Ads

Wednesday, October 17, 2012

Nurseta Satria Karangtirta Jilid 030

◄◄◄◄ Kembali

"Paman Dharmaguna, Bibi Endang Sawitri, dan engkau Nurseta, aku tidak mau mengganggu kalian keluarga yang baru saja berjumpa dan berkumpul kembali. Aku ingin melanjutkan perjalananku. Tadi secara kebetulan saja aku melihat Paman dan Bibi dianiaya penjahat-penjahat itu maka aku turun tangan menolong."

"Puspa Dewi, engkau hendak pergi ke manakah? Engkau berada di daerah Wura-wuri, apakah engkau... kini telah kembali ke Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton (Bunga Istana)?" tanya Nurseta sambil mengerutkan alisnya.

"Hemm, jangan menyangka dengan ngawur (sembarangan), Nurseta! Aku sudah tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuril Aku sedang mencari Adikku. Sudahlah, aku pergi. Paman dan Bibi, mohon pamit!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi meloncat jauh pergi dengan cepat seperti terbang.

"Gadis yang hebat!" Endang Sawitri memuji kagum.

"Engkau mengenalnya dengan baik, Nurseta?"

Nurseta mengangguk. Dia masih merasa heran mendengar Puspa Dewi mengatakan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Padahal Dewi Durgakumala amat saying padanya!

"Ah, kalau saja...." Endang Sawitri tidak melanjutkan.

"Mengapa, Ibu?" Nurseta bertanya.

Sebetulnya, Endang Sawitri hendak mengatakan "Kalau saja Puspa Dewi dapat menjadi isterimu!" akan tetapi ia menahan diri dan menjawab. "Sekarang ceritakan tentang Eyang Kakung dan Eyang Puteri, Nurseta."

"Ya, ceritakanlah, Nurseta. Apakah beliau masih marah kepada kami?" tanya puia Dharmaguna.

"Sama sekali tidak, Ayah dan Ibu. Agaknya terjadi kesalah pahaman antara Ayah dan Ibu dan Eyang Senopati. Beliau memang selalu mengerahkan perajurit untuk mencari Ayah Ibu, akan tetapi sama sekali bukan untuk menghukum. Sudah lama beliau memaafkan Ayah Ibu dan merasa kehilangan, merasa rindu dan Ingin mengajak Ayah Ibu pulang dan tinggal di Kahurlpan. Bahkan Eyang Puterl selalu menangis kalau teringat kepada Ibu."

"Aduh, Kanjeng Ibu.... ampunkan saya ...." Nyi Endang Sawitri menangis.

"Ah, siapa mengira bahwa kami dicari untuk diajak pulang dan dimaafkan?" kata Ki Dharmaguna. "Kami selalu melarikan diri karena takut kalau dipaksa saling berpisah dan mendapatkan hukuman. Kalau saja kami tahu, tentu kami tidak akan selalu berpindah-pindah tempat dan melarikan diri, bahkan terpaksa melarikan diri dan tinggal di dusun Singojajar yang termasuk wilayah Wura-wuri untuk menghindarkan pengejaran."

"Sudahlah, Ayah dan Ibu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan lagi. Sekarang semua penderitaan itu telah berakhir, baik penderitaan bagi Ayah Ibu maupun bagi Eyang Kakung dan Eyang Puteri. Mari Ayah Ibu saya antarkan pulang ke Kahuripan di mana Eyang Senopati sudah menunggu dengan penuh kerinduan. Kita pergunakan kereta Ini."

Dengan wajah berseri penuh kebahagiaan dan harapan, suami isteri itu naik ke dalam kereta dan Nurseta mengusirinya. Kereta dilarikan menuju Kahuripan. Di sepanjang perjalanan, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menghujani Nurseta dengan pertanyaan. Terpaksa Nurseta menceritakan semua pengalamannya sejak dia ditinggalkan mereka di Karang Tirta kurang lebih dua belas tahun yang lalu. Betapa dia menjadi kuli dan tukang kuda bekerja pada Ki Lurah Suramenggala sampai pada usia enam belas tahun dia diambil murid mendiang Empu Dewamur-ti, kemudian digembleng Bhagawan Eka-denta selama beberapa bulan. Dia menceritakan pengalamannya ketika membela Kahuripan dari ancaman pemberontakan Pangeran Hendratama yang didukung oleh empat Kerajaan Wura-wuri, Wengker, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Tentang pertemuannya dengan Senopati Sindukerta dan akhirnya dia mencari keterangan ke Karang Tirta.

"Saya mencari keterangan kepada Ki Tejomoyo yang menceritakan bahwa belum lama ini Ayah Ibu menyuruh seorang pembantu untuk mencari keterangan tentang diri saya kepada KI Tejomoyo pula. Dialah yang memberi tahu kepada saya bahwa Ayah Ibu kini tinggal di dusun Singojajar, maka saya lalu pergi ke dusun itu. Di sana saya mendapat keterangan bahwa Ayah Ibu dilarikan pasukan Wura-wuri dan Ki Pakem, pembantu Ayah Ibu, terbunuh. Maka saya lalu cepat melakukan pengejaran dan kita beruntung bahwa Puspa Dewi sudah lebih dulu menolong Ayah Ibu sehingga memudahkan saya untuk menyelamatkan Ayah Ibu dari tangan mereka."

Suami isteri itu merasa kagum mendengar pengalaman anak tunggal mereka. Mereka menghaturkan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi yang telah mengakhiri semua penderitaan mereka dengan pertemuan yang membahagiakan ini, apalagi mendengar bahwa Senopati Sindukerta berdua telah lama memaafkan mereka dan bahkan merindukan mereka untuk dapat berkumpul kembali di Kahurlpan.

Kereta dijalankan cepat dan langsung menuju Kahuripan. Ketika suami Isteri itu mengajak Nurseta singgah dulu di dusun Singojajar, pemuda ini tidak setuju, mengatakan bahwa mungkin kini pasukan Wura-wuri sudah menghadang di sana dan kalau mereka ke sana hanya akan menghadapi bahaya. Pula, mereka akan kembali ke gedung Senopati Sindukerta di mana segala kebutuhan mereka telah tersedia, maka semua harta milik mereka di Singojajar yang tidak seberapa Itu tidak perlu dibawa.

Setelah memasuki kota raja Kahuripan, Nurseta menjalankan keretanya langsung menuju gedung tempat tinggal kakeknya. Suami isteri yang berada di dalam kereta itu merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Mulut terasa kering. Ketegangan dan keharuan membuat tubuh mereka rasanya gemetar, apalagi ketika kereta memasuki halaman gedung yang luas itu. Bahkan Endang Sawitri sudah tidak dapat menahan turunnya air matanya melihat halaman gedung yang amat dikenalnya itu, tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan!

Ketika Nurseta menghentikan kereta di depan pendopo, beberapa orang perajurit penjaga dan pelayan segera menyambut. Ada yang memegangi kendali kuda, dan ada pula yang segera masuk untuk melapor kepada Senopati Sepuh Sinduker-ta. Nurseta menggandeng ibunya yang tampak lemas, bersama ayahnya mendaki anak tangga pendopo yang luas. Lalu terdengar jerit tangis dari dalam gedung dan Senopati Sindukerta bersama isterinya tampak keluar dan berlari-lari menyambut.

"Endang.... ah, Endang anakku....!"

"Kanjeng Ibu....!" Dua orang wanita itu sudah saling tubruk, saling rangkul sambil bertangisan.

"Kanjeng Ibu.... ah, Kanjeng Ibu....!" Endang Sawitri menjerit ketika tiba-tiba ibunya terkulai lemas dalam rangkulannya. Wanita tua itu jatuh pingsan saking hebatnya guncangan hati yang bahagia dan terharu itu.

Nurseta segera memondong tubuh neneknya dan mereka semua memasuki gedung. Sebentar saja isteri Senopati Sindukerta siuman kembali dan ia menangis saking gembiranya, menciumi pu-terinya. Endang Sawitri bersama Dharmaguna lalu berlutut merangkul kaki dan menyembah kepada Senopati Sindukerta dan isterinya.

"Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, hamba Dharmaguna mohon beribu ampun telah membuat Paduka berdua mengalami kedukaan." kata Dharmaguna.

Ki Senopati dan Nyi Senopati mengangkat bangun suami Isteri itu.
"Sudahlah, sudah lama kami maafkan kalian. Kami sendiri juga merasa bersalah telah membuat kailan menderita. Untung Cucu kami Nurseta ini datang mencari kami. Kami sudah hampir putus asa untuk dapat berkumpul kembali dengan kalian."

Seluruh penghuni gedung senopaten itu, termasuk para perajurit pengawal dan para abdi, bergembira. Senopati Sindukerta bahkan mengadakan pesta sekeluarga dan para pembantu untuk menyambut kembalinya puteri dan mantu mereka. Sambil berpesta, Nurseta harus menceritakan pengalamannya ketika menemukan orang tuanya. Kemudian Dharmaguna dan Endang Sawitri mendapat giliran menceritakan semua pengalaman mereka selama dua puluh tiga tahun menjadi orang-orang pelarian Itu. Untuk melepaskan kerinduan, mulai hari itu, Senopati Sindu-kerta melarang puteri, mantu, dan cucunya pergi meninggalkan dia dan isterinya. Setiap hari mereka berbincang-bincang dan tiada habisnya pengalaman yang dapat diceritakan.

Nurseta sendiri baru sekali ini merasakan kebahagiaan berkumpul dengan ayah, ibu, kakek, dan neneknya. Ketika mendengar akan pertolongan yang diberikan Puspa Dewi kepada puteri dan mantunya, Senopati Sindukerta berkata.

"Ah, gadis itu memang hebat! Bahkan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih sendiri berkenan menerimanya dan Sang Prabu Erlangga berkenan memberi hadiah patrem pusaka Sang Cundrik Arum kepada Puspa Dewi! Dan ternyata bahwa Puspa Dewi adalah puteri kandung Anakmas Senopati Muda Yudajaya, putera mantu Adi Tumenggung Jayatanu sahabat lamakul"

"Akan tetapi, Kanjeng Rama, bukankah Puspa Dewi itu puteri Nyi Lasmi, janda yang dulu tinggal di Karang Tirta?" tanya Endang Sawitri dengan heran.

"Benar!" Senopati Sindukerta mengangguk-angguk. "Nyi Lasmi itu adalah isteri pertama Anakmas Senopati Yudajaya yang dulu entah mengapa berpisah dari suaminya. Akan tetapi belum lama ini ia sudah diboyong kembali ke Tu-menggungan dimana Senopati Yudajaya tinggal bersama isterinya yang kedua, yaitu puteri Adi Tumenggung Oayatanu."

"Ah, kalau begitu-sekali waktu saya ingin mengunjungi Nyi Lasmi, karena dulu saya pernah tinggal sedusun dan mengenalnya dengan baik." kata Endang Sawitri.

Dua pekan kemudian, keinginan Endang Sawitri terkabul. Bahkan Senopati Sindukerta sendiri yang mengantar Endang Sawitri bersama suaminya, berkunjung ke gedung tumenggungan. Nurseta tidak ikut pergi karena pemuda ini selain tidak mempunyai urusan dengan keluarga Tumenggung Jayatanu, juga ingin berjalan-jalan di kota raja.

Kunjungan Senopati Sindukerta bersama anak dan mantunya menggunakan kereta itu disambut oleh sahabatnya, Tumenggung Jayatanu sekeluarga dengan gembira sekali. Memang dua orang tua Ini merupakan panglima-panglima yang setia dan besar jasanya, dan di antara mereka terdapat tali persahabatan yang karib.

"Kakang Senopati Sindukerta, selamat datang! Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan Andika!" sambut Tumenggung Jayatanu sambil mempersilakan tiga orang tamunya masuk ke ruangan tamu yang luas.

"Adi Tumenggung Jayatanu, aku ingin menguji kekuatan ingatan dan ketajaman pandanganmu. Nah, coba lihat siapa wanita yang kuajak datang berkunjung ini!" kata Senopati Sindukerta sambil menunjuk kepada Endang Sawitri yang tersenyum-senyum dan duduk dengan anggunnya di samping suaminya.

Tumenggung Jayatanu mengamati wajah Endang Sawitri, tampak ragu. Melihat ini, Endang Sawitri merasa kasihan dan membantu orang tua yang dulu sudah dikenalnya dengan baik sebagai sahabat karib ayahnya.

"Paman Tumenggung, benarkah Paman telah lupa kepada saya?"

Melihat senyum itu, Tumenggung Jayatanu melebarkan matanya dan menepuk dahinya. "Ah, Endang Sawitri! Bukankah engkau Endang?"

"Benar, Paman."

"Ha-ha-ha, kiranya engkau sudah pulang! Wah, Ayah Ibumu setengah mati mengharapkan engkau pulang! Sukurlah, aku merasa ikut berbahagia dengan kepulanganmu!"

"Adi Tumenggung, ini adalah mantu kami, Dharmaguna." Senopati Sindukerta memperkenalkan mantunya, Dharmaguna lalu merangkap kedua tangan ke depan hidung sebagal sembah penghormatan,

"wah, Anakmas Dharmaguna, senang dapat berkenalan dengan Andika. Andika berdua Endang adalah orang tua yang berbahagia, mempunyai putera seperti Nurseta yang sakti mandraguna dan berjasa besar terhadap Kahuripan! Kalau begitu, sebentar, aku harus mengundang keluargaku untuk bertemu dan berkenalan dengan kalian Kami sekeluarga juga mempunyai kejutan untukmu, Kakang Senopati I"

"Benarkah?" Senopati tersenyum. Sebetulnya dia telah mendengar akan "kejutan" yang hendak dipamerkan sahabatnya itu, .ialah bahwa Puspa Dewi yang terkenal itu adalah cucunya, walaupun hanya cucu tiri dan bahwa Ibu kandung Puspa Dewi, Nyi Lasmi, kini telah tinggal bersama keluarganya di tumenggungan itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu agar tidak mengurangi rasa bangga dan gembira sahabatnya.

Tumenggung Jayatanu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi diikuti Nyi Tumenggung, Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, yaitu Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih. Begitu saling pandang, Dyah Mularsih dan Endang saling menghampiri

"Mbakayu Endang....!!"

"Kau.... Dyah Mularsih!" Dua orang wanita itu saling berpelukan. Dulu mereka memang menjadi sahabat baik, sungguhpun Endang Sawitri lebih tua sekitar empat tahun. Setelah saling berpelukan dan berciuman, Endang Sawitri memandang ke arah Nyi Lasmi yang juga memandangnya dengan mata dilebarkan. Mereka saling pandang, saling senyum, lalu keduanya saling menghampiri.

"Lasmi.... Andika Lasmi yang pernah tinggal di Karang Tirta?"

Nyi Lasmi tersenyum.
"Mbakayu Endang Sawitri! Tidak kusangka kita akan dapat saling bertemu di sini!" kedua orang wanita Ini saling berpegang tangan.

"Wah, kalian sudah saling mengenai?" tegur Tumenggung Jayatanu heran.

"Paman Tumenggung, Adik Lasmi ini dulu menjadi tetangga saya ketika kami sama-sama tinggal di Karang Tirta."

Ki Tumenggung Jayatanu lalu memperkenalkan mantunya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya kepada Dharamaguna dan Endang Sawitri. Kemudian dua keluarga itu bercakap-cakap diruangan dalam sambil menikmati hidangan yang disuguhkan Nyi Tumenggung.

SETELAH selesai makan, Endang Sawitri mengajak Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih untuk bicara bertiga di ruangan terpisah. Nyi Tumenggung juga ikut setelah berkata sambil tertawa.

“Ai, aku pun ikut dengan kalian bertiga. Biarlah kita para wanita bicara di dalam dan para pria bercakap-cakap di sini!"

Maka masuklah mereka berempat ke dalam, sedangkan Tumenggung Jayatanu dan mantunya, Senopati Yudajaya mengajak dua orang tamunya, Senopati Sindukerta dan mantunya, Dharmaguna, bercakap-cakap di ruang tamu. Dalam percakapan yang santai dan akrab, Endang Sawitri secara ramah menyatakan pendapatnya, setelah mereka saling menceritakan tentang anak masing-masing. Lasmi bercerita tentang puterinya, Puspa Dewi, sedangkan Endang Sawitri bercerita tentang Nurseta.

"Nurseta dan Puspa Dewi juga sudah saling mengenal dengan baik. Keduanya berjasa besar terhadap Kahuripan. Keduanya sama-sama murid orang-orang sakti mandraguna. Aku sendiri bersama suamiku telah diselamatkan oleh Puspa Dewi, dan kami berterima kasih sekali. Kami berdua juga melihat betapa serasinya dua orang Anak kita itu, Adik Lasmi. Alangkah baiknya dan alangkah akan berbahagia hati kami kalau saja Anak kami Nurseta dapat dijodohkan dengan
puterimu Puspa Dewi! Bagaimana pendapatmu?"

Nyi Lasmi tersenyum dan wajahnya berseri, akan tetapi ia lalu menoleh dan memandang kepada ibu mertuanya.
"Wah, Mbakayu Endang Sawitri, aku pribadi merasa senang dan setuju saja. Akan tetapi hal ini tidak dapat kuputuskan sendiri. Harus lebih dulu mendapat persetujuan dari Puspa Dewi sendiri, lalu dari Ayahnya, juga tentu saja restu Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama Tumenggung!"

"Aku juga setuju!" tiba-tiba Dyah Mularsih berkata sambil tersenyum. "Kalau Anakku Puspa Dewi menjadi mantu Mbakayu Endang, berarti kita berbesan dengan Mbakayu Endang, dan ini menyenangkan sekali, Mbakayu Lasmi!"

Nyi Tumenggung berkata tenang. "Lasmi tadi berkata benar. Sebelum keputusan diambil, hal ini harus mendapat persetujuan Puspa Dewi sendiri, juga Ayahnya dan Eyangnya. Kalau aku sih menurut dan setuju saja atas pendapat suamiku."

"Terima kasih, Bibi Tumenggung! Hati saya sudah merasa bahagia sekali mendengar bahwa Paduka setuju dan kedua Adik yang menjadi Ibu Puspa Dewi ini juga setuju. Akan tetapi tentu saja harus mendapatkan persetujuan Ayah dan Eyang Puspa Dewi, terutama dari ia sendiri. Yang saya kemukakan ini pun bukan lamaran resmi, hanya menyatakan hasrat hati saya."

"Mbakayu Endang, apakah Andika sudah membicarakan hal ini kepada suami Andika dan kepada Paman Senopati Sindukerta?"

Endang Sawitri mengangguk. "Mereka juga amat setuju dengan usulku ini."

"Juga sudah disetujui Nurseta?" tanya Nyi Lasmi.

"Wah, kalau ini beluml Aku belum mengajak Nurseta bicara tentang hal ini. Akan tetapi setelah pulang, aku akan mengajak dia bicara tentang perjodohannya."

"Sayang sekali, Puspa Dewi masih belum pulang sehingga tidak dapat kami ajak bicara tentang hal ini." kata Lasmi.

Setelah beramah-tamah, para tamu itu pulang dengan hati senang. Setelah tiba di gedung tempat tinggalnya, malam itu juga Endang Sawitri dan suaminya, Ki Dharmaguna, mengajak Ki Senopati Sindukerta dan isterinya, membicarakan tentang usul perjodohan itu dengan Nurseta. Sehabis makan malam bersama, keluarga itu lalu bercakap-cakap di ruangan dalam dan Endang Sawitri membuka percakapan tentang perjodohan itu.

"Anakku Nurseta, ingatkah engkau berapa usiamu sekarang?"

Mendengar pertanyaan Ibunya, Nurseta menatap wajah Ibunya dan tersenyum. "Kalau tidak keliru, umur saya dua puluh dua tahun, Ibu. Mengapa Ibu bertanya tentang usia?"

"Nurseta, maksud Ibumu, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun seperti engkau Ini sudah sepantasnya kalau menikah" kata Dharmaguna membantu isterlnya.

"Benar sekali itu!" sambung Nyi Sindukerta. "Aku pun sudah ingin sekali menimang seorang cucu. Eyang Kakungmu juga begitu, Nurseta!"

"Ha-ha-ha!" Senopati Sindukerta tertawa. "Nurseta, sekarang engkau didesak Ayah Ibu dan Eyang puterimu. Nah, katakan, apakah engkau telah mempunyai pilihan hati, seorang gadis yang engkau ingin menjadi jodohmu?"

Nurseta tertegun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa orang-orang tua itu secara serentak mendesaknya mengenai urusan perjodohan!

"Akan tetapi.... sama sekali saya belum pernah memikirkan tentang perjodohan...!' katanya agak tergagap.

"Nah, kalau begitu sekarang engkau harus mulai memikirkan, Nurseta!" kata Endang Sawitri. "Katakanlah, siapa gadis yang hendak kau pilih? Kami yang mengajukan pinangan!"

Nurseta menggeleng kepalanya. "Tidak ada, Ibu. Saya belum pernah memilih, belum pernah memikirkan hal itu...."

Ketika mengatakan hal itu, dalam ingatan Nurseta terbayanglah wajah-wajah gadis yang pernah dia jumpai semenjak dia dewasa. Yang pertama adalah Puspa Dewi, yang bukan saja telah dikenalnya sejak dia remaja dan tinggal di Karang Tirta, kemudian dia berjumpa lagi dengan Puspa Dewi setelah mereka sama sama dewasa, bahkan sama-sama menjadi orang muda yang digdaya dan sama-sama pula membela Kahuripan. Kemudian dia bertemu dengan tiga orang selir Pangeran Hendratama dan terutama sekali selir termuda bernama Widarti yang tampaknya menaruh cinta kepadanya dan gadis itu kini telah tewas. Kemudian, ketika menolong penduduk Karang Sari dan gangguan perampok, dia hendak diambil mantu Ki Lurah Warsita, Lurah Karang Sari untuk dijodohkan dengan anak gadisnya, yaitu Kartiyah yang hitam manis, namun ditolaknya. Banyak pula dia bertemu gadis gadis cantik yang tidak mempunyai persoalan apa pun dengan dirinya, akan tetapi selama ini dia belum pernah tertarik kepada seorang di antara mereka. Maka ketika kini ayah ibunya dan kakek neneknya mendesaknya, dia menjadi bingung.

"Nurseta, engkau mengenal Puspa Dewi, bukan?"

Nurseta menatap wajah Ibunya. "Puspa Dewi? Tentu saja, Ibu. Saya mengenalnya sejak remaja di Karang Tirta dulu."

"Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?" desak Ibunya.

"Pendapat saya mengenai apanya, Ibu?" Nurseta bertanya, belum dapat menangkap apa yang tersirat dalam pertanyaan ibunya itu.

"Segalanya tentang Puspa Dewi. Kecantikannya, kedigdayaannya, wataknya." Endang Sawitri mengejar.

"Ahh.... itu? Hemm, ia seorang gadis yang cantik. Ia pun digdaya, berilmu tinggi walaupun agak ganas.... akan tetapi saya kira sekarang sudah tidak begitu ganas lagi. Dan ia gagah dan baik, berjasa besar membela Kahuripan, Ibu."

"Jadi engkau menganggap ia seorang gadis yang baik?"

"Benar, Ibu."

"Pendapatmu itu benar! Dan lebih dari itu, Puspa Dewi adalah cucu Paman Tumenggung Jayatanu yang terkenal gagah perkasa dan setia kepada Kahuripan, Ayahnya adalah Senopati Yudajaya dan Ibunya adalah Nyi Lasmi yang dulu menjadi sahabatku ketika kita tinggal di Karang Tirta. Nah, ia sungguh cocok untuk menjadi cucu mantu Eyangmu, tepat untuk menjadi mantu kami, dan serasi sekali untuk menjadi Isterimu!"

"Ah, Ibu....!" Wajah Nurseta berubah kemerahan.

Pernyataan ini sungguh terlalu tiba-tiba datangnya dan sama sekali tidak pernah diduganya, membuat dia merasa malu, sungkan, dan salah tingkah.

"Ibumu benar, Nurseta! Puspa Dewi akan merupakan seorang isterl yang cocok sekali bagimu." kata Senopati Sin-dukerta.

”Tidak usah malu-malu, Nurseta. Katakan bahwa engkau setuju dan kami akan segera mengajukan pinangan." kata KI Dharmaguna.

Melihat puteranya masih menundukkan muka dan diam saja, Endang Sawitrl mendesak. "Jawablah, Nurseta, agar kami dapat segera mengajukan pinangan. Aku khawatir kalau didahului orang karena Puspa Dewi juga sudah dewasa."

"Ibu, kalau sampai pinangan ditolak, saya akan merasa malu sekali...."

"jangan khawatir! Aku sudah membicarakan dengan Nyi Lasmi, Dyah Mularsih, dan Bibi Tumenggung dan mereka bertiga setuju sekali!"

"Akan tetapi bagaimana kalau Puspa Dewi menolak? Ia seorang gadis yang cantik, pandai, bangsawan dan angkuh, sedangkan aku...."

"Hushh, jangan merendahkan diri sendiri. Engkau memiliki banyak kelebihan, Nurseta. Jadi engkau setuju kalau kami meminang Puspa Dewi untuk menjadi jodohmu?"

Nurseta dapat menangkap harapan dan hasrat yang besar dan kuat sekali dalam ucapan ibunya, dan dia melihat pula sikap ayahnya, kakek dan neneknya semua mendukung niat itu dengan sangat, maka dia merasa tidak enak kalau menolak begitu saja. Pula, dia harus mengakui bahwa mendapatkan jodoh seorang gadis seperti Puspa Dewi merupakan hal yang luar biasa sekali. Tidak mudah mendapatkan gadis sehebat Puspa Dewi. Cantik jelita, sakti mandraguna, berdarah bangsawan, baik budi yang dibuktikannya bahwa ia tidak membela gurunya yang juga ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala yang jahat, melainkan membalik dan membela Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Dia memang tidak atau belum tahu apakah dia jatuh cinta kepada Puspa Dewi. Yang terasa olehnya hanyalah kekaguman terhadap gadis itu. Akan tetapi dia pun tidak tega membuat kecewa ayah ibunya dan kakek neneknya, maka dia mengangguk dan menghela napas panjang.

"Ibu, saya hanya menyerahkan keputusannya kepada Ayah Ibu dan kedua Eyang saja."

Tentu saja para orang tua itu tidak dapat menyelami perasaan Nurseta karena pemuda ini sudah mampu mengendapkan semua perasaan hatinya sehingga wajahnya tidak membayangkan perasaannya. Mereka mengira bahwa pemuda itu setuju sepenuhnya namun merasa malu untuk mengakuinya.

Akan tetapi karena mendengar bahwa Puspa Dewi belum pulang, Ki Dharmagu-na dan Endang Sawitri masih menunggu. Mereka tidak akan mengajukan pinangan resmi sebelum gadis itu pulang karena mereka tahu bahwa jawaban pihak keluarga Tumenggung Jayatanu terhadap pinangan itu tergantung dari keputusan Puspa Dewi.

0000ooooo00000
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment