Ads

Monday, October 15, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 015

◄◄◄◄ Kembali

Pemuda Cina itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Pakaiannya sederhana dan dari pakaiannya yang sama dengan pakaian pemuda pribumi dapat diketahui bahwa pemuda Cina itu tentu sudah lama berada di Nusa Jawa sehingga sudah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan penduduk pribumi. Tubuhnya tinggi agak kurus, mukanya pucat kuning. Matanya yang sipit mengandung sinar tajam. Di punggungnya terselip siang-to (sepasang golok). Bahkan rambutnya pun digelung ke atas model rambut para pria pribumi. Yang membuat orang dapat menyangka bahwa dia seorang asing adalah kekuningan kulitnya dan kesipitan matanya. Juga kalau dia bicara, walaupun fasih bicara daerah, tetap saja masih agak cadel (pelo).

Pemuda Cina itu adalah seorang pemuda dari Negeri Cina yang melarikan diri ke Nusa Jawa karena ia dikejar-kejar beberapa orang jagoan yang hendak membunuhnya. Sekitar tujuh tahun yang lalu pemuda Cina yang bernama The Jiauw Lan ini tinggal di sebuah dusun dekat kota raja Nan-king. Sejak muda dia telah pandai bermain silat dan hidup sebagai seorang pendekar yang menentang kejahatan.

Pada suatu hari dia melihat Bong Kongcu (Tuan muda Bong), putera seorang pembesar kota raja bersama beberapa orang jagoannya mengganggu seorang gadis. The Jiauw Lan marah dan menghajar pemuda bangsawan dan jagoan-jagoannya itu dan menyelamatkan gadis yang diganggu. Akan tetapi ternyata peristiwa Itu mendatangkan malapetaka besar bagi The Jiauw Lan. Ketika dia tidak berada di rumah, serombongan anak buah Bong Kongcu menyerbu rumahnya dan ayah ibunya dibunuh. Adiknya, seorang gadis remaja yang ketika itu berusia sekitar tiga belas tahun hilang entah ke mana. The Jiauw Lan menjadi marah sekali. Dia membalas dendam, menyerbu rumah Bangsawan Bong dan berhasil membunuh Bong Kongcu dan beberapa orang jagoannya.

Perbuatan ini tentu saja menggemparkan kota raja dan dia terpaksa melarikan diri dan menjadi orang buruan. Pembesar Bong tidak mau menerima begitu saja dan dia menyuruh para pembunuh bayaran untuk mencari dan mengejar Jiauw Lan untuk dibunuh. Belum puas dengan ini, Pembesar Bong juga memaksa kekasih Jiauw Lan yang bernama Mei Hwa yang sudah bertunangan dengannya, untuk menjadi selir Bangsawan Bong. Hal ini dilakukan pembesar Itu bukan sekedar memuaskan nafsunya, akan tetapi terutama sekali untuk membalas dendam kepada Jiauw Lan yang telah membunuh puteranya.

Demikianlah, Jiauw Lan terpaksa melarikan diri berlayar ke selatan karena daratan Cina merupakan tempat yang tidak aman baginya. Setelah tiba di Nusa Jawa, dia merantau, berpindah-pindah tempat dan akhirnya dia mengasingkan diri di Danau Sarangan, di lereng Gunung Lawu. Sungguh di luar dugaannya, Pembesar Bong yang masih mendendam kepadanya, berhasil membujuk gurunya yang berjuluk Pek I Kiam-sian (Dewa Pedang Baju Putih) bernama Souw Kiat untuk mencarinya sampai ke Nusa Jawa.

Gurunya itu masih ditemani dua orang paman gurunya yang bernama Gan Hok dan Giam Lun. Kurang lebih dua tahun yang lalu, secara kebetulan The Jiauw Lan menyelamatkan Puteri Listyarini, Isteri Ki Patih Narotama yang diculik penjahat. Ki Patih Narotama datang untuk menjemput isterinya yang diselamatkan Jiauw Lan. Akan tetapi kedatangan Ki Patih Narotama agak terlambat sehingga kedahuluan munculnya guru dan dua orang paman guru Jiauw Lan. Percuma saja Jiauw Lan melawan. Dia terluka dan dirobohkan bahkan menerima Hwe tok-ciang (Tangan Racun Api) dari Pek I Kiamsian yang hendak membuat bekas muridnya itu cacat dan kehilangan tenaga saktinya sebagai hukuman. Akan tetapi, Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna, mempergunakan tongkat pusakanya Tunggul Manik yang dapat memunahkan racun dari tubuh Jiauw Lan sehingga pemuda Cina itu selamat. Jadilah dia sahabat baik Ki Patih Narotama yang berterima kasih, bahkan Listyarini menganggap dia sebagai saudara. Akan tetapi Jiauw Lan menolak ketika hendak diajak ke Kahuripan. Dia lebih suka mengasingkan diri dan merantau. Sejak pertemuan dan perkenalannya dengan Listyarini yang menganggap dia sebagai kakak angkat, Jiauw Lan menggunakan nama Tejoranu. Listyiarini tidak dapat menyebut nama The Jiauw Lan dan menyebutnya Tejoranu!

Demikianlah sedikit riwayat singkat The Jiauw Lan yang kini bernama Ki Tejoranu. Beberapa bulan yang lalu dia bertemu dengan seorang Cina lain di kaki Gunung Lawu. Kebetulan sekali dia mengenal laki-laki itu yang bernama Tan Sek. Dari Tan Sek Inilah dia memperoleh berita yang mengejutkan, mengherankan akan tetapi juga menyenangkan. Kenalannya itu bercerita banyak tentang The Kim Lan, adik perempuannya yang hilang ketika ayah Ibunya terbunuh dan ketika itu berusia tiga belas tahun. Menurut penuturan Tan Sek, adiknya itu kini telah menjadi seorang gadis yang amat lihai setelah berguru kepada seorang hwesio (Pendeta Buddha) dari Kuil Siaw Lim. Yang menggembirakan adalah berita bahwa The Kim Lan, adiknya yang kini menjadi seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun, menyusulnya ke Jawa dan kini sedang mencarinya.

"Sejak dua bulan ini, Adikmu, The Kim Lan itu berada di sekitar Gunung Kawi." demikian Tan Sek, temannya itu bercerita.

Mendengar cerita temannya itu, Ki Tejoranu merasa gembira sekali dan dia segera melakukan perjalanan menuju Gunung Kawi! Setelah tiba di daerah Gunung Kawi, dia merantau di sekitar gunung itu untuk mencari adiknya yang menurut Tan Sek berada di situ. Akan tetapi sampai hari itu, dia belum juga dapat menemukan The Kim Lan.

Pagi hari itu dia berjalan dengan penuh semangat karena malam tadi, di sebuah dusun di mana dia bermalam, dia mendengar dari seorang penduduk yang melihat seorang gadis Cina berjalan menuju ke barat. Mendengar ini, pagi-pagi sekali Ki Tejoranu berangkat ke barat untuk menyusul gadis Cina itu, hampir yakin bahwa gadis itu tentu adiknya karena pada waktu itu langka menemukan seorang gadis Cina di pedalaman. Kalaupun ada wanita Cina, yang belum begitu banyak, mereka itu tentu berada di kota-kota di pesisir utara.

Selagi dia berjalan sambil dengan teliti memandang ke sekeliling untuk menemukan jejak adiknya, dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Ki Tejoranu cepat menyelinap di balik pohon besar untuk mengintai siapa yang datang itu. Dia melihat lima orang menunggang kuda lewat di jalan yang kasar itu. Mereka adalah dua belas orang perajurit yang dipimpin dua orang laki-laki tinggi besar berpakaian mewah.

Yang mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat seorang wanita di antara mereka. Wanita itu pun menunggang kuda, diapit oleh dua orang pemimpin pasukan. Melihat wanita itu berwajah sedih, bahkan jelas tampak bahwa ia habis menangis, kedua matanya agak merah membengkak, hati Ki Tejoranu tertarik. Timbul jiwa kependekarannya. Dia mencium keadaan yang tidak wajar, tentu ada yang tidak beres dalam rombongan itu. Siapa tahu, wanita itu membutuhkan pertolongan. Maka Ki Tejoranu cepat berlari mengikuti rombongan berkuda itu. Jalan itu memasuki sebuah hutan.

Matahari mulai naik tinggi dan Ki Wirobente yang memimpin pasukan bersama Ki Wirobandrek mengantar Nyi Lasmi ke Kerajaan Wura-wuri, memberi aba-aba untuk berhenti. Dia memerintahkan berhenti ketika melihat Nyi Lasmi tampak lemas dan duduknya mulai miring-miring hampir jatuh.

"Kita berhenti mengaso di sini. Nyi Lasmi, turunlah, Andika boleh beristirahat menghilangkan lelah." katanya kepada Nyi Lasmi. Dengan tubuh lemas karena kelelahan dan kelaparan, Nyi Lasmi turun dari atas punggung kudanya dan terkulai, duduk mendeprok di atas tanah.

Wirobandrek lalu menghampiri Nyi Lasmi yang masih duduk mendeprok di atas tanah, menjulurkan tangan menawarkan tempat minuman dan sebungkus makanan.

"Nih, makan dan minumlah dulu, Nyi Lasmi, agar engkau tidak lemah dan sakit."

Akan tetapi Nyi Lasmi menggeleng kepalanya. "Biarkan aku mati saja, aku tidak ingin menjadi sandera untuk memancing Anakku...."

"Kakang Bento, kalau perempuan ini tidak mau makan dan mati kelaparan di jalan, kita tentu akan dipersalahkan oleh Tumenggung Suramenggala."

"Benar, Adi Bandrek. Gusti Adipati Linggawijaya tidak akan mengampuni kita. Maka, paksa saja ia makan!"

KI WIROBENTO lalu memegang kedua lengan Nyi Lasmi, ditelikung ke belakang dan Ki Wirobandrek mulai memaksa Nyi Lasmi makan dengan menjejalkan nasi ke mulut wanita itu. Nyi Lasmi mengatupkan mulutnya dan membuang muka ke kanan kiri untuk menghindarkan jejalan makanan pada mulutnya.

Ki Tejoranu marah sekali melihat hal ini. Akan tetapi sebelum dia melompat keluar untuk menolong wanita itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Orang-orang jahat!"

Dan berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu muncul seorang gadis berpakaian serba biru. Sekali pandang saja orang dapat mengetahui bahwa ia tentu seorang gadis Cina. Hal ini dapat dikenal dari bentuk pakaiannya, dan gelung rambutnya ke atas. Gadis ini berusia sekitar dua puluh tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis, berkulit putih kuning. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Begitu muncul, gadis itu telah melompat dekat Nyi Lasmi dan cepat sekali tangan kanannya menghantam ke arah tubuh Wirobento dan kaki kirinya menendang ke arah tubuh Wirobandrek. Dua orang jagoan Wengker ini bukan orang lemah. Melihat betapa pukulan dan tendangan itu mendatangkan angin serangan yang kuat, mereka maklum bahwa mereka diserang seorang yang digdaya, maka mereka cepat berlompatan ke belakang untuk mengelak. Gadis itu lalu berkata dengan suara nyaring namun ucapannya cadel (pelo).

"Bibi, jangan takut! Aku akan menghajar mereka!"

Setelah berkata demikian, gadis Cina itu sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar berkelebat ketika pedangnya tercabut. Ki Tejoranu membelalakkan matanya yang sipit. Jantungnya berdebar kencang dan hatinya merasa terharu sekali. Sukar untuk mengenali gadis Cina itu, akan tetapi dia masih teringat bahwa mata dan mulut gadis itu adalah mata dan mulut The Kim Lan, adik perempuannya yang ketika mereka berpisah masih merupakan seorang gadis remaja cilik berusia tiga belas tahun. Tentu saja dia tidak berani menegur gadis itu sebagai adiknya, takut kalau kalau dugaannya salah, maka dia hanya mengintai saja dan siap siaga kalau-kalau gadis itu
membutuhkan bantuan.

Dua orang kakak beradik jagoan Wengker itu marah bukan main ketika mereka melihat seorang gadis asing menyerang mereka. Melihat gadis itu sudah mencabut pedang, Ki Wirobandrek berteriak kepada anak buahnya.

"Perempuan bosan hidup berani mencampuri urusan kami! Kawan-kawan, bunuh perempuan itu!"

Dua belas orang perajurit Wengker yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis itu segera mencabut golok mereka dan mereka maju menghampiri gadis itu. Gadis Cina itu tidak ingin Nyi Lasmi ikut terkepung sehingga membahayakan keselamatannya, maka ia berlari menjauhi sehingga ketika ia terkepung, Nyi Lasmi tidak ikut dikepung, ia berdiri dengan gagahnya dalam kepungan dua belas orang itu, berdiri dengan kedua kaki agak terpentang dan kedua lutut ditekuk, tangan kiri terbuka dan lurus miring di depan dada, sedangkan pedang di tangan kanan melintang di atas kepalanya. Tubuhnya tidak bergerak, akan tetapi sepasang matanya yang tajam itu mengerling ke kanan kiri. Sikapnya tenang seolah ia sama sekali tidak gentar menghadapi pengepungan selosin perajurit Wengker itu.

Ki Tejoranu mengenal sikap itu sebagai kuda-kuda ilmu pedang Siauw-lim-pai, maka semakin yakinlah hatinya bahwa gadis itu tentu adiknya yang sedang dia cari-cari. Bukankah Tan Sek menceritakan bahwa adiknya itu telah berguru kepada seorang hwesio Siauw-lim-pai? Tiba-tiba, dua orang pengepung yang berdiri di belakang gadis itu, setelah mendapat isyarat kedipan mata dan Ki Wirobento, segera menggerakkan golok menyerang gadis itu dari belakang, tanpa memberi peringatan. Dua batang golok menyambar, yang satu membacok kepala, yang kedua menusuk punggung!

Akan tetapi gadis itu agaknya telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Biarpun kedua matanya tidak dapat melihat datangnya penyerangan dari belakang, namun pendengarannya yang sudah terlatih tajam, dapat menangkap gerakan serangan Itu. Tubuhnya tiba-tiba membalik, pedangnya berkelebat bagaikan kilat menyambar.

"Cring... trangg....!"

Bunga api berpijar dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh karena setelah pedang tadi menangkis golok mereka, pedang itu mencuat dengan kecepatan kilat dan tidak terduga-duga, merobek baju dan kulit dada mereka sehingga tergores panjang, cukup dalam sehingga mereka terluka parah.

Sepuluh orang perajurit yang lain menjadi marah dan mereka segera menyerbu dan menyerang membabi-buta dan tidak teratur lagi. Dengan kacau mereka membacok dengan golok mereka. Akan tetapi tiba-tiba mereka menjadi bingung karena tubuh gadis yang mereka keroyok itu berkelebatan amat cepatnya, merupakan bayang-bayang biru yang berkelebatan terlindung gulungan sinar pedangnya yang seperti kilat. Terdengar suara berkerontangan berulang-ulang disusul golok-golok terpental dan tubuh para pengeroyok berpelantingan! Lima orang pengeroyok roboh dan sisanya, lima orang lagi menjadi gentar.

Melihat ini, Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek berseru nyaring dan mereka berdua sudah menerjang maju membantu para anak buah yang tinggal lima orang itu. Ki Wirobento sudah menggerakkan pecutnya yang ujungnya dipasangi paku-paku atau besi-besi kecil yang runcing tajam. Hebat sekali senjata ini, yang menyambar-nyambar dahsyat. Sementara itu, Ki Wirobandrek menggunakan senjata andalannya yang merupakan senjata pusaka para warok, yaitu sepasang ujung kolor berwarna merah. Ujung kolor yang lemas ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena sudah dirajah (dipasangi mantra) dan mengandung racun yang amat kuat.

Setelah dua orang jagoan Wengker ini maju mengeroyok dan senjata mereka bergulung-gulung sinarnya, menyambar dengan dahsyat dari semua jurusan, gadis itu tampak kaget dan mulailah ia terdesak dan main mundur walaupun putaran pedangnya membentuk gulungan sinar yang melindungi tubuhnya. Biarpun dua orang jagoan Wengker dan sisa anak buahnya yang tinggal lima orang itu sukar untuk dapat menembus perisai gulungan sinar pedang itu, namun gadis itu pun sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk balas menyerang. Melihat ini, Ki Tejoranu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Dia melompat keluar sambil mencabut siang-to (sepasang golok) dan berseru dengan nyaring.

"Adikku, jangan khawatir. Aku datang membantumu!"

Ucapan itu menggunakan bahasa Cina. Gadis itu cepat melompat ke belakang dan menoleh. Matanya yang tajam terbelalak dan mulutnya berteriak girang.

"Koko (Kakak) Jiauw Lan.....!"

Ki Tejoranu sudah menyerbu dan kini mereka berdua menyambut pengeroyokan tujuh orang itu. Setelah Ki Tejoranu maju, walaupun tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi daripada tingkat gadis itu, namun tentu saja Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek kini terkejut dan terdesak mundur. Bahkan dalam waktu singkat, dua orang anak buahnya sudah roboh lagi.

Maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi gadis Cina dan orang yang muncul membantunya itu, Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek lalu melarikan diri, diikuti dua belas orang anak buah mereka yang saling bantu dan kabur dengan kuda mereka.

Gadis itu tidak mengejar dan kini ia berhadapan dengan Ki Tejoranu, saling pandang dengan penuh perhatian. Kemudian, seperti digerakkan tenaga gaib, dua orang itu saling tubruk dan saling rangkul.

"Lan-ko (Kakak Lan).... ahh.... Lan-ko....!"

Gadis itu menangis dalam rangkulan Ki Tejoranu. Laki-laki itu pun tidak dapat menahan tangisnya, walaupun tanpa mengeluarkan suara. Laki-laki yang sudah tergembleng bertahun-tahun dalam kepahitan dan kesengsaraan itu tidak dapat menahan keharuan dan kebahagiaan hatinya dapat bertemu dengan adik kandungnya, hal yang sama sekali tidak pernah dia impikan!

"Kim Lan, Adikku....!"

Nyi Lasmi bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan heran. Ia tahu bahwa dua orang itulah yang telah membebaskannya dari tangan orang-orang Wengker tadi. Gadis Cina itu demikian gagah dan tangkas, mengingatkan ia akan Puspa Dewi, puterinya. Melihat betapa dua orang itu saling rangkul sambil menangis, ia merasa terharu pula walaupun ia tidak mengerti siapa mereka dan mengapa mereka menangis karena ia tidak dapat mengerti bahasa mereka. Yang jelas baginya adalah bahwa mereka orang-orang baik yang telah menolongnya.

Biarpun Ki Tejoranu atau The Jiauw Lan dan The Kim Lan, kakak beradik itu sedang tenggelam ke dalam kebahagiaan yang mengharukan namun mereka memiliki pendengaran dan perasaan yang sudah terlatih baik. Maka keduanya segera dapat mengetahui ketika Nyi Lasmi menghampiri mereka. Mereka saling melepaskan rangkulan dan Ki Tejoranu berkata lirih kepada Kim Lan dalam bahasa Cina.

"Adikku, nanti saja kita bicara tentang kita. Sekarang kita bicara dulu dengan wanita ini." Setelah berkata demikian, keduanya menghadapi Nyi Lasmi sambil menghapus air mata mereka dan tersenyum kepada Nyi Lasmi. Senyum yang tulus karena keduanya memang sedang merasa senang sekali dapat saling bertemu.

"Maafkan kami... karena kami hampir melupakan Andika... eh, perkenalkan, saya bernama Ki Tejoranu dan ini Adik kandungku, namanya The Kim Lan..." Ki Tejoranu memperkenalkan dirinya dan adiknya.

Nyi Lasmi terharu. Dua orang penolongnya ini sungguh aneh! Mereka malah minta maaf kepadanya!

"Saya yang minta maaf kepada Andika berdua, Kisanak, karena saya telah merepotkan Andika berdua. Andika telah menolong saya terlepas dari bahaya yang bagi saya lebih mengerikan daripada maut." Suara Nyi Lasmi tergetar. “Saya bernama Lasmi..." Baru sampai sekian Nyi Lasmi bicara, ia yang sejak tadi menahan diri sekuatnya kini tidak dapat menahan lagi dan ia terkulai dan pingsan dalam rangkulan The Kim Lan.

Ia tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul gadis Cina itu. Kelelahan yang luar biasa karena selama tiga hari sama sekali tidak makan, ditambah kekhawatiran dan ketegangan membuat ia pingsan setelah mendapat kebebasan.

"Koko, ia pingsan." kata Kim Lan sambil merebahkan tubuh Nyi Lasmi ke atas tanah.

Ki Tejoranu cepat memeriksa denyut nadi pergelangan tangan Nyi Lasmi.

"Hemm, kasihan sekali wanita ini, Lan-moi (Adik Lan). Menurut denyut nadinya, ia lemah sekali, agaknya ia menderita kelaparan, juga batinnya tertekan dan ketakutan. Engkau mempunyai sedikit makanan dan minuman?"

Kim Lan mengambil buntalan yang tadi ia tinggalkan di bawah pohon dan mengambil beberapa ketela merah bakar dan seguci air.

"Ini air bersih, Koko. Sebaiknya ia diberi minum, akan tetapi harus dibikin sadar dulu.".

"Engkau dapat melakukannya?"

Gadis itu mengangguk. "Aku pernah mempelajari beberapa ilmu pengobatan dari suhu (guru)."

Setelah berkata demikian, Kim Lan lalu menekan beberapa bagian tubuh Nyi Lasmi dengan jarinya sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), yaitu di antara pangkal ibu jari dan telunjuk, lalu di bibir atas tepat di bawah hidung, dan mengurut punggung. Sebentar saja Nyi Lasmi mengeluh dan membuka kedua matanya. Ia bergerak hendak bangkit. Kim Lan membantunya sehingga ia dapat duduk. Suara gadis Cina itu lembut akan tetapi cadel sekali sungguhpun cukup dapat dimengerti Nyi Lasmi.

"Bibi, tenangkan hatimu dan minumlah air ini lebih dulu."

Setelah berkata demikian, Kim Lan mendekatkan cawan yang sudah diisi air ke mulut Nyi Lasmi yang tidak membantah dan minum air di cawan itu sampai habis.

Ketika ia hendak bicara, Kim Lan mencegahnya. "Nanti saja kita bicara, Bibi. Sekarang, makanlah dulu ubi bakar ini. Maaf, kami hanya mempunyai makanan ini dan tidak memberi yang lebih baik. Bibi perlu makan agar menjadi kuat kembali."

Nyi Lasmi juga tidak membantah. Ia tahu benar bahwa gadis asing ini bermaksud baik, tadi telah menyelamatkannya. Apalagi perutnya memang lapar sekali, maka tanpa malu-malu lagi ia menerima ketela bakar itu dan memakannya. Setelah menghabiskan tiga potong ketela bakar dan minum lagi dua cawan air, Nyi Lasmi merasa sehat dan segar kembali. Ia memandang kepada dua orang kakak beradik itu, lalu menghela napas panjang dan berkata.

"Ah, orang-orang tadi sungguh kejam dan jahat...."

"Bibi yang baik, kami baru akan mengetahui apakah mereka itu benar-benar jahat kalau kami sudah mendengar bibi menceritakan siapa mereka dan mengapa mereka menawan Andika." Kata Ki Tejoranu.

Nyi Lasmi lalu menceritakan tentang penyerbuan orang-orang Wengker ke Karang Tirta, membunuh lurah dan sekeluarganya dan menculiknya. Ia tidak merasa perlu untuk menceritakan tentang bekas suaminya, Ki Suramenggala, hanya menceritakan bahwa ia tidak mau ketika hendak diselir seorang tumenggung di Wengker.

"Karena penolakanku itu, tumenggung itu menyuruh anak buahnya membawa aku ke Wura-wuri untuk diserahkan penguasa di sana."

"Akan tetapi, mengapa Bibi dibawa ke sana?" tanya Kim Lan yang sudah mengetahui pula akan adanya Kerajaan Wura-wuri.

"Karena Kerajaan Wura-wuri memusuhi anakku, maka agar aku dijadikan sandera untuk memaksa anakku menyerahkan diri. Aahhh, betapa jahatnya mereka itu, padahal mereka adalah bangsaku sendiri, sedangkan kalian yang bangsa asing begini baik kepadaku.”

Mendengar ini, Kim Lan dan Tejoranu bicara dalam bahasa Cina sampai beberapa lamanya, kemudian Ki Tejoranu berkata kepada Nyi Lasmi

"Bibi, kami tadi menanggapi pendapat Bibi tadi. Begini, Bibi Lasmi yang baik. Di bagian mana di dunia ini, bangsa apa pun juga, sama saja keadaannya. Ada yang baik, tentu ada pula yang jahat. Bangsamu, bangsa negara ini, banyak yang baik budi. Sedangkan bangsa kami, bangsa Cina, juga amat banyak yang jahat, bahkan jahat sekali. Ketahuilah bahwa kami berdua sampai merantau di negara ini karena melarikan diri dari kejaran orang-orang jahat sekali di negara kami. Yang jahat itu bukan bangsanya, Bibi, melainkan orangnya, pribadinya masing-masing tanpa melihat kebangsaannya. Memang sudah demikian semestinya di dunia ini, Bibi. Ada yang baik, pasti ada yang buruk, seperti ada terang pasti ada gelap. Kalau tidak ada baik, tidak ada pula sebutan buruk, sebaliknya kalau tidak ada buruk, juga tidak ada pula sebutan baik. Kalau terang terus, tentu tidak ada gelap, dan kalau gelap terus, juga tidak ada terang. Baik buruk itu saling mengadakan, dan kita manusia berhak untuk memilih, kalau memilih menjadi alat Thian (Tuhan) tentu prilakunya baik, sebaliknya, kalau memilih menjadi alat Setan, tentu prilakunya buruk atau jahat."

Nyi Lasmi memandang kagum. "Pendapat seperti itu keluar dari pikiran Nak Kim Lan ini? Semuda ini telah memiliki kebijaksanaan seperti itu, sungguh mengagumkan sekali!"

"Aih, Bibi, aku juga hanya mendengar dari apa yang diajarkan guruku, dan guruku itu seorang pendeta Buddha." kata Kim Lan yang sudah pandai menangkap arti ucapan bahasa daerah, akan tetapi kalau harus bicara yang panjang-panjang ia masih merasa kaku. Karena itu tadi ia minta kakaknya yang bicara karena kakaknya yang sudah tujuh tahun berada di Nusa Jawa tentu saja lebih fasih bicara bahasa daerah.

"Engkau murid seorang pendeta Buddha? Ah, di sini juga banyak pendeta Buddha dan pendeta Hindu. Akan tetapi sungguh menyedihkan, aku melihat banyak pendeta Buddha atau Hindu masih saja melakukan perbuatan yang buruk dan jahat."

Sekarang Ki Tejoranu sendiri yang menjawab langsung.
"Keadaan seperti itu pun sama saja, Terjadi di Cina, Negara kami, Bibi. Kalau di sini terdapat Agama Buddha dan Agama Hindu, di Cina terdapat Agama Buddha dan Agama To. Di sana juga
terdapat banyak para pemeluk kedua agama itu, bahkan juga Pendeta Buddha atau Pendeta To berprilaku sesat dan jahat! Kembali di sini bukan agamanya yang salah. Agama apa pun mengajarkan manusia untuk menjadi baik, saling tolong dan membangun dunia ini menjadi tempat yang indah tenteram penuh kedamaian dan kebahagiaan. Jadi yang jahat itu manusianya, oknumnya dan hal itu dapat terjadi kepada orang itu karena dia tidak menghayati agamanya, tidak menghormati agamanya, bahkan mencemarkan agamanya."

"Guruku pernah berkata kepadaku, Bibi," Kim Lan menyambung dengan ucapan yang cadel (pelo) akan tetapi cukup jelas. "Katanya, kalau ada seorang beragama Buddha melakukan pencurian, maka sesungguhnya dia itu bukan umat Buddha, melainkan maling yang mengaku-aku sebagai umat Buddha. Kalau ada orang beragama To melakukan kejahatan maka sesungguhnya dia bukan umat Agama To, melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku beragama To. Kalau dua orang itu benar-benar beragama Buddha, maupun Agama To atau agama apa pun juga, sudah pasti dia tidak melakukan kejahatan karena agamanya melarangnya melakukan kejahatan."

Nyi Lasmi mendengarkan dengan kagum. "Wah, mendengar kalian bicara, aku teringat akan puteriku. Anakku Puspa Dewi selain digdaya juga seringkali bicara tentang kehidupan dan kebenaran seperti itu."

"Aih, puteri Bibi juga seorang pendekar rupanya!" seru Kim Lan.

"Aku tahu bahwa di sini. seperti juga di Cina sana, terdapat banyak wanita yang sakti mandraguna dan gagah perkasa. Kalau begitu, bagaimana Bibi dapat ditawan penjahat? Apakah puteri Bibi tidak mampu mengalahkan mereka tadi?" tanya Ki Tejoranu.

"Hemm, kalau puteriku berada di Karang Tirta ketika para penjahat itu menyerbu, tentu mereka semua sudah roboh oleh Puspa Dewi. Sayangnya, ketika itu ia sedang pergi ke kota raja Kahuripan. Akan tetapi kalau ia pulang, tentu ia akan melakukan pengejaran dan mencariku."

Melihat Nyi Lasmi masih tampak lemas, The Kim Lan lalu berkata.
"Bibi Lasmi, sebaiknya Bibi mengaso dulu untuk memulihkan kekuatan tubuh Bibi. Maafkan kami, karena kami kakak beradik baru saling bertemu setelah berpisah selama tujuh tahun, sekarang ingin sekali kami membicarakan urusan pribadi kami."

Nyi Lasmi tersenyum dan mengangguk, lalu duduk bersandar pada sebatang pohon sambil memejamkan matanya. Hatinya yang kembali tenang, kelelahan, kantuk karena selama beberapa malam tidak dapat tidur, membuat ia sebentar saja tertidur.

Ki Tejoranu mengajak adiknya duduk agak menjauh dari Nyi Lasmi agar tidak mengganggu wanita yang sedang pulas itu. Ki Tejoranu lalu menceritakan semua pengalamannya sejak dia terpaksa melarikan diri menjadi buronan dari pengejaran para jagoan yang dikirim Bangsawan Bong untuk membalas dendam atas kematian puteranya, Bong Kongcu di tangannya. Dia menceritakan pula bahwa dia nyaris tewas di tangan gurunya sendiri, Pek I Kiam-sian (Dewa Pedang Baju Putih), Souw Kiat dan kedua orang paman gurunya bernama Gan Hok dan Giam Lun.

"Masih baik nasibku, karena Thian (Tuhan) masih melindungiku sehingga dalam keadaan terluka parah itu muncul Gusti Patih Narotama yang sakti sehingga aku dapat diobatinya sampai pulih kembali tenagaku." Dia menceritakan peristiwa itu dan Kim Lan mendengarkan dengan kagum. Setelah kakaknya berhenti bercerita, ia berseru kagum.

"Wah, hebat sekali Ki Patih Narotama itu, Lan-ko (Kakak Lan)! Kalau tidak ada dia, belum tentu hari ini aku dapat bertemu denganmu. Aku ingin sekali berjumpa dengan Ki Patih Narotama untuk menyampaikan sendiri terima kasihku."

"Hal itu mudah dilakukan, Adikku. Gusti Patih Narotama telah menerima aku sebagai seorang sahabat dan kalau kita pergi ke kota raja Kahuripan dan menghadapnya, tentu kita akan diterima dengan baik. Sekarang, ceritakan pengalamanmu sejak kita saling berpisah sampai hari ini kita bertemu di sini, Kim Lan."

Gadis itu lalu bercerita. Ketika rumah orang tua mereka diserbu orang-orangnya Bangsawan Bong dan ayah ibu mereka terbunuh, Kim Lan yang ketika itu berusia dua belas tahun melarikan diri dari pintu belakang dengan ketakutan. Ketika akhirnya ia dapat keluar dari dusun dan tiba di jalan dekat hutan, tiba-tiba ia melihat ada seorang laki-laki tinggi besar lari mengejarnya. Kim Lan menjadi ketakutan dan lari semakin kencang, akan tetapi sebentar saja laki-laki itu, seorang di antara para jagoan yang menyerbu rumahnya, dapat menangkapnya. Kim Lan meronta-ronta, namun ia tidak berdaya dan laki-laki itu sambil tertawa-tawa memondongnya sambil memuji kecantikan gadis cilik itu dengan kurang ajar. Tiba-tiba muncul seorang hwesio (pendeta Buddha) yang kepalanya gundul, berjubah longgar dan memegang sebatang tongkat pendeta. Menghadang di depan jagoan itu sambil minta agar penjahat itu melepaskan Kim Lan. Penjahat itu marah dan menyerangnya dengan golok, akan tetapi dengan mudah hwesio tua itu merobohkan si jagoan yang lari terbirit-birit meninggalkan Kim Lan.

Lanjut ke Jilid 016 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment