Ads

Sunday, December 2, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 005

◄◄◄◄ Kembali


"Tarrr......! Wessss......, tar-tarrrr...!!"

Sinar menyilaukan mata menyambar dan "krakkkk....... bruuuukkk.....!" pohon sebesar manusia yang tinggi itu tumbang!

Raden Wisangjiwo meramkan matanya penuh kengerian. Ia maklum bahwa sekali cambuk Sarpokenoko di tangan gurunya itu menyentuhnya, tubuhnya akan hangus dan nyawanya takkan tertolong lagi.

"Berlutut engkau!"

Suaranya nyaring namun merdu. Ia amatlah cantiknya dengan rambut yang digelung lebar terhias bunga-bunga segar mawar melati, ujung gelung rambut itu terurai di leher kanan terhias untaian bunga melati sedangkan di atas kepala terhias hiasan rambut dari emas bermata intan berbentuk ular kembar memadu kasih. Wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu dihalus putihkan oleh bedak cendana sedangkan rambutnya hitam halus oleh minyak sari bunga. Tubuhnya agak gemuk padat dan dadanya membusung, tertutup kemben sutera berkembang merah dengan dasar ungu, pinggangnya dipaksa agar ramping oleh balutan ikat pinggang berwarna kuning. Kainnya amat indah buatan tanah Hindu, dan gelang emas menghias kedua pergelangan tangan dan kakinya. Sebuah keris kecil terselip di ikat pinggangnya dan sebuah cambuk yang mengerikan, cambuk berwarna kuning mengkilap yang seakan-akan hidup dan mendatangkan hawa maut yang serem, berada di tangannya. Inilah dia Ni Durgogini, seorang manusia yang terkenal sebagai manusia iblis yang sakti, yang tidak diketahui berapa usia sebenarnya namun agaknya belum ada tigapuluh tahun, cantik dan buas, liar dan ganas, guru Raden Wisangjiwo, ya guru ya kekasih!.

Dengan kedua kaki gemetar Raden Wisangjiwo berlutut dan menyembah di depan kaki gurunya. Wanita di depannya ini kadang-kadang jinak dan merupakan seorang kekasih yang bernafsu jalang, memejamkan mata dan mengeluarkan suara seperti seekor kucing manja dalam belaiannya. Akan tetapi kalau sudah datang kemarahannya seperti sekarang ini, ia menjadi ganas dan amat berbahaya, karena membunuh siapa saja merupakan hal lumrah! Karena maklum akan watak gurunya inilah maka Raden Wisangjiwo kini berlutut dengan tubuh gemetar.

"Ampun, Dewi......."

Memang menyimpang daripada aturan biasa. Raden Wisangjiwo menyebut gurunya "dewi", hal ini untuk memenuhi perintah gurunya yang aneh itu. Agaknya karena sang murid juga menjadi kekasih, maka Ni Durgogini tidak sudi disebut guru dan minta disebut dewi!

"Hemmm, kau tahu akan dosamu?"

"Ampun, sungguh mati saya tidak tahu mengapa dating-datang mendapat amarah Sang Dewi......." Setengah menyanjung Raden Wisangjiwo berkata. "Kedatangan saya menghadap Dewi adalah untuk mohon pertolongan karena saya telah bertanding dan melukai murid-murid Resi Bhargowo maka tanpa pertolongan Dewi, nyawa saya dalam bahaya ... "

"Tarrr......" Raden Wisangjiwo terkejut sekali ketika ujung cambuk meledak di atas kepalanya. Ia diam-diam merasa heran mengapa gurunya semarah ini dan agaknya tidak main-main.

"Nyawamu berada dalam tanganku, bagaimana bias terancam orang lain? Wisangjiwo, dari mana kau selama tiga hari ini?"

Suaranya tetap merdu dan halus, akan tetapi mengandung nada yang tajam mengiris jantung. Mampus aku, pikir Raden Wisangjiwo. Agaknya gurunya maklum akan perbuatannya selama tiga hari bersama Ni Nogogini!

"Saya....... saya bertapa di pantai selatan mencari anugerah dewata, bertemu dengan puteri dan mantu Resi Bhargowo dan bertempur. Berkat ilmu pemberian Dewi yang sakti, saya mendapat kemenangan dan......."

"Sebelum itu! Dengan siapa kau di pantai? Dan dari mana kau mendapatkan ajian (ilmu) Tirto Rudiro dengan Kerang Merahnya? Jawab!"

Pucat seketika wajah Raden Wisangjiwo mendengar ini. Yakin sudah kini bahwa gurunya telah tahu kesemuanya dan membohong tidak ada artinya lagi, maka dengan penuh hormat ia menyembah dan menjawab,

"Saya tidak akan membohong, Dewi. Mana saya berani menyembunyikan sesuatu dari Sang Dewi yang bijaksana dan waspada? Sesungguhnya, di pantai selatan saya berjumpa dengan yang terhormat bibi guru Ni Nogogini dan beliau berkenan menurunkan Ilmu Tirto Rudiro kepada murid keponakannya."

"Huh! Bibi guru yang terhormat, ya? Siapa tidak mengenal nimas Nogogini? Hayo jawab, mengapa dia menurunkan Tirto Rudiro kepadamu? Jawab!"

"Dewi yang mulia, guru hamba yang sakti, mengapa Dewi bertanya demikian? Bukankah Ni Nogogini adalah bibi guru saya? Apa salahnya seorang bibi guru menurunkan ilmunya kepada seorang murid keponakannya?"

"Cihhh!" Durgogini meludah melalui lidah dan giginya yang putih dengan Sikap menghina. "Tak mungkin dia mengajar ilmu kepadamu tanpa upah! Hayo katakan apa upahnya? Tentu dia mengajak engkau bermain gila, bukan?"

"Tidak.......! Tidak, Dewi! Masa beliau mau merendahkan diri untuk bermain-main dengan murid keponakannya......."

"Ahhh! Jadi kalau seorang bibi guru atau seorang guru bermain-main dengan muridnya kauanggap rendah, ya?"

"Eh....... ohhh, bukan begitu maksud saya ....... eh, sama sekali tidak, Dewi Andaikata bibi guru mengajak saya bermain-main, sayapun tidak akan sudi. Dia ....... eh, dia sudah tua, dan gandanya (baunya) ....... amis!"

"Hi-hi-hi-hikk! Tentu saja amis karena selalu bermain-main dengan ikan-ikan di laut. Menjijikkan! Wisangjiwo, kau benar-benar tidak berjina dengannya?"

'Tidak, Dewi, sungguh mati......."

"Berani bersumpah?"

"Berani!"

Ni Durgogini menggerakkan cambuk Sarpokenoko yang melecut-lecut di udara dan terdengar ledakan-ledakan seperti petir menyambar.

"Bangunlah!"

Lapang sudah dada Raden Wisangjiwo, akan tetapi ia masih cemas menyaksikan cambuk itu melecut-lecut. Ia bangkit berdiri dan memasang senyum semanis-manisnya agar wajahnya yang tampan itu kelihatan makin bagus.

"Syukur dan terima kasih bahwa Dewi tidak marah lagi. Lemah lunglai seluruh tubuh saya kalau Dewi marah-marah......."

"Keluarkan kerang emasmu dan kau serang aku dengan Tirto Rudiro!"

Kembali Raden Wisangjiwo terkejut.
"Eh ....... ini ..... ini ..... saya tidak berani ... "

"Kau berani rnenbantah? Hem kalau tidak lekas-lekas kaulakukar perintahku, pecah kepalamu oleh Sarpo kenoko!"

"Saya ..... mana berani membantah ? Hanya ..... ah, mengapa Dewi agaknya tidak mau mengampuni saya? Kalau memang Dewi kehendaki, akan saya buang saja kerang emas ini ......."

"Uhhh, bocah tolol. Aku hanya hendak melihat bagaimana hebatnya Tirto Rudiro dari nini Nogogini, dan sekalian memperlihatkan kepadamu, membuka matamu bahwa percuma saja kau mempelajari ilmu orang lain sedangkan gurumu sendiri merupakan gudang ilmu, hanya engkau yang kurang berbakat dan malas. Hayo serang!"

Mendengar ucapan ini, lega hati Raden Wisangjiwo. Ia mengambil kerang emas, menggenggam di tangan kanannya, lalu maju menyerang gurunya dengan pukulan Tirto Rudiro sambil berkata,
"Maafkan saya!"

"Wuuuutttt...... dessss......!!"

Pukulan ampuh meluncur disambut telapak tangan halus lunak. Akibatnya, tubuh Raden Wisangjiwo terlempar ke belakang, terjengkang dan bergulingan. Pemuda ini merangkak bangun, matanya berkunang, kepalanya pening sehingga ia harus menggoyang-goyang kepalanya sejenak, baru peningnya hilang.

"Hemmm, kau memandang rendah gurumu, ya? Mengapa tidak mempergunakan semua tenagamu? Hayo serang lagi, dengan tenaga penuh."

"Saya tidak berani, mana saya akan kuat menerima tangan Ampak-ampak Dewi yang ampuhnya menggila tanpa tanding?" kata Raden Wisangjiwo.

Pemuda ini maklum bahwa ilmu pukulan telapak tangan gurunya yang bernama Aji Ampak-ampak amatlah berbahaya, salah-salah ia akan mampus konyol. Aji Ampak-ampak berhawa dingin, seperti ampak-ampak, yaitu halimun tebal yang dingin sekali, membekukan segala yang basah, sehingga sekali digunakan untuk memukul lawan, lawan itu akan mati seketika dengan darah membeku. Ilmu ini adalah ilmu keturunan dari perguruan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, merupakan ilmu rahasia yang jarang dikeluarkan kalau tidak perlu sekali.

"Heh-heh, kaukira aku tadi mempergunakan Ampak-ampak? Tolol, kalau aku pergunakan ajian itu, kau sudah mampus sekarang. Jangan takut, hayo pukul lagi dua kali, sekali akan kubuktikan bahwa tanpa menangkis aku akan sanggup memecahkan Tirto Rudiro dan membuat kau tak berdaya, kedua kalinya akan kuterima pukulanmu Tirto Rudiro, dengan tubuhku!"

Hati Raden Wisangjiwo tertarik. Memang gurunya amat sakti dan ia hanya baru mewarisi sedikit bagian saja. Dengan kesempatan ini ia mengharapkan petunjuk dan penambahan ilmu.
"Baiklah, Dewi. Harap suka menaruh kasihan kepada saya."

Setelah berkata demikian, ia mengerahkan seluruh tenaga, menggenggam Kerang Merah seeratnya lalu ia menerjang maju mengirim pukulan dengan jurus Tirto Rudiro. Jurus ini ia pelajari hanya dalam waktu tiga hari karena memang hanya terdiri dari sembilan gerakan yang berubah-ubah, karena keampuhannya bukan terletak kepada gerak ketangkasan, melainkan kepada tenaga mujijat dan perbawanya yang ampuh sehingga sukar dielakkan atau ditangkis oleh lawan yang kurang kuat tenaga dalamnya. Kepalan tangan kanannya menyambar dahsyat ke arah
leher gurunya, mengeluarkan angin pukulan bersiutan.

"Wuuuuuttt!" Ni Durgogini miringkan tubuhnya, cambuk Sarpokenoko berkelebat tanpa suara dan dari samping mengancam pergelangan tangan kanan dengan ujungnya.

Raden Wisangjiwo terkejut, cepat menarik tangan kanannya menyusul dengan jurus pukulan gertakan dengan tangan kiri mengarah lambung, akan tetapi sesungguhnya yang menyerang adalah kepalan kanannya yang melanjutkan penyerangan gerakan kedua, kini menghantam muka. Ketika dielakkan gurunya, dengan gerakan siku memutar, pukulan itu menerjang lagi dari atas menghantam dada.

"Ciuuuuutttl" Cambuk Sarpokenoko menyambar dan tahu-tahu melibat pangkal lengan, terus melibat ke kawah sampai kemata kaki dan sekali membetot, tubuh Wisangjiwo terlempar lagi untuk kedua kalinya, jatuh terbanting dan bergulingan.

Kini ia merangkak bangun sambil mengeluh, duduk dengan kedua mata menjuling karena pandang matanya berkunang-kunang, bumi serasa berputaran dan kepalanya berdenyut-denyut seperti dijadikan tambur, dipukuli dari sebelah dalam. Ia menggoyang-goyang kepalanya akan tetapi matanya tetap juling, baru setelah ia menumbuk dahinya, kedua biji matanya menjadi betul kembali letaknya, namun telinganya mendengar suara terngiang-ngiang di sela suara ketawa gurunya bercekikikan.

"Waduhhhh......, ampun, Dewi ......" keluhnya.

"Hayo bangun! Pengecut, kau tak patut menjadi murid Ni Durgogini kalau tidak cepat bangkit kembali. Hayo serang lagi dan kali ini aku tidak akan menangkis, tidak akan mengelak, tidak akan menggunakan cambuk Sarpokenoko! "

MENDENGAR tantangan ini. Raden Wisangjiwo bangkit, kepalanya masih terayun-ayun ke kanan kiri, akan tetapi kepeningannya lenyap karena ia tadi memang hanya terbanting biasa saja dan mengalami babak-bundas (lecet-lecet) dan matang biru, la melihat gurunya berdiri dengan dada dibusungkan, kedua tangan bertolak pinggang, cantik dan menantang. Menerima pukulan Tirto Rudiro dengan tubuh tanpa menangkis atau mengelak? Mana mungkin? Raden Wisangjiwo
ragu-ragu. Bagaimana kalau gurunya terluka atau mati oleh pukulannya ini?

"Hayo pukul! Pukul sekuat tenaga dengan Tirto Rudiro. Awas, kalau kau memukul tidak sepenuh tenaga, aku akan membunuhmu karena menganggap kau memandang rendah kepandaian gurumu. Hayo pukul!"

Raden Wisangjiwo melangkah maju, mengerahkan tenaga, namun ia merasa bimbang ragu. Bagaimana ia tega memukul wanita yang begini cantik dengan sepenuh tenaga? Dia ini gurunya, akan tetapi juga kekasihnya. Wanita inilah yang menggemblengnya menjadi seorang jagoan, jago berkelahi dan jago dalam asmara. Ia tahu bahwa gurunya ini amat cinta kepadanya, buktinya ia telah menerima pelajaran Ilmu Asmoro Kingkin, Ilmu Cambuk Sarpokenoko, ilmu pukulan tangan kosong yang hebat-hebat. Akan tetapi, kalau ia tidak memukul sekuat tenaga, tentu gurunya itu akan membunuhnya. Hal itu mungkin saja karena memang gurunya berwatak aneh sekali. Setelah mengumpulkan tenaganya, Raden Wisangjiwo berseru keras dan memukul dengan Aji Tirto Rudiro. Akan tetapi ia tidak mau memukul tempat berbahaya, padahal kalau ia memukul lambung atau pusar, apalagi ia mau memukul dada tempat paling lemah dari wanita, tentu akan lebih hebat akibatnya. Ia memang menggunakan seluruh tenaganya, akan tetapi ia memilih tempat yang tidak begitu berbahaya, yaitu di pundak, pangkal lengan kiri gurunya.

"Syuuuuutttt....... wesssssss...! "

Alangkah kaget hati Raden Wisangjiwo ketika kepalan tangannya melesak ke dalam kulit daging bahu gurunya, seakan-akan tersedot dan tak dapat ditarik kembalil Dan dari kepalan tangannya itu terdengar bunyi "ssssssssss" seperti api bertemu air, perlahan kepalan tangannya terasa panas terbakar.

"Aduh..... aduhh......, ampun Dewi..... ampun.....!" Ia menjerit-jerit kesakitan.

"Hi-hi-hi-hik! Apa sih hebatnya Tirto Rudiro?" Ni Durgogini memekik keras dan untuk ketiga kalinya tubuh Raden Wisangjiwo terlempar, kini amat keras dan ia roboh menabrak pohon, lalu rebah dengan leher miring dan mata mendelik, lidahnya terjulur keluar, tak dapat berkutik setengah pingsan!

Sambil tertawa cekikikan Ni Durgogini melompat ke depan mendekati Raden Wisangjiwo, dengan jari tangan kirinya ia mengurut pundak dan leher. Pemuda itu mengeluh dan sadar kembali.

"Hemm, Lasmini, kau makin liar dan masih suka mempermainkan orang!"

Ni Durgogini kaget seperti disambar petir mendengar suara ini dan tubuhnya cepat bergerak membalik, cambuk Sarpokenoko digenggam erat. Juga Raden Wisangjiwo sudah bangkit berdiri, memandang laki-laki yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah berdiri di situ. Laki-laki ini berusia empatpuluhan tahun lebih, tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan berwibawa. Kepalanya yang berambut nyambel wijen (banyak uban) itu tertutup kain kepala yang ujungnya berdiri meruncing di sebelah belakang. Biarpun ia bertelanjang kaki, namun pakaiannya dan sikapnya membayangkan keagungan seorang bangsawan. Yang amat menarik adalah pancaran pandang matanya yang penuh tenaga batin, tenang lembut dan dalam seperti permukaan air telaga yang dalam.

Raden Wisangjiwo tidak mengenal orang ini, akan tetapi Ni Durgogini kelihatan makin kaget ketika ia melihat siapa orangnya yang mengeluarkan ucapan tadi. Sesaat wajahnya yang cantik itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang laki-laki itu tanpa berkedip dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara.

"Lasmini, kau kaget melihatku?" laki-laki itu menegur sambil tersenyum, kumisnya yang tipis bergerak menambah ketampanan wajahnya.

"Kau....... rakanda....... Narotama.....! Mau..... mau apakah kau datang ke Girilimut (Bukit Halimun) ini.....?"

Narotama tersenyum lebar.
"Tidak ada urusan denganmu, nimas, sama sekali tidak ada, hanya kebetulan saja. Bahkan aku sama sekali tidak mengira bahwa Ni Durgogini yang tersohor adalah engkau! Kalau begitu, Ni Nogogini adalah si Mandari. Ah, siapa sangka.......! Kebetulan saja aku datang ke sini, terus terang hendak mencari Ni Durgogini karena ada sesuatu hendak kutanyakan, tidak tahunya Ni Durgogini adalah engkau dan aku melihat engkau mempermainkan orang muda ini. Apa dosanya?"

Agaknya lega hati Ni Durgogini mendengar ucapan itu. Ia tersenyum manja dan genit, lalu berkata,
"Siapa main-main dengan dia? Dia sedang kuberi latihan ilmu, dia ini muridku. Raden Wisangjiwo putera Adipati Joyowiseso."

Narotama mengangguk-angguk.
"Hemm, putera adipati di Selopenangkep? Putera adipati seyogianya menjadi perajurit, dan untuk menjadi seorang ksatria utama bukan di sini tempat perguruannya. Lasmini, apa sih kebisaanmu maka engkau berani menjadi guru putera seorang adipati?"

Raden Wisangjiwo mendongkol sekali mendengar ini dan ia terheran-heran melihat gurunya yang biasanya galak itu kini seakan-akan mati kutunya berhadapan dengan orang asing ini. Ia tahu dengan pasti bahwa kalau orang lain yang mengucapkan kalimat itu, tentu sekali bergerak gurunya akan membunuh orang itu yang dianggap menghina. Akan tetapi aneh bin ajaib, terhadap orang ini gurunya hanya tersenyum-senyum malu dan tidak dapat menjawab. Rasa terheran-heran ini membuat Raden Wisangjiwo menjadi penasaran, maka ia melangkah maju ke depan orang itu dan menghardik,

"Paman! Siapapun adanya engkau ini, tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata memandang rendah guruku. Mungkin kau sahabat baik guruku maka guruku bersabar mendengar penghinaan mu, akan tetapi aku sebagai muridnya tidak dapat membiarkan kekurangajaranmu. Kau hendak melihat pelajaran apa yang diberikan guruku kepadaku? Nah, apakah kau mau bukti dengan mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit melawanku? Kalau tidak berani, kau harus menarik kembali ucapanmu yang menghina tadi!"

"Uwah, boleh juga muridmu, nimas! "

"Apa kaukira aku suka mengambil murid orang yang tiada gunanya?"

"Namamu Raden Wisangjiwo, orang muda? Keberanianmu cukup, semangat dan kesetiaanmu lumayan, sayang kau terlalu menghambur tenaga dan hawa murni yang seharusnya dihimpun. Boleh,boleh..... mari kita main-main sebentar. Dan kau boleh menggunakan cambukmu itu. Mari!"

Sedetik wajah Raden Wisangjiwo menjadi merah sekali. Ucapan ini menusuk jantungnya karena memang tepat. Iapun maklum bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu dan membuang tenaga dan hawa murni yang seharusnya ia himpun dengan perbuatannya yang tak dapat ia cegah, yaitu menjadi barang permainan gurunya sendiri, bahkan akhir-akhir ini bibi gurunyapun mempermainkannya. Ia telah terombang-ambing dalam permainan nafsu berahi yang merupakan pantangan bagi seorang pengejar ilmu kesaktian. Hubungan yang wajar dan bersih daripada nafsu kotor dengan isterinya malah jarang terjadi karena ia lebih senang berada di tempat gurunya dan inilah yang merupakan racun yang memabokkan seperti madat. Karena merasa jengah dan malu, ia menjadi marah.

"Kau sombong, orang tua. Biarlah aku mencobamu dengan pukulan tangan tanpa senjata. Siap dan sambutlah ini!"

Raden Wisangjiwo lalu menerjang maju, gerakannya sigap dan pukulannya mendatangkan angin
menderu. Pemuda ini tidak hanya hendak mendemonstrasikan kehebatan ilmu gurunya, juga hatinya panas dan ia ingin memberi hajaran kepada orang yang berani bersikap kurang ajar terhadap Ni Durgogini. Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa yang ia hadapi ini adalah Narotama yang kini telah menjadi pepatih dalam di Mataram berjuluk Rakyana Patih Kanuruhan, sahabat baik Sang Prabu Airlangga dan kesaktiannya dalam olah jurit hanyalah di bawah sang prabu sendiri! Tentu saja ia tidak tahu karena nama Narotama tidak begitu terkenal, yang terkenal adalah Rakyana Patih Kanuruhan, maka ketika gurunya menyebut nama Narotama, ia sama sekali tidak tahu bahwa yang dilawannya adalah patih yang sakti mandraguna itu. Andaikata ia tahu, sebagai putera Adipati Selopenangkep dan berarti orang sebawahan patih ini, sudah tentu sampai matipun ia tidak akan berani melawan!.

"Bagus!" seru Narotama sambil tersenyum.

Ia mengenal gerakan pemuda ini karena ilmu ketangkasan tangan kosong ini adalah pecahan yang dikembangkan dari ilmunya sendiri, yaitu ilmu silat Kukiko Sakti (Burung Sakti) yang pernah dahulu ia ajarkan kepada Lasmini. Ia menanti sampai pukulan itu datang dekat, lalu menggeser kaki ke kiri dan tangan kanannya ia gerakkan menangkis dengan tiba-tiba.

"Dukkkk!!"

Perlahan saja tangkisan itu, namun akibatnya tubuh Raden Wisangjiwo terhuyung-huyung ke belakang. Pemuda Ini kaget dan lenyaplah perasaan hatinya yang tadi memandang rendah lawan tua ini. Ia melompat maju lagi dengan serangan yang lebih hebat, tubuhnya masih dalam lompatan, masih menyambar satu meter di atas tanah, tangan kanannya dibuka mencengkeram mata, tangan kiri disodokkan menghantam ulu hati sedangkan dengan gerakan cepat kaki kanannya menyusul dengan tendangan ke arah bawah pusar! Hebat sekali serangan ini, serangan maut karena berturut-turut kedua tangan dan sebuah kaki telah menyerang hebat dan satu saja di antaranya mengenai sasaran tentu akan membuat lawan terjungkal dengan luka parah atau mati!

"Ganas..... ganas.....!"

Narotama berseru, diam-diam kagum juga karena ternyata pemuda ini memiliki bakat yang baik, sayangnya terbimbing oleh seorang yang berwatak ganas sehingga ilmu silatnya juga menjadi ganas sifatnya. Kembali ia berdiri diam saja menanti sampai serangan bertubi-tubi itu tiba dekat, tiba-tiba kedua tangannya bergerak Terdengar suara

"Plak-plak-plak!"

Tiga kali dan semua serangan itu dapat ia tangkis, akan tetapi kali ini tubuh Raden Wisangjiwo terlempar sampai tiga meter jauhnya dan roboh berdebuk di atas tanah hingga debu mengepul dari bawah pantatnya. Raden Wisangjiwo meringis kesakitan, akan tetapi ia menjadi amat penasaran. Darah mudanya bergolak. Dia, murid terkasih Ni Durgogini yang ditakuti orang, masa sekarang menghadapi seorang lawan tua yang tidak ternama harus menelan kekalahan demikian mudahnya?.

"Jangan tertawa dulu, orang tua. Lihat seranganku!" bentaknya dan kini diam-diam ia telah menggenggam Kerang Merahnya di tangan kanan, lalu menerjang maju dengan dahsyat. Pukulannya mengandung Aji Tirto Rudiro yang ampuhnya menggila. Namun dengan senyum dikulum Narotama menghadapi pukulan ini dengan dada membusung dan mulut berkata,

"Eh-eh, Lasmini, pukulan iblis apa yang kau ajarkan kepada muridmu ini? Biar kucoba menerimanya!"

Pukulan tiba, ke arah pusar Narotama. Patih yang sakti ini lalu menekuk lututnya, tidak berani sembrono menerima pukulan sedahsyat itu dengan pusar, maka ia memasang dadanya menjadi sasaran.

"Dessss.......!!!"

Hebat sekali pukulan itu, tubuh Narotama sampai tergoyang-goyang seperti pohon beringin terlanda angin. Akan tetapi tubuh Raden Wisangjiwo mencelat seperti daun kering tertiup angin, jatuh terbanting dan bergulingan. Ia hanya mampu merangkak bangun dan tahu-tahu gurunya sudah berada di sampingnya. Cekatan sekali Ni Durgogini menekan punggung muridnya dan mengurut lengan kanannya di bawah pangkal dekat ketiak. Seketika Raden Wisangjiwo segar kembali.

"Pukulan keji!" kata Narotama. "Orang muda, lebih baik kau mempergunakan cambukmu. Bukankah kau telah menerima pelajaran Ilmu Cambuk Sarpokenoko yang hebat itu?"

Raden Wisangjiwo meragu. Kini yakinlah hatinya bahwa lawannya adalah seorang sakti. Akan tetapi Ni Durgogini tertawa genit.
"Rakanda, kau benar-benar tidak mau mengalah terhadap orang muda. Mana dia mampu menandingi tenagamu? Eh, Wisangjiwo, jangan malu-malu menghadapi orang pandai. Saat ini adalah saat baik bagimu, dapat menambah pengalaman. Hayo serang lagi dia, kau gunakan cambukku ini."

Ni Durgogini menyerahkan cambuknya, Sarpokenoko yang ia pergunakan untuk menciptakan Ilmu Cambuk Sarpokenoko yang sangat dahsyat. Diam-diam wanita ini merasa penasaran bahwa muridnya dapat dikalahkan secara demikian mudah. Biarpun ia cukup maklum bahwa Narotama amat sakti, apa lagi muridnya, dia sendiripun takkan mampu menangkan, akan tetapi sebagai seorang guru ia merasa penasaran tak dapat memamerkan kepandaian muridnya.

Ia cukup mengerti bahwa dalam hal ilmu silat tangan kosong tentu saja muridnya tidak akan berhasil seujung rambutpun, karena semua ilmu silat tangan kosong yang ia miliki sebenarnya bersumber dari ajaran Narotama. Benar bahwa ilmu pukulan Tirto Rudiro yang dimiliki Wisangjiwo tidak dikenal Narotama, akan tetapi muridnya itu belum terlatih betul, tenaganya dalam ilmu itu masih lemah, maka tentu saja tidak akan ada gunanya. Berbeda dengan ilmu cambuknya. Ilmu ini adalah ciptaannya sendiri dan biarpun ia percaya bahwa Narotama tentu akan dapat mengatasinya, namun sedikit banyak Narotama akan berhadapan dengan ilmu yang asing dan tentu tidak akan dapat secara mudah saja mengalahkannya.

Dengan hati geram Raden Wisangjiwo menerima cambuk dari tangan gurunya. Ia cukup percaya akan keampuhan cambuk gurunya. Pernah ia melihat betapa dalam segebrakan saja cambuk di tangan gurunya ini mencabut nyawa lima orang bajak sungai yang berani mati menentang gurunya, padahal lima orang bajak Sungai Progo itu bukanlah lawan yang empuk, melainkan orang-orang digdaya pula. Begitu ia mencekal gagang cambuk, rasanya ia bertambah semangat dan dengan langkah gagah ia menghampiri lawan, cambuk Sarpokenoko diayun-ayun.

"Tar-tar-tar-tar-tar!!" Cambuk itu melecut ke udara dan suara ledakannya nyaring sekali.

"Wah-wah, hebat benar cambuk Sarpokenoko!"

Orang tua itu memuji akan tetapi sikapnya tenang-tenang saja. Ia tahu akan keampuhan cambuk yang terbuat daripada kulit ular itu, maklum bahwa cambuk ini mengandung racun yang berbahaya, jangankan terkena lecutan, baru terkena hawanya saja cukup dapat merobohkan orang. Ditambah lagi dengan permainan Ilmu Cambuk Sarpokenoko, benar-benar amat ampuh dan tepat sekali dengan namanya. Sarpokenoko berarti Kuku Ular, dan adalah nama adik Sang Prabu Dosomuko dalam ceritera pewayangan Ramayana, adik perempuan yang mempunyai aji pada kukunya, yang sakti mandraguna dan ganas liar seperti iblis.

"Paman, lihat serangankul" Raden Wisangjiwo berseru.

Pemuda ini cukup cerdik. Ia maklum bahwa orang tua yang tak dikenalnya ini adalah seorang kenalan gurunya, seorang yang sakti dan karenanya ia mulai bersikap lunak dan hormat, menyebutnya paman dan memberitahukan dulu sebelum menyerang. Hal ini tentu saja ia lakukan karena ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat menang, biarpun ia bersenjatakan cambuk Sarpokenoko sedangkan lawannya bertangan kosong.

"Siuuuuttt..... blarrrrr!"

Batu karang sebesar kepala kerbau hancur menjadi tepung ketika cambuk itu menyambar dan tahu-tahu tubuh Narotama lenyap dan sebagai gantinya, batu itu yang tadi berada di bawahnya menjadi korban hantaman cambuk. Raden Wisangjiwo cepat membalikkan tubuh. Entah bagaimana gerakan orang tua itu ia tidak melihat, akan tetapi tadi tahu-tahu lenyap dan kini sudah berada di belakangnya, tenang-tenang saja berdiri menanti datangnya serangan.

Kembali Raden Wisangjiwo menyerang, kini menggunakan gerakan memutar cambuk membentuk lingkaran-lingkaran di sekitar tubuh lawan, menghadang jalan keluar. Dari dalam lingkaran itu, ujung cambuk baru mematuk seperti paruh burung elang, mengarah bagian berbahaya seperti mata, leher, ulu hati, lambung, pusar dan sebagainya.

"Hebat.......!"

Narotama kembali memuji dan ia benar-benar kagum. Memang tak boleh dibuat permainan ilmu cambuk ini, terpaksa ia lalu mengeluarkan ajiannya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat seperti terbang atau seperti bayang-bayang saja yang mengikuti gerakan cambuk, menyelinap di antara sinar cambuk dan anehnya, gerakannya ini mengeluarkan bunyi mengaung perlahan tiada hentinya. Inilah ilmu silat tangan kosong Bramoro Seto (Lebah Putih) yang merupakan sebuah di antara raja ilmu silat tangan kosong. Sampai berkunang kedua mata Raden Wisangjiwo mencari-cari lawannya dan mengikuti gerakan bayangan yang berkelebat itu, bayangan putih yang tak tentu ujudnya, tak tentu ke mana pindahnya.

Lanjut ke Jilid 006►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment