Ads

Saturday, November 24, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 001

◄◄◄◄ Kembali



"ADUH Kakangmas Pujo, telapak kakiku sakit, batu karang ini tajam runcing dan nakal, menggigit kakiku !'' keluhnya lalu mogok jalan, duduk di atas batu, jari-jari tangan kecil mungil halus mengusap sinom yang berjuntai di atas dahi, membasah oleh peluh. Alis hitam menjelirit mengerut, bibir yang merah membasah merengut.

Pujo berhenti melangkah dan menengok. Sejenak ia terpesona. Kartikosari telah sebulan lebih menjadi isterinya namun setiap saat ia masih saja terpesona akan kejelitaan isterinya. Amboi...bisik hatinya kagum. Di dunia ini tak mungkin ada keduanya, wanita seindah ini bentuk tubuhnya sekuning halus ini kulitnya, secantik jelita ini wajahnya. Dari ujung rambut yang hitam subur mengandan-andan dengan rambut sinom melingkar-lingkar di depan telinga dan atas dahi, sampai ke tumit kaki yang kemerahan, membuktikan kesempurnaan ciptaan Yang Maha Wenang
sebagai anugerah.

Pujo berjongkok di depan isterinya. Ia tersenyum lebar dan wajahnya yang tampan berseri-seri, matanya yang tajam bersinar-sinar. la maklum bahwa telah ''kumat'' lagi penyakit isterinya, yaitu penyakit manja yang muncul semenjak mereka menikah. Perjalanan menuju Laut Selatan ini memang tidak mudah, bahkan terlalu sukar bagi manusia biasa, harus mendaki Pegunungan Seribu, naik turun puncak dan jurang, menerjang rumpun duri dan alang-alang. Akan tetapi, isterinya bukanlah wanita biasa, melainkan seorang wanita gemblengan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna, dan telah menerima pelajaran berbagai ilmu olah keperajuritan dan ilmu kesaktian.

Kartikosari adalah puteri tunggal Resi Bargowo yang sakti mandraguna. Tikaman segala keris biasa masih belum dapat menembus kekebalan kulit yang halus menguning itu. Masa sekarang berjalan di atas batu karang saja telapak kakinya menjadi sakit-sakit? Akan tetapi, tentu saja Pujo tidak melahirkan pengertian ini dalam bentuk kata-kata. Terlalu besar kasih sayangnya kepada isterinya sehingga ia jauhi benar sikap dan kata-kata yang akan menyinggung hati kekasih. Dengan penuh perhatian dan mesra ia membersihkan tanah lempung dari telapak kaki isterinya yang halus kemerahan itu, kemudian memijit-mijitnya untuk mengusir rasa lelah.

''Nimas Sari, kasihan sekali kakimu yang mungil. Biarlah kugendong engkau, nimas. Tapi upahnya kauberikan dulu, upah cium.........

''lhhh…dasar… Tiada bosan-bosan nya ih….”

Pujo merangkul isterinya, dan menciumi kedua pipi yang kemerahan, mengecup keringat yang membasahi kening. Kartikosari memejamkan kedua matanya. Sudah sebulan lebih Pujo, menjadi suaminya yang tak kunjung henti mencumbunya mesra, namun masih saja serasa ia terayun di awang-awang (angkasa) tiap kali Pujo mencium dan mencumbunya.

''Kau mustikaku, pujaan hatiku mana bisa bosan, kasih?'' Pujo membelai rambut yang agak kusut, mengusapnya kebelakang dan membereskannya. Melihat setangkai bunga mawar merah kecil yang tumbuh liar di dekatnya, ia memetiknya dan menyelipkan bunga itu di antara rambut atas telinga kanan, lalu mencium telinga kanan isterinya yang tampak makin cantik.

''Tunggu saia. kalau aku sudah menjadi nenek-nenek dan kau menjadi kakek-kakek, kalau gigi kita sudah ompong dan pipi kita sudah kempot peyot, apakah kau juga masih suka menci .......”

Kartikosari malu-malu untuk mengucapkan kata-kata itu, lalu tertawa. Deretan giginya yang putih bersih berbaris rapi di dalam mulut yang merah, di balik sepasang bibir kemerahan yang bergerak-gerak patut, menciptakan kombinasi yang elok.

Pujo, tak dapat menahan hatinya dan sekali lagi ia mencium isterinya, pada bibimya. Beberapa saat mereka berdekapan mesra, terbuai kasih sayang yang amat dalam, sampai terasa di tulang sungsum. Burung laut camar yang terbang di angkasa memekik-mekik nyaring, agaknya menyaksikan sepasang manusia yang berasyik-masyuk berkasih mesra di sebelah bawah, mendatangkan rasa iri dan rindu kepada betinanya. Angin laut bertiup lirih, silir dan sejuk menggerakkan rambut halus hitam Kartikosari menyapu-nyapu pipi dan leher suaminya.

''Sudahlah kangmas, dengar itu burung mentertawai kita. Dan lihat hidung dan bibirmu basah oleh keringat ku ........”

''Keringatmu sedap"

“Iiihhhh! Tunggu kalau aku sudah nenek-nenek kelak '' Kartikosari tertawa

Dengan halus Pujo menarik tangan isterinya bangkit berdiri.
"Sampai kau menjadi nenek-nenek dan aku menjadi kakek-kakek, aku akan tetap mencintamu nimas. Kau akan tetap cantik jelita bagiku, seperti Dewi Suprobo"

''lhhh . sudahlah. Takkan pemah sampai di tempat tujuan kita kalau begini. Kau gendong aku?''

"Tentu! Agar jangan kotor telapak kakimu yang halus bersih oleh lumpur.”

Dengan sikap manja Kartikosari lalu-merangkul leher suaminya dari belakang dan ia meloncat duduk di atas punggung Pujo. Suami yang bahagia ini tertawa, lalu melangkah dengan cepat melanjutkan perjalanan, meloncat-loncat dari batu ke batu menuruni tebing yang curam dengan cekatan sekali. Kartikosari merangkul leher suaminya dan meletakkan pipi kanannya di atas bahu yang bidang dan kokoh kuat itu.

Pagi tadi suami isteri muda ini meninggalkan pondok Baymismo, tempat tinggal Resi Bhargowo yang bertapa di Sungapan, yaitu muara Sungai Progo di pantai Laut Selatan. Kartikosari adalah puteri tunggal Resi Bhargowo, adapun Pujo adalah murid pertapa itu. Murid tersavang yang kemudian menjadi mantunya. Dengan demikian, suami isteri ini adalah juga saudara tunggal guru. Di atas gendongan suaminya, Kartiko sari merasa aman sentausa dan bangga. Bulu matanya yang lentik metengkung ke atas itu bergerak-gerak ketika matanya meram-melek nyaman. Jari-jari tangannya yang kecil meruncing mempermainkan rambut di atas tengkuk yang keluar dari balik destar suaminya.

"Kangmas" bisiknya manja di dekat telinga kanan.

''Hemm?'' jawab Pujo sambil terus meloncat-loncat dengan tangkasnya.

''Apakah kangmas benar-benar mencintaku?''

''Ehh ??'' Pujo berhenti meloncat.

Mereka berdiri di puncak bukit terakhir. Pemandangan di depan amatlah indahnya, tampak Laut
Selatan yang maha luas itu terbentang di depan mata, tanpa batas.

''Mengapa kau bertanya begitu, sayang? Tentu saja aku mencintamu, sepenuh jiwa ragakul''

Ucapan penuh perasaan ini menyejukkan hati dan mendapat upah sebuah ciuman bibir yang mengecup pangkal telinga kanan.
''Seperti apa besamya cintamu, kangmas?''

Pujo menuding ke arah laut.
''Kau lihat laut Selatan itu, nimas. Demikian luas dan besar. Seperti Laut Selatan itulah besamya cinta kasihku kepadamu”

Kartikosari memandang ke arah laut bebas, lalu cemberut dan merajuk, kentara dari kedua betisnya yang bergerak-gerak tak puas di pinggang Pujo, kepalanya digeleng-gelengkan.
''Ah, tak senang aku Betapapun besar dan luasnya, laut itu masih selalu berubah, kadang-kadang pasang kadang-kadang surut. Aku tidak suka kalau cintamu kadang-kadang surut pula, kangmas Dan lagi, laut itu terlalu ganas terlalu besar, aku takut akan tenggelam di dalamnya kalau cintamu seganas dan sebesar itul''

''Ha-ha-ha-hal Kau lucu!, nimas. Eh, tahu aku sekarang hemmm, cintaku kepadamu sebesar kuku hitam!''

"Ihhhhh !!''

Tiba-tiba Kartikosari melorot turun dari punggung suaminya dan ketika Pujo membalikkan tubuh, ia melihat isterinya berdiri dengan kedua tangan menolak pinggang, dada yang Sudah membusung itu dibusungkan lagi kepala dikedikkan, sepasang mata yang biasanya lembut bening sejuk mesra itu kini seakan-akan memijarkan bunga api kedua pipinya yang biasanya memerah jambu kini menjadi merah darah.

''Apa? Cinta kasihmu hanya sekuku hitam? Terlalu! Lebih baik aku matil"

Wanita cantik yang menjadi isteri manja ini membanting-bantingkan kakinya yang bertelapak halus itu, akan tetapi batu terinjak bantingan kakinya menjadi hancur seperti tepung! Menyaksikan kemarahan isterinya Pujo hanya tersenyum, akan tetapi cepat-cepat berkata, ''Nimas pujaan hatiku. Aku tidak main-main ketika aku mengatakan bahwa cinta kasihku kepadamu sebesar kuku hitam. Tahukah engkau, nimas, bahwa biarpun kuku hitam itu kecil-kecil, akan tetapi tak pemah dapat musnah? Pagi dipotong sore tumbuh, sore dibuang pagi muncul. Demikianpun cinta kasihku, nimas, selalu akan tumbuh dan ia..”

''Aku tidak suka! Biarpun akan timbul lagi akan tetapi bisa hilang!''

Pujo mengerutkan keningnya, memutar otak. Wajahnya yang tampan itu tiba-tiba berseri dan ia cepat berkata,
''Ah, tahu aku sekarang! Cinta kasihku kepadamu sebesar ujung rambutl''

''Apa ?? Malah lebih kecil lagi?? Kakangmas, apakah kau tega menghina Sari?'' Sepasang pelupuk mata itu sudah mulai merah, ibarat langit sudah mulai mendung akan hujan.

''Sama sekali tidak menghina, manis. Apakah yang dapat memusnahkan ujung rambut? Kalau laut akan surut, kuku hitam bisa dipotong, akan tetapi seribu kali orang memangkas rambut, tentu masih selalu akan ada ujungnya. Ujung rambut takkan pemah lenyap, takkan pemah surut selalu ada dan demikianlah cinta kasihku kepadamu!''

''Kalau digunduli?''

''Kepala digundulipun masih akan ada akar rambutnya dan akar itupun ada ujungnya. Pendeknya, ujung rambut tak kan dapat lenyap, kecuali kalau kulit kepalanya dikupas Akan tetapl siapa mau mengupas kulit kepalanya? Tentu dia akan mampusi!” Bukan main bahagia rasa hati Pujo melihat wajah isterinya berseri-seri lagi, matanya sejuk dan mesra pandangnya, akan tetapi dua titik air mata seperti mutiara tergenang lalu menggantung di bulu mata. la memeluk dan berbisik risau,

''Mengapa menangis sayang?''

Kartikosari juga memeluk suaminya.
''Karena bahagia, kakangmas ''

Mereka kembali berdekapan dan berciuman. Mesra! Mesra memang kasih sayang suami isteri muda ini. Kasih sayang pengantin baru. Dunia milik mereka. Surga milik mereka. Lupa akan segala sesuatu. Lupa bahwa mereka tenggelam dalam buaian asmara. sehingga tidak ingat bahwa tiada yang kekal di dunia ini. Cinta kasihpun tidak. Ada cinta ada benci, ada suka ada duka, seperti halnya ada siang tentu ada malam!

''Jangan gendong aku lagi, kangmas. Kasihan kau terlalu lelah. Mari kita lanjutkan perjalanan.''

Mereka bergandengtangan, lalu menuruni puncak bukit menuju ke tebing yang menjulang ke depan, amat curam di atas laut. Berdiri di pinggir tebing ini saja sudah mendatangkan rasa ngerl bagi yang tidak biasa. Bisa membuat tengkuk menebal dan bulu tengkuk meremang. Dari tebing ini memandang ke bawah, tampak ombak taut bercumbu dengan batu-batu karang ra ksasa, menghantam batu karang menimbulkan suara menggelegar lalu air pecah muncrat ke atas menjadi uap dan mencipta wama pelangi. Sebentar menghilang, disusul ombak berikutnya, terus-menerus begitu, siang malam tiada hentinya sehingga di sepanjang pantai air laut membuih putih. Dinding batu karang yang tinggi itu bentuknya aneh-aneh, berlubang-lubang seperti menjadi perkampungan tempat tinggal para jin dan iblis penghuni laut.

Di atas tebing, Pujo dan Kartikosari berdiri mengagumi pemandangan di bawah kaki mereka. Mereka kagum terpesona oleh keindahan dan kebesaran alam yang maha hebat. Apalagi bagi Kartlkosari yang belum pemah dating ke tempat ini. Tempat tinggal ayahnya terletak di Sungapan, di pantai yang datar dan rendah, tertutup pasir, di mana air Sungai Progo terjun ke laut, kembali kepada sumbemya. Yang mereka datangi ini adalah pantai yang berdinding gunung
karang, di sebelah timur. Rambut dan ujung kain Kartikosari berkibar-kibar tertiup angin taut.

''Cancutkan kainmu, nimas. Kita turun ke bawah.''

Kartikosari adalah seorang wanita gemblengan, yang tidak gentar menghadapi seekor harimau dengan tangan kosong. Akan tetapi melihat tebing yang curam itu, yang tingginya melebihi tiga puluh batang pohon kelapa, ia bergidik. Menuruni tebing securam itu? Sekali terpeleset dan terbanting ke bawah, tubuh akan melayang-layang dan batu-batu karang runcing tajam akan menyambut tulbuh, lalu ombak dahsyat akan menghancur luluhkan tubuh dengan hempasan keras pada batu karangl

''Kau ngeri, nimas? Biarlah kugendong ........

''Tak usah kaugendong, kangmas. Akan tetapi perlukah kita turun?''

Pujo tersenyum.
“Tentu saja. Kalau kita tidak turun ke sana, bagaimana kita mampu mendapatkan tiram kencana
dan mutiara hijau?''

Kartikosari menarik napas panjang. Di dalam hati ia mengeluh. Mengapa ayahnya merasa begitu yakin bahwasanya kebahaglaan suami isteri hanya akan dapat kekal kalau mereka dapat memiliki mutiara hijau yang berada dalam tiram kencana? Bukankah cinta kasih antara dia dan suaminya dapat menjamin kebahagiaan yang kekal? Namun, ayahnya adalah seorang pertapa yang sidik permana, waspada dan bijaksana. Tak mungkin mereka dapat membantah kehendak orang tua itu.

"Di manakah kita akan mencarl benda langka itu?'' Kartikosari menjenguk ke bawah, tangan kirinya memegang tangan kanan suaminya karena ia merasa ingeri.

''Kaulihat di sana itu, batu yang menonjol itu, yang atasnya terdapat pohon besar, dibawah itulah letaknya Guha Siluman. di depan Guha Siluman itulah kita harus mencarl, karena. disana terdapat banyak batu-batu kecil dan segala macam jenis tiram, ketam, dan udang terdampar di sana. Akan tetapi, seperti pesan bapa resi, kita harus bersamadhi minta anugerah dewata, karena tanpa anugerah dan wahyu dewata, takkan mungkin kita dapat menemukan tiram kencana disitu.”

Kartikosari tersenyum, pipinya menjadi merah sekali.
''Syaratnya untuk samadhi begitu aneh lagi"

Pujo menarik napas panjang dan menggenggam jari tangan isterinya.
"Tidak saja aneh, nimas Sari, juga amat berat bagiku. Apakah aku akan kuat menahan dalam keadaan begitu bersamamu, hal Ini benar-benar masih kusangsikan. Aku ragu-ragu dan takut kalau-kalau aku akan gagal."

Keduanya saling pandang dan termenung. Kartikosari bertemu pandang dengan suaminya perlahan menundukkan mukanya. Ia maklum betapa berat syarat itu bagi suaminya yang amat mencintanya. Mereka berdua. adalah pengantin baru yang sedang diamuk badai asmara. Betapa mungkin mereka melakukan puja samadhi dengan syarat seperti itu.

''Kangmas Pujo, aku yakin kita bersama akan dapat melawan gelora nafsu yang merupakan godaan dan tantangan terberat. Latihan untuk kita sudah kita lakukan sejak kecil.''

''Kau benar, sayang. Kau lihat, di sebelah timur Guha Siluman itu, yang ada batu karang menonjol seperti ikan, nah di sanalah letak Guha Celeng. Di kanan kiri Guha Siluman masih banyak terdapat guha-guha kecil seperti Guha Walet, Guha Kalong dan Guha Leter, dan di sebelah barat itu adalah Dwarawati.''

''Wah, kau hafal benar keadaan di bawah sana, kangmas!''

“Dahulu aku sering kali turun ke sana, nimas. Indah bukan main disana, akan tetapi juga Serem dan gawat. Maklumlah, di bawah sana adalah tempat para laskar Laut Selatan bersenang-senang apabila mereka mendarat."

''Ihhh….."

''Kau takut?''

"Tidak, hanya ngeri. Manusia dapat dilawan, akan tetapi bangsa halus begitu..”

''Tak usah khawatir, kasih. Bukankah ada aku di sampingmu? Di samping itu, kita sudah hafal ajaran bapa resi untuk menyelamatkan diri dari gangguan makhluk halus.''

''Widada Mantra?''

''Benar, marilah kita turun, nimas. Biarlah aku di depan dan kau berpegang dengan tangan kiriku. Tidak sukar, banyak akar pohon dan batu karang untuk tempat berpegang tangan atau berinjak kaki."

Turunlah suami isteri muda ini berbimbingan tangan, melalui jalan yang tak patut disebut jalan karena mereka harus bergantung kepada akar-akar pohon dan meloncat kesana ke marl melalui batu karang yang licin dan ada pula yang tajam runcing. Kesukaran jalan yang mereka lalui ini ditambah lagi oleh kengerian kalau mereka menjenguk kebawah kaki di mana tampak kekosongan yang mengerikan dan jauh di sebelah bawah sana tampak batu karang runcing seperti barisan tombak yang siap menerima tubuh mereka kalau mereka terjatuh ke bawah.

Kiranya hanya sebangsa kera saja yang akan mampu melalui jalan turun ini dengan aman. Namun suami isteri Ini adalah orang-orang muda gemblengan yang tidak saja memiliki tubuh yang kuat, juga memiliki batin yang sentausa dan ketabahan besar.

Sepuluh menit kemudian mereka telah tiba di bawah, berjalan di atas karang di antara tetumbuhan pandan berduri dan rumput laut. Kini terdengarlah oleh mereka gemuruh bunyi ombak memecah di pantal batu karang susul-menyusul seperti mendidih, diseling bunyi menggelegar di kala ombak besar menghantam karang yang menggetarkan dinding gunung karang di sekelilingnya. Setelah berada dl bawah, tampaklah oleh mereka betapa ombak yang dari atas tadi hanya kelihatan seperti air berkeriput, kini ternyata bahwa ombak itu amatlah dahsyat, dari tengah-tengah laut berlumba-lumba ke pinggir, makin lama makin besar sampai setinggi pohon kelapa, panjang dengan kepala keputihan seperti seekor naga bergulingan, untuk kemudian terhempas di batu karang dan pecah, porak-poranda menimbulkan uap air mengembun.

Tak tampak manusia lain di situ. Memang, tempat seperti ini tak patut didatangi oleh manusia, patutnya berpenghuni sebangsa jin dan iblis bekasakan. Takkan mengherankanlah kiranya apa bila di tempat seperti ini muncul makhluk-makhluk yang mengerikan dari dalam laut, makhluk-makhluk yang hanya akan muncul dalam mimpi buruk seorang yang terserang demam panas. Ombak yang tiada hentinya mengganas menggelora itu menimbulkan suasana seram, seakan-akan seperti inilah agaknya neraka jahanam yang siap menelan dan menyiksa roh-roh manusia jahanam.

''Mari, nimas, kita ke sebelah sana, ke Guha Siluman.'' Kata Pujo menggandeng tangan. Kartikosari yang merasa dingin.

''Kau kenapa, sayang? Tanganmu dingin sekalil'' Pujo membawa telapak tangan isterinya ke depan hidung dan menciuminya, seakan-akan dengan ciuman nya itu ia akan dapat menghangatkan tangan isterinya.

Akan tetapi Kartikosari menarik tangannya, wajahnya muram membayangkan kekhawatiran. ''Entah, kangmas, aku merasa ngeri, tidak enak rasa hatiku."

''Ah, tidak apa-apa, nimas. Tempat begini indah. Mari kita ke guhal'' la menarik tangan isterinya dan pergilah mereka kesebuah guha yang besar, guha yang merupakan sebuah mulut temganga lebar, bentuknya seperti mulut raksasa dan kebetulan sekali, di atas guha, pada dinding gunung karang, terdapat dua buah batu hitam sehingga merupakan mata sedangkan di atas tumbuh selbuah pohon merupakan rambut raksasa. Dan agaknya kebetulan sekali, batu-batu yang dibentuk oleh tetesan air bergantungan dari atas dan menjungat di lantai, membentuk gigi dan caling yang mengerikan.

Guha Siluman inilah agaknya yang pada masa kini disebut Guha Langsey yang letaknya di sebelah timur atau di sebelah kiri Parangtritis dan sampai kini masih terkenal sebagai guha keramat di mana banyak orang datang untuk bertapa, meminta berkah, atau membayar kaul. Apalagi di dalam bulan Suro, teristimewa tanggal satu dan lima belas Suro, banyak orang dengan nekat melalui jalan yang amat sukar dan berbahaya menuruni tebing tinggi untuk datang bersujud atau bertapa di dalam Guba Langse.

Pujo dan Kartikosari sudah memasuki guha dan waktu itu menjelang senja di dalam guha sudah mulai gelap. Beberapa ekor burung walet beterbangan ke luar masuk guha mengeluarkan bunyi mencicit ramal. Guha itu amat dalam, makin ke dalam makin menurun ke bawah, seram dan gelap sekali. Terdengar bunyi air terjun dari dalam guha, akan tetapi, tidak tampak dari luar.

''Kita bersamadhi di mulut guha sepertl pesan bapa resi nimas Sari. Tiga hari tiga malam. Kemudian ke situlah kita mencari tiram kencana."

Kartikosari sudah duduk di mulut guha. Ia memandang kearah telunjuk suaminya menuding. Benar, di depan guha itu terdapat banyak sekali batu karang kecil, agak sebelah bawah karena memang guha itu tinggi letaknya, ada lima-belas meter dari permukaan laut. Di antara batu-batu itu tampaklah bermacam-macam benda laut kulit-kulit kerang, tiram dan sebangsanya. Aimya jernih bukan main sehingga tampak semua benda di dasamya, tidak dalam, akan tetapi selalu bergerak-gerak naik turun mengikuti datangnya ombak yang memecah pada batu karang besar di sebelah depan, seakan-akan batu karang besar ini menjadi penghalang amukan ombak ke tempat itu

''Kau sudah siap, nimas?''

Kartikosarl mengangguk.

''Nah kalau begitu kita mulai. Mari kita menanggalkan pakaian, taruh di sudut sini agar jangan sampai terbawa angin.'' Sambil berkata demikian Pujo sudah menanggalkan destarnya dan mulai membuka baju. Tiba-tiba Kartikosari menghampirinya, merangkul terus menciumnya sambil terisak.

"Kangmas hatiku tidak enak kau jangan tinggalkan aku, ya?''

Pujo terpaksa tertawa, sungguhpun ia merasa tidak nyaman hatinya menyaksikan tingkah isterinya. Isterinya biasanya seorang yang tabah, seorang Srikandi tulen, mengapa kini menjadi begini lemah?

"Ah, apakah aku gila? Sampai matipun tak mungkin aku meninggalkanmu hal ini kau tentu sudah yakin, nimas." Ia balas mencium dan membelai rambut kekasihnya. Sampai lama mereka berpelukan, kemudian Pujo melepaskan rangkulan Isterinya sambil berkata dengan senyum

''Ah,, belum apa-apa kita sudah tenggelam lagi. Bagimana aku bisa menahan tiga hari tiga malam kalau begini?''

Kartikosari tertawa juga, lalu menjauhkan diri.
''Kita lihat saja, siapa yang tidak tahan, kau atau aku!'' Kemudian Kartikosari memilih tempat di sudut kiri, sedangkan Pujo hanya menurut ke mana isterinya memilih tempat. La menghampiri dan suami isteri ini lalu menanggalkan seluruh pakaian Yang menempel di tubuhl Inilah syaratnyal Menurut petunjuk Resi Bhargowo hanya dengan cara demikian itulah, yaitu dengan duduk samadhi bersama dalam keadaan bertelanjang bulat, sepasang suami isteri akan dapat diterima oleh dewata dan mendapatkan wahyu untuk menemukan mutiara hijau dalam tiram kencana.

Suami Isteri Yang amat taat kepada orang tua. Dan ia kini sudah duduk berhadapan, duduk bersila dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas. Mereka memilih sikap masing-masing seenaknya.

Kartikosari seperti biasa,. Merangkap kedua telapak tangan membentuk sembah, menempelkan kedua ibu jari depan hidung dan memejamkan mata, duduk bersila dengan tegak dan lurus. Hebat bukan mainl Seperti selbuah patung kencana yang cantlk gemilang, patung dewi kahyangan terbuat daripada kencana sedikitpun tidak ada cacatnya. Adapuh Pujo Yang bertubuh tegap dan bidang,,duduk bersila dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas pula, akan tetapi sikap kedua tangannya berbeda yaitu lengan kiri memeluk pusar melingkar ke kanan, lengan kanan memeluk pundak kiri, duduknya juga tegak lurus, matanya setengah terpejam dipusatkan ke puncak hidung. Suami isteri ini mengheningkan Cipta memusatkan panca inderat mengerahkan daya cipta kearah satu yakni memohon anugerah dewata untuk memperoleh mutiara hijaul.

Baik Kartikosari maupun Pujo adalah dua orang muda Yang sejak kecil sudah biasa bersamadhi. Biasanya sekali duduk bersila mengatur sikap, otomatis pemapasan mereka teratur sesuai dengan latilhan dan dalam waktu sekejap mata saja mereka sudah dapat hening. Akan tetapi kali ini, apalagi Pujo, mengalami siksaan dan godaan yang bukan main beratnya. Kesadaran bahwa isterinya yang terkasih, isterinya yang cantik jelita isterinya yang memiliki bentuk tubuh menggairahkan tanpa cacat, duduk bersila berselimut rambut di depannya,, membuatnya sukar sekali memusatkan panca indera. Dengan pengerahan tenaga batinnya ia berusaha sampai berjam-jam, sampai lewat tengah malam, namun hasilnya sia-sia.

Berkali-kall ia terpaksa Membuka mata untuk memandang bayangan isterinya yang duduk bersila di depannya merasakan tiupan halus pemapasan isteri-nya, menyadari sedalamnya akan kehadiran Kartikosaris, tak pemah dapat mengusir bau sedap keringat dan rambut isterinya. Pujo Menjadi kesal hatinya, hampir putus asa dan diam-diam ia mulai mengerjakan pikirannyal menyelami mengapa ayah mertuanya Resi Bhargowo yang sakti itu menyuruh mereka menjalani tapa seperti ini. Untuk memperoleh kebahaglaan kekal bersuami isteri, mengapa harus mendapatkan mutiara hijau dalam cara bersamadhi bersama dalam keadaan telanjang bulat seperti ini?

Menjelang pagi, barulah terdapat titik pertemuan dalam alam pikiran Pujo yang ruwet dan terputar-putar. Bukankah semua ini hanya merupakan lambang saja? Merupakan ujian bagi mereka? Ujian bagi kekuatan batin mereka sehingga mereka terlatih dan mendasari cinta kasih suami isteri tidak hanya dengan nafsu birahi, tidak hanya oleh tarikan daya dari kecantikan wajah dan keindahan tubuh belaka. Karena, suami isteri yang mendasari kasih saying hanya dengan nafsu berahi, dengan daya tarik badani maka kasih sayang sepertl itu akan mudah luntur. Badan yang sudah tua kelak, mana ada daya penariknya lagi? Hal itu sudah disinggung isterinya dalam sendau gurau siang tadi. Isterinya berpendapat bahwa.kalau mereka sudah menjadi kakek-nenek, suami ini akan luntur cintakasihnya.

Dan hal ini mungkin saja terjadi kalau cinta kasihnya terhadap Kartikosari hanya berdasar pada keindahan jasmanil Inikah kehendak Resi Bhargowo? Melatih mereka agar dapat mengekang nafsu, agar dapat terbuka alam kesadarannya bahwa yang indah dalam cinta kasih bukan pemuasan nafsu berahi karena keindahan tubuh semata? Mereka disuruh berlatih menguasai diri, menolak daya tarik masing-masing jangan sampai terseret dan diperbudak hawa nafsu agar mencari dasar kasih sayang yang suci yang lebih mendalam, cinta kasih batin yang tentu saja akan mengekalkan cinta kasih mereka karena apapun yang terjadi pada tubuh mereka, bahkan andaikata mereka menjadi manusia cacat sekalipun, cinta kasih mereka akan tetap kekal!

Agaknya itulah maksud perintah Resi Bhargowo agar mereka mencari mutiara hijau secara aneh ini. Setelah matahari mulai bersinar, barulah Pujo dapat mengendalikan panca inderanya. la menekan semua lamunan tentang kecantikan isterinya, mengubah kenangan akan isterinya itu lebih mendalam lagi membayangkan isterinya sebagai wanita. yang sudah menjadi haknya, yang sudah bersandar kepadanya. Dan menjadi tanggung jawabnya sebagai wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya menjadi kawan hidup selamanyal bersama mendidik anak-anak. Sebagai teman hidup senasib sependeritaan, susah sama diderita, suka sama dinikmati. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Akhimya ia terlelap dalam samadhinya, pemapasannya lambat teratur, wajahnya tenang tenteram dan ia berhasil. Deru ombak yang makin membesar sama sekali tidak mengganggu suami isteri yang sedang tekun dalam Samadhi itu. Juga cicit burung walet yang beter bangan keluar dari dalam guha untuk mencari makanan bagi anak-anak mereka, sama sekali tak tampak atau terdengar. Keduanya sudah tenggelam betul-betul dan seakan-akan ada cahaya manter (bersinar) dari ubun-ubun kepala mereka.

Tak tahu mereka bahwa ada anak-anak burung dalam sarang bercicit-ciclt merengek-rengek dan menangis kelaparan karena ayah bunda tak pemah pulang semenjak kemarin, karena ayah bunda burung-burung itu telah berpindah kedalam perut elang yang menyambar mereka dan menjadikan mereka santapan anak-anak elang. Mengapa sepasang wallet ini demikian buruk nasibnya? Dosa apa gerangan yang telah mereka lakukan?

Tak seorangpun akan dapat menjawabnya Suami isteri itupun tidak pemah tahu bahwa beberapa ekor ikan kecil dilempar ombak ke atas batu karang, berkelojotan berkelepekan disiksa terik sinar matahari, megap-megap menanti maut datang menjemput dalam keadaan tersiksa. Apakah dosa ikan-ikan ini sehingga mereka terhukum sedemikian rupa? Tak ada yang akan dapat menjawab pula.

Banyak sekali hal-hal yang gaib, hal-hal yang tampaknya ganjil, yang tampak-nya menurut alam pikiran dan pendapat manusia, tidak adil. Yang jahat hidup bahagia, yang baik hidup merana. Inilah rahasia besar yang hanya mampu diselami oleh kesadaran mereka yang tahu akan Kuasa Tertinggi. Dan apa yang akan menimpa sepasang suami isteri yang tekun bersamadhi itupun berada mutlak di tangan Yang Maha Wenang, tak seorangpun manusia mampu merubahnya!

Lanjut ke Jilid 002►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment