Ads

Sunday, December 9, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 011

Lanjut ke Jilid 012►►►►
◄◄◄◄ Kembali


"Engkau anak hina! Engkau buah daripada perbuatan jahanam! Hidupmu hanya akan mencemarkan dunia. Tak layak engkau hidup!!"

Sikap dan kata-kata yang terlontar dari mulut wanita itu mengerikan. Suaranya nyaring mengatasi debur ombak memecah di batu karang. Wajahnya yang cantik jelita itu tidak terurus, tampak bengis. Matanya yang bening dan indah bentuknya itu menatap liar penuh benci kepada seorang anak bayi perempuan yang telanjang bulat dan tidur nyenyak dalam pondongannya.

Rambut wanita itu terurai, panjang sampai ke pangkal pahanya. Pakaian yang menutup tubuhnya yang muda padat dan berkulit kuning halus bersih itu tak dapat menyembunyikan lengkung lekuk tubuh seorang wanita yang sudah masak karena hanya sehelai tapih pinjung (kain yang bagian atasnya dibelit kan menutup dada), membuka telanjang memperlihatkan bagian atas dada yang bulat membusung, dada seorang wanita yang baru melahirkan, pundak dan lengan. Juga memperlihatkan kaki dari lutut ke bawah, kaki yang betisnya gemuk memadi bunting dan mata kaki yang kecil berlekuk dalam. Sepasang kaki yang kecil itu berdiri di atas batu karang yang tercapai percikan ombak memecah di pantai.

Wanita itu adalah Kartikosari! Isteri Pujo yang bernasib malang ini telah melahirkan seorang anak perempuan, dua pekan yang lalu! Setelah ia berpisah dari Pujo di Guha Siluman akibat peristiwa di malam jahanam itu, dalam keadaan berkeliaran di sepanjang pantai Laut Selatan di daerah Baron dan Karangracuk setiap hari siang dan malam menangisi nasibnya, mengeluh meratapi nama suaminya, kadang-kadang memaki dan menyumpahi nama Wisangjiwo, atau ada kalanya tertawa-tawa dan bermain-main dengan ombak yang datang bergulung-gulung, beberapa bulan kemudian barulah ia sadar akan keadaan dirinya. Sadar bahwa ia telah mengandung!. Setengah hari Kartikosari menggeletak pingsan di dalam sebuah guha kecil di pantai Karangracuk yang ia jadikan tempat tinggalnya, setelah ia ketahui bahwa ia telah mengandung.

Di waktu sadar dari pingsannya,ia menangis menggerung-gerung, menjambaki rambutnya sendiri sampai rambut yang hitam halus dan panjang itu awut-awutan, mencakari mukanya yang cantik jelita sampai kulit yang halus dan kuning kemerahan itu menjadi merah oleh darah dari pipi yang terluka kuku, lalu menangis lagi bergulingan di lantai guha seperti anak kecil.

Setelah reda, ia terisak-isak menyembunyikan muka di balik kedua tangan, berlutut di dalam guha. Ingin ia membunuh diri. Tak kuat rasanya harus menghadapi penderitaan yang susul-menyusul, tindih-menindih ini. Namun, ia masih ingin hidup untuk melampiaskan dendamnya!.

Demikianlah, beberapa bulan lamanya Kartikosari mengalami penderitaaan lahir batin yang amat hebat. Ia makan seadanya, makan apa saja yang bisa ia dapatkan. Kadang-kadang ia mendaki bukit batu karang di utara, mencari ketela atau buah-buahan, ada kalanya ia hanya makan ikan laut dibakar. Namun, penderitaan lahir ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penderitaan batinnya dengan peristiwa malam jahanam di Guha Siluman, kadang-kadang ia seperti kalap dan gila, ingin ia merobe kperutnya sendiri untuk membuang jauh-jauh bayi yang mulai bergerak-gerak dalam kandungannya!.

Akan tetapi ada kalanya hati kecilnya membisikkan harapan bahwa kandungannya itu adalah darah daging Pujo, suaminya. Kalau menduga begini, ia akan mengelus-elus perutnya sambil meramkan mata, lalu merintih-rintih membisikkan nama suaminya.

Setelah merasa bahwa kandungannya sudah mendekati kelahiran, Kartikosari berjalan meninggalkan pantai, mencari orang. Setengah hari ia berjalan dan barulah ia melihat sebuah dusun kecil di lereng bukit, dusun yang penghuninya hanya petani-petani miskin di tanah kapur Gunung Kidul, tinggal dalam gubuk-gubuk kecil kotor dan miskin tak lebih dari tujuh buah gubuk. Namun hal ini cukup menggirangkan hati Kartikosari. Tubuhnya sudah lelah, hampir ia tak kuat berjalan tadi kalau saja ia tak melihat gubuk-gubuk itu dari puncak bukit. Ia tadi telah mengerahkan segenap sisa tenaganya untuk berjalan kearah dusun, dan setibanya di depan pintu gubuk pertama, matanya berkunang-kunang, perutnya sakit sekali dan ia terguling roboh pingsan di atas tanah.

Betapa ia ditolong beramai-ramai oleh penghuni dusun yang setengah telanjang karena miskin itu, ia tidak tahu. Betapa ia meronta-ronta, merintih-rintih dan bergulat dengan maut, iapun tidak tahu. Sejak roboh pingsan sampai melahirkan, Kartikosari dalam keadaan tidak sadar. Ketika ia sadar dengan tubuh lemas, ia telah berada di atas balai-balai bambu yang ditilami tikar anyaman dari daun kelapa, dan di dekatnya rebah seorang bayi yang masih merah, bayi perempuan telanjang bulat, gemuk dan berkulit putih bersih berambut hitam tebal, hanya tertutup sehelai popok (kain) kumal dan kotor!.

Ia tidak pernah menjawab hujan pertanyaan para penghuni dusun itu yang bicara penuh hormat kepadanya, yang menganggapnya seorang puteri bangsawan yang sesat jalan atau diculik perampok, bahkan ada beberapa orang yang berbisik mengira ia bukan manusia, melainkan seorang peri (setan perempuan) atau penghuni Laut Selatan! Ia tidak mau menjawab, akan tetapi bukan tidak berterima kasih. Dengan taat ia minum jamu-jamu pahit yang disediakan seorang nenek kurus, makan daging kelapa hijau atau bubur jagung yang disuguhkan orang, dan menerima pelayanan dan rawatan mereka selama dua pekan dengan senyum bersyukur.

Dan pada keesokan harinya setelah lewat dua pekan, penghuni dusun itu dengan heran dan kaget hanya mendapatkan sepasang gelang emas di atas balai-balai, sedangkan wanita cantik tapi agaknya gagu karena tak pernah bicara itu lenyap tak meninggalkan jejak, lenyap bersama bayinya yang cantik dan mungil bertubuh montok!

Tentu saja kini mereka makin percaya kepada dia yang pernah membisikkan bahwa wanita ayu itu tentulah seorang peri atau seorang puteri dari istana Ratu Roro Kidul di dasar Laut Selatan! Kalau manusia biasa, tak mungkin dapat pergi bersama bayinya tanpa ada yang tahu sama sekali, tidak meninggalkan jejak!.

Kartikosari tentu saja dapat pergi tanpa diketahui dengan mudah, mengandalkan ilmunya. Ia kembali ke Karangracuk dan berdiri di atas batu karang memaki-maki anak dalam pondongannya, kemudian matanya menjadi beringas ketika ia memandang ke arah gelombang Laut Selatan yang makin menggelora.

"Anak hina-dina! Kau tak patut hidup!" jeritnya dengan suara terpecah dalam tangis, lalu ia.. ... melemparkan anak itu jauh-jauh ke tengah laut yang bergelombang! Tanpa melihat lagi ia membalikkan tubuh, meloncat turun dari atas batu karang lalu berlarian sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan, kemudian menjatuhkan diri bergulingan di atas pasir sambil menangis.

Jantungnya terasa ditusuk-tusuk dan timbul rasa ngeri di hatinya untuk menoleh ke arah laut yang telah menelan bocah yang dilahirkannya dua pekan yang lalu. Suara ombak yang menderu itu masuk memenuhi telinganya, dan kini berubah menjadi suara tangis anak bayinya! Tangis yang amat nyaring sehingga ia tak kuasa menahan lagi, lalu menutupkan kedua tangannya kepada telinga. Namun, betapa keras ia menutupi telinganya, suara tangis itu masih terdengar terus, bahkan makin lama makin nyaring..

"Diam.......!! Jahanan! Diamlah.....!! " Ia menjerit-jerit bergulingan di pantai seperti disiksa, akhirnya suara jeritannya menjadi keluh dan rintih mengerang-erang per lahan. "..... diamlah....., diamlah, nak..... diamlah....." dan ia menangis tersedu-sedu.

Setelah mereda gelora hatinya, ia memberanikan diri menoleh ke arah laut. Laut masih mengganas, ombaknya besar-besar seakan-akan menjadi marah kepadanya. Ombak laut seperti terbakar, merah tersinar matahari yang hamper tenggelam di langit barat. Ombak merah menggelora, bergulung-gulung panjang seperti naga raksasa mengamuk.

Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat berdiri. Matanya dilebar-lebarkan memandang kepada sebuah benda yang tergolek di tepi pantai, diatas pasir. Ikankah? Ikan mati? Agaknya ikan mati, terdampar oleh ombak ke pantai. Putih berkilat seperti perut ikan, tak bergerak-gerak. Kartikosari bergidik, meremang bulu tengkuknya. Bentuk ikan itu! Aneh sekali! Hitam-hitam di ujungnya. Ekor? Terlalu besar. Dan mulutnya! Mengapa terpecah menjadi dua? Mulut? Mirip kaki. Kaki bayinya!. Benda itu bergerak-gerak, lalu terpecah suara tangis yang melengking. Meremang seluruh tubuh Kartikosari, bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tangis bayi! Tangis anaknya!.

"Anakku.......!!!" Kartikosari menjerit dan berlari cepat sekali seperti terbang ke arah benda putih itu. Ditubruknya bayi yang menangis terkekal-kekal itu, sambil berlutut di atas pasir ia mendekap bayi telanjang bulat itu ke dadanya, ditangisinya sambil terengah-engah, diciuminya, didekap lagi ke dada dan air matanya membanjir, mencuci pasir yang lekat-lekat pada tubuh bayi.

"Aduh, anakku....., anakku.......! Kau kembali......? Kau...... kau anak Pujo.........? Anakku.......! Ampuni ibumu, nak.....ampun.......!"

Ia tidak perdulikan lidah ombak menjilat-jilat kaki dan lututnya, seperti lidah anjing jinak menjilat-jilat kaki majikannya, rnohcn perhatian dan belas kasihan. Direnggutnya kain penutup dadanya sehingga tampak kedua buah dadanya yang montok dan penuh air susu, yang seakan-akan hendak pecah karena kulit yang tipis halus itu tak dapat menampung air susu yang terlalu penuh, dimasukkannya ujung buah dada yang merah itu ke mulut bayinya yang menangis keras.

Seketika terhentilah tangis bayi. Tanpa diajari oleh siapapun, manusia kecil itu lantas menghisap air susu dari dada ibunya, menghisap keras-keras dan terpancarlah air kehidupan itu menerjang tenggorokan yang kecil. Bayi itu tersedak dan terbatuk-batuk. Kartikosari melepas buah dadanya dari mulut bayinya, mulutnya berkata halus,

"Pissss.......! Pissss.......!" Sambil menebak-nebak dada sendiri perlahan.

Setelah anaknya tidak terbatuk-batuk lagi, kembali ia menyusui anaknya, sambil tertawa gembira dan air matanya menitik turun ketika ia berkata,
"Cah ayu....., perlahan-lahan saja menyusu, nak......, ibumu tidak marah lagi....... oh, tidak akan marah lagi....."

Dengan air mata mengalir di kedua pipinya, Kartikosari membelai-belai kepala anaknya dengan pipi, merasai betapa halus rambut anaknya tergeser di pipi. Ombak agak besar kini mencapai lutut dan pinggangnya. Kartikosari cepat berdiri agar anaknya tidak terkena air. Ia menoleh ke arah laut dan berkata,

"Terima kasih, ayahku Laut Selatan! Terima kasih! Kau telah mengembalikan cucumu kepadaku! Baik, akan kurawat dia, akan kujadikan dia seorang gadis yang patut menjadi cucu Laut Selatan!"

Kartikosari lalu berlari-lari mendukung anaknya yang masih menyusu lahap itu menuju ke dalam guha yang menjadi tempat tinggalnya. Semenjak saat itu, hidupnya mempunyai arah dan tujuan. Tidak hanya untuk membalas dendam kepada Wisangjiwo, akan tetapi juga untuk merawat dan mendidik puterinya. Endang Patibroto! Ya, demikianlah ia memberi nama kepada puterinya. Endang Patibroto. Patibroto berarti setia kepada suami. Ya, memang ia selalu setia kepada suaminya, bahkan terjadinya peristiwa hina di malam jahanam dalam Guha Siluman sehingga menimbulkan akibat seperti yang dideritanya sekarang, semata-mata karena kesetiaannya kepada suaminya.

Tak peduli anak siapa bayi itu, ia tetap setia kepada suaminya, setia lahir batin. Biarlah dunia mengutuknya, biarlah suaminya mengumpat caci dan tidak mempercaya akan kesetiaannya, namun Laut dan Badai tahu! Dia sendiri tahu! Puterinya tahu! Karena itu, puterinya harus bernama Endang Patibroto sebagai bukti dan penguat kesetiaannya. Mulailah Kartikosari memperhatikan kesehatannya, demi puterinya, demi Endang Patibroto. Mulai ia membawa sisa perhiasan emasnya ke dusun dan minta kepada penghuni dusun yang keheranan itu untuk membawa perhiasannya ke kota, menjual dan menukarkan dengan pakaian dan kebutuhan lain.

Mulailah ia kini setiap hari mencari sarang burung di tempat-tempat yang sukar, lalu menyuruh penghuni dusun menjualnya ke kota. Di kota banyak terdapat pedagang yang suka berdagang ke kota-kota besar dan kabarnya sarang burung itu dijualnya kepada Bangsa Cina dengan harga tinggi.

IA MERAWAT puterinya penuh kasih sayang, penuh perhatian. Di samping ini ia tekun pula bertapa, tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diperdalamnya, bahkan ia mulai merangkai ilmu-ilmu pukulan sambil meneliti gerakan burung-burung walet dan burung camar (elang laut), merangkai ilmu merayap sambil meneliti gerakan bermacam kepiting dan ilmu meloncat berdasarkan gerakan monyet yang banyak berkeliaran di pantai. Ia menghimpun tenaga, memperdalam ilmu, bukan hanya untuk kelak membalas dendam kepada musuh besarnya, melainkan juga untuk diturunkan kelak kepada Endang Patibroto!.

Mulailah ia melihat matahari bersinar, mulailah sinar gembira bernyala dalam dadanya, karena hidupnya kini ada artinya. Ia berpesan dan disertai ancaman kepada penghuni dusun yang pernah menolongnya agar mereka itu tidak menceritakan keadaan dirinya kepada orang lain. Karena penduduk dusun kini yakin, bahwa puteri cantik ini benar-benar bukan manusia, kalau datang dan perginya bukan berjalan melainkan terbang, tentu saja mereka ketakutan dan mentaati pesan ini. Kartikosari sengaja memperlihatkan kepandaiannya dan bergerak secepat terbang untuk memaksa mereka takut dan percaya kepadanya.

**** ****

Lanjut ke Jilid 012►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment