Ads

Tuesday, December 25, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 038

◄◄◄◄ Kembali

Pondok itu masih tetap sunyi. Asap tipis mengepul dari jendela kanan kiri pondok dan dari pintu yang terbuka. Asap berbau harum dupa cendana Di dalam pondok itu, di atas dipan bambu, Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo tampak duduk bersila dengan kedua lengan di depan dada, duduk diam dalam keadaan bersamadhi. Tenang dan hening. Enam orang utusan Pangeran Muda sudah tiba di situ dan mereka kini mengurung pondok dari enam jurusan berdiri dengan sikap siap. Melihat pondok yang sunyi dan asap tipis harum yang mengepul dari pintu dan jendela, enam orang itu bersikap hati-hati sekali. Mereka cukup maklum bahwa Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo bukan lawan yang boleh dipandang ringan. Resi Bhargowo adalah adik seperguruan Empu Bharodo yang terkenal sakti.

Berbeda dengan Empu Bharodo yang sudah memuncak ilmu batinnya sehingga kakek ini tidak suka mencampuri urusan duniawi dan sudah memiliki kesabaran yang tiada batasnya berdasarkan kasih yang tulus ikhlas kepada segala isi dunia, Resi Bhargowo ini masih belum mampu membebaskan diri daripada ikatan duniawi karena resi ini mempunyai puteri. Pula, sang resi masih suka olah kesaktian, biarpun sudah menjadi pendeta, namun masih berwatak satria, tidak suka membiarkan hal yang dianggapnya tidak adil.

Jokowanengpati sendiri telah memberitahukan kepada lima orang tokoh yang menjadi sekutunya bahwa ilmu kesaktian Resi Bhargowo amatlah hebat dan sekali-kali tidak boleh dipandang rendah. Inilah sebabnya mengapa kini keenam orang itu tidak berani segera menyerbu masuk ke dalam pondok sunyi, melainkan hanya mengurung dan menanti kesempatan baik.

Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang menjaga di belakang pondok, diam-diam merasa tidak sabar menyaksikam teman-temannya yang sikapnya seperti ragu-ragu dan takut-takut ini. Akan tetapi karema mereka berduapun hanya merupakan pembantu-pembantu, mereka menahan diri. Mereka juga bukan orang sembarangan, kalau sekali bertindak terburu nafsu dan sembrono sehingga tergelincir, tentu akan memperoteh nama buruk dan rnalu. Maka merekapun hanya bersikap diam dan siap-siap urtuk turun tangan apabila keadaan menghendaki.

Seperti biasa di dalam rombongan ini, Cekel Aksomololah yang dianggap sebagai pelopor atau pimpinan. Pertama karena Cekel Aksomolo merupakan tokoh yang paling tua di antara mereka. Kedua karena apabila diadakan perbandingan kiranya kakek tua renta seperti Durna inilah yang paling sakti mandraguna. Di samping itu, karena pandainya, kakek ini sudah rnemperoleh kepercayaan Sang Pangeran Muda sehingga usaha penggerebegan atas diri Resi Bhargowo inipun oleh sang pangeran ditugaskan kepada Cekel Aksomolo.

"Uuhh-huh-huh! Resi Bhargowo Kau yang sudah gentur bertapa, yang katanya sudah sidik paningal, waspada dan mengenal sebelum dan sesudah takdir, apakah kini menjadi buta atau pura-pura tidak tahu akan kedatangan kami?" Tiba-tiba Cekel Aksomolo yang berdiri di depan pintu berkata, suaranya penuh ejekan.

Jokowanengpati berdiri tak jauh di sebelah kirinya, memandang ke arah pintu penuh perhatian. Hening saja dari dalam pondok. Tiada jawaban.

"Resi Bhargowo ......... ! Kami masih rnempergunakan sopan santun para tamu, tidak sudi menyerbu seperti perampok! Akan tetapi kalau kau tidak tahu sopan santun seorang tuan rumah, terpaksa ......." kata lagi Cekel Aksomolo yang tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu dari dalam pondok terdengar suara orang. Suara itu ringan dan lemah, seakan-akan mengambang atau melayang keluar terbawa asap tipis yang harum,

"Tidak ada Resi Bhargowo di sini, yang ada Bhagawan Rukmoseto ......... !”

Enam orang itu saling pandang. Memang selama ini, usaha mereka mencari Resi Bhargowo sia-sia belaka. Tidak pernah terdengar berita tentang resi ini seakan-akan Resi Bhargowo sudah lenyap ditelan bumi. Dan sebagai gantinya, muncul seorang tokoh pertapa yang memakai julukan Bhagawan Rukmoseto. Akan tetapi menurut para penyelidik yang sudah memata-matai pulau ini dan sang pertapa, yang bernama Bhagawan Rukmoseto itu bukan lain adalah Resi Bhargowo juga yang kini rambutnya sudah putih semua!

"Uuuh-huh-huh! Kami yang salah panggil kalau begitu. Baiklah, Sang Bhagawan Rukmoseto! Orang yang sudah berjuluk bhagawan tentu tidak buta sehingga dapat tnelihat kedatangan tamu-tamu utusan Sang Pangeran Anom!"

Hening pula sejenak. Jantung enam orang yang mengurung pondok itu menegang dalam penantian jawaban. Apalagi ketika tiba-tiba secara aneh sekali, asap tipis yang tadinya mengepul keluar dari kedua jendela dan pintu depan, kini tidak tampak sama sekali. Mereka makin waspada dan diam-diam mereka telah meraba senjata masing-masing untuk menjaga kalau-kalau orang yang mereka kurung rnenerjang keluar.

"Hong Wilaheng Nirmala Sadya Rahayu Widodo ......... ! "

Terdengar suara dari dalam, itulah mantera yang biasa diucapkan para pendeta untuk menjauhkan bahaya dan menenangkan batin yang hanya mengandung kebaikan, jauh dari pada nafsu buruk. Kemudian puja-puji itu jawaban yang ramah, akan tetapi mengandung tantangan,

"Cekel Aksomolo dan sahabat-sahabat, pintu pondokku tak pernah tertutup. Masuklah siapa yang mempunyai keperluan berlandaskan itikad baik. Yang datang bermaksud buruk, sebaiknya jangan menggangguku dan pergi saja dari Pulau Sempu ini karena aku Bhagawan Rukmoseto bukankah orang yang suka mencari permusuhan!"

Ucapan ini merupakan undangan dan sekaligus juga tantangan. Tentu saja keenam orang itu tidak seorangpun datang dengan maksud hati baik, karena bukankah mereka datang sebagai utusan Pangeran Anom yang menyuruh mereka merampas kembali Pusaka Mataram, baik secara halus maupun kasar? Kini mereka saling pandang, karena mereka yang menjaga di pinggir dan belakang rumah kini menempatkan diri sedemikian rupa sehingga mereka dapat saling lihat.

Nampak keraguan di dalam pandang mata masing-masing. Jokowanengpati melihat keraguan para jagoannya ini, diam-diam menjadi tak senang dan mendongkol. Orang-orang tua ini kalau di luaran bicaranya seperti guntur menyambar-nyambar, mengangkat diri sendiri sampai setinggi langit, akan tetapi sekali menghadapi urusan penting, menjadi ragu-ragu dan seperti saling dorong agar orang lain yang lebih dulu bergerak rnenempuh bahaya! Diapun amat cerdik, maka dengan bisik-bisik ia berkata,

"Eyang Cekel, biarlah saya yang akan bicara karena dia masih paman guru saya. Saya akan memasuki pintu itu, akan tetapi saya minta bantuan Ki Warok dan paman Krendoyakso agar masuk dari kedua jendela pada saat itu sehingga keselamatanku terjaga."

Cekel Aksomolo mengangguk-angguk, lalu melambaikan tangan memaanggil Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso. Dua orang manusia raksasa itu dating mendekat. Cekel Aksomolo bisik-bisik dan mereka berdua mengangguk-angguk, lalu keduanya melangkah lebar mendekati jendela, Ki Warok Gendroyono di jendela timur, sedangkan Ki Krendroyakso di jendela barat. Jokowanengpati lalu melangkah maju mendekati pintu yang terbuka itu sambil berseru,

"Paman, parnan resi! Inilah saya, murid keponakan paman, saya Jokowanengpati murid bapa guru Empu Bharodo !"

"Murid murtad! Pencuri hina!"

Suara dari dalam ini terdengar marah dan penuh wibawa sehingga Jokowanengpati mundur dua langkah. Mukanya berubah menjadi merah sekali. Akan tetapi dia cerdik. Melihat betapa Ki Warok Gendroyono sudah memegang jimat kolor pusaka di dekat jendela timur sedangkan Ki Krendoyakso juga sudah memegang senjata pusakanya penggada Wojo Ireng, hatinya menjadi tabah dan ia melangkah maju lagi.

"Paman resi, perkenankan saya masuk bertemu dengan paman. Ada urusan penting hendak saya bicarakan dengan paman, uruan pusaka Mataram ......... ! "

Semua orang rnenanti dengan hati tegang, hendak mendengar bagaimana jawaban orang di dalam. Mereka datang untuk pusaka itu, dan di dalam hati orang tokoh besar itu, sukar diduga bagaimana sikap mereka dan apa yang akan terjadi kalau pusaka Mataram yang dirindukan semua tokoh itu benar-benar berada di situ dan sudah berhasil mereka dapatkan! Akan tetapi tidak ada jawaban dan keadaan sunyi sekali. Selagi Jokowanengpati hendak mengulang kata-katanya atas desakan Cekel Aksomolo yang menggerak-gerakkan mulutnya seperti mencium terasi, terdengarlah suara helaan napas panjang dari dalam disambung kata-kata,

"Pusaka Mataram tidak ada di sini, harap kalian pergi jangan menggangguku"

Berubah wajah enam orang itu, berubah marah. Jokowanengpati marah dan penasaran, maka katanya keras,

"Paman, harap jangan membohong! Saya tahu, pusaka Mataram berada di tangan paman!" Sambil berkata demikian ia memberi isyarat kepada dua orang kawan yang menjaga di jendela, lalu memasuki lubang pintu yang terbuka itu.

"Pergilah ......... ! " Terdengar bentakan dari dalam.

Jokowanengpati terkejut sekali karena tidak ada orang yang menyerangnya, melainkan segumpal asap putih yang tahu-tahu mendorongnya dari depan dengan kekuatan yang luar biasa! la mengerahkan tenaga untuk melawan, namun sia-sia. Tubuhnya terlempar dan terjengkang, terbanting jatuh di luar pintu, diikuti asap putih yang mengepul keluar pintu. Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso sudah menyerbu masuk, melompat ke dalam jendela yang terbuka. Akan tetapi mereka inipun disambut gumpalan asap putih yang amat kuat. Selagi tubuh mereka masih melompat di udara, gumpalan asap putih menyambut mereka dan mendorong mereka keluar lagi dari jendela, terbanting ke atas tanah sehingga tubuh mereka bergulingan!

Sejenak mereka semua tercengang. Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso bukanlah orang-orang lemah. Biarpun mereka tadi terbanting oleh gumpalan asap yang rnengandung kekuatan luar biasa, namun mereka serentak sudah bangkit lagi dan menjadi marah. Tadi mereka dapat dirobohkan karena tidak menyangka-nyangka sehingga mereka menjadi korban serangan dari dalam. Itulah pukulan jarak jauh yang dilontarkan oleh Bhagawan Rukmoseto dari tempat ia duduk bersila. Karena di depannya mengepul asap kayu cendana, maka asap itu terbawa oleh pukulannya sehingga merupakan "senjata" yang aneh.

"Rukmoseto keparat!" bentak Ki Krendoyakso sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan tak lama kemudian dari telapak kedua tangannya itu mengepul asap hitam. Inilah sebuah di antara aji ilmu hitamnya yang disebut Kukus Langking (Asap Hitam)!

"Bhagawan pengecut, menyerang tanpa peringatan!" Ki Warok Gendroyono juga memaki marah sambil melolos kolor jimat Ki Bandot dan memutar-mutarnya sehingga terdengar suara angin menderu dan tampak sinar bergulung-gulung dahsyat!

"Gendroyono dan Krendoyakso, aku tidak mencari permusuhan dan aku tidak membawa pusaka Mataram yang kalian cari-cari. Sekali lagi kuperingatkan, pergilah dan jangan menggangguku, Namun kalau kalian memaksa, jangan kira aku takut melayani kalian. Majulah semua bersama, aku tidak akan mundur setapak!"

Suara Bhagawan Rukmoseto terdengar mengambang di antara asap putih harum.

"Babo-babo si keparat! Sumbarmu seperti akan meruntuhkan puncak Mahameru, Rukmoseto. Akan tetapi kenyataannya engkau bersembunyi di dalam pondok seperti seorang perempuan!"

Setelah berkata demikian, Ki Warok Gendroyono lalu menghantamkan kolor ajimat Ki Bandot ke arah jendela. Terdengar suara keras dan jendela itu berikut seluruh dinding sebelah timur ambruk ke dalam! Tampaklah kini dari dinding bambu yang runtuh itu keadaan di dalam pondok di mana seorang kakek berambut putih berkumis tebal dan bersikap tenang berwibawa tengah duduk bersila menghadapi pedupan yang mengeluarkan asap putih. Pada saat itu Ki Krendoyakso juga sudah menggerakkan Wojo Ireng, senjata penggada yang menyeramkan itu dan kembali terdengar suara keras ketika dinding sebelah barat ambruk pula!

"Huuh-huh-uh, tidak ada artinya kau melawan kami, Rukmoseto! Lebih baik serahkan pusaka Mataram kepada kami dan kau menurut saja kami belenggu dan jadikan tawanan. Kau sudah tua, apakah tidak rnencari jalan terang, Rukmoseto. Uhh-huh-huh!" Cekel Aksomolo berkata mengejek.

Bhagawan Rukmoseto masih duduk bersila dan menundukkan mukanya, menanti sampai dupa cendana itu habis dimakan api. Asap putih makin menipis dan akhirnya lenyap sehingga wajah kakek pertapa ini sekarang Nampak jelas, tidak tertutup asap tipis seperti tadi. Ia mengangkat mukanya memandang ke depan, lalu bangkit berdiri dengan tenang melangkah keluar dari pondok. Sikapnya yang tenang membuat para lawannya berhati-hati dan tidak berani bertindak sembrono.

"Kalian ini orang-orang apa! Punya ilmu dan kedudukan hanya untuk mengumbar nafsu angkara, untuk bersikap adigang-adigung-adiguna, mengandalkan kepandaian untuk menindas, mempergunakan wewenang untuk mencari menang. Sudah kukatakan bahwa pusaka Mataram tiada padaku, masih banyak lagak mau apakah?"

Suara Bhagawan Rukmoseto tegas dan tandas, matanya mengeluarkan sinar berkilat. Ketika sinar matanya menusuk. Jokowanengpati, orang muda itu meremang bulu tengkuknya dan ia cepat berkata,

"Paman Resi Bhargowo "

"Tidak ada lagi Resi Bhargowo, yang ada Bhagawan Rukmoseto!" bentak pertapa itu tegas.

"Baiklah ......... ! , paman Bhagawan Rukmoseto. Hendaklah paman ketahui bahwa kami berenam adalah orang-orang kepercayaan ......... "

"Adipati Joyowiseso di Selopenangkep yang hendak mernberontak kepada Kerajaan Medang, bukan?" kembali sang bhagawan memotong sambil tersenyum rnengejek.

Jokowanengpati menggeleng kepalanya.
"Paman keliru dan salah duga. Memang benar kami segolongan dengan paman Adipati Joyowiseso, karena beliaupun rnenjadi satu golongan dengan kami dalam membela yang benar. Kami semua adalah orang-orang kepercayaan dan bahkan kini bertugas sebagai utusan Gusti Pangeran Anom. Oleh karena itu, saya harap parnan jangan memperlihatkan sikap permusuhan, karena apakah paman bermaksud rnemberontak kepada kekuasaan Gusti Pangeran Anom?" Jokowanengpati berhenti sebentar lalu melanjutkan cepat-cepat ketika melihat pendeta itu tersenyum penuh arti, "Paman, saya tidak membohong. Kalau paman tidak percaya, boleh paman periksa di pantai itu. Kami datang menggunakan perahu gusti pangeran sendiri yang dapat paman lihat dari benderarrya di tiang layar. Kami diutus untuk menemui paman dan minta pusaka Mataram dari paman bhagawan."

"Sudah kukatakan bahwa pusaka Mataram tidak berada dalam tanganku. Kalau kalian tidak percaya dan melakukan penggeledahan, silahkan!"

Lanjut ke Jilid 039 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment