Ads

Wednesday, October 17, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 028

◄◄◄◄ Kembali

Kita tinggalkan dulu Nurseta yang sedang melakukan perjalanan mencari orang tuanya dan kita tengok keadaan di dusun Singojajar yang berada di kaki Pegunungan Semeru. Singojajar merupakan sebuah dusun yang tanahnya subur sekali sehingga kehidupan penduduk dusun sebagai petani cukup sejahtera, walaupun sederhana namun bagi mereka cukup adil dan makmur. Adil karena di antara mereka tidak ada yang kekurangan dan setiap kali ada yang didesak kebutuhan mendadak, mereka yang kelebihan selalu siap mengulurkan tangan membantu. Dan makmur bagi orang-orang bersahaja itu karena mereka telah dicukupi tiga kebutuhan pokok mereka, yaitu sandang pangan dan papan.

Di ujung dusun itu terdapat sebuah rumah yang sedang namun terawat baik dan tampak mungil dan kokoh, mempunyai halaman depan yang ditanami bunga-bunga dan pohon-pohon buah. Di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukupi luas. Ini adalah rumah tempat tinggal Ki Dharmaguna bersama isterinya, Endang Sawitri. Ki Dharmaguna adalah seorang pria tampan yang lemah lembut, sikapnya sederhana, ramah dan sabar. Usianya sekitar empat puluh lima tahun, namun rambutnya sudah bercampur uban karena selama setengah dari usianya dia mengalami banyak penderitaan batin. Isterinya Nyi Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik dan lembut pula, anggun dan gerak-geriknya gesit. Wanita ini berusia sekitar empat puluh tahun. Ia pun mengalami banyak penderitaan batin seperti suaminya sehingga walaupun ia tergolong cantik, namun sinar matanya sayu.

Riwayat suami isteri ini memang menyedihkan. Endang Sawitri adalah puteri tunggal dari Senopati Sindukerta, seorang di antara senopati terkenal dari Kahuripan, dan ia amat disayang orang tuanya. Ketika ia berusia tujuh belas tahun, gadis bangsawan ini saling jatuh cinta dengan Dharmaguna, seorang pemuda putera mendiang Ki Jatimurti, seorang pendeta yang miskin. Senopati Sindukerta dan isterinya tidak setuju mempunyai mantu seorang pemuda putera pendeta miskin. Mereka mendambakan mantu seorang priyagung (bangsawan tinggi) yang akan membuat puteri mereka hidup terhormat. Akan tetapi, hubungan cinta antara Endang Sawitri dan Dharmaguna sudah sedemikian kuatnya sehingga mereka berdua nekat minggat meninggalkan Kahuripan.

Senopati Sindukerta marah sekali kepada Dharmaguna yang dianggap menculik dan melarikan anak tunggalnya. Dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan pencarian, namun semua usahanya itu sia-sia belaka. Endang Sawitri dan Dharmaguna yang sudah menjadi suami isteri itu
melarikan diri dan bersembunyi dengan cara berpindah-pindah tempat.

Setahun kemudian, Endang Sawitri melahirkan seorang anak yang mereka beri nama Nurseta. Bahkan setelah mempunyai seorang anak, mereka tetap berpindah-pindah untuk menghilangkan jejak. Ketika Nurseta berusia tiga tahun, suami isteri ini tinggal di dusun Karang Tirta. Selama tiga tahun, sampai Nurseta berusia enam tahun, mereka hidup tenteram di Karang Tirta, tidak pindah-pindah lagi karena tidak terdapat tanda-tanda bahwa para utusan Senopati Sindukerta mencari mereka sampai ke dusun itu. Akan tetapi pada suatu hari, mereka mendengar bahwa Ki Lurah Suramenggala, lurah dusun Karang Tirta mengirim utusan ke Kahuripan untuk melaporkan kehadiran mereka kepada Senopati Sindukerta. Tentu saja suami isteri ini terkejut dan ketakutan. Mereka takut akan hukuman, dibunuh pun mereka tidak takut. Yang mereka takuti hanya kalau mereka sampai dipaksa untuk saling berpisah!

Maka, mendengar akan laporan Ki Lurah Suramenggala kepada Senopati Sindukerta, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menjadi ketakutan dan mereka berdua segera melarikan diri dari Karang Tirta. Setelah suami isteri ini merundingkan masak-masak, mereka sengaja meninggalkan anak mereka Nurseta yang telah berusia sepuluh tahun karena mereka tidak ingin anak mereka yang tercinta itu ikut menjadi buronan yang dikejar-kejar. Mereka meninggalkan Nurseta di Karang Tirta, lalu lari pindah ke lain dusun yang jauh. Karena ketakutan, mereka kembali berpindah-pindah dari dusun ke dusun, dari gunung ke gunung. Akhirnya, lima tahun yang lalu mereka sengaja melarikan diri ke kaki Gunung Semeru yang termasuk tapal batas antara Kahuripan dan Wura-wuri, bahkan masih termasuk wilayah Wura-wuri.

Mereka yakin bahwa para utusan Senopati Sindukerta pasti tidak akan mencari mereka ke dalam wilayah Wura-wuri! Mereka berdua merasa tenteram hidup di dusun Singojajar di kaki Pegunungan Semeru yang menjulang tinggi menembus awan itu. Hanya satu hal yang membuat mereka merasa berduka dan mereka berdua kerap kali menangis kalau teringat akan hal itu. Mereka dapat saling menghibur dan dalam kedukaan yang dipikul bersama itu, cinta kasih antara
suami isteri ini menjadi semakin kokoh. Yang membuat mereka berduka adalah kalau mereka teringat akan Nurseta, putera mereka.

Setelah merasa keadaan mereka kini aman, pada suatu hari, kurang lebih dua bulan yang lalu, Ki Dharmaguna mengutus pembantunya, Pakem, yang biasa membantunya bertani, untuk pergi melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Suami Isteri itu menyuruh Pakem untuk menemui Ki Tejomoyo di Karang Tirta dan minta keterangan kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka Nurseta.

Pada sore hari itu, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri duduk santai di pendopo rumah mereka, berhadapan terhalang meja di mana terdapat minuman air teh dan nyamikan (makanan kecii) keripik pisang yang tadi dihidangkan Nyi Endang Sawitri. Sambil makan nyamikan dan minum air teh, mereka bercakap-cakap. Memang sudah menjadi kebiasaan suami isteri ini, setiap sore setelah berhenti bekerja di sawah ladang, mereka minum teh dengan makanan kecil sambil bercakap-cakap. Akan tetapi sekali ini, wajah mereka tidak tampak tenang seperti biasanya kalau mereka duduk berdua seperti itu. Wajah mereka bahkan tampak tegang dan alis mereka berkerut.

"Kakangmas, mengapa Pakem belum juga pulang?"

"Itulah Diajeng, yang membuat aku tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari ini. Aku sungguh merasa heran mengapa sampai dua bulan Pakem belum juga pulang. Padahal menurut perhitunganku, jarak antara Singojajar ini dan Karang Tirta dapat ditempuh dengan berkuda selama setengah bulan, jadi pulang pergi hanya membutuhkan waktu satu bulan saja. Akan tetapi sampai hari ini, sudah hampir dua bulan dan dia belum juga datang. Aku khawatir terjadi sesuatu
yang buruk...."

"Kakangmas, bersabarlah jangan membayangkan yang buruk-buruk. Siapa tahu, Pakem mendengar bahwa anak kita itu telah pindah ke tempat lain sehingga pakem pergi mencarinya. Alangkah akan gembira dan bahagianya hati kita kalau Pakem pulang bersama anak kita!”

"Wah, kalau begitu memang bagus sekali, Diajeng. Mudah-mudahan saja perkiraanmu itu benar."

"Wah, kalau aku membayangkan pertemuan kita dengan Nurseta, Kakangmas! Apakah kita akan dapat mengenalnya? Seperti apa dia sekarang? Jantungku berdebar penuh ketegangan kalau aku ingat dan membayangkan pertemuan itu!"

"Dia tentu sudah dewasa sekarang, Diajeng. Ketika kita meninggalkannya, dia berusia sepuluh tahun, dan kurang lebih dua belas tahun telah lewat sejak kita lari dari Karang Tirta."

"Ah, dia sekarang tentu telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun! Telah dewasa. Siapa tahu dia telah mempunyai isteri dan anak, Kakangmas!" Suara wanita itu mengandung getaran keharuan.

"Hemm, kalau begitu engkau akan menjadi Eyang puteri (Nenek) dan aku menjadi Eyang kakung (Kakek)!" kata Ki Dharmaguna, sengaja berkelakar untuk menghibur hati isterinya.

Agak terhibur hati suami isteri itu membayangkan bahwa mereka akan bertemu dengan putera mereka tercinta. Kalau dahulu mereka meninggalkan Nurseta yang berusia enam tahun di Karang Tirta, hal itu mereka lakukan justru karena mereka mencinta putera mereka. Biarpun hati mereka hancur harus meninggalkan anak mereka, namun mereka terpaksa melakukannya karena mereka tidak ingin melihat anak mereka ikut menjadi buronan. Kalau mereka tertangkap, biarlah mereka berdua saja yang menerima hukuman dari Senopati Sindukerta. Anak mereka jangan sampai ikut tertangkap dan dihukum.

Selagi mereka termenung membayangkan peristiwa membahagiakan itu, tiba-tiba terdengar keluhan di halaman rumah. Mereka memandang dan suami isteri itu cepat bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Orang yang ditunggu-tunggu itu datang.

"Pakem....!" Nyi Endang Sawltri berseru. Mereka lalu menuruni pendopo untuk menyambut pembantu mereka itu.

Pakem melangkah menghampiri mereka. Mukanya bengkak-bengkak dan matang biru, langkahnya terhuyung setengah merangkak dengan menyeret kakinya, kedua lengannya tergantung mati.

"Pakem! Engkau mengapa....?" Ki Dharmaguna bertanya, terkejut bukan main.

Setelah tiba di depan suami isteri itu, Pakem berkata dengan napas terengah-engah dan suara terputus-putus,

"....Nurseta.... hidup.... saya... saya ditangkap.... disiksa.... aduhhh....!" Pakem terguling roboh dan ketika suami isteri itu memeriksanya, ternyata pembantu mereka itu tewas.

"Pakem...." KI Dharmaguna berjongkok memeriksa keadaan tubuh pembantunya dan mendapatkan kenyataan bahwa tubuh itu penuh dengan luka bekas siksaan. Bahkan kedua lengannya agaknya tidak dapat digerakkan karena patah-patah tulangnya! Sementara itu, Nyi Endang Sawitri yang mencium adanya ancaman bahaya, sudah lari memasuki rumah lalu keluar lagi sambil membawa sebatang tombak. Dahulu ia menerima latihan bersilat dengan tombak dari ayahnya yang senopati dan ahli bermain tombak.

Suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang ketika terdengar suara tawa menyeramkan dan dua orang memasuki halaman rumah mereka. Suami isteri itu memandang penuh perhatian. Tadinya mereka mengira bahwa tentu para pesuruh Senopati Sindukerta yang datang untuk menangkap mereka.

Akan tetapi Nyi Endang Sawitri tidak mengenal mereka, Yang seorang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh . brewok, rambutnya gimbal, wajahnya bengis dan kulitnya hitam. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali seperti seorang bangsawan. Usianya sekitar lima puluh lima tahun dan tangannya memegang sebatang cambuk bergagang gading. Orang kedua seorang laki-laki tampan gagah berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan pakaiannya juga mewah sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Orang ini tersenyum menyeringai dan matanya liar memandang wajah Nyi Endang Sawitri yang masih cantik menarik dengan bentuk tubuh yang ramping padat.

"He-he-he! Apakah Andika yang bernama Dharmaguna dan Endang Sawitri,, Ayah dan Ibu dari Nurseta?" tanya kakek itu dengan suaranya yang besar.

Mendengar kakek itu mengenal mereka dan putera mereka, Ki Dharmaguna menjawab. "Benar sekali. Andika berdua siapakah, Kisanak dan ada keperluan apakah Andika dating berkunjung?"

"Hemm, Dharmaguna! Kalau engkau ingin bertemu dengan Nurseta, ikutlah dengan kami!" kata Kakek itu.

"Dan engkau, Endang Sawitri, juga harus ikut!" kata pula kawannya yang muda, tampan, dan tinggi tegap, sambil tersenyum dan matanya mengamati Endang Sawitri dari kepala sampai ke kaki.

"Katakan dulu siapa kalian dan di mana anak kami Nurseta!" kata Endang Sawitri dengan sikap gagah sambil melintangkan tombaknya.

"Heh-heh-heh, kalian ikut sajalah kalau kalian tidak ingin anak kalian itu kami bunuh seperti pembantumu itu!" Kakek itu menuding ke arah jenazah Pakem yang masih menggeletak diatas tanah.

Wajah Dharmaguna menjadi gelisah mendengar ancaman kepada puteranya itu.
"Diajeng.... mari kita ikut mereka..!”

"Tidak!" Endang Sawitri berkata tegas "Aku tidak percaya kepada kalian berdua! Katakan dulu siapa kalian dan dimana adanya Anak kami!"

"Ha-ha, mau atau tidak mau kalian harus ikut dengan kamil" kata laki-laki yang muda dan dia sudah melangkah maju menghampiri Endang Sawitri sambil berkata kepada temannya yang tinggi besar brewok. "Paman, biarkan aku menangkap wanita Ini dan Andika menangkap yang pria!"

Setelah berkata demikian, laki-laki itu bergerak cepat hendak menubruk dan menelikung Nyi Endang Sawitri. Wanita itu menggerakkan tombaknya, menyambut lawan dengan tusukan tombaknya. Endang Sawitri pernah mempelajari ilmu tombak dari ayahnya, akan tetapi karena selama belasan tahun ia tidak pernah berlatih, maka gerakannya kurang kuat dan kurang cepat. Padahal, lawannya adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Maka, sambil terkekeh dia miringkan tubuh mengelak. Ketika tombak lewat, dia menangkap tombak itu, menarik dengan sentakan sehingga tubuh Nyi Endang Sawitri terhuyung ke depan. Tombak terampas dan lawan itu sudah merangkul dan memeluk tubuh Nyi Endang Sawitri sehingga wanita itu tidak mampu melepaskan dirinya lagi. la meronta-ronta.

“Keparat Lepaskan aku...., lepaskan .....!" Ia mencoba untuk melepaskan kedua lengannya yang ditelikung dan menyepak-nyepak dengan kakinya. Namun lawan terlampau kuat sehingga ia tidak berdaya sama sekali.

"Lepaskan isteriku!" Ki Dharmaguna membentak dan maju.

Akan tetapi sebuah tendangan kaki laki-laki yang lebih tua membuat tubuhnya terpental jauh. Sebelum dia bangkit lagi, dia pun sudah ditelikung oleh kakek tinggi besar brewok itu. Suami isteri ini ditangkap dan ditarik keluar dari halaman rumah. Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda dating diiringkan dua losin perajurit Wura-wuri. Melihat banyaknya orang yang menangkap mereka, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri maklum bahwa akan percuma saja melakukan perlawanan. Mereka hendak melihat apa yang selanjutnya yang akan terjadi. Orang-orang itu tadi mengatakan bahwa kalau mereka ikut dengan orang-orang itu, mereka akan dapat bertemu dengan Nurseta. Benarkah itu? Ada rahasia apa di balik paksaan untuk ikut itu? Dan Ikut ke mana? Mereka tidak membantah ketika disuruh memasuki kereta. Kereta lalu bergerak meninggalkan dusun Singojajar. Para penduduk yang keluar menonton berdiri dengan hormat ketika mengenal bahwa pasukan Itu adalah pasukan Wura-wuri.

APAKAH yang telah terjadi dengan Pakem, pembantu Ki Dharmaguna yang diutus ke Karang Tirta itu? Ternyata, setelah gagal menundukkan Nyi Lasmi, bahkan kemudian bekas selirnya itu dapat dibebaskan Ki Patih Narotama, Ki Suramenggala yang kini menjadi Tumenggung Wengker masih merasa penasaran sekali. Kebenciannya terhadap Ki Patih Narotama semakin mendalam. Dahulu, pengalamannya di Karang Tirta amat menyakitkan hatinya, karena dia merasa dipermalukan dan dihina, diusir dari dusun itu yang menjadi kampung halamannya. Maka, setelah orang-orangnya hanya berhasil membantai Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya dan Nyi Lasmi yang telah berada di tangannya itu akhirnya terlepas, dia tetap menyuruh kaki tangannya mengawasi dan memata-matai Karang Tirta. Maka, ketika Pakem yang menunggang kuda tiba di Karang Tirta, dua orang mata-mata dari Wengker itu mengetahuinya. Mereka mengintai dan melihat betapa pendatang asing itu berkunjung ke rumah Ki Tejomoyo.

Mereka menjadi curiga karena Tumenggung Suramenggala sudah menceritakan segala tentang Karang Tirta kepada para anak buahnya Itu. Mereka mengetahui bahwa rumah yang ditempati Ki Tejomoyo itu dahulunya merupakan rumah milik Tumenggung Suramenggala yang telah dirampas oleh penduduk Karang Tirta seperti rumah rumahnya yang lain. Dua orang mata-mata ini menjadi curiga dan ketika Pakem meninggalkan dusun Karang Tirta, di tengah jalan dia disergap dan ditangkap oleh kedua orang Wengker itu.

Pakem yang penduduk dusun itu menjadi ketakutan, apalagi ketika dua orang yang menangkapnya itu membentak sambil mengancam dengan golok yang ditempelkan pada lehernya.

"Engkau orang jahat yang hendak mengacau di Karang Tirta! Hayo mengaku siapa engkau dan dari mana engkau datang!"

Pakem yang dibawa ke sebuah hutan di luar dusun Karang Tirta gemetar ketakutan.
“Ampun, Denmas.... saya bukan penjahat...., saya hanya utusan...."

"Kalau bukan penjahat, cepat katakan siapa engkau, datang dari mana, siapa yang mengutusmu dan urusan apa yang kaulakukan! Awas, kalau engkau berbohong, golok ini akan minum darahmu!"

"Ampun, Denmas.... saya bernama Pakem, tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Saya bekerja pada Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, membantu mereka bertani. Saya diutus suami isteri itu untuk mengunjungi Ki Tejomoyo di dusun Karang Tirta..."

"Untuk urusan apa? Hayo katakan, cepatl" dua orang itu membentak.

"Saya.... saya disuruh bertanya kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka yang bernama Nurseta...."

Dua orang mata-mata itu terkejut. Mereka pernah mendengar nama ini. Nurseta yang kabarnya merupakan seorang pembela Kahuripan dan merupakan musuh besar Adipati Linggawijaya dan Sang Tumenggung Suramenggala.

"Hayo ikut dengan kami!"

"Ampun, Denmas.... saya mau dibawa ke mana? Saya harus pulang dengan cepat...."

"Plakk!" Muka Pakem ditampar sehingga dia terpelanting.

"Jangan banyak cerewet! Ikut saja dengan kami kalau engkau tidak ingin kami sembelih di slnil"

Demikianlah, Pakem lalu dibawa pergi dua orang mata-mata itu dan dihadapkan Tumenggung Suramenggaia. Ketika Tumenggung Suramenggala mendengar laporan anak buahnya, dia cepat melakukan perundingan dengan Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, dan Resi Bajrasakti. Setelah Tumenggung Suramenggala selesai bercerita tentang ayah ibu Nurseta yang tinggal di dusun Singojajar, Adipati Linggawijaya menepuk pahanya.

"Ah, bagus sekali kalau begitu! Kita tangkap orang tua Nurseta dan menggunakan mereka sebagai sandera dan umpan untuk memancing datangnya Nurseta ke sini. Kalau dia berani datang untuk menolong Ayah Ibunya, kita habiskan dia disini Dia merupakan penghalang besar bagi usaha kita untuk menghancurkan Kahuripan!"

"Akan tetapi kita harus berhati-hati, Kakangmas Adipati." kata Dewi Mayangsarl. "Dusun Slngojajar di kaki Gunung Semeru itu termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri. Kebetulan sekali kita sudah mengatur rencana kita. Aku dan Paman Resi Bajrasakti membawa pasukan pengawal berkunjung ke Wurawuri untuk berunding dengan Adipati Wura-wuri sedangkan Paduka pergi ke Kadipaten Parang Siluman dan Kadipaten Siluman Laut Kidul mengajak mereka bersekutu pula. Nah, aku akan menggunakan kesempatan kepergianku ke Wurawuri untuk bersama kadipaten itu menangkap Ayah Ibu Nurseta."

“Heh-heh, itu benar sekail!" kata Resi Bajrasakti. "Dan kita bawa Si Pakem itu untuk menjadi penunjuk jalan di mana tempat tinggal Dharmaguna dan Endang Sawitri itu!"

"Dan aku akan menyebar penyelidik untuk menyelidiki dimana adanya Nyi Lasmi sekarang. Sedapat mungkin tangkap pula Nyi Lasmi untuk memancing datangnya Puspa Dewi." kata Tumenggung Suramenggala.

"Memang sebaiknya begitu dan jangan dilupakan mengirim mata-mata ke Kahuripan untuk melihat gerak-gerik dan keadaan kerajaan itu." kata Adipati Linggawijaya.

Demikianlah, perundingan telah membuahkan rencana pembagian tugas. Adipati Linggawijaya akan mengunjungi Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Parang Siluman. Adapun Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti membawa dua losin orang perajurit pengawal, melakukan perjalanan ke Wura-wuri.

Pakem yang bernasib sial itu mereka bawa, menunggang kuda di tengah-tengah pasukan pengawal sehingga sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk melarikan diri. Kedatangan Dewi Mayangsari dan Resi Bajrasakti disambut dengan gembira dan penuh hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala. Mereka berdua disambut dengan pesta makan minum dan yang ikut menyambut adalah Tri Kala, yaitu Kala Muka, Kala Manik, dan Kaia Teja yang merupakan senopati-senopati tua dan setia dari Wura-wuri, juga Ki Gan-darwo yang merupakan senopati muda yang baru, juga diam-diam menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala. Ketika Dewi Mayangsari menyatakan keinginannya untuk mengajak Wura-wuri bersatu menghadapi Kahuripan, Nyi Dewi Durgakumala mendahului suaminya berkata dengan gembira.

"Wah, tentu saja kami sambut baik uluran tangan kerja sama itu. Memang kami sendiri juga ingin membalas dendam kepada Kahuripan dan kalau kita bersatu padu, tentu Kahuripan akan dapat kita hancurkan."

"Kami akan mempersiapkan semua barisan kami!" kata Adipati Bhismaprabha-wa yang memang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan.

"Heh-heh-heh, bagus, bagus! Keadaan kita akan menjadi semakin kuat karena Anakmas Adipati Linggawijaya juga sedang mengadakan hubungan kerja sama dengan Kadipaten Siluman Laut Kidul dan Kadipaten Parang Siluman." kata Resi Bajrasakti.

"Selain itu, kami masih membawa sebuah urusan yang juga amat penting dalam usaha kita melumpuhkan Kahuripan." kata Dewi Mayangsari.

Ia ialu menceritakan tentang Pakem yang mereka tawan, tentang Dharmaguna dan Endang Sawitri, ayah ibu Nurseta yang kini tinggal di daerah Wurawuri.

"Andika semua tentu telah mendengar nama Nurseta sebagai seorang sakti mandraguna yang setia membela Kahurip-an." kata Dewi Mayangsari. "Karena itu, kita harus menangkap suami isteri itu, menyandera mereka untuk memaksa Nurseta datang, lalu kita bunuh dia!"

"Wah, kami setuju sekalil" kata Nyi Dewi Durgakumala.

"Penangkapan itu harus segera dilaksanakan sebelum membocor dan mereka melarikan diri!"

Demikianlah, karena tidak ingin perangkapan itu gagal, Resi Bajrasaktl sendiri, dibantu Ki Gandarwo yang mewakili Wura-wuri, memimpin dua losin perajurit Wura-wurl dan Wengker pergi ke dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Rombongan ini membawa Pakem yang sudah terluka parah karena disiksa sebagai penunjuk jalan. Mula-mula Pakem yang melihat niat jahat itu, berkeras tidak mau menunjukkan jalan, akan tetapi dengan kejam Resi Bajrasaktl menyiksanya sehingga keadaannya payah sekali. Kedua tulang lengannya dipatahkan dan dia disiksa sehingga terpaksa dia mau menjadi penunjuk jalan. Setelah tiba di dusun Singojajar, Pakem dilepas dan disuruh jalan lebih dulu. Pakem menguatkan dirinya, berjalan setengah merangkak memasuki halaman rumah Ki Dharmaguna dan seperti telah kita ketahui, seteiah bertemu dengan Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, Pakem terkulai roboh dan tewas.

Kini Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri ditawan, dipaksa memasuki kereta dan kereta kini dijalankan keluar dari dusun Singojajar, dikawal dua losin orang perajurlt, yang terdiri dari selosin perajurlt Wengker yang mengawal Dewi Mayangsari berkunjung ke Wura-wuri, dan selosin perajurit Wurawuri sendiri.

Suami isteri itu duduk bersanding di dalam kereta. Mereka tidak dibeienggu, akan tetapi Ki Gandarwo duduk di depan mereka. Laki-laki muda tampan gagah yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala ini memang seorang yang berwatak mata keranjang dan sombong. Sebagai adik seperguruan Cekel Aksomolo, dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena diangkat menjadi senopati di Wura-wuri, dia tinggal di sana dan lebih lagi, dia dipilih Nyi Dewi Durgakumala sebagai kekasih gelapnya. Tentu saja Nyi Durgakumala yang sejak mudanya menjadi seorang wanita berwatak iblis cabul, tidak puas dengan suaminya, Adipati Bhismaprabhawa yang usianya sudah lima puluh tahun lebih. Maka ia mengambil Ki Gandarwo sebagai kekasihnya dan hal ini pun diketahui oleh Adipati Bhismaprabhawa.

Karena sudah mengenal benar siapa permaisuri barunya itu dan bagaimana wataknya, maka Adipati Wura-wuri ini pun tidak mengacuhkannya. Dia memang mengambil Nyi Dewi Durgakumala sebagai permaisurinya bukan hanya karena wanita itu amat cantik melainkan terutama sekali karena dia hendak memanfaatkan kesaktian wanita itu untuk memperkuat Kerajaan Wura-wuri.

Adapun Ki Gandarwo yang baru berusia dua puluh delapan tahun, mau dijadikan kekasih permaisuri yang usianya sudah lima puluhan tahun hanya karena dia menginginkan kedudukan di Wura-wuri. Tentu saja dalam hatinya, Ki Gandarwo tidak merasa puas dan karena wataknya memang mata keranjang, diam-diam dia selalu mencari wanita lain yang muda dan memang para wanita Wura-wuri banyak yang cantik manis.

Kini, duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, timbul gairah berahi Ki Gandarwo. Biarpun Nyi Endang Sawitri juga tidak muda benar, sudah empat puluh tahun usianya, akan tetapi la masih cantik menarik, bahkan dalam pandang mata laki-laki mata keranjang Ini, wanita yang kini duduk dalam kereta berhadapan dengannya, tampak jauh lebih menarik daripada Nyi Dewi Durgakumala yang sudah membosankan hatinya.

Memang demikianlah segala macam kesenangan, apa saja yang didapatkan dengan dasar nafsu, cepat atau lambat berakhir dengan kebosanan. Duduk berhadapan dengan Nyi Endang Sawitri, walaupun wanita itu duduk bersanding dengan suaminya, tidak membuat Ki Gandarwo merasa rikuh (sungkan). Dia tersenyum-senyum dan terkadang, kalau wanita itu memandang kepadanya, dia sengaja mengedipkan sebelah mata sebagai isarat, tanpa memperduiikan bahwa Ki Dharmaguna juga melihatnya!

Nyi Endang Sawitri merasa muak, akan tetapi karena ia maklum bahwa laki-laki kurang ajar di depannya ini amat digdaya dan ia bersama suaminya yang lemah sama sekali tidak akan mampu mengalahkannya, menahan rasa dongkolnya, bahkan ia menutupi perasaannya dan mengalihkan perhatian dengan bertanya.

"Kisanak, apakah maksud kalian mengatakan bahwa kalau kami ikut kalian, kami akan dapat bertemu dengan putera kami Nurseta?"

Mendengar pertanyaan ini, Ki Gandarwo tersenyum.
"Kalian ikut saja dan menaati semua perintah kami dan Nurseta pasti akan datang untuk menemui kalian."

"Tapi.... mengapa pembantu kami, Pakem, kalian bunuh?" Nyi Endang Sawitri bertanya.

"Hemm, dia tadinya keras kepala, tidak mau menunjukkan di mana kalian tinggal. Terpaksa kami siksa agar dia mengaku." jawab Ki Gandarwo, sama sekali tidak merasa malu, bahkan tersenyum bangga menceritakan hal itu. Sambil menahan kemarahannya, dan untuk tetap mengalihkan perhatiannya, Nyi Endang Sawitri bertanya lagi.

"Apakah... apakah kalian ini mengenal anak kami Nurseta?"

"Kenal...., kenal....!" kata Ki Gandarwo, tersenyum mengejek.

"Sahabat kalian?"

"Ya, sahabat baik, ha-ha, . sahabat baik sekali!"

"Tapi.... tapi di mana anak kami Nurseta? Apa dia baik-baik saja?"

"Ha-ha, dia baik-baik saja, nanti juga kalian akan bertemu dengan dia!"

"Tapi.... siapakah Andika? Siapakah kalian ini?" tanya Nyi Endang Sawitri sambil mengerutkan alisnya karena Ki Gandarwo membungkuk sehingga wajah laki-laki itu mendekatinya.

"Mau tahu aku siapa? Aku adalah Raden Gandarwo, Senopati Muda dari Kerajaan Wura-wuri! Kalau kaiian ingin selamat dan ingin bertemu Nurseta, kalian harus menaati semua perintahku. Nah, perintahku yang pertama, Nyi Endang Sawitri, engkau pindahlah duduk di sini, di sampingku." Sambil berkata demikian, Gandarwo menjulurkan tangan menangkap pergelangan tangan Endang Sawitri dan menariknya dengan sentakan kuat. Tubuh wanita itu tertarik dan ia terjatuh keatas pangkuan Gandarwo.

"Lepaskan aku" Endang Sawitri merenggutkan dirinya, namun Gandarwo merangkulnya.

"Jangan kurang ajar! Lepaskan Isteriku " Ki Dharmaguna berkata dan berusaha menarik isterinya lepas dari rangkulan Gandarwo. Akan tetapi kaki Gandarwo menendang ke arah laki-laki yang hendak membela isterinya itu.

"Bukk....l" Ki Dharmaguna terkena tendangan pada dadanya sehingga tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta yang masih berjalan perlahan

"Kakangmas....!" Endang Sawitri menjerit dan meronta dengan sekuatnya sehingga terlepas dari rangkulan Gandarwo. Ia segera melompat keluar dari dalam kereta, lalu membantu suaminya bangkit berdiri. Dharmaguna tidak terluka parah, hanya lecet-lecet karena terjatuh keluar kereta dan mukanya menyeringai karena perutnya terasa nyeri oleh tendangan tadi.

Lanjut ke Jilid 029 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment