Ads

Sunday, December 23, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 026

◄◄◄◄ Kembali

"Hamba merasa heran sekali mengapa paduka dikeroyok oleh tokoh-tokoh itu," Pujo berkata ketika Ki Patih Narotama sudah tiba di pondoknya, di muara Sungai Lorog. Narotama menarik naipas panjang.

"Pujo, engkau adalah muridl Resi Bhargowo yang memiliki kesaktian. Sungguh mengecewakan sekali engkau sebagai seorang satria terlalu tenggelam dalam dendam dan urusan pribadi sehingga sama sekali tidak tahu akan keadaan di kerajaan. Ahhh, bukan baru tadi saja orang-orang itu berusaha membunuhku, sudah sering sekali. Bahkan beberapa orang tumenggung dan senopati yang setia kepada sri baginda, telah dibunuh orang. Sungguh menyedihkan sekali, semenjak Gusti Prabu Airlangga mengundurkan diri, terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan di kerajaan. Aku hanya seorang patih bagaimana dapat mengurusi nafsu para pangeran?" Narotama menarik napas panjang dan kelihatan berduka sekali.

"Perebutan kekuasaan?" Pujo yang selama bertahun-tahun mengasingkan diri, sama sekali tidak tahu akan hal ini.

Ki Patih Narotama mengangguk-angguk,

"Engkau tentu sudah tahu bahwa sri baginda mempunyai dua orang permaisuri, yang pertama adalah Puteri Mataram, sedangkan yang ke dua adalah Puteri Sriwijaya. Nah, kini terjadilah perebutan pengaruh antara kedua pangeran dari dua permaisuri itu. Atau lebih tepat lagi, pangeran muda, putera permaisuri ke dua berdarah Sriwijaya itu berusaha secara sembunyi-sembunyi untuk meruntuhkan kekuasaan dan pengaruh kakak tirinya, pangeran tua putera permaisuri pertama. Pangeran muda ini banyak sekali pengikutnya, di antaranya para senopati yang membenci Sang Prabu Airlangga karena telah ditaklukkan. Kau tahu, orang-orang seperti Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono dan kepala rampok Ki Krendoyakso yang mengeroyokku tadipun adalah kaki tangan pangeran muda."

"Kalau memang mereka itu jahat dan bermaksud merebut kekuasaan, mengapa tidak dilaporkan saja kepada gusti prabu?"

Narotama menggeleng-geleng kepala.

"Gusti prabu sudah lima tahun ini mengundurkan diri dan bertapa. Bagaima mungkin diganggu dengan hal-hal seperti itu? Beliau sudah menyerahkan kepadaku akan tetapi....... persaingan antara pangeran-pangeran putera sang prabu sendiri, bagaimana mengatasinya? Sayang....... pusaka keraton yang hilang belum juga dapat diketemukan kembali. Inilah agaknya yang menjadi sebab malapetaka ini. Kalau pusaka itu tak dapat diketemukan kembali, berarti kerajaan kehilangan cahaya dan wahyunya, dan tentu akan terjadi malapetaka yang akan menghancurkan kerajaan!" Narotama menarik napas panjang lagi, wajahnya muram."Apalagi kalau para satrianya, seperti engkau ini, hanya tenggelam ke dalam dendam pribadi, tidak peduli lagi akan kewajiban sebagai seorang satria!"

"Ampunkan hamba, gusti patih. Hamba berjanji bahwa jika saya sudah dapat melakukan pembalasan atas diri Wisangjiwo, hamba akan menyerahkan jiwa raga untuk membela kerajaan."

"Hemm, begitukah? Kalau begitu kau boleh segera mulai. Tentang Wisangjiwo, mudah saja. Dia terhitung orang kepercayaan pangeran muda, akan tetapi karena aku yang memasukkannya menjadi pengawal sehingga kini ia menjadi senopati muda, maka aku dapat mengatur agar ia datang ke tempat ini dan kau dapat berhadapan empat mata dengannya. Akan tetapi, jangan engkau menjadi buta oleh dendam pribadi engkau harus dapat membantuku melakukan penyelidikan. Kalau tidak salah, para pembantu pangeran muda itu sebagian besar dikumpulkan oleh Adipati Joyowiseso ayah Wisangjiwo. Nah, kau cobalah untuk memaksanya mengaku, peran apakah yang dilakukan ayahnya dan oleh dia sendiri."

"Sendika dawuh paduka, gusti!" jawab Pujo dengan hati girang.

Memang ia dahulu sudah menduga di dalam hatinya, Adipati Joyowiseso dan puteranya itu tidak tunduk benar-benar kepada Mataram, maka dalam keadaan Kerajaan sedang kacau di mana dua orang pangeran saling berebut kekuasaan, tentu memberi kesempatan kepada orang-orang yang tidak setia untuk mainkan perannya.

Ki Patih Narotama lalu pergi meninggalkan muara Sungai Lorog, dan beberapa hari kemudian, benar saja Pujo dari tempat sembunyinya melihat seorang laki-laki gagah perkasa naik kuda besar hilir mudik di sekitar muara. Siapa lagi orang itu kalau bukan Wisangjiwo! Senopati muda ini menerima perintah dari ki patih sendiri untuk menyelidiki muara Sungai Lorog yang menurut ki patih, mungkin menjadi tempat disembunyikannya pusaka kerajaan yang hilang dan masih dicari-cari oleh semua tokoh di empat penjuru.

Seperti para tokoh lainnya, Wisangjiwo tentu saja ingin sekali bisa menemukan dan merampas pusaka itu karena kedua pangeran diam-diam saling memperebutkan pusaka dan mengutus orang-orang kepercayaan untuk mencarinya. Hal ini tidaklah aneh kalau terdapat kepercayaan bahwa siapa yang memiliki patung pusaka, dialah yang mendapat wahyu untuk menjadi raja! ,

Seperti telah sedikit disinggung Ki Patih Narotama ketika berceritera kepada Pujo, memang terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan di istana. Semestinya, putera yang pertama atau pangeran tua yang sepatutnya menjadi pangeran mahkota. Hal ini sudah lajim karena sebagai putera tertua, tentu saja pangeran tua yang menjadi calon raja. Sang Prabu Airlangga juga tidak melanggar kelajiman ini dan sebelum beliau mengundurkan diri untuk menjadi pertapa, kekuasaan sementara ia serahkan kepada pangeran tua, diembani oleh Ki Patih Narotama yang oleh Sang Prabu Airlang- ga dianggap sebagai wakil beliau pribadi.

Hal ini menimbulkan iri dalam hati pangeran muda dan ibunya, maka mulailah mereka berusaha untuk mengenyahkan setidaknya mengurangi pengaruh dan kekuasaan pangeran tua. Dengan menggunakan barang-barang berharga seperti emas dan permata, pangeran muda ini mengumpulkan orang-orang pandai dan menjanjikan kedudukan-kedudukan mulia, mengadakan persekutuan dengan mereka yang memang memusuhi Prabu Airlangga dan menanti kesempatan untuk memberontak.

Di antara cara-cara yang digunakan pangeran muda untuk mengurangi kekuasaan kakak tirinya adalah mempergunakan orang-orang pandai membunuhi tumenggung-tumenggung dan senopati-senopati yang setia kepada Prabu Airlangga dan karenanya mereka taat akan perintah dan bersetia- pula kepada pangeran tua.

Banyaklah sudah para tumenggung yang tewas tentu saja dengan dalih permusuhan pribadi. Bahkan Ki Patih Narotama sendiri sudah sering dihadang di tengah jaian dan dikeroyok. Hanya berkat kesaktiannya, selama itu ki patih masih dapat menyelamatkan diri. Dan karena adanya Ki Patih Narotama inilah pangeran muda masih belum berani terang-terangan berusaha merebut kekuasaan, apalagi Sang Prabu Airlangga sendiri masih hidup, biarpun sudah menjadi pertapa dan tidak mau mencampuri urusan duniawi.

Wisangjiwo adalah seorang pemuda yang cerdik. Ia tahu ke mana angin bertiup, sebentar saja bertugas di dalam keraton, tahulah ia akan persaingan ini dan tahulah ia fihak mana yang harus ia bantu. Karena ia dan ayahnya memang bermaksud memberontak, maka segera ia mendekati pangeran muda dan mengambil hati pangeran ini.

Maka dalam waktu singkat saja Wisangjiwo ditarik oleh pangeran muda dan menjadi senopatinya, bahkan menjadi orang kepercayaannya. Melalui Wisangjiwo inilah pangeran muda dapat berkenalan dan menarik bantuan tokoh-tokoh yang memang sudah lama dihimpun oleh ayah Wisangjiwo, yaitu Adipati Joyowiseso.

Tentu saja begitu mendengar dari ki patih bahwa ada kemungkinan patung pusaka disembunyikan di muara Sungai Lorog, Wisangjiwo menjadi girang sekali dan tergesa-tega berangkat naik kuda ke daerah itu. la tidak heran mengapa ki patih justru menyuruh dia, karena hal ini baginya tidak aneh. Bukankah ia selalu bersikap hormat dan baik terhadap ki patih? Bukankah ki patih ini bekas kekasih gurunya, Ni Durgogini? Hal ini baru ia ketahui setelah ia bekerja di istana. Dan bukankah Ki Patih Narotama yang membantunya mendapatkan kedudukan di istana? Tanpa curiga sedikitpun, Wisangjiwo berangkat naik kuda. Kalau benar-benar ia dapat menemukan patung pusaka, hemmm .... ia masih ragu-ragu apakah akan diserahkannya pusaka itu kepada pangeran muda. Bagaimana nanti sajalah, pikirnya dan dengan hati gembira ia mempercepat larinya kuda.

Di balik batang pohon, Pujo yang mengintai kedatangan Wisangjiwo, menjadi tegang seluruh tubuhnya. Melihat musuh besarnya ini, terbayanglah semua peristiwa sepuluh tahun yang lalu, peristiwa malam jahanam di dalam Guha Siluman. Kedua tangan Pujo dikepalkan erat-erat, matanya menjadi merah beringas, gigi atas dan bawah bertemu ketat menimbulkan bunyi berkerotan, jantungnya berdegup seakan hendak pecah, napasnya mendesis keluar di antara gigi yang merapat.

Ketika kuda yang ditunggangi Wisangjiwo lewat, Pujo cepat-cepat lari membayangi sambil bersembunyi dari pohon ke pohon. Akhirnya, di dekat muara di mana air Sungai Lorog yang kemerahan memasuki laut yang airnya kebiruan, Wisangjiwo melompat turun dari atas kudanya. Ia tidak mengikat kuda ini pada pohon, tanda bahwa kuda itu jinak dan baik. Kemudian Wisangjiwo melangkah ke kanan menyusuri pinggir muara, matanya memandang ke empat penjuru. Bagaimana di tempat yang sunyi ini disembunyikan patung pusaka? Apakah Ki Patih Narotama sengaja berbohong dan mempermainkannya? Akan tetapi hatinya berdebar ketika ia melihat sebuah pondok kecil di sudut sana, dekat hutan. Hemm, agaknya pondok itu ada penghuninya dan penghuni pondok itu agaknya yang tahu akan pusaka yang disembunyikan. Dengan langkah lebar Wisangjiwo berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi tiba-tiba dari balik sebatang pohon meloncat keluar seorang laki-laki yang menghadapinya dengan muka beringas dan mata merah.

"Pujo ...... ??!?"

Wisangjiwo berseru kaget sekali. Kaget dan heran, karena sungguh ia sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Pujo di tempat ini. Akan tetapi ia sama sekali tidak takut. Dahulu ia pernah kalah oleh Pujo di dalam guha itu, akan tetapi lain dulu lain sekarang. Ia telah memperdalam ilmunya. Pula, ia malah girang bertemu dengan musuh besarnya, yang telah mem- perkosa isterinya dan adiknya, dan telah menculik puteranya.

Pujo tertawa menyeramkan, tawa mengandung dendam, benci, dan juga girang. Bertahun-tahun ia menanti datangnya saat ini dengan penuh ketekunan. Belum pernah sedetikpun api dendam yang menyala di dalam hatinya itu padam. Bahkan mengecilpun tidak kalau tak dapat dikatakan makin membesar.

"Wisangjiwo jahanam pengecut! Akhirnya kita berhadapan empat mata di tempat sunyi ini. Agaknya Dewa Keadilan sengaja mempertemukan kita agar semua perhitungan yang lalu dapat dibereskan sekarang juga. Wisangjiwo, sepuluh tahun lebih yang telah lalu, engkau melakukan perbuatan keji dan biadab. Kau merobohkan aku dengan serangan pengecut dan curang, kemudian engkau melakukan perbuatan biadab terhadap isteriku. Nah, sekarang bersiaplah untuk menebus dosamu dengan nyawa!"

Wisangjiwo bertolak pinggang dan tertawa mengejek.

"Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau pria yang sama sekali tidak jantan! Engkau memutarbalikkan fakta dan pandai melontarkan fitnah hanya untuk mencarikan dalih penutup perbuatan-perbuatanmu yang biadab. Ha-ha- ha!"

Pujo mengerutkan keningnya.

"Apa maksud kata-katamu yang busuk ini? Kau berani menyangkal bahwa malam itu kau tidak datang ke Guha Siluman, memukul roboh aku secara curang kemudian engkau memperkosa isteriku yang telah terluka dan tak berdaya?"

Wisangjiwo menggeleng kepala cepat- cepat.

"Datang ke guha dan bertanding denganmu sampai isterimu dan engkau roboh, itu memang betul. Akan tetapi setelah itu aku pergi ke luar guha, sama sekali tidak memperkosa "

"Bohong ...... !!"

Saking marahnya Pujo sudah menerjang maju, memukul dahsyat sekali karena ia telah mempergunakan Aji Gelap Musti dalam keadaan dendam dan penuh kebencian. Wisangjiwo selama sepuluh tahun inipun tidak tinggal diam, melainkan melatih diri dengan tekun. Betapa dahsyatnya pukulan Pujo, sekali miringkan tubuh pukulan itu menyambar lewat dan cepat Wisangjiwo membalas dengan ilmu pukulan Tirto Rudiro karena sejak turun dari kuda tadi, untuk menjaga bahaya ia sudah menggenggam ajimatnya kerang merah sehingga sewaktu-waktu dapat ia pergunakan.

Hawa dingin menyambar ke arah lambung Pujo ketika pukulan Tirto Rudiro itu dilakukan lawan dari sebelah kanannya. Pujo yang tadi tak berhasil pukulannya, kini malah terus memutar tubuh ke kiri amat cepatnya sambil melakukan gerakan mendorong dengan lengan tangan kirinya yang mendahului tubuhnya membalik. Tentu saja ia mengerahkan tenaga saktinya dalam tangkisan ini karena maklum bahwa lawannya bukan orang lemah.

"Dukkk! "

Tepat sekali gerakan Pujo tadi karena tangan kirinya dengan jari-jari terbuka itu menangkis hantaman kepalan kanan Wisangjiwo. Kesudahannya, Pujo tergetar mundur tiga langkah, akan tetapi Wisangjiwo terhuyung ke belakang hampir roboh kalau ia tidak cepat-cepat meloncat untuk mematahkan tenaga benturan yang mendorongnya! Ketika Pujo hendak mendesak lagi, Wisangjiwo menyetopnya dengan tangan kanan diangkat dan membentak marah,

"Heh keparat Pujo. Jangan kira aku takut kepadamu. Kita sama-sama laki-laki gemblengan. Kalah dan maut dalam pertandingan bukan apa-apa! Akan tetapi kau bicaralah yang genah (masuk akal)! Jangan membuang fitnah ke kanan kiri seperti orang mabok saja. Hayo katakan, di mana kau sembunyikan puteraku yang kau culik?"

Senyum paksaan, senyum masam membayang di wajah yang muram itu.

"Apa yang kaukehendaki akan terjadi Wisangjiwo. Kau ingin dia mati? Mudah. Ingin melihat dia menjadi penderita cacat, menjadi anggauta para jembel gelandangan atau menjadi anggauta maling dan rampok?"

"Setan iblis! Kau apakan puteraku? Kaubunuh dia? Jahanam keji, kau telah merusak kehormatan adikku, isteriku, dan kiranya kau malah telah membunuh puteraku. Di samping kekejianmu ini kau masih mendakwa aku yang bukan- bukan. Cuh, tak tahu malu! Laki-laki macam apa kau ini? Hayo, sekarang tidak perlu beradu suara lagi, biarlah senjata yang menentukan!"

Setelah berkata demikian Wisangjiwo menggerakkan tangannya dan tampaklah sinar hitam bergulung-gulung sambil memperdengarkan suara "tar-tar-tar!" Itulah cambuk sakti Sarpokenoko milik Ni Durgogini yang telah dihadiahkan kepada murid dan kekasih rupawan ini! Memang bukan cambuk sembarang cambuk. Cambuk pusaka ampuh yang dimainkan dalam ilmu yang hebat sehingga cambuk itu berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung yang mengeluarkan suara meledak-ledak dan mengeluarkan asap hitam tipis!

Lanjut ke Jilid 027 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment