Ads

Monday, December 17, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 016

◄◄◄◄ Kembali

"Aku yang bodoh dan kasar hanya dapat bermain-main dengan pohon di luar itu."

Tanpa menanti jawaban ia melangkah lebar, keluar dari pintu dekat jendela lalu menghampiri pohon dalam taman. Semua orang menoleh dan menonton melalui jendela. Begitu dekat dengan pohon, Ki Krendayakso memasang kuda-kuda, berseru keras dan lengan kanannya yang panjang besar itu meluncur ke depan, dengan jari-jari terbuka ia menusukkan jari-jari tangannya kepada batang pohon. Bagaikan lima batang pisau runcing, kelima jari tangan kanan itu menancap ke dalam pohon, lalu dicabutnya kembali. Semua orang termasuk Adipati Joyowiseso memandang rendah pertunjukan ini. Apa sih sukarnya ini? Asal orang mempelajari sedikit ilmu saja, tentu mampu menusukkan tangannya ke dalam batang pohon! Mengapa raksasa yang terkenal ini hanya mampu melakukan hal yang serendah ini? Akan tetapi baru saja Adipati Joyowiseso berpikir demikian, tiba-tiba Jokowanengpati berseru,

"Lihat daun-daun itu, bukan main!"

Adipati Joyowiseso memandang dan mukanya menjadi pucat membayangkan kengerian. Daun-daun di atas pohon itu menjadi layu secara mendadak dan kini mulai rontok berhamburan dengan warna berubah kuning! Ternyata tangan yang menusuk batang pohon tadi telah menyalurkan hawa beracun yang sedemikian hebatnya sehingga mampu meracuni semua daun di atas pohon yang besar. Bukan main! Pohon saja tidak mampu menahan, apalagi kalau tubuh orang yang terkena tusukan jari-jari tangan itu! Ki Krendayakso tidak hanya berhenti sampai di situ. Tiba-tiba ia berseru keras, tubuhnya menyerbu ke depan dan dengan keras sekali bahu dan kepalanya menabrak batang pohon. Terdengar suara hiruk-pikuk dan..... batang pohon yang sudah tak berdaun lagi itu tumbang! Ki Krendayakso tersenyum lalu berjalan kembali ke ruangan tamu dengan lenggang seenaknya dan langkah lebar-lebar, disambut pujian-pujian Adipati Joyowiseso dan tamu-tamu lainnya.

"Tiga orang saudara yang sakti telah memberi pertunjukan," kata Adipati Joyowiseso. "Biarpun saya sudah menyaksikan kesaktian paman Cekel Aksomolo, akan tetapi untuk mempererat perkenalan dengan yang lain, ada baiknya apabila paman sudi memberi sedikit pertunjukan untuk meramaikan pertemuan ini."

Cekel Aksomolo tertawa terkekeh.
"Ahh, aku seorang yang tidak punya nama. Karena aku hanya mengandalkan kepada aksomolo (tasbih), maka tanpa aksomolo aku bukan apa-apa. Biarlah tasbihku memberi sedikit pertunjukan, kalau kurang memuaskan harap jangan ditertawakan."

Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan penutup-penutup telinga sambil berkata lagi,
"Aku tidak mau membikin susah saudara-saudara yang hadir di sini, juga tidak bermaksud memandang rendah. Karena itu aku sediakan penutup telinga ini dan bagi siapa yang hendak menutupi telinganya, kupersilakan mengambil sendiri dan memakainya. Akan tetapi kepada kanjeng adipati kunasehatkan untuk memakainya."

Adipati Joyowiseso sudah maklum akan keampuhan tasbih kakek ini, maka segera ia menjumput dua buah benda seperti kapas, lalu tertawa sambil berkata,
"Suara tasbih paman Cekel benar-benar hebat, saya tidak berani menghadapinya tanpa memakai penolak ini."

Juga Jokowanengpati segera mengambil sepasang benda itu. Melihat ini Wisangjiwo juga mengambil dua buah. Akan tetapi lima orang sakti yang lain, Ni Nogogini, Ni Durgogini, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendayakso, dan Ki Tejoranu, hanya memandang sambil tersenyum saja, tidak mengambil alat penutup telinga.

Cekel Aksomolo lalu memanggil dua orang penjaga. Mereka ini menjadi pucat, menggeleng-geleng kepala dan hendak mengundurkan diri. Mereka maklum akan kesaktian kakek ini yang sudah mereka saksikan sendiri ketika suara tasbih mempermainkan para penabuh gamelan dan para waranggana. Akan tetapi bentakan Adipati joyowiseso membuat mereka datang munduk-munduk (terbongkok-bongkok) dengan tubuh menggigil.

"Uahh-huh-huh, jangan takut kalian berdua. Aku tidak akan mencelakai kalian, hanya akan mempermainkan kalian untuk sekedar pertunjukan dan menggembirakan suasana," kata Cekel Aksomolo sambil menggerakkan tasbihnya.

Adipati Joyowiseso, Jokowanengpati dan Wisangjiwo cepat menyumbat telinga mereka. Tasbih di tangan Cekel Aksomolo berkeritik perlahan akan tetapi makin lama makin cepat. Terciptalah suara aneh seperti tikus mengerikiti kayu dan terkejutlah lima orang sakti yang hadir di situ. Suara ini seperti mengorek kendangan telinga mereka, menimbulkan rasa keri (geli) yang tak tertahankan. Cepat mereka mengerahkan tenaga batin, mengumpulkan hawa sakti dan menyalurkannya ke telinga untuk melawan pengaruh aneh ini. Akan tetapi kedua orang penjaga itu sudah gulung-kuming (bergulingan) dan tertawa-tawa terpingkal-pingkal. Keadaan menjadi lucu sekali. Seperti dua orang badut, mereka ini tertawa-tawa, Keadaan menjadi lucu sekali. Terkena pengaruh suara tasbih Cekel Aksomolo, kedua penjaga itu tertawa terbahak-bahak tanpa berhenti. Ada kalanya terkekeh lalu terbahak-bahak dan di lain saat terpingkal-pingkal tanpa mengeluarkan suara. Kalau dilanjutkan, tentu mereka berdua akan kejang bias mati tertawa! Akan tetapi tiba-tiba suara tasbih berhenti dan dua orang itu mendadak berhenti pula tertawa, terengah-engah lalu bangkit berdiri. Akan tetapi kembali Cekel Aksomolo menggerakkan tasbihnya dan kali ini yang terdengar suara mbrengengeng (mengaung) seperti ratusan ekor nyamuk terbang di depan telinga.

Dua orang penjaga itu tiba-tiba menangis, tak tertahankan lagi, menangis terisak-isak, jatuh berlutut, kmudian bergulingan dan masih menangis menggerung-gerung! Hanya sebentar saja Cekel Aksomolo menyiksa mereka. Tasbihnya segera berhenti bergerak dan dua orang penjaga itu sadar kembali. Mereka masih terisak-isak ketika Cekel Aksomolo memberi tanda supaya mereka pergi. Adipati Joyowiseso mengeluarkan penyumbat telinga, demikian pula Jokowanengpati dan Wisangjiwo.

"Hebat sekali kepandaian paman Cekel," kata sang adipati.

Juga lima orang sakti itu diam-diam terkejut dan kagum. Pantas saja nama Cekel Aksomolo amat terkenal, kiranya kakek itu memiliki tenaga dalam dan hawa sakti yang amat kuat sehingga mampu menggerakkan tasbih sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan suara-suara mujijat yang amat berbahaya bagi musuh. Akan tetapi, dalam pertunjukan tadi, kelima orang itupun masing-masing secara tidak langsung telah memperlihatkan kekuatan tenaga dalam mereka dengan kesanggupan mereka melawan pengaruh suara tasbih itu.

"Uuh-huh-huh, apa sih artinya kepandaian seperti itu? Aku seorang tua yang tiada gunanya. Mana bisa dibandingkan dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Nama mereka menjulang tinggi di angkasa, tentu kepandaian mereka berdua ini juga setinggi langit!"

"Saya tidak berani menyusahkan kedua Nini Dewi, akan tetapi karena semua sudah memberi pertunjukan kiranya anda berdua takkan berkeberatan pula menambah kegembiraan pertemuan ini," kata Adipati Joyowiseso yang merasa sungkan karena mereka berdua adalah wanita-wanita dan seorang di antara mereka malah guru puteranya..

Ni Durgogini tersenyum. Bibirnya yang bawah bergerak-gerak aneh menimbulkan kemanisan luar biasa dan memperlihatkan bibir sebelah dalam yang halus kemerahan dan basah.

"Kami adalah wanita, lebih mengutamakan kehalusan, biarlah aku main-main dengan segelas arak ini!"

Dengan gerakan lemah gemulai dan cekatan ia mengisi gelas araknya yang terbuat daripada perak, lalu mengangkat dan menggenggam dalam tangan kanannya. Ia bangkit berdiri dengan gelas arak di tangan sambil mengerahkan tenaga sakti Bromosari yang ia ciptakan dan latih selama tinggal di Girilimut. Hebat bukan main kesudahannya. Arak dalam gelas itu bergerak-gerak dan tak lama kemudian mengeluarkan uap terus mendidih! Semerbak bau arak ketika arak mendidih itu mengeluarkan uap makin banyak lagi. Ni Durgogini tersenyum, lalu meletakkan gelas arak itu di atas meja. Masih mendidih araknya dan begitu gelas diletakkan di atas meja kayu, papan di bawahnya menjadi hitam karena panas!

"Hi-hik, aku mau meniru pertunjukan mbok ayu Durgogini!" tiba-tiba Ni Nogo-gini berkata, mengisi cawan araknya sendiri lalu bangkit berdiri sambil memegangi cawan atau gelas araknya seperti yang dilakukan Ni Durgogini tadi.

Akan tetapi kini terjadi sebaliknya. Mula-mula tampak butiran-butiran air di sekitar gelas perak dan arak itupun mengeluarkan uap, dingin dan tak lama kemudian araknya membeku dalam gelas! Ni Nogogini membalikkan cawan, akan tetapi arak tidak tertumpah seperti benda cair, melainkan jatuh ke atas meja seperti sepotong es!

"Hebat......!" seru Adipati Joyowiseso yang merasa terheran-heran. Semua pertunjukan yang diperlihatkan enam orang sakti itu baginya seperti sihir dan sulap saja, dan hatinya benar-benar menjadi besar.

Mendapat bantuan enam orang ini, ia yakin kelak cita-citanya akan terlaksana. Bukan hanya Adipati Joyowi-seso yang memuji, juga empat orang sakti yang hadir diam-diam terkejut dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki dua orang wanita itu. Itulah tenaga sakti yang luar biasa, yang membuat tangan mereka ampuh melebihi senjata tajam, ampuh, kuat dan beracun pula. Hebat memang!

Pesta dilanjutkan dalam suasana meriah. Mereka telah mengambil keputusan untuk bersekutu dan melakukan kegiatan-kegiatan seperti berikut. Pertama, masing-masing berlomba mencari pusaka patung kencana yang hilang dari istana Kahuripan (Mataram). Ke dua, masing-masing dengan caranya sendiri menghimpun tenaga membentuk pasukan-pasukan yang kuat dan menghubungi adipati-adipati dan golongan-golongan di empat penjuru yang anti Kahuripan. Ke tiga, mereka akan berusaha melemahkan Kahuripan dengan jalan memusuhi para senopati dan tokoh-tokohnya, kalau mungkin membunuh mereka seorang demi seorang dengan dalih permusuhan pribadi.

Langit di atas istana Kahuripan telah mendung. Kerajaan Mataram telah terancam bahaya yang datangnya dari Selopenangkep, dan semua itu didahului dengan peristiwa yang merupakan ramalan, yaitu dengan lenyapnya pusaka patung kencana. Lenyapnya pusaka keramat ini menjadi tanda kesuraman kerajaan.

Beberapa bulan kemudian, Jokowanengpati melakukan perjalanan seorang diri mendaki Gunung Lawu. Dengan ilmu kepandaiannya, ia dapat mendaki dengan tangkas, melompat-lompat melalui jurang yang curam. Pemandangan alam di lereng Lawu amatlah indahnya, namun pada saat itu Jokowanengpati seperti buta terhadap keindahan pemandangan alam. Ia tergesa-gesa sekali dan kadang-kadang ia berhenti hanya untuk memandang ke sekelilingnya. Bukan sama sekali menikmati pemandangan alam, melainkan untuk melihat kalau-kalau ada orang lain yang melihat pendakiannya. Ia sedang menuju ke tempat rahasia, tidak ingin ada orang lain melihatnya.

Jokowanengpati adalah seorang pemuda yang selain tangkas dan berilmu, juga amat cerdik dan hati-hati. Lega hatinya melihat keadaan sekeliling lereng itu sunyi senyap. Bahkan kini ia telah jauh meninggalkan kelompok dusun terakhir di lereng sebelah bawah. Makin ke atas makin sunyilah keadaan dan tidak tampak adanya dusun lagi. Orang-orang pencari kayupun tidak akan sampai ke tempat setinggi ini, tempat yang berbahaya dan sukar didatangi. Kemudian dengan cekatan ia melompat dan merayap ke arah batu gunung yang merupakan karang tinggi. Dari tempat tinggi itulah ia mengintai dan tiba-tiba ia tersenyum puas. Di sebelah kiri sana, sebelah barat dekat dengan sungai gunung, tampak sekelompok cemara yang pendek dan agak kekuningan daunnya.

"Ah, tentu itulah tempatnya. Bekas pertapaan Taru Jenar (Pohon Kuning) yang sudah kosong! Tentu di sana, tak salah lagi!" kata hatinya dan cepat ia turun dan segera berlompatan lagi menuju ke barat. Tak lama kemudian tibalah ia di tempat yang dituju dan dari jauh ia sudah melihat sebuah pondok kecil. Di samping pondok tampak seorang wanita tengah menghadapi tungku dan asap mengepul dari kwali di atasnya.

"Mirah......!" tegur Jokowanengpati dengan suara gembira sambil lari menghampiri. Wanita itu kaget dan menoleh.

Ternyata ia seorang wanita muda yang cukup cantik, berkulit kuning bersih dan kembennya yang berkembang itu menandakan bahwa ia bukanlah seorang dusun. Memang sesungguhnyalah. Mirah bukar seorang wanita dusun. Dia bekas abdi dalam istana Prabu Airlangga.

"Kakangmas Jo ko.......!?!"

Sukar diduga perasaan apa yang membayang pada wajah ayu itu, akan tetapi ia tidak menolak dan mandah saja ketika Jokowanengpati memeluk, mendekap dan menciuminya sambil membelai leher yang indah bentuknya.

"Manis, di mana kakang Wiratmo? Dan paman Sunggono?"

"Di....... di dalam....... eh, mencari kayu........"

Wanita muda itu menggeliat kegelian oleh jari-jari tangan Jokowa-nengpati yang nakal. Pada saat itu terdengar suara seorang laki-laki penuh kegembiraan,
"Adikku Mirah pujaan hatiku, sudah matangkah masakanmu? Perutku lapar se...."

Ucapannya itu berhenti seakan-akan lehernya dicekik dan mukanya yang berseri berubah pucat ketika laki-laki muda itu melihat Jokowanengpati di situ.

" Ah.......... Raden Jokowanengpati......... sudah..... sudah lamakah........? Maafkan saya tidak tahu akan kedatangan raden sehingga tidak menyambut......."

Jokowanengpati sudah melepaskan tanganya yang tadi membelai wanita itu, tersenyum dan berkata manis,
"Kakang Wiratmo, baru saja aku tiba. Di mana paman Sunggono? Dan bagaimana dengan....... anu itu? Tentu selamat sampai kalian bawa ke sini, bukan?" Tergopoh-gopoh Wiratmo menjawab,

"Jangan khawatir, raden. Semua beres. Paman Sunggono tadi baru mencari kayu di hutan sana. Biar saya panggil dia!"

Tanpa menanti jawaban Wiratmo segera menaruh kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian berteriak keras sambil menghadap ke kanan.

"Paman Sunggonooooo.....!! Raden Joko sudah datangggg.......!!! "

Suaranya keras bergema di dalam hutan itu. Orang muda berusia tiga puluhan dan berwajah cukup ganteng itu segera berpaling kepada Jokowanengpati sambil berkata,
"Marilah, raden, kita bercakap-cakap di dalam, sebentar lagi paman Sunggono tentu datang. Mirah, segera selesaikan masakanmu untuk menjamu Raden Jokowanengpati."

Jokowanengpati mengangguk dan keduanya memasuki pondok. Setelah mereka duduk di atas bangku bamboo menghadapi meja jati, Jokowanengpati segera bertanya,
"Bagaimana perjalanan kalian bertiga ke sini? Tidak terjadi sesuatu dan tidak ada yang tahu, kan?"

"Semua beres, raden, tepat seperti yang kita rencanakan. Setelah mendapatkan pusaka itu dari tangan raden, Mirah memohon kepada kanjeng ratu untuk pulang ke dusun dengan alasan rindu orang tua dan ingin menikah. Untung tidak ada kecurigaan apa-apa dan Mirah dapat keluar istana bersama pusaka itu dengan mudah. Sebagai seorang abdi dalam, emban kanjeng ratu, siapakah yang mencurigai dan berani mengganggunya? Saya menjemputnya di luar istana, mengaku kakak misannya dan kami berdua keluar dari kota raja. Di luar kota raja, paman Sunggono sudah menjemput dengan kuda maka kami bertiga dapat melarikan diri dengan cepat."

"Bagus! Aku tidak akan melupakan jasa kalian bertiga, Wiratmo. Dengan adanya pusaka itu di tanganku, hemmmm..... siapa tahu kelak kau dan paman Sunggono akan dapat terangkat menjadi pembesar-pembesar tinggi! Eh, Wiratmo, di mana pusaka itu? Lekas kaukeluarkan,aku sudah ingin sekali melihat."

"Ah, raden, mana berani kami menyimpannya di pondok ini? Pusaka itu kami simpan di tempat lain, tempat tersembunyi. Kami orang-orang pelarian siapa tahu sewaktu-waktu datang pengejaran dari istana! Kalau benda itu tidak terdapat bersama kami, tentu kami akan bebas daripada tuduhan-tuduhan."

Jokowanengpati mengangguk-angguk.
"Bagus, bagus! Memang seharusnya demikian, kakang Wiratmo. Mari kita ambil pusaka itu."

"Raden, harap raden bersabar, menanti sampai datangnya paman Sunggono. Kita harus berhati-hati benar dan raden cukup maklum bahwa hanya paman Sunggono yang sudah hafal akan keadaan daerah ini. Dialah yang mengusulkan supaya pusaka itu disimpan di sebuah guha angker di lereng atas. Kita tunggu dia pulang, raden, kemudian setelah dana (makan) baru kita bersama pergi mengambilnya. "

"Baiklah kalau begitu."

Tak lama kemudian masuklah kedalam pondok seorang laki-laki setengah tua berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, matanya bersinar tajam dan wajahnya membayangkan darah kebangsa-wanan. Inilah Sunggono yang sebenarnya memang masih keturunan seorang senopati. Ayahnya adalah seorang senopati yang dahulu menjadi kaki tangan Ki Patih Sepuh Hardogutomo, yaitu patih dari Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Patih ini bersama kaki tanganyya pernah memberontak, bahkan bersekutu dengan kaum pemberontak dan tentara Sriwijaya sehingga Sang Prabu Teguh Dharmawangsa (ayah mertua Airlangga) tewas dan Kerajaan Medang (Mataram) terampas.

Akan tetapi kemudian Airlangga berhasil merebut kembali kerajaan itu, membasmi musuh di antaranya Ki Patih Sepuh Hardogutomo dan kaki tangannya. Senopati itu, ayah Sunggono, yang menjadi kaki tangan Patih Sepuh Hardogutomo juga tewas dalam perang ini, akan tetapi Sunggono yang ketika itu masih muda, sempat melarikan diri.

"Wah, anakmas Jokowanengpati baru tiba? Sungguh anakmas telah membuat kami setengah mati menanti-nanti dengan hati gelisah." Begitu memasuki pondok, Sunggono menegur dengan kata-kata halus.

Jokowanengpati tersenyum dan menjawab,
"Maaf, paman. Banyak sekali soal penting yang menghalang sehingga saya tidak mendapat kesempatan untuk menyusul ke sini. Paman harus maklum bahwa kita harus menghilangkan jejak dan harus berhati-hati sekali agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Selama setahun lebih ini, saya bertemu dengan tokoh-tokoh sakti sehaluan, dan selalu bersama mereka di Selopenangkep. Biarpun mereka adalah sahabat-sahabat sehaluan, tetap saja saya harus merahasiakan tempat ini. Baru sekarang saya mendapat kesempatan menyusul ke sini, harap paman maafkan atas kelambatan ini sehingga paman menjadi tak enak di hati."

"Sudahlah, tidak apa karena sekarang anakmas sudah datang. Akan tetapi selama berbulan-bulan itu hati saya selalu gelisah dan ketakutan. Pusaka itu bertuah dan kita sama tahu betapa orang setanah Jawa ini ingin sekali memilikinya. Apalagi orang-orang sakti yang mendengar lenyapnya pusaka itu tentu berlomba untuk mendapatkannya. Pusaka itu lambang kejayaan kerajaan dan mendatangkan wahyu mahkota, pasti menarik semua orang gagah dari empat penjuru untuk mendapatkannya. Bagaimana hati saya bias enak kalau ditempati pusaka seampuh itu? Tidur tak nyenyak makan tak enak..... eh, Mirah! Mana jamuan ? Lekas hidangkan kepada anakmas Joko-wanengpati. Perutku sendiripun sudah amat lapar!"

Sunggono berteriak-teriak, tidak tahu betapa beberapa detik lamanya Jokowanengpati memandangnya dengan sinar mata tajam. Memang pemuda ini kaget sekali. Kiranya orang tua inipun sudah tahu keampuhan pusaka yang mereka larikan dari istana Kahuripan!.

"Paman Sunggono, di manakah pusaka itu disimpannya? Aku ingin sekali menerimanya sekarang juga."

"Sabar....., sabar anakmas. Setelah bersabar selama setahun lebih, hampir satu setengah tahun sehingga kami bertiga hidup seperti orang alasan (hutan), mengapa sekarang anakmas begitu tergesa-gesa? Kita makan lebih dulu, baru nanti bersama mengambilnya. Benda itu kami simpan di tempat rahasia yang aman."

Mirah memasuki pondok membawa satu kwali penuh sayur santen yang gurih baunya.
"Di gunung tidak ada daging, kangmas Jo ko. Kelapa inipun harus mencari ke bawah gunung. Sayur-sayuran sih banyak!" kata Mirah dengan senyum manis dan mata mengerling tajam ketika ia meletakkan kwali di atas meja, kemudian dengan lenggang dan gerak pinggul menggairahkan wanita ini pergi mengambil nasi dan piring tanah, sebuah kendi terisi air dingin dan batok (tempurung kelapa) untuk minum.

"Wah, sayur bobor.......! Seger dimakan panas-panas begini! Silakan, anakmas!" Sunggono berkata ramah.

Terpaksa Jokowanengpati menekan hasrat hatinya yang ingin cepat-cepat mengambil pusaka keraton Kahuripan, lalu ikut makan bersama. Sayur itu memang enak dan gurih, dan agak pahit karena dicampur dengan daun pepaya.

"Pahitkah daun pepayanya, kakang-mas?" tanya Mirah.

Emban Mirah ini memang dahulu menjadi seorang di antara kekasih Jokowanengpati ketika mereka berdua masih bertugas di Kahuripan.

"Memang daun pepaya biasanya pahit, akan tetapi kalau engkau yang memasaknya, eh..... menjadi sedap, Mirah."

Sunggono tertawa bergelak, Wiratmo tersenyum sambil menundukkan kepala dan Mirah tersipu-sipu malu akan tetapi juga senang. Wanita mana di dunia ini yang tidak senang kalau dipuji? Dipuji apa saja, wajahnya, pandainya memasak, suaranya atau apa saja, asal yang memuji itu pria tentu menyenangkan hatinya. Apalagi kalau pria itu seorang pemuda seganteng Jokowanengpati! Setelah kenyang makan nasi dan sayur sederhana diikuti air jernih yang amat dingin, bangkitlah Sunggono. Wajah orang tua itu berseri-seri ketika ia berkata,

"Marilah, anakmas Jokowanengpati. Mari kita pergi mengambil pusaka yang kusimpan dalam guha Margoleno. Hayo Wiratmo dan Mirah, kalian ikut pula. Urusan ini diawali kita berempat, harus diakhiri kita berempat pula."

Berangkatlah mereka mendaki lereng yang terjal menuju ke puncak yang penuh batu kapur.

"Mengapa guha itu bernama Margoleno (jalan maut), paman Sunggono?" tanya Jokowanengpati.

"Entahlah, anakmas. Mungkin karena pertapa Taru Jenar dahulu kabarnya mati di dalam guha ini selagi bertapa," jawab Sunggono.

Perjalanan dilanjutkan dan tak lama kemudian berhentilah mereka di depan sebuah guha yang besar dan gelap. Di atas guha yang merupakan puncak karang kapur, tumbuh rumpun yang lebat, juga di kanan kiri guha. Kelelawar terbang keluar masuk guha itu sehingga menambah serem.

"Mari kita masuk, anakmas," kata Sunggono agak takut-takut.

Namun Jokowanengpati sama sekali tidak takut. Dengan langkah lebar dan gagah ia memasuki guha itu dan sebentar saja mereka ditelan kegelapan, tak tampak dari luar. Terdengar suara Mirah menahan napas dan sedu, disusul suara Wiratmo mendesis mencegahnya bicara. Jokowanengpati menengok.

"Paman, kau di mana.......?" Tiada jawaban!

Jokowanengpati mendengar suara di sebelah kiri dan melihat dalam remang-remang itu tubuh Sunggono berjongkok lalu berdiri lagi.

"Majulah terus, anakmas......." Suara Sunggono gemetar dan tiba-tiba Jokowanengpati menerima pukulan yang cukup dahsyat dari belakang, mengenai punggungnya.

"Celaka.......!" seru pemuda ini, akan tetapi karena ia memang memiliki kepandaian tinggi dan tubuhnya sudah amat kuat, secepat kilat kakinya terayun dan sebelum ia terjerumus ke depan, kakinya yang diayun miring itu berhasil mendupak dada Sunggono yang terhuyung ke belakang.

Betapapun juga, tubuh Jokowanengpati yang sudah terjerumus itu tak dapat ditahannya dan begitu ia melangkahkan kaki, tubuhnya terjeblos ke dalam sumur. Kiranya guha itu di dalamnya merupakan sumur yang entah sampai di mana dasar nya. Jokowanengpati tentu saja kaget sekali. Tahulah ia sekarang mengapa guha ini disebut jalan maut, kiranya merupakan jebakan yang amat berbahaya. Untung ia memiliki Aji Bayu Sakti, sebuah aji meringankan tubuh yang tiada keduanya. Begitu tubuhnya terguling masuk sumur, Jokowanengpati mementang kedua lengannya, sekali menyentuh pinggiran sumur ia dapat menahan tubuhnya dan tidak terjerumus ke bawah. Ia berdongak dan mendapat kenyataan bahwa ia telah jatuh sedalam dua tiga tombak. Ia menahan napas, mengerahkan Aji Bayu Sakti. Tenaganya terkumpul pada kedua lengan dan tubuhnya menjadi ringan sehingga ketika ia menggerakkan kedua lengan mendorong, perlahan-lahan ia dapat merayap ke atas seperti seekor kadal saja!.

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Jokowanengpati. Begitu ia melompat keluar dari sumur, ia menyerbu keluar. Akan tetapi sebuah batu besar bergerak menutup lubang guha, dan terdengar suara Sunggono tertawa,

"Ha-ha-ha, Jokowanengpati! Kau tahu sekarang mengapa kunamakan guha itu Margoleno? Mengasolah dengan tenang, orang muda!"

Kaget juga Jokowanengpati melihat batu sebesar itu bergerak menutup guha. Mungkinkah Sunggono, dibantu oleh Wiratmo dan Mirah, mampu menggerakkan batu sebesar itu yang tentu amat-berat? Akan tetapi ia tidak mau terheran lebih lama, cepat ia melompat maju dan sekali dorong sambil membentak marah, batu itu tertolak keluar dan tubuhnya sudah melompat keluar guha! Kiranya di situ sudah berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang mengepungnya dengan
golok di tangan.

Adapun Sunggono sudah berdiri agak jauh, mendekap sebuah bungkusan kuning di dadanya. Wiratmo dan Mirah juga berdiri di dekat Sunggono. Mereka bertiga memandangnya, Wiratmo dan Mirah agak pucat, akan tetapi Sunggono masih tertawa.

"Paman Sunggono, apa artinya ini semua?" Jokowanengpati masih bertanya saking herannya, suaranya dingin sekali membuat tengkuk Wiratmo dan Mirah meremang. Akan tetapi Sunggono berkata dengan suara mengejek.

"Artinya, Jokowanengpati, saat ini adalah saat kematianmu, karena akulah yang berhak memiliki wahyu mahkota Mataram! Engkau ini ular kepala dua, mau enaknya saja. Bunuh dia!"

Suara Sunggono penuh wibawa ketika ia memberi aba-aba kepada lima orang anak buahnya itu. Lima orang ini adalah jagoan-jagoan yang dulu juga merupakan panglima-panglima perang dari Sang Prabu Digdyamenggala, Raja Kerajaan Wurawari di daerah Ponorogo. Mendengar aba-aba ini, lima orang jago tua yang tubuhnya tinggi besar itu mengeluarkan suara bentakan keras dan menyerbulah mereka dengan golok besar yang datang sebagai hujan membacoki tubuh Jokowanengpati.

Namun Jokowanengpati mengeluarkan suara ketawa mengejek, tubuhnya tiba-tiba lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar golok yang gemerlapan. Bukan main hebatnya gerakan Jokowanengpati ini, bagaikan seekor burung kepinis gesitnya sehingga tak pernah ada sebatangpun golok mampu menyentuhnya. Lima orang jagoan Wurawari itu kaget dan penasaran. Ketika mereka menghentikan serangan, Jokowanengpati juga berhenti bergerak dan berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek.

"Sudah lelahkah kalian?" ejeknya, akan tetapi matanya selalu melirik ke arah Sunggono. Ia tak menghendaki orang tua yang curang itu melarikan diri membawa pusaka itu selagi ia dikeroyok.

Seorang pengeroyok di depannya mendengus, goloknya menusuk ke arah perut pemuda itu, agaknya saking marah dan penasarannya ia hendak merobek perut dan mengeluarkan usus lawannya. Akan tetapi kini Jokowanengpati tidak lagi mempergunakan Bayu Sakti karena yang menyerangnya hanya seorang saja. la miringkan tubuh membiarkan golok menyambar lewat, kemudian secepat kilat tangan kirinya mengetuk pergelangan tangan kanan lawan dan tangan kanannya mengepal dan menghantam dahi. Hampir berbareng golok itu terlepas dan dahi itu pecah sehingga otaknya berhamburan!

Empat orang jagoan Wurawari terkejut sekali. Hampir mereka tak dapat percaya. Bagaimana seorang kawan mereka dapat binasa sedemikian mudahnya? Keherangan dan kekejutan ini berubah menjadi kemarahan meluap-luap, dan kembali mereka menerjang dengan sabetan dan bacokan membabi-buta.

Jokowanengpati tidak mau bersabar atau main-main lagi. Kembali tubuhnya berkelebat menggunakan Bayu Sakti, namun ia tidak hanya mengelak melainkan balas menyerang dengan hebat karena ia telah mainkan Ilmu Jonggring Saloko! Ilmu ini adalah ciptaan Empu Bharodo, seorang sakti mandraguna Biarpun hanya merupakan pecahan dari ilmu aselinya permainan tombak, namun sudah amat hebat dan ampuh. Mana mungkin empat orang jagoan Wurawari itu mampu menghadapinya? Segera terdengar suara berkerontangan dan golok beterbangan, disusul pekik mengaduh dan robohlah empat orang itu satu demi satu, roboh untuk tidak bangkit kembali karena pukulan Jokowanengpati yang mempergunakan Aji Siyung Warak adalah pukulan mematikan yang menghancurkan kepala atau memecahkan dada.

"Kau hendak lari ke mana??" Jokowanengpati melompat dan mengejar Sunggono yang sudah lari kencang meninggalkan tempat itu sambil mendekap bungkusan sutera kuning di depan dadanya.

Sunggono juga bukan seorang lemah. Sebagai putera seorang senopati, ia memiliki ilmu juga. Akan tetapi ia tidak dapat menandingi kecepatan Jokowanengpati yang mempergunakan Bayu Sakti dalam pengejaran ini. Beberapa kali lompatan saja cukup bagi Jokowanengpati untuk menyusulnya.

Lanjut ke Jilid 017►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment