Ads

Friday, December 28, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 046

◄◄◄◄ Kembali

Joko Wandiro adalah seorang anak yang cerdik. Ia tahu bahwa dirinya diselubungi rahasia yang aneh dan tahu pula bahwa Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang sakti yang takkan terlawan oleh Ki Tejoranu sendiri. Maka ia mengangguk dan membenarkan kakek itu. Apalagi ia memang kagum menyaksikan gerak-gerik kakek ini yang pernah ia lihat ketika bertanding. Ilmu golok kakek ini amat hebat maka Joko Wandiro menjadi girang untuk mempelajarinya.

Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima gemblengan Ki Tejoranu dalam ilmu silat yang gerakannya amat cepat. Mula-mula ia diberi pelajaran ilmu silat tangan kosong. Karena sejak kecil anak ini sudah mendapat gemblengan keras dari Pujo, kemudian malah mendapat bimbingan Resi Bhargowo sendiri, boleh dibilang Joko Wandiro telah memiliki dasar gerakan silat tinggi, maka dengan girang dan kagum Ki Tejoranu mendapat kenyataan betapa mudahnya anak ini mewarisi ilmunya. Segera ia menurunkan ilmu goloknya.

Pada pagi hari yang cerah itu, sebulan setelah Joko Wandiro mati-matian dan siang malam melatih ilmu silat, mereka duduk di bawah pohon cempaka, berada di atas rumpun dan berhadapan.

"joko Wandiro, anakku yang baik. Ilmu pukulan yang kau pelajari dalam sebulan ini adalah dasar ilmu golok, yang mulai hari ini akan kuajarkan kepadamu. Joko, bergiranglah engkau bahwa ilmu golok ini akan kau miliki, karena di negaraku sana, ilmu golokku ini sudah terkenal. Bahkan karena ilmu golokku inilah aku di sana dijuluki orang Si Golok Sakti. Julukan yang membuat aku sombong dan menyeleweng daripada kebenaran, lupa bahwa segala ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kebaikan sesuai dengan sifat Tuhan, dan bahwa di dunia ini tidak ada yang paling pandai kecuali Tuhan pula. Karena kesombongan dan penyelewenganku, maka aku terjatuh dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negaraku, merantau sampai di sini. Tidak hanya di negaraku, juga di sini berlaku hukum bahwa siapa yang mengandalkan ilmu, kedudukan, atau harta untuk bertindak sewenang-wenang melakukan kejahatan, dia akan runtuh! Juga di sini aku melihat kenyataan bahwa yang paling sakti adalah orang yang benar, karena yang benar dilindungi Tuhan Yang Maha Sakti."

Filsafat seperti ini sudah seringkali didengar Joko Wandiro, maka ia mengangguk-angguk membenarkan Ayahnya, juga eyang gurunya, sudah seringkali memberinya nasehat-nasehat dan petuah kebajikan hidup. Mulailah Ki Tejoranu menurunkan ilmu goloknya yang luar biasa itu kepada Joko Wandiro. Hebat memang ilmu golok ini. Ketika Ki Tejoranu memberi petunjuk sambil mainkan sepasang goloknya, tampak gulungan dua sinar putih menyilaukan mata disertai suara mbrengengeng (mengaung seperti lebah). Joko Wandiro memandang penuh perhatian dan kekaguman. Ki Tejoranu berhenti dan mulai memberi petunjuk secara mendetail dan perlahan.

"Anakku, di negaraku, aku dijuluki Si Golok Sakti karena ilmu golok ini. Ilmu golok ini dicipta oleh guruku berdasarkan gerakan ribuan ekor lebah putih yang mengeroyok seekor ular besar. Karena itu diberi nama Ilmu Golok Lebah Putih. Dasar keampuhannya terletak pada gerak-gerak menggunting seperti banyak lebah menyerang dari jurusan-jurusan berlawanan sehingga membingungkan lawan. Semua terdiri dari tiga puluh enam jurus yang dasar gerakannya telah kau pelajari dengan tangan kosong selama ini. Nah, sekarang perhatikan jurus pertama. Lihat baik-baik dan tirukan."

Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima ilmu golok yang dipelajarinya penuh perhatian dan ketekunan. Ki Tejoranu terheran-heran dan amat kagum melihat anak ini. Benar-benar memiliki dasar dan bakat yang luar biasa. Dalam waktu sehari saja, Joko Wandiro dapat menguasai empat jurus dengan dasar gerakan yang cukup baik sehingga dalam waktu sembilan hari, ia telah menguasai Ilmu Golok Lebah Sakti. Pada hari ke sepuluh, Ki Tejoranu ketika bangun pagi sekali, telah mendengar suara anak itu berlatih seorang diri. Ia menghampiri, memandang penuh perhatian sambil mengelus-elus jenggotnya. Senang hatinya. Biarpun gerakannya belum trampil dan cepat benar, namun dasarnya sudah benar, tinggal mematangkannya dalam latihan saja. Benar luar biasa anak ini, pikirnya senang.

Tidak hanya gerakan kaki tangan yang sudah tepat, bahkan cara mengatur napas dalam gerakan silat ini, hal yang paling sulit diingat dan dipraktekkan dalam bersilat, sudah dikuasai Joko Wandiro! Setelah anak itu menghabiskan tiga puluh enam jurus dan hendak mengulang lagi dari pertama, Ki Tejoranu berkata,

"Berhentilah dahulu, Joko. Kulihat kau telah menguasai Lebah Putih, dan dasar-dasar gerakanmu sudah benar, hanya tinggal mematangkan saja. Kalau kau setiap hari berlatih, ilmu ini tentu akan mendarah daging kepadamu dan akan amat berguna kelak. Hari ini aku akan berangkat menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu, dan juga akan kucari ayahmu. Engkau tinggallah saja dalam hutan ini sambil berlatih ilmu golok. Jangan keluar dari dalam hutan ini sebelum aku pulang. Di hutan ini cukup banyak buah-buahan dan binatang, juga ada sumber airnya. Dalam waktu satu bulan aku akan kembali, anakku. Sepasang golok tipis ini, pusakaku selama puluhan tahun, kuberikan kepadamu, pakailah untuk berlatih."

Joko Wandiro menerima pusaka itu sambil mengucapkan terima kasih kepada kakek yang amat baik terhadap dirinya itu. Ia maklum akan bahayanya kalau sampai bertemu dengan musuh-musuh ayahnya, maka ia berjanji akan mentaati pesan Ki Tejoranu. Orang tua itu lalu berangkat meninggalkan Joko Wandiro, setelah meninggalkan pesan-pesan agar anak itu berhati-hati.

Mentaati pesan Ki Tejoranu, semenjak kakek itu pergi, Joko Wandiro selalu berlatih ilmu golok dengan amat tekun dan rajin. Boleh dibilang setiap saat ia berlatih ilmu golok, dan hanya berhenti untuk mengaso, makan atau tidur. Kadang-kadang ia seling dengan latihan ilmu yang ia pelajari dari ayahnya dan yang disempurnakan oleh eyang gurunya, yaitu ilmu pukulan Pethit Nogo dengan gerakan Bayu Tantra.

Berbeda dengan Ilmu Golok Lebah Putih ajaran Ki Tejoranu yang mengandalkan kegesitan tubuh dan kerja sama yang baik antara perasaan dan urat syaraf didasari peraturan gerakan dan langkah, adalah ilmu-ilmu yang ia pelajari dari ayah dan eyang gurunya lebih didasari aji kesaktian yang diperkuat oleh keteguhan batin berkat latihan samadhi dan bertapa.

Joko Wandiro memang memiliki bakat luar biasa untuk menjadi seorang ksatria utama. Tidak saja semua ilmu olah keprajuritan dapat ia kuasai dengan amat mudah, juga dalam hal tapa brata, ia amat tekun dan kuat. Semenjak masih kecil ia sudah dilatih dan digembleng ayahnya sehingga dahulu dalam usia delapan sembilan tahun saja ia sudah seringkali ikut ayahnya bertapa di dalam guha-guha di tepi pantai Laut Selatan. Bertapa dan bersamadhi sampai tiga hari tiga malam, tanpa makan tanpa minum! Bagi seorang dewasa, tentu saja hal ini tidak mengherankan. Akan tetapi bagi seorang anak berusia delapan tahun, benar-benar merupakan hal yang mentakjubkan.

Kini ia sudah berusia dua belas tahun lebih. Bertapa tanpa makan minum selama satu minggu saja merupakan hal biasa bagi Joko Wandiro! Tidaklah mengherankan apabila dalam usia semuda itu, ia telah memiliki beberapa macam ilmu kesaktian yang mengagumkan. Dan sifat tahan tapa inilah agaknya yang membuat ia secara mudah sekali dapat menguasai Ilmu Golok Lebah Putih dalam waktu beberapa bulan saja. Padahal, Ilmu Golok Lebah Putih termasuk ilmu silat tinggi yang hanya mampu dikuasai seorang ahli silat yang sudah matang dasar-dasarnya, inipun untuk menguasainya secara sempurna membutuhkan waktu bertahun-tahun!

Sebulan lewat cepat. Ki Tejoranu belum juga pulang. Joko Wandiro yang mengharapkan kedatangan Ki Tejoranu dalam satu dua hari ini, berlatih giat sekali. Ingin ia menyenangkan hati kakek yang baik hati itu betapa selama ini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam Ilmu Golok Lebah Putih. Juga hatinya girang karena pulangnya Ki Tejoranu akan membawa berita tentang eyang gurunya dan ayahnya.

Pagi hari itu Joko Wandiro berlatih dengan tekun, mengerahkan seluruh tenaganya dan mencurah kan seluruh perhatian dalam gerakan-gerakannya. Sepasang golok tipis ringan di tangannya itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Anak ini belum mampu bergerak terlalu cepat sehingga tubuhnya lenyap terselimut gulungan sinar putih, akan tetapi berlatih kurang dari setengah tahun sudah dapat menggerakkan sepasang golok sehingga lenyap bentuknya, benar-benar sudah amat mengagumkan.

Tiba-tiba terdengar seruan suara aneh dan sesosok bayangan putih berkelebat dekat sekali dengan Joko Wandiro yang tengah bersilat. Mendadak sekali, tanpa dapat dicegah lagi sepasang golok terbang lenyap dari kedua tangan Joko Wandiro yang sama sekali tidak menyangka-nyangka. Anak ini cepat menengok dan mencari-cari dengan pandang matanya, namun tidak tampak siapapun juga di situ. Sepasang goloknya lenyap dan tadi ia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang disusul perampasan goloknya secara tiba-tiba. Kalau saja ia tahu bahwa bayangan itu merampas goloknya tentu ia akan melakukan perlawanan.

Dengan marah dan penasaran sekali, Joko Wandiro meloncat dan mengejar, mencari ke sana-sini di sekitar hutan, namun hasilnya sia-sia belaka. Kemudian ia duduk di bawah pohon sambil menunjang dagu, terheran, penasaran, dan juga agak gelisah. Ia mengingat-ingat. Bayangan itu tinggi kurus seperti bayangan seorang kakek tua, akan tetapi gerakannya begitu cepat dan ia sendiri tadi tengah bersilat dan tidak memperhatikan lain hal sehingga tidak dapat melihat jelas. Yang terang sepasang goloknya dirampas seorang kakek yang tentu saja memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Ia termenung penuh penyesalan dan kekecewaan. Ia harus berlatih makin giat. Ia harus dapat mematangkan ilmunya karena sudah berkali-kali ia alami betapa banyaknya orang-orang sakti di dunia ini yang harus ia hadapi. Orang-orang sakti yang menyalahgunakan kesaktiannya. Seperti Cekel Aksomolo dan teman-temannya. Seperti kakek tak terkenal yang kini mencuri sepasang goloknya mengandalkan kesaktiannya. Kalau ia tidak kalah pandai, tak mungkin orang akan dapat merampas sepasang goloknya dengan semaunya dan seenaknya saja!.

Hatinya makin penasaran dan juga bingung Karena ia merasa malu bagaimana harus memberi keterangan kepada Ki Tejoranu tentang hilangnya sepasang golok pemberian kakek itu. Tiga hari kemudian, menjelang senja hari, datanglah Ki Tejoranu. Kakek ini kelihatan lelah sekali, dan tekukan wajahnya membayangkan berita yang tidak menggembirakan. Joko Wandiro menahan diri, dan tidak akan menceritakan pengalamannya sebelum kakek itu mengaso. Ia tidak mau menambah berita yang tidak menyenangkan pada kakek Ini. Cepat-cepat anak yang tahu akan kewajiban ini menyediakan dawegang (kelapa muda) untuk Ki Tejorartu minum, dan buah-buahan untuk makan. Setelah menghilangkan haus dan lelah, Ki Tejoranu berkata kepada anak yang duduk bersila di depannya,

"Aku agak terlambat, Joko. Akan tetapi perjalanan yang jauh itu sungguh melelahkan karena hasilnya kosong belaka. Baik eyang gurumu maupun ayahmu tak dapat kuketemukan. Tempat mereka kosong belaka, tidak ada seorangpun di Muara Lorog maupun di Pulau Sempu."

Tentu saja Joko Wandiro merasa amat kecewa.
"Ke manakah mereka pergi, paman?".

"Tak seorangpun tahu ke mana perginya ayahmu, Pujo. Tidak ada orang mengenalnya. Juga di Pulau Sempu kosong, eyang gurumu tidak berada di sana lagi. Akan tetapi, aku banyak mendengar tentang perang saudara yang mulai mengamuk di kota raja dan kurasa ayahmu sebagai seorang satria tentu pergi ke sana. Adapun tentang eyang gurumu Bhagawan Rukmoseto, aku mendengar berita bahwa beliau itu pergi menuju ke pertapaan Resi Gentayu ........ ?"

"Resi Gentayu ........ ? "

"Ya, Resi Gentayu atau Resi Jatmendra, atau juga Sang Prabu Airlangga yang mengundurkan diri dan bertapa di pertapaan Jalatunda."

Setelah berhenti sebentar Ki Tejoranu berkata pula "
"Besok atau lusa akan kuhantar engkau ke Jalatunda menyusul kakek gurumu itu, Joko. Akan tetapi aku ingin melihat engkau berhasil lebih dahulu dalam latihan ilmu go lok Bagaimana, sudah ada kemajuankah ? "

Ditanya begitu Joko Wandiro teringat akan sepasang goleknya yang dirampas orang, maka ia berlutut sambil mengeluh,

"Aduh, celaka paman. Tiga hari yang lalu, selagi aku berlatih, sepasang golok itu dirampas orang........ "

Ki Tejarani meloncat tinggi dan berdiri dengan muka merah, mata terpentang lebar
"Siapa ........ ? Siapa berani merampas? Bagaimana pula ia dapat merampas golok? Di mana dia merampasnya?"

Sebelum Joko Wandiro sempat- menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek bermata sipit berkulit kuning yang tinggi kurus. Sepasang golok Lebah Putih berada di kedua tangannya! Joko Wandiro memandang dengan penuh keheranan. Kakek ini rambutnya sudah putih semua, usianya tentu amat tinggi. Pakaiannya seperti pertapa, berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sehelai pita sutera putih pula. Mata yang sipit itu kini memandang tajam ke arah Ki Tejoranu, kemudian mulutnya mengeluarkan kata-kata asing yang sama sekali tidak dimengerti Joko Wandiro.

Ki Tejoranu sejenak melongo memandang kakek itu, kemudian tiba-tiba Ki Tejoranu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek rambut putih itu dan mereka berdua lalu bercakap-cakap dalam bahasa asing. Joko Wandiro tidak mengerti apa yang mereka percakapkan. Akan tetapi melihat sikap kakek tua yang baru saja datang, agaknya kakek ini marah-marah kepada Ki Tejoranu, menunjuk- nunjuk ke arah dia dengan golok kiri sambil mengamang-amangkan golok kanan ke arah Ki Tejoranu.

Sebaliknya, Ki Tejoranu hanya menjawab dengan ucapan pendek-pendek, mengangguk-anggukkan kepala seperti orang minta ampun. Kemudian kakek itu membentak keras dan melangkah ke arah Joko Wandiro, sikapnya mengancam. Akan tetapi Ki Tejoranu meloncat menghadang lalu berlutut lagi dan bicara sambil menggerak-gerakkan kedua tangan. Kakek tua itu termenung, agaknya meragu, tangan kiri yang memegang golok kini mengelus-elus jenggot panjang, kemudian mengangguk-angguk. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat ke depan. Bukan main cepatnya gerakan ini sehingga Joko Wandiro tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu sepasang golok itu sudah meluncur dan menancap di atas tanah di depan Ki Tejoranu, dan kakek itu seperti berkelebat lenyap dari tempat itu!. Lega rasa hati Joko Wandiro. Ia segera melompat menghampiri Ki Tejoranu.

"Ah, dia mengembalikan goloknya! Paman, siapakah kakek aneh itu dan apa kehendaknya?"

Ki Tejoranu tidak menjawab, hanya mengeluh. Joko Wandiro melihat betapa wajah Ki Tejoranu pucat sekali dan alangkah kagetnya ia ketika ia memandang ke bawah, ia melihat dua buah jari tangan menggeletak di dekat sepasang golok. Dua buah ibu jari! Dan ketika ia memandang lagi, kiranya kedua tangan Ki Tejoranu telah kehilangan ibu jarinya!
.
"PAMAN .......! Mengapa tanganmu .......”

Ki Tejoranu menggeleng kepala, tersenyum pahit.
"Kau carilah dulu getah pohon Gondang atau pohon Gebang untuk obat ....... "

Joko Wandiro cepat lari dari situ,mencari obat yang dikehendaki kakek itu. Ia tahu bahwa getah kedua pohon ini amat baik untuk mengobati luka. Setelah dapat, ia cepat kembali ke situ, membantu kakek itu mengobati kedua tangan itu dan membalutnya erat-erat dengan robekan kain bersih. Sejenak Ki Tejoranu meramkan kedua mata, mengatur napas. Kemudian ia membuka matanya dan berkata,

"Dia itu paman guruku, Joko ....... "

"Ahh ! Seorang paman guru mengapa begitu kejam? Mengapa kedua ibu jari tanganmu dipotong? Dan mengapa pula engkau membiarkannya saja, paman?"

"Kau tidak tahu, anakku. Dengarlah baik-baik ceritaku agar menjadi contoh bagimu betapa tidak baiknya orang mengagulkan kepandaian sendiri dan menjadi sombong lalu tersesat seperti aku ini ....... "

Kakek itu bersila di bawah pohon dan mulailah ia bercerita. Ki Tejoranu dahulu di Negeri Cina terkenal sebagai seorang pendekar ahli Ilmu Golok Lebah Putih yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Karena bakatnya yang baik, biarpun ia seorang murid termuda, namun ia paling pandai mainkan ilmu golok itu sehingga ia mengatasi saudara-saudara seperguruannya. Setelah keluar dari perguruan dan banyak sekali mengalahkan lawan, mulailah kesombongan mencengkeramnya dan ia menjadi seorang muda yang congkak dan sewenang-wenang, mengandalkan sepasang golok yang tak terkalahkan!

Akhirnya sepak terjangnya yang menodai nama baik perguruan ini terdengar oleh guru dan paman-paman gurunya. Ia dicari untuk dimintai pertanggungan jawabnya. Karena maklum betapa keras peraturan perguruannya, Ki Tejoranu lalu melarikan diri. Namun ia dikejar-kejar terus dan akhirnya ia ikut dengan perahu jong yang berlayar ke selatan sehingga akhirnya tibalah ia di Pulau Jawa dan menetap di sini. Tertarik oleh orang-orang sakti yang banyak terdapat di sini, akhirnya ia menjadi seorang pertapa dan bertahun-tahun Ki Tejoranu bertapa di tepi Danau Sarangan sehingga ia bertemu dengan Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo, menjadi sahabat dan terbawa-bawa pula dalam rombongan sekutu Adipati Joyowiseso.

"Demikianlah riwayatku, anakku Joko Wandiro. Kakek itu adalah paman guruku. Dia merantau sampai di sini dan mendengar bahwa aku berada di sini pula, dia sekalian mencariku dan mencari keterangan kalau-kalau aku masih melakukan perbuatan-perbuatan yang menodai nama perguruan kami. Secara kebetulan sekali dia melihat engkau berlatih Ilmu Golok Lebah Putih, Joko. Dan ini merupakan pantangan yang paling berat bagi perguruan kami. Seorang murid tidak sekali-kali boleh menurunkan Ilmu Golok Lebah Putih tanpa seijin para ketua dan aku telah melakukan pelanggaran itu dengan mengajarkannya kepadamu! Untung peristiwa ini tidak terjadi di negaraku, karena kalau terjadi di sana, ketika ia melihat kau melatih ilmu golok itu, tentu dia sudah turun tangan dan merampas kembali ilmu itu darimu."

"Merampas ilmu golok? Bagaimana ia dapat merampas ilmu yang telah dipelajari orang?"

Ki Tejoranu tersenyum pahit dan mengangkat kedua tangannya yang sudah dibalut.
"Dia telah merampas ilmu itu dariku."

Joko Wandiro tertegun, sejenak tidak mengerti. Kemudian ia teringat dan bergidik ngeri. Benar juga! Kalau dua buah ibu jari tangan dipotong, tidak mungkin lagi orang dapat bermain golok! Membuntungi kedua ibu jari tangan, sama saja artinya dengan merampas ilmu, karena ilmu golok itu tidak dapat dipergunakan lagi.

"Karena engkau orang asing, Joko, maka paman guruku tidak mau turun tangan sebelum mendengar keteranganku Maka ia menanti di sini sampai aku pulang. Tadi ia hamper menjatuhkan hukuman itu kepadamu, akan tetapi aku mencegahnya, menceritakan keadaanmu lalu mewakilimu menerima hukuman "

"Paman ....... !!" Joko Wandiro memegang lengan orang itu penuh keharuan.

"Memang aku yang bersalah, bukan engkau. Sudah sepatutnya aku pula yang menerima hukuman."

"Paman. Engkau sudah insyaf daripada kesalahan, bahkan sudah melarikan diri jauh dari negaramu. Mengapa kakek yang menjadi paman gurumu itu terus mendesak dan tidak mau memberi ampun? Mengapa engkau tadi tidak melawannya saja? Kalau melawan, tentu tadi aku akan membantu, paman."

"Ah, kau tidak mengerti, Joko. Mana bisa aku melawannya? Kalau hanya ibu jariku yang dipotong, hal itu masih amat ringan, Joko. Bararti paman guruku masih menaruh hati sayang kepadaku. Dosaku bertumpuk. Aku harus berani menghadapi hukumannya. Joko Wandiro, anakku. Kau boleh menerima sepasang golok ini dan boleh menggunakan Ilmu Golok Lebah Putih untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk memberantas kejahatan. Akan tetapi berjanjilah bahwa kau takkan mengajarkannya kepada orang lain. Berjanjilah, anakku, agar tidak bertambah-tambah berat dosaku kelak."

"Aku berjanji, paman."

"Bagus! Sekarang, kau berangkatlah menyusul dan mencari eyang gurumu. Aku tidak mungkin dapat menyertaimu, anakku."

"Mengapa, paman?"

"Karena aku harus segera menyusul rombongan paman guruku ke pantai laut utara. Aku harus kembali ke negaraku...."

"Ahhh ....... !" Joko Wandiro benar-benar kaget mendengar perubahan keadaan yang tak tersangka-sangka ini .

"Memang sebaiknya begitu, Joko. Sudah terlalu lama aku meninggalkan negeriku, meninggalkan keluargaku. Dan untunglah aku bertemu denganmu pada saat-saat terakhir, anakku. Kalau tidak....... hemmm, tak dapat kubayangkan apa jadinya. Kalau paman guruku mendapatkan aku bersama orang-orang....... macam Cekel Aksomolo belum tentu hukumanku seringan ini." Ia memandang ke arah kedua tangannya. "Sudahlah, tidak ada waktu lagi untuk banyak bicara, anakku. Kau pergilah sendiri menyusul eyang gurumu ke Jalatunda."

"Di manakah Jalatunda, paman?"

"Kau pergilah ke Gunung Bekel. Di lereng gunung itu terdapat guha-guha pertapaan yang bernama Guha Tirta dan di sanalah terdapat pertapaan Jalatunda. Andaikata eyang gurumu tidak berada di sana, tidak mengapa. Kau langsung saja menghadap Sang Resi Jatinendra atau Sang Resi Gentayu, mohon petunjuk. Beliau seorang pertapa yang sakti mandraguna, nak, karena beliau itu bukan lain adalah Sang Prabu Airlangga sendiri. Dalam keadaan perang saudara seperti sekarang, lebih baik kau tidak terburu nafsu dan lancang melibatkan diri sebelum mendapat petunjuk Sang Prabu Airlangga sendiri, karena hanya beliaulah yang akan dapat mengatasi semua keributan itu. Nah, berangkatlah, anakku, semoga Tuhan Yang Maha Tinggi selalu memayungimu."

Ki Tejoranu merangkul pundak anak itu dan mencium ubun-ubunnya dengan kedua mata basah. Ternyata Ki Tejoranu jatuh sayang kepada anak ini, anak yang menjadi penolongnya dan sekaligus menjadi muridnya, akan tetapi yang lebih daripada itu semua, menjadi titik tolak keinsyafannya!.

Setelah Joko Wandiro menyimpan sepasang golok, memberi hormat lalu pergi sampai tidak tampak lagi, barulah Ki Tejoranu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu untuk pergi ke pantai laut utara, di mana teman-temannya senegara, termasuk paman gurunya yang keras hati, menanti saat perahu jong kembali ke negeri mereka.

Gunung Bekel (sekarang Gunung Penanggungan) adalah sebuah gunung yang tidak begitu tinggi (1653 meter), namun merupakan sebuah gunung yang subur tanahnya, indah pemandangannya, dan bersih udaranya. Gunung Bekel inilah yang dianggap sebagai bayangan atau duplikat Gunung Mahameru dan karenanya dianggap suci! Apalagi karena Gunung Bekel ini dijadikan tempat bertapa Sang Prabu Airlangga, maka keadaannya menjadi lebih agung lagi. Banyak terdapat guha-guha yang dianggap sebagai tempat pertapaan yang suci dan disebut Guha Tirta. Di antara guha-guha ini terdapat sebuah guha yang besar, mempunyai "pekarangan" yang bersih dan amat teduh karena terlindung pohon-pohon besar di iereng sebelah atas guha. Inilah pertapaan Jalatunda, di mana terdapat sumber air yang jernih.

Pagi hari itu, pertapaan Jalatunda tampak lebih indah daripada biasanya. Sinar rnatahari pagi menerobos masuk dari celah-celah daun pohon di atas guha, menerangi sebagian tanah pekarangan yang bersih karena disapu setiap hari dua kali. Mutiara embun yang menghias ujung-ujung daun berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Suara burung ramai berkicau di pohon-pohon, seakan-akan mahluk-mahluk kecil ini bergembira ria menyambut datangnya matahari. Kegembiraan yang tulus dan murni, didasari kewajaran merupakan doa dan puja-puji yang paling suci dipanjatkan ke bawah kaki Tuhan Seru Sekalian Alam.

Di kanan kiri mulut guha besar tampak duduk bersila dua orang kakek. Mereka berdua, seperti juga guha pertapaan besar itu, menghadap ke timur. Jika tidak memperhatikan bagian dada mereka yang turun naik, tentu orang akan menyangka dua orang kakek itu arca-arca penjaga guha! Mereka duduk bersila tak bergerak sama sekali, kedua mata dipejamkan dan hening dalam samadhi. Yang duduk di sebelah kiri adalah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua, digelung di atas kepala, jenggot dan kumishya juga bercampur uban, tubuhnya tegap membayangkan tenaga. Kakek ini hukan lain adalah Bhagawan Rukmoseto atau Sang Resi Bhargowo!

Seperti telah diketahui, Bhagawan Rukmoseto terluka hebat ketika ia dikeroyok di Pulau Sempu. Akan tetapi berkat kesaktiannya, luka hebat oleh pukulan penggada Wesi Ireng yang dilakukan Jokowanengpati itu tidak merenggut nyawanya. Setelah beristirahat dan mengumpulkan kekuatannya Sang Bhagawan Rukmoseto pergi meninggalkan Pulau Sempu, kemudian menuju ke Jalatunda menghadap Sang Resi Gentayu atau Sang Resi Jatinendra.

Di depan junjungannya ini, Raja Kahuripan yang telah menjadi pertapa, Bhagawan Rukmoseto dengan terus terang menceritakan semua pengalamannya semenjak ia merampas pusaka Mataram dari tangan Jokowanengpati. Cerita ini didengarkan juga oleh kakak seperguruannya, yaitu Sang Empu Bharodo yang dengan setia mengikuti rajanya bertapa. Kemudian Bhagawan Rukmoseto menceritakan pula tekadnya untuk tidak mengembalikan pusaka karena ia kecewa melihat Ki Patih Narotama hendak menangkapnya dengan tuduhan memberontak.

Menceritakan pula betapa ia khawatir kalau-kalau pusaka itu bahkan akan menjadi sebab perpecahan yang lebih hebat lagi antara Pangeran Sepuh dan Pangeran Anom, seperti yang ia ketahui ketika ia menyelidik ke kota raja. Juga di depan kakak seperguruannya ia membuka rahasia kejahatan Jokowanengpati yang kini menjadi orang kepercayaan Pangeran Anom. Sang Resi Jatinendra menghela napas panjang mendengar semua penuturan itu, kemudian bersabda,

"Kakang Resi Bhargowo, sudah bertahun-tahun menjadi pertapa, mengapa masih belum pandai menguasai nafsu pribadi? Engkau masih diombang-ambingkan cinta dan benci, menimbulkan puji dan cela, mengakibatkan kawan dan lawan. Kasihan engkau, kakang Bhargowo. Kenapa tidak t inggal saja di sini bersama aku dan kakangmu Empu Bharodo mencari ketepangan dan keseimbangan? Yang sudah lalu biarkanlah. Aku hanya ingin mendengar apa selanjutnya yang terjadi dengan pusaka Mataram yang terjatuh ke dalam tanganmu, kakang Resi Bhargowo."

"Karena melihat perang saudara mengancam di kota raja, hamba mengambil keputusan untuk menyembunyikan pusaka itu. Hamba mempunyai dua orang cucu, gusti . "

"Eh, kakang Resi Bhargowo. Jangan engkau bergusti lagi kepadaku. Sekarang ini aku bukanlah raja gustimu, melainkan seorang rekan pertapa yang sama dengan engkau belajar menemukan kembali kesempurnaan sejati, kakang resi."

"Ampun eh, baiklah, adi resi."

"Nah, begitu lebih tepat. Selanjutnya, bagaimana, kakang?"

"Pusaka itu hamba berikan kepada kedua orang cucu hamba, dan hamba jadikan dua, yaitu keris pusaka dan patung kencana yang menjadi warangkanya. Oleh kedua cucu hamba itu lalu disembunyikan."

"Jagad Dewa Batara segala puji kepada Sang Hyang Wishnu, pemelihara segenap alam dan isinya.......!" Sang Resi Jatinendra mengeluh dan menyampaikan puja-puji kepada Sang Hyang Wishnu yang menjadi pusat pujaannya. "Segala kehendakMu terjadilah!"

Hening sejenak setelah pertapa bekas raja itu mencetuskan isi hati dan perasaannya. Resi Bhargowo sendiri terkejut sekali. Apakah salahnya kalau pusaka itu disembunyikan agar tidak terjatuh ke tangan orang yang tidak berhak?

"Untung sekali Dewata masih memayungi, adi resi. Hanya beberapa saat setelah hamba menyuruh kedua cucu hamba pergi menyembunyikan pusaka Mataram, muncul orang-orang yang katanya adalah utusan Gusti Pangeran Anom untuk merampas pusaka. Hamba dikeroyok dan roboh di tangan mereka, bahkan nyaris tewas kalau saja Dewata tidak melindungi hamba."

"Yang penting adalah pusaka itu sendiri, kakang Resi Bhargowo. Jika keris dan warangka terpisah, hal itu menjadi tanda akan terpisahnya kawula dan gusti, menjadi tanda bahwa persatuan akan terpecah-belah dan hal ini hanya berarti perang di antara saudara. Kakang Resi Bhargowo, di manakah sekarang kedua cucumu yang memegang keris dan patung kencana?"

"Inilah yang menyusahkan hati hamba. Mereka itu lenyap. Lenyap tak meninggalkan jejak, seakan-akan ditelan bumi!"

"Hemmm, sudahlah. Segala hal sudah ditentukan oleh Hyang Wisesa. Kita tunggu saja perkembangannya."

Demikianlah, semenjak saat itu, Resi Bhargowo ikut bertapa di Jalatunda. Bersama kakak seperguruannya ia bertapa menemani dan melayani raja gustinya yang kini menjadi Sang Resi Jatinendra. Adapun kakek yang duduk bersila di sebelah kanan mulut Guha Tirta itu tubuhnya tidak setegap dan sekuat Resi Bhargowo, akan tetapi wajahnya membayangkan ketenangan yang mendalam. Dia inilah Empu Bharodo, pendeta linuwih yang sakti mandraguna dan setia kepada rajanya. Di waktu mudanya, Empu Bharodo ini terkenal sekali karena kesaktiannya, terkenal sebagai ahli Ilmu Bayu Sakti sehingga gerakannya seperti kilat menyambar cepatnya, pandai lari seperti angin, melompat seperti terbang. Juga ilmu tombaknya yang disebut Jonggring Saloko menggemparkan seluruh Nusantara. Akan tetapi setelah tua, Empu Bharodo lebih tekun melakukan tapa brata,meninggalkan keramaian duniawi, lebih memperdalam ilmu kebatinan.

Dan inilah sebabnya maka muridnya yang tadinya merupakan murid terkasih, Jokowanengpati, sampai dapat menyeleweng berlarut-larut karena gurunya seperti tidak memperdulikan urusan dunia lagi, juga tidak memperdulikan sepak terjang muridnya. Ketika adik seperguruannya, Resi Bhargowo bercerita tentang kejahatan muridnya, kakek ini hanya tersenyum lemah.

Kini kakak beradik seperguruan yang telah menjadi pertapa-pertapa sakti itu duduk di kanan kiri mulut Guha Tirta, tekun bersamadhi menghadap ke timur sehingga wajah mereka tersinar matahari pagi yang kemerahan. Tak lama kemudian, seorang kakek lain melangkah keluar guha. Kakek ini langkahnya perlahan, tubuhnya tegak, sikapnya agung dan penuh wibawa. Biarpun sudah tua, namun dadanya bidang dan penuh membayangkan kekuatan lahir batin yang hebat. Jenggotnya yang panjang sudah penuh uban, sebagian menutupi dada bagian atas yang tidak seluruhnya tertutup jubah pertapaannya. Pakaiannya yang mengkilap dan indah, terbuat daripada kain yang amat halus itu menandakan bahwa dia seorang pertapa yang bukan sembarangan. Dan memang inilah dia Sang Resi Jatinendra atau Sang Resi Gentayu, Sang Prabu Airlangga Raja Kahuripan yang telah mengundurkan diri dan bertapa.

Setelah tiba di mulut guha, Sang Resi Jatinendra menoleh ke kanan kiri, wajahnya kini tersinar matahari pagi, gilang-gemilang seperti dilapis kencana. Sinar matanya penuh damai, mulutnya terhias senyum maklum, kemudian ia melangkah terus ke depan, lalu duduk di atas batu halus berbentuk bulat yang berada tepat di depan guha di tengah pekarangan.

Lanjut ke Jilid 047 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment