Ads

Tuesday, December 11, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 013

Lanjut ke Jilid 014►►►►
◄◄◄◄ Kembali

"Heh-heh-heh-heh, huh-huh-huh, seorang tua Bangka macam aku ini, mengapa masih dibutuhkan oleh Adipati Joyowiseso, raden? Untuk menghadapi Kerajaan Medang, sepantasnya dibutuhkan orang-orang muda seperti angger, raden. Tua bangka seperti aku ini untuk apa? Huh-huh-huh!"

Yang bicara dengan lagak lagu seperti Bhagawan Durno di zaman Mahabharata itu adalah seorang pertapa tua renta, tubuhnya tinggi kurus agak bongkok, tangannya membawa seuntai tasbih panjang berwarna hitam, pakaiannya seperti seorang cantrik (murid pendeta). Inilah Cekel Aksomolo, seorang pertapa di lereng Gunung Wilis, seorang sakti mandraguna yang puluhan tahun lamanya tidak pernah meninggalkan hutan Werdo di lereng itu. Dia bicara dengan Jokowanengpati, dan ketika ia menyebut Kerajaan Medang, ia maksudkan Kerajaan Mataram. Memang sesungguhnya, sejak permulaan abad ke sepuluh (kurang lebih tahun 928), Kerajaan Mataram dikenal pula dengan nama baru, yaitu Kerajaan Medangkamulan,atau Medang yang dimulai dengan rajanya yang bernama Empu Sindok (929 - 947).

"Eyang Cekel terlalu merendahkan diri," kata Jokowanengpati memuji. "Siapakah yang tidak tahu bahwa sang pertapa Cekel Aksomolo amat sakti mandraguna, manusia setengah dewa yang sukar dicari tandingnya di seluruh jagat raya ini? Kita bersama telah mengalami penghinaan dari Raja Airiangga, anak Bali itu. Akan tetapi, karena Raja Mataram itu didukung oleh banyak orang pandai, bagaimana kita akan mampu menghadapinya untuk membalas dendam kalau kita tidak bersatu-padu? Oleh karena cita-cita yang murni inilah, eyang!. Maka paman Adipati Joyowiseso mengutus saya menghadap eyang Cekel Aksomolo, mohon bantuan eyang dalam menghadapi orang-orang sakti yang diperhamba oleh Mataram."

"Huh-huh-huh, lucu..... lucu.....! Bukankah engkau ini murid Bharodo, Raden Jokowanengpati? Dan Empu Bharodo adalah penasehat si putera Bali Raja Mataram! Heh-heh, orang muda, harap kau jangan mempermainkan aku si tua bangka!"

"Ah, tidak..... tidak sama sekali tidak, eyang! Bukan baru sekarang eyang mengenal saya, apakah pernah saya membohongi eyang? Mana saya berani? Memang betul bahwa guru saya Empu Bharodo mendukung Mataram, dan karena perbedaan faham inilah maka saya diusir pergi oleh bapa empu. Bapa Empu Bharodo terlalu lemah semangatnya, karena itu pula maka saya bersekutu dengan Adipati Joyowiseso dan mengumpulkan sahabat-sahabat sakti dari empat penjuru untuk menghadapi Mataram! Banyak tokoh sakti sudah menyiapkan diri membantu, di antaranya Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo, Ki Krendoyakso dari Begelen. Ni Durgogini dewi sakti dari Girilimut, dan Ni Nogogini dewi Laut Selatan!"

"Wah-wah, begitu banyak tokoh sakti sudah membantu, mengapa kau masih mencari aku, raden?"

"Bukan begitu, eyang. Betapapun sakti mereka, tanpa bantuan eyang saya rasa akan sukar mengalahkan para senopati dan tokoh Mataram. Apalagi dalam menghadapi Resi Bhargowo, saya benar-benar mengharapkan bantuan eyang. Bahkan kedatangan saya menghadap eyang hari ini adalah untuk mohon bantuan eyang menghadapi Resi Bhargowo untuk merampas kembali cucu paman Adipati Joyowiseso dan seorang puterinya yang telah diculik Resi Bhargowo dan mantunya."

"Uh-uh-uh! Resi Bhargowo sampai berani menculik cucu dan puteri Adipati Selopenangkep?"

"Betul, eyang. Mantunya datang mengamuk di kadipaten, membunuh banyak pengawal dan hampir saja paman adipati juga terbunuh. Untung saya kebetulan berada di kadipaten dan saya berhasil menolong paman adipati, akan tetapi karena Resi Bhargowo membantu mantunya, maka mereka berhasil menculik cucu dan puteri paman adipati."

Akhirnya setelah diberi janji-janji muluk oleh Jokowanengpati, bahwa kelak apabila mereka berhasil menjatuhkan Sang Prabu Airlangga, tentu kakek ini akan diberi hadiah kedudukan tinggi di kota raja, Cekel Aksomolo menjadi tertarik dan berangkatlah mereka keluar dari hutan Werdo di lereng Gunung Wilis, melakukan perjalanan ke barat untuk mencari Resi Bhargowo dan Pujo!.

Mereka berdua mampir di Kadipaten Selopenangkep dan tentu saja Adipati Joyowiseso menyambut kedatangan Cekel Aksomolo dengan penuh penghormatan, menjamunya dengan hidangan-hidangan istimewa, bahkan pada malam harinya tamu kakek yang bungkuk dan aneh ini disuguhi tari-tarian yang ditarikan wanita-wanita cantik jelita dan muda genit!.

Sambil minum tuwak (minuman keras) Cekel Aksomolo tertawa-tawa dilayani Jokowanengpati dan Adipati Joyowiseso sendiri. Untuk menyenangkan tamu dan tuan rumah Jokowanengpati menceritakan tentang kehetatan ilmu kesaktian pertapa Gunung Wilis itu.

"Paman adipati, biarpun kelihatannya eyang Cekel Aksomolo sudah beryuswa (berusia) lanjut, namun kekuatannya masih luar biasa dan gerakannya cepat sekali. Kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tidak percaya. Saya sendiri ketika mengajak beliau ini ke sini dan melakukan perjalanan bersama, harus mengerahkan seluruh ilmu berlari cepat agar tidak ketinggalan, padahal Ilmu Bayu Sakti yang saya pergunakan itu biasanya tidak pernah kalah oleh ilmu lain golongan!"

"Heh-heh-uh-uh-uh, bisa saja Raden Jokowanengpati memuji!" Si kakek berkata sambil tertawa sedangkan di dalam hatinya terasa bangga sekali. "Mana aku yang tua mampu menandingi Bayu Sakti? Harap kanjeng adipati jangan percaya akan obrolan seorang muda!"

Adipati Joyowiseso tertawa.
"Biarpun anakmas Jokowanengpati tidak menceritakannya, sayapun sudah mendengar tentang kehebatan ilmu bapa cekel yang sakti mandraguna. Bukannya saya kurang percaya, akan tetapi saya mohon sudilah bapa memberi sedikit petunjuk untuk lebih menggembirakan pesta kecil ini."

"Uh-huh-huh, saya tua bangka ini bisa apa sih? Hanya kulihat tiga orang penari yang denok ayu itu terlalu lambat tariannya. Bagaimana pendapat paduka kalau saya membuat mereka menari lebih cepat lagi?"

Adipati Joyowiseso merasa heran, akan tetapi ia mengangguk tanda menyetujui. Sambil tertawa-tawa kakek pertapa Gunung Wilis itu kemudian menggerak-gerakkan tasbih hitam yang tak pernah terlepas dari tangannya. Terdengarlah bunyi tak-tik-tak-tik yang aneh, tidak keras namun nyatanya dapat menyusup di antara suara gamelan, bahkan makin lama makin menguasai suara dan menelan semua suara gamelan.

Anehnya, para penabuh gamelan itu tidak merasa betapa irama lagu kini makin lama makin cepat, terseret oleh arus yang keluar dari suara berketiknya biji-biji tasbih, dan beberapa menit kemudian suara gamelan menjadi cepat menggila, dan hebatnya, para penari kinipun menari cepat sekali seperti kesetanan! Tentu saja pertunjukan ini menjadi aneh sekali karena para penari itu menari seperti orang kesurupan, membuat gerakan-gerakan yang menggairahkan, membusung-busung dada, memutar-mutar pinggul, menggeleng-geleng kepala, matanya mengerling ke kanan kiri dan mulut yang tersenyum-senyum itu kini mulai tertawa-tawa!.

Mula-mula para tamu, termasuk Adipati Joyowiseso bergelak dan terpingkal-pingkal, tetapi akhirnya mereka memandang dengan khawatir karena di antara para penabuh gamelan ada yang roboh pingsan, sedangkan para penari juga sudah mulai pucat, keringat mereka membuat wajah dan leher sampai ke pundak berkilau, langkah kaki mereka mulai terhuyung-huyung!.

"Bapa Cekel, saya rasa cukuplah, harap bapa menaruh kasihan kepada mereka."

Mendengar permintaan adipati ini, Cekel Aksomolo menghentikan gerakan tasbihnya dan otomatis suara gamelan terhenti karena sudah tidak karuan lagi iramanya. Tiga orang penari itupun dengan tubuh lemas menjatuhkan diri di atas lantai, duduk dan menghapus keringat dengan selendang mereka. Seorang di antara mereka, yang paling muda dan paling cantik, menoleh ke arah Cekel Aksomolo, merengut dan melerok, agaknya tahu bahwa yang main-main tadi adalah kakek tua yang aneh ini.

Cekel Aksomolo tertawa.
"Huh-huh, penari-penarimu denok-denok dan ayu, kanjeng adipati, terutama sekali yang berselendang hijau itu. Harap paduka suka menyuruh dia berdiri, saya ingin sekali melihat bentuk tubuhnya...... heh-heh-heh."

Adipati Joyowiseso tersenyum. Ia sudah mendengar dari Jokowanengpati bahwa kakek sakti ini mempunyai semacam penyakit, yaitu suka menggodai wanita-wanita muda! Maka ia lalu berkata perlahan,
"Dia memang paling muda dan pandai, bapa, dan selain menari dan bertembang, iapun pandai sekali memijati urat mengusir pegal lelah."

Dengan tangannya sang adipati memberi isyarat. Penari muda berselendang hijau itu segera bangkit berdiri, tunduk akan perintah junjungannya. Adipati Joyowiseso lalu memberi isyarat supaya gamelan ditabuh kembali dan mengisyaratkan si selendang hijau untuk menari seorang diri.

Agaknya penari muda ini dapat menduga pula bahwa kakek itulah agaknya yang minta kepada sang adipati untuk memerintahnya menari lagi, maka sekali lagi ia melempar kerling ke arah Cekel Aksomolo. Dua orang penari lain mengundurkan diri duduk dekat para penabuh gamelan. Agaknya memang penari muda yang banyak disuka ini biasanya dimanjakan orang, maka kali ini ia menumpahkan kemarahan hatinya kepada Cekel Aksomolo. Ketika ia mulai menembang sambil menari mengikuti irama gamelan, ia sengaja memasukkan kata-kata sindiran kepada Cekel Aksomolo yang menimbulkan kemendongkolan hatinya.

"Kakek tuwek untune entek clelak-clelek tur elek, ora melek kok isih arep golek-golek! (Kakek tua giginya habis, menjemukan dan buruk, tak membuka mata masih ingin mencari-cari!)"

"Uuuh-huh-huh, sialan awakku!" Cekel Aksomolo mengeluh sambil terkekeh. "Di cuci habis-habisan oleh si denok ayu!"

"Akan kuhukum dia, bapa.......!" kata Adipati Joyowiseso, mukanya menjadi merah karena iapun dapat menangkap sindiran yang ditujukan si penari berselendang hijau kepada Cekel Aksomolo.

"Aahhh, jangan, kanjeng adipati. Dia benar! Biarlah nanti saja sehabis menari dia memijat punggungku yang lelah. Uhhuh-huh, sekarang ingin kulihat bentuk tubuhnya......."

Setelah berkata demikian,Cekel Aksomolo menggerakkan tangan kirinya seperti mendorong, kemudian memutarkan tangan itu ke depan. Terjadilah keanehan. Dari tangan itu menyambar hawa berciutan ke arah si penari dan tiba-tiba pakaian si penari berselendang hijau itu terlepas semua!.

Sejenak ia berdiri bengong dalam keadaan telanjang bulat, kemudian ia menjerit-jerit dan dengan gugup menyambar pakaiannya yang sudah terlepas di bawahnya, menarik pakaian itu sedapatnya menutupi tubuhnya lalu ia lari sambil menangis kesamping pendopo yang gelap!.

Sejenak orang terkesima, akan tetapi lalu terdengar suara ketawa meledak terkekeh-kekeh. Adipati Joyowiseso memberi perintah agar gamelan dilanjutkan, kini dua orang penari itu yang menari dan menembang bergantian. Jokowanengpati memberi keterangan kepada Adipati Joyowiseso yang mendengarkan penuh kagum.

"Paman, alanglah hebatnya kepandaian eyang Cekel."

"Bukankah itu ilmu sihir?" tanya sang adipati.

"Sama sekali bukan, paman. Eyang Cekel Aksomolo terkenal karena senjatanya yang ampuh dan yang juga menjadi nama julukannya, yaitu Aksomolo Ireng (Tasbih Hitam). Baru suaranya ketika digerakkan saja mampu menimbulkan suasana mujijat, apalagi kalau dipergunakan untuk bertanding! Pula, yang menelanjangi penari kewek (genit) tadi bukanlah ilmu sihir, melainkan ilmu pukulan jarak jauh yang sudah mencapai puncak kesempurnaan!"

Makin kagum dan hormatlah Adipati Joyowiseso terhadap tamu agungnya. Malam itu si penari remaja yang denok ayu, penari berselendang hijau itu harus menebus kelancangannya sore tadi dengan penyerahan dirinya kepada si tua bangka! Tebusan yang amat hebat mengerikan baginya, yang membuat ia pada keesokan harinya seperti orang kehilangan semangat, dan membuat ia pada malam-malam berikutnya sering girap-girap (menjerit-jerit dalam tidur)!.

Setelah bermalam selama sepekan di Kadipaten Selopenangkep, berangkatlah Jokowanengpati bersama Cekel Aksomolo menuju Sungapan. Untuk memperkuat tugas mereka sebagai utusan kadipaten, sepasukan perajurit kadipaten terdiri dari dua losin orang mengawal mereka. Kali ini Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati menunggang kuda, juga pasukan perajurit itu semua berkuda. Ketika pondok Bayuwismo yang terletak di depat pantai dan Sungapan Kali Progo sudah tampak dari jauh, Cekel Aksomolo menyuruh dua losin orang pengawal itu berhenti :

"Kalian tak boleh masuk rumah itu, bahkan jangan terlalu dekat. Berhentilah di sini, berjaga-jaga saja menanti perintah."

Kemudian la mengeluarkan dua bungkusan kain kecil dan memberikannya kepada Jokowanengpati.
"Raden, kalau sewaktu-waktu aku terpaksa menggunakan suara tasbih, akan kuberi tanda dan kau harus memasukkan benda-benda ini menutupi kedua lubang telingamu."

Jokowanengpati menerima dan mengangguk, maklum akan keampuhan tasbih itu. Mereka berdua lalu melangkah mendekati pondok yang bersunyi sendiri tanpa tetangga di tepi pantai. Berdebar juga hati Jokowanengpati. Yang sedang ia datangi ini adalah pondok Resi Bhargowo, paman gurunya yang ia ketahui memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingnya. Untuk menghadapi Pujo ia tidak takut. Dan untuk menghadapi Resi Bhargowo, kiranya Cekel Aksomolo merupakan lawan setingkat. Akan tetapi ia gentar kalau teringat kepada Kartikosari.

Benar bahwa Pujo dahulu menyatakan bahwa Kartikosari seakan-akan sudah mati, akan tetapi betulkah itu? Menghadapi Pujo ia tidak takut, juga tentang ilmu kepandaian Kartikosari, iapun tidak takut. Yang membuat ia gelisah adalah jika Kartikosari berada di situ, terdapat bahaya akan
terbongkar rahasia perbuatannya di malam badai dalam Guha Siluman itu.

Memang, Kartikosari tidak akan menduganya, namun apabila wanita itu melihat buntungnya kelingking kiri tangannya, tentu akan menimbulkan dugaan dan curiga. Betapapun juga, hati Jokowanengpati menjadi besar lagi kalau ia teringat akan kedigdayaan Cekel Aksomolo dan mereka melangkah terus mendekati pondok sunyi.

Selain itu, Pujo sendiri tampak jelas sikapnya bahwa ia tidak tahu akan rahasia itu. Andaikata Kartikosari berada dengan suaminya, tentu wanita itu akan menceritakan tentang buntungnya kelingking tangan dan tentu Pujo sudah akan menyangka dia, atau setidaknya akan bercuriga. Peristiwa itu sudah lewat setahun lebih, dan ia tidak perlu takut-takut lagi, karena andaikata diketahui sekalipun, tetap ia akan menjadi lawan mereka. Sekutunya memiliki banyak orang sakti, takut apa ?

Telah kita ketahui bahwa setahun kurang semenjak terjadinya badai Laut Selatan yang mengamuk hebat dan menghancurkan pondok, Resi Bhargowo meninggalkan Bayuwismo di Sungapan, meninggalkan pondok yang sudah dibangun lagi itu kepada para cantriknya, bahkan lalu meninggalkan nama lama, mengganti julukan dengan Bhagawan Rukmoseto dan melakukan perjalanan lelana brata untuk menghibur batinnya yang terguncang hebat setelah menduga bahwa puteri dan mantunya tentu tewas ditelan badai.

Pertapa ini meninggalkan pondoknya Bayuwismo di Sungapan dan menyerahkan pondok itu di bawah pengawasan dan dalam pemeliharaan enam orang cantriknya yang dipimpin oleh cantrik Wisudo. Karena pondok itu berdiri si tepi pantai terbuka, maka kedatangan Cekel Aksomolo yang langkahnya terseok-seok dan terbongkok-bongkok bersama Jokowanengpati, segera terlihat oleh enam orang cantrik. Para cantrik itu sedang sibuk, ada yang memperbaiki perahu bocor, ada yang menambal jala, karena di daerah yang tanahnya tidak subur seperti pantai selatan itu, mereka bekerja sebagai nelayan, mencari ikan di sepanjang pantai dan muara Sungai Progo.

Kini mereka meninggalkan pekerjaan masing-masing, berkumpul dan menyambut kedatangan dua orang itu dengan sikap tenang juga heran. Apalagi setelah kedua pendatang itu dekat, cantrik paling tua yang pernah bertemu dengan Empu Bharodo, segera mengenal Jokowanengpati. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka mengenal kakek tua tinggi kurus dan bongkok yang membawa seuntai tasbih hitam itu. Cantrik Wisudo memimpin lima orang saudaranya menyambut di luar pondok, cepat memberi hormat dan berkata,

"Selamat datang di Bayuwismo, Raden Jokowanengpati! Selamat datang saudara tua cantrik, apakah saudara ini seorang cantrik dari Lembah Konta?"

Wisudo menyangka bahwa cantrik tua yang dating bersama Jokowanengpati itu seorang cantrik pengikut Empu Bharodo yang bertapa di lembah Sungai Konta di lereng Gunung Anjasmoro.

"Hoh-hoh-hoh, bukan..... bukan!" jawab Cekel Aksomolo terkekeh-kekeh. "Aku adalah cantrik yang sudah berdikari! Bukan cantrik yang menghamba kepada seorang pendeta, melainkan bekas cantrik yang kini menjadi pertapa. Aku Cekel Aksomolo, pertapa di hutan Werdo. akulah yang mbaurekso (dewa penjaga) Gunung Wilis, huh-huh-huh!"

Cantrik Wisudo dan saudara-saudaranya merasa tak senang mendengar dan melihat sikap pembicaraan Cekel Aksomolo yang jelas membayangkan kesombongan. Akan tetapi mereka juga merasa geli dalam hati melihat persamaan kakek itu dengan tokoh cerita Maha Bharata, yaitu tokoh Begawan Durno! Karena maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang sombong, Wisudo lalu tidak mau mengacuhkan lagi dan berpaling kepada Jokowanengpati yang sedang mencari-cari dengan pandang matanya ke arah pondok dan sekitarnya.

"Raden Jokowanengpati, ada keperluan apakah raden datang ke tempat sunyi ini? Apakah diutus oleh paman Empu Bharodo?"

"Eh, kakang cantrik Wisudo!" Pemuda ini berkata tak senang. "Kami sudah datang ke sini, mengapa engkau tidak lekas-lekas melaporkan kedatangan kami kepada paman Resi Bhargowo? Mengapa engkau lancang mengadakan penyambutan sendiri?"

"Huh-huh-huh, benar..... benar....., segala macam cantrik cilik mau tahu saja, heh-heh!"

Panas hati Wisudo dan saudara-saudaranya mendengar ucapan Cekel Aksomolo itu, akan tetapi karena kakek itu datang bersama Jokowanengpati, mereka menahan sabar. Wisudo menjawab,
"Ketahuilah, raden. Baru beberapa hari ini sang resi telah pergi meninggalkan pondok, karena sang resi tidak ada maka saya berani mewakilinya menyambut tamu yang datang."

Jokowanengpati kecewa.
"Paman Resi Bhargowo bepergian? Ke mana.......??"

"Raden, sebagai murid terkasih paman Empu Bharodo, bagaimana raden masih mengajukan pertanyaan ini? Kemanakah perginya seorang pertapa? Kemana lagi kalau tidak melakukan lelana brata, melaksanakan tugas suci memberi penerangan bagi yang gelap, mencarikan tongkat bagi yang pincang dan mengulurkan tangan menolong mereka yang memerlukan pertolongan."

"Cukup! Tak perlu kau memberi wejangan! Lalu......., di mana adanya Pujo dan Kartikosari ? "
Kembali pandang mata Jokowanengpati liar mencari-cari. Mulai tak enaklah hati para cantrik Bayuwismo, dan makin panas hati Wisudo.

"Merekapun tidak berada di sini, dan harap jangan tanyakan kepada kami ke mana mereka pergi, karena kami sendiri tidak tahu."

Jokowanengpati tampak kecewa sekali. Ia menoleh kepada Cekel Aksomolo dengan keping berkerut.
"Bagaimana ini, eyang? Kedatangan kita sia-sia....."

"Ooohh-hoh, jangan percaya segala cantrik cilik yang omongannya molak-malik. Tentu mereka ini tahu di mana Sembunyinya Resi Bhargowo dan Pujo! Resi pengecut itu bersama mantunya tentu telah melihat kita datang, lalu mereka pergi menyembunyikan diri, dan cantrlk-cantrik penguk ini sengaja membohong."

Jokowanengpati dalam hatinya tidak percaya bahwa orang seperti paman gurunya itu akan lari menyembunyikan diri, akan tetapi dia diam saja, lalu ia berkata,
"Kakang cantrik Wisudo, aku akan melihat apakah benar-benar paman resi tidak berada di dalam pondok!"

Setelah berkata demikian, cepat sekali tubuhnya berkelebat memasuki pondok. Enam orang cantrik Bayuwismo marah melihat kelancangan Jokowanengpati, akan tetapi tak mungkin mereka dapat menghalangi karena pemuda itu mempergunakan Aji Bayu Sakti sehingga gerakannya seperti terbang saja. Oleh karena tidak berdaya menghadapi murid Empu Bharodo yang sakti itu, cantrik Wisudo dan lima orang saudaranya menumpahkan kemarahan hati kepada Cekel Aksomolo!. Cantrik Wisudo melotot memandang kepada kakek itu dan membentak.

"Heh, Cekel Aksomolo! Kau ini seorang tua bangka yang tak patut dihormati orang muda. Pekertimu seperti ini sungguh tidak patut, apalagi mengingat pengakuanmu bahwa engkau sudah menjadi pertapa. Kata-katamu berbisa seperti Durno, tingkahmu sombong dan tak tahu malu. Ingatkah kau bahwa kami ini tuan rumah sedangkan engkau hanyalah seorang tamu tak diundang?"

"Wuah-wah, huh-huh, kurang ajar! Bocah cilik kurang ajar! Cantrik okrak-akrik bocah kemarin sore, berani kurang ajar terhadap Cekel Aksomolo? Apakah sudah bosan hidup?"

"Mengapa tidak berani? Bukan usia tua yang kulawan, bukan pula orangnya yang kucela, melainkan pekertinya! Biarpun engkau tua, pekertimu seperti bocah nylelek. Apalagi engkaupun hanya seorang cekel, seorang cantrik, sama dengan kami! Hayo pergi dari sini, tak sudi kami melihat tingkahmu lebih lama lagi!"
Kini Wisudo sudah maju dengan sikap menantang.

"Waduhhh, kalau aku tidak mau pergi bagaimana?"

"Akan kami usir dengan kekerasan!" bentak cantrik Wisudo yang sudah marah.

"Uuhhh, uuhh, tidak kajen (terhormat) awakku.......! Cantrik cilik kalian minta dihajar, biar kalian rasakan kesaktian Cekel Aksomolo!"

Tiba-tiba kakek ini menggerakkan tasbih hitamnya, diputar-putar di udara dan terdengarlah suara nyaring dan aneh. Tadinya cantrik Wisudo dan lima orang saudaranya menyangka bahwa kakek yang seperti orang gila itu hendak menyerang mereka dengan hantaman tasbih, akan tetapi ternyata tasbih itu hanya diputar-putar di atas kepala dan sama sekali kakek itu tidak menyerang mereka.

Tentu saja mereka merasa heran dan geli, mengira bahwa kakek ini benar-benar miring otaknya. Akan tetapi mendadak cantrik Wisudo merasa betapa suara yang berkeritikan dan aneh itu kini mengaung-ngaung dan menyerang telinga dan menimbulkan rasa nyeri seakan-akan telinganya ditusuk-tusuk lidi! Kagetlah Wisudo, dan lebih lagi kagetnya melihat seorang di antara saudaranya sudah roboh terguling, mengaduh-aduh karena telinga kirinya mengeluarkan darah!

Cepat cantrik Wisudo menjatuhkan diri duduk bersila mengerahkan kekuatan batinnya. Saudara-saudaranya juga cepat mencontoh perbuatan Wisudo, hanya seorang cantrik yang masih berdiri, bahkan kini bingung menolong cantrik yang telinga kirinya berdarah. Cantrik ini adalah cantrik Wistoro. Cantrik Wistoro bingung sekali melihat akibat yang amat hebat, karena biarpun sudah bersila mengerahkan tenaga batin, tetap saja cantrik-cantrik Bayuwismo itu tidak tahan terhadap suara mujijat dari tasbih itu.

Memang hebat bukan main akibat suara ini. Para cantrik, kecuali Wistoro, sudah duduk bersila meramkan mata. Namun, seorang demi seorang tak kuat bertahan, mulailah darah menetes-netes keluar dari dalam telinga mereka dan yang paling akhir, cantrik Wisudo sendiri yang ilmunya paling tinggi di.antara saudara-saudaranya, juga tidak tahan lagi dan kedua telinganya mengeluarkan darah dari luka di dalam karena kendangan telinga mereka telah pecah oleh suara mujijat.

Cekel Aksomolo tertawa terkekeh-kekeh. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak heran ketika ia melihat seorang diantara para cantrik itu tidak apa-apa, tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya. Cantrik Wistoro ini sama sekali tidak mengeluarkan darah dari kedua telinganya, bahkan kini ia sibuk merawat saudara-saudaranya, mengusap dan membersihkan darah yang keluar dari telinganya, sambil matanya kadang-kadang melotot ke arah Cekel Aksomolo! Tentu saja Cekel Aksomolo terkejut sekali! Ia tidak percaya ada seorang cantrik yang mampu menahan suara tasbihnya, maka ia melangkah mendekati dan kini ia menggoyangkan tasbihnya lebih keras lagi, dekat telinga cantrik Wistoro! Para cantrik lainnya hanya memandang, mereka sudah tidak lagi terpengaruh suara tasbih karena sudah tak dapat mendengar, hanya merasakan nyerinya bekas kendangan telinga yang pecah. Biarpun diserang suara sedemikian hebatnya, cantrik Wistoro enak-enak saja, sama sekali tidak mengerahkan tenaga batin untuk menahan, akan tetapi sedikitpun ia tidak terpengaruh!

Bimbanglah hati Cekel Aksomolo! Betapapun saktinya seorang lawan, kalau diserang suara tasbihnya dari jarak sedekat itu dengan telinga, pula tanpa pengerahan tenaga sakti untuk melawan, tak mungkin akan kuat bertahan. Akan tetapi cantrik muda ini enak-enak saja. Dapat dibayangkan betapa saktinya cantrik ini! Ataukah tasbihnya yang kehilangan keampuhan?.

Pada saat itu Jokowanengpati sudah melompat keluar dari pondok setelah sia-sia melakukan penggeledahan. Begitu keluar ia terkejut mendengar suara berkeritikan yang amat kecil dan tinggi nadanya, menyerang telinganya serasa jarum menusuk.

Cepat ia mengeluarkan benda pemberian Cekel Aksomolo dan menyumpal kedua telinganya. Dengan alat penahan ini, tanpa pengerahan tenaga sakti ia dapat mendekat. Iapun ikut terheran-heran melihat seorang cantrik muda yang tak dikenalnya sedang merawat lima orang cantrik lain yang rebah tidak karuan dengan telinga berdarah, dan melihat Cekel Aksomolo membunyikan tasbih di dekat telinga cantrik muda itu, ia makin heran lalu mendekat.

Cekel Aksomolo menghentikan bunyi tasbihnya dan menghapus keringat dengan ujung lengan baju. Menggerakkan tasbih mengeluarkan suara mujijat membutuhkan pengerahan tenaga sakti yang besar dan dia tadi sudah bersusah payah dalam penasarannya untuk merobohkan Wistoro, namun sia-sia.

Kini ia mengulur tangan membuka penutup telinga yang ia pakai sendiri sambil menjenguk ke arah lubang telinga Wistoro untuk melihat kalau-kalau cantrik itu menggunakan alat penutup lubang telinga. Akan tetapi sama sekali tidak. Ketika ia mengincar ke arah lubang kedua telinga cantrik itu, ia hanya melihat tai telinga dan bulu-bulu telinga! Makin penasaranlah dia. Kalau begini, tentu tasbihku yang kehilangan keampuhannya. Maka ia mendekatkan tasbih di depan telinga kanannya, lalu mengguncang tasbih itu.

"Ttrrrriiiikk!"

Dan akhirnya...... Cekel Aksomolo roboh terguling! Cepat-cepat ia melompat bangun dan matanya berair. Sakit sekali rasa telinga kanannya sampai air matanya keluar. Ternyata tasbihnya masih ampuh, tenaga saktinya masih hebat! Akan tetapi mengapa cantrik muda itu tidak terpengaruh? Ia menutupi lagi telinganya dan mendekati cantrik Wistoro, menggerakkan tasbih di dekat telinganya.

"Ttriiiik!"

Wistoro tidak terguncang sama sekali, hanya menoleh dan memandang dengan mata melotot.

"Uuuhhh-huh-huh, kiranya engkau memiliki ilmu juga!"

Akhirnya Cekel Aksomolo berkata sambil menghentikan bunyi tasbihnya dan melepas penutup telinga. Jokowanengpati juga membuka penutup telinganya. Wistoro diam saja, hanya mulai memapah saudara-saudaranya memasuki pondok, seorang demi seorang. Kemudian ia pergi keluar lagi dan duduk bersila di depan pintu pondok, sama sekali tidak memperdulikan Cekel Aksomolo yang menantang-nantangnya.

"Hayo berdiri, cantrik bungkik! Hayo kita bertanding untuk menentukan keunggulan!" Cekel Aksomolo mencak-mencak dan memutar-mutar tasbihnya di atas kepala sampai mengeluarkan suara seperti lebah mengamuk. Namun Wistoro yang ditantang itu hanya duduk bersila tanpa bergerak.

Melihat lagak Cekel Aksomolo, diam-diam Jokowanengpati mendongkol. Ia sudah merasa kecewa sekali melihat kenyataan bahwa Resi Bhargowo, Pujo dan Kartikosari tidak berada di tempat itu. Perjalanannya sia-sia belaka, bahaya yang mengancam dirinya belum dapat dilenyapkan. Kekecewaan itu menjadi rasa mendongkol ketika melihat betapa Cekel Aksomolo "jagoannya" itu kini mencak-mencak dan marah-marah terhadap seorang cantrik yang tiada artinya!

"Sudahlah, eyang Cekel. Untuk apa melayani cantrik? Marilah kita pergi dari sini, kita cari Resi Bhargowo dan Pujo sampai dapat." Ia membujuk.

"Dia menghinaku benar-benar! Dia tidak memandang mata kepadaku! Suara sakti tasbihku dianggap kentut saja! Tantanganku dianggap angin lalu! Biar dia sakti mandraguna putera dewata sekalipun, akan mampus dia bertanding melawan Cekel Aksomolo yang mbaurekso Wilis!"

Jokowanengpati memegang lengan kanan kakek yang mencak-mencak itu sambil berbisik dekat telinganya,
"Eyang Cekel, percuma eyang melayani dia! Dia itu adalah seorang yang tuli dan gagu!"

"Hahh.......??! Demi iblis puncak Wilis! Huuh-huh-huh, dasar pikun! Pantas saja suara sakti tasbihku tidak mempengaruhinya! Kiranya kedua telinganya sudah bobrok! Yang sudah bobrok, mana bisa rusak lagi?"

Cekel Aksomolo menggaruk-garuk belakang telinganya, mukanya merah karena malu.

"Sudahlah, eyang. Lebih baik kita pergi mencari Resi Bhargowo dan Pujo. Kurasa mereka tidak pergi jauh dari sini."

Karena takut kakek itu melakukan perbuatan edan-edanan lagi, Jokowanengpati menuntunnya pergi dari situ, kembali ke tempat pasukan yang menanti. Diam-diam ia menyesal juga mengapa kakek ini melukai para cantrik yang sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan mereka, para cantrik yang seperti juga cantrik-cantrik gurunya, merupakan orang-orang yang tekun mempelajari ilmu kebatinan sambil melayani sang pertapa.

Lanjut ke Jilid 014►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment