Bharada merupakan seorang yang selalu dimintai nasihat oleh Sang Prabu Erlangga apabila kerajaan menghadapi persoalan yang rumit. Empu Bharada tak dapat melupakan cahaya putih yang mengusir semua kegelapan tadi. Dia mengangguk-angguk.

"Duh Gusti, terima kasih bahwa dalam kegelapan Paduka mengirim Nur Seta (Cahaya Putih)," gumamnya. Lalu dia mengerutkan alisnya dan berbisik,

"Nurseta...?"

Dia mengangguk-angguk lagi dan menyimpan pengertian yang memasuki hati akal pikirannya untuk dirinya sendiri. Dia tidak boleh membuka hal-hal yang belum terjadi kepada siapapun juga. Kehendak dan rencana Sang Hyang Widhi Wasa harus tetap menjadi rahasia bagi manusia yang tidak berhak mengungkap atau mengetahuinya.

Empu Bharada lalu bangkit dan keluar dari sanggar pamujan, memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan untuk membiarkan tubuhnya tidur, beristirahat.

0000ooooo0000
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment