Ads

Friday, December 28, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 049

◄◄◄◄ Kembali

Ketika raksasa yang sejenak merasa nanar kepalanya itu merangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah marah lalu memandang, kiranya yang menyambar dan menghantamnya seperti terjangan Sang Haryo Werkudoro itu bukan lain adalah Ki Patih Narotama!.

"Si keparat Wirokolo! Berani engkau mengganggu junjunganku? Hayo majulah dan kerahkan semua kedigdayaanmu. Inilah musuh lamamu, akulah tandingmu!"

Wirokolo merasa ngeri. Bertahun- tahun yang lalu, ia sudah merasai betapa keras pukulan tangan Ki Patih Narotama,! betapa cepat tendangan kakinya. Bahkan kakak seperguruannya sendiri, Dibyo Mamangkoro yang lebih sakti, setelah mengerahkan semua kedigdayaannya dan bertanding yuda melawan patih ini, akhirnya harus mengakui keunggulan ki patih. Dan melihat akibat terjangan ki patih tadi, yang mampu melemparkan ia sampai jauh, membuktikan bahwa selama ini ilmu kesaktian ki patih juga maju pesat.

"Cukuplah, kakang Narotama! Jika engkau membalas kekerasan dengan kekerasan pula, akan berlarut-larut jadinya."

Suara ini diucapkan oleh Resi Jatinendra, dan Ki Patih Narotama merasa seakan-akan kepalanya disiram air wayu yang dingin. Ia segera sadar betapa ia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang seperti Sang Werkudoro di depan junjungannya yang masih duduk bersila, maka cepat-cepat ia mengebutkan ujung kakinya, lalu duduk bersimpuh penuh hormat.

"Mohon maaf, yayi (adinda) prabu tidak kuat hati hamba menyaksikan kesombongan Wirokolo."

Pada saat itu, Joko Wandiro sudah siuman dari pingsannya- Ia lalu meraih sepasang goloknya yang terlepas dekat disitu lalu bersila lagi, terheran-heran betapa kakek yang dikenalnya sebagai Ki Patih Narotama yang sakti, kini sudah bersimpuh menghadap Sang Prabu Jatinendra.

Sementara itu Wirokolo yang gentar menghadapi Ki Patih Narotama, lalu bangkit dan mengamang-amangkan sepasang tombaknya, lalu berkata dengan penuh geram,

"Airlangga dan Narotama! Sekarang kalian boleh tertawa-tawa atas kemenangan kalian. Akan tetapi awas, kelak akan datang saatnya kami membalas dendam! Kami akan selalu berusaha agar Kahuripan menjadi ajang perang saudara, sehingga terkutuklah semua keturunanmu sampai terbasmi habis. Huah-hah-hah!"

Suara ketawa manusia iblis ini masih terdengar dari jauh biarpun orangnya sudah lenyap tak tampak lagi.

"Kakang Narotama, apakah yang menyebabkan kakang datang menemui aku? Bukankah engkau amat dibutuhkan di kota raja, kakang?"

"Duhai gusti junjungan hamba! Yayi prabu........ hamba datang membawa berita buruk. Kalau paduka tidak lekas datang ke istana dan melerai, agaknya akan terjadilah apa yang dikatakan Wirokolo tadi. Pertentangan antara Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom tak dapat hamba cegah lagi, perang saudara sudah meletus secara terbuka. Duh yayi prabu, tegakah hati paduka membiarkan perang dan bunuh- membunuh antar keluarga?"

Resi Jatinendra mengerutkan kening memejamkan mata, lalu meraba dadanya sambil menarik napas panjang.

"Duhai Dewata yang berwenang menguasai jagad raya! Sudah mulaikah malapetaka yang didahului lenyapnya pusaka Mataram dan terpisahnya keris dari warangkanya?"

Sejenak pertapa ini menundukkan mukanya, kemudian berkata kepada Ki Patih Narotama,
"Wahai kakang Narotama, sampai sedemikian rupakah mereka berlomba memperebutkan kekuasaan, memperebutkan kedudukan selagi aku masih hidup?"

Di dalam ucapan ini terkandung rasa duka.

"Gusti junjungan hamba. Sekali-kali bukan hamba berat sebelah atau memihak. Akan tetapi menurut pendapat hamba, Gusti Pangeran Anom yang berusaha mempergunakan kekerasan untuk merampas kekuasaan dari rakandanya. Banyak tokoh-tokoh sakti yang menyeleweng daripada kebenaran dipergunakan tenaganya oleh Gusti Pangeran Anom. Betapapun juga, andaikata perang berlarut-larut, hamba terpaksa memihak kepada Gusti Pangeran Sepuh, hanya karena mereka itu menjadi kaki tangan Gusti Pangeran Anom."

"Hemm, sampai sedemikian hebat? Kakang Narotama, tentu saja aku takkan membiarkan darah mengalir di antara mereka. Akan tetapi, kakang. Sungguh kecewa hatiku mendengar pelaporanmu dan mendapat kenyataan bahwa engkau masih memihak seorang di antara mereka. Kalau engkau tidak berada di atas keduanya dan memihak, tentu akan lebih hebat kesudahannya, kakang. Apakah kau menghendaki aku turun tangan pula membantu Pangeran Anom?"

"Duhai, yayi prabu........ bukan begitu maksud hamba........ "

Sang resi tersenyum pahit.
"Kalau kau yang maju dalam medan yuda, kakang Narotama, siapa lagi yang akan menjadi lawanmu? Tentu keadaan menjadi berat sebelah dan agaknya baru akan seimbang kalau aku maju pula menjadi lawanmu agar seimbang dan adil."

"Ampun, yayi prabu.......!"

"Kakang, ingatlah bahwa apapun yang terjadi, mereka itu keduanya adalah puteraku, keduanya adalah darah keturunanku. Oleh karena itu, berjanjilah bahwa sejak detik ini, engkau tidak akan turun tangan mencampuri pertikaian mereka, tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, ialah keponakan-keponakanmu sendiri."

"Hamba berjanji!" jawab Ki Patih Narotama, suaranya gemetar.

"Dan berjanji bahwa setelah aku tidak berada lagi di sini, kau tetap tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, kakang Narotama?"

"Hamba berjanji!"

"Nah, puaslah hatiku, kakang. Sekarang aku hendak dating sendiri ke istana untuk menghentikan keributan yang tiada guna itu. Kau tidak perlu ikut, kakang, karena aku tidak akan memerlukan bantuan kekerasan. Biarlah kedua kakang Empu Bharodo dan Resi Bhargowo menyertaiku."

Setelah berkata demikian, Resi Jatinendra atau Resi Gentayu itu memberi isyarat kepada dua orang pertapa yang segera bangkit berdiri, siap mengikuti perjalanan junjungan itu ke kota raja. Joko Wandiro cepat bangkit pula hendak mengikuti eyang gurunya, akan tetapi Resi Bhargowo segera melarangnya sambil berkata,

"Joko Wandiro, engkau tinggallah di sini bersama gusti patih yang tentu akan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Perjalanan eyangmu mengantar sang agung Resi Jatinendra ke medan yuda takkan makan waktu terlalu lama."

Joko Wandiro menjadi kecewa sekali. Bukankah menurut Ki Tejoranu, sangat boleh jadi ayahnya berada pula di kota raja, ikut dalam perang ? Akan tetapi, ia tidak berani membantah, apalagi ia amat takut kepada Resi Jatinendra yang bersikap agung dan penuh wibawa itu. Maka ia lalu bersimpuh kembali, menundukkan mukanya. Tiba-tiba Resi Jatinendra menahan langkahnya, menoleh ke arah Joko Wandiro, memandang sejenak, lalu berkatalah sang resi kepada Resi Bhargowo,

"Inikah cucumu, kakang Resi Bhargowo?"

"Betul, Joko Wandiro ini adalah cucu murid hamba, adi resi."

"Bagian apakah yang diterimanya? Keris ataukah warangka?"

"Dia mendapatkan warangkanya, patung kencana."

Resi Jatinendra mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.
"Heh, orang muda! Sudah kau sembunyikan patung kencana itu?" Tiba-tiba sang resi bertanya.

Joko Wandiro mengangkat muka lalu menyembah.
"Sudah, eyang."

"Bagus !, Kakang Narotama, anak ini tadi sudah membuktikan kebulatan hatinya untuk menentang kejahatan. Hanya dia inilah yang kelak boleh kita harapkan. Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sang Resi Jatinendra meninggalkan tempat itu, diikuti dari belakang oleh Empu Bharodo dan Resi Bhargowo. Setelah tiga orang kakek itu pergi, Narotama patih sakti itu memandang penuh perhatian kepada Joko Wandiro, wajahnya berseri ketika ia mengingat kembali ucapan Sang Resi Jatinendra junjungannya yang ia cinta seperti saudara kandung sendiri.

"Anak muda, apakah namamu Joko Wandiro?" Kemudian ia bertanya sambil menatap wajah yang menunduk itu.

"Betul sekali, gusti patih," jawab Joko Wandiro penuh hormat.

Ki Patih Narotama tercengang.
"Heh? Engkau sudah tahu siapa aku?"

Joko Wandiro menyembah.
"Hamba sudah tahu bahwa paduka adalah Gusti Patih Kanuruhan, juga disebut Gusti Patih
Narotama."

"Joko Wandiro, pernahkan kita saling berjumpa?"

"Penah, gusti. Akan tetapi paduka tidak melihat hamba, yaitu ketika paduka bertanding dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dan teman-temannya, karena hamba bersembunyi di atas pohon."

"Hemm ........ hemmm ......... ."

Narotama mengelus-elus jenggotnya
"Mereka mengeroyokku dekat muara Sungai Lorog. Joko Wandiro, katanya engkau cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"

"Guru hamba adalah ayah hamba sendiri yang bernama Pujo, yang dahulu datang membantu paduka dalam pertandingan."

"Aaaaahh ........ ?"

Narotama makin tertarik dan mengelus-elus jenggotnya, keningnya berkerut. Tepat sekali, pikirnya. Anak ini berdarah satria. Dipandang sekelebatan saja sudah nampak bakatnya menjadi satria perkasa. Dan terutama sekali, Sang Resi Jatinendra sendiri yang tentu saja awas paningal itu telah memujinya. Lebih-lebih lagi, anak ini agaknya menyimpan pusaka Mataram, patung kencana Sri Bathara Wishnu! Dia tadi telah berjanji takkan turun tangan mencampuri urusan antara para pangeran.

Hemm ........ ,betapapun juga, junjungannya tak dapat melupakan kasih sayang terhadap putera, maklum bahwa kalau dia turun tangan, tentu ada puteranya yang menjadi korban. Akan tetapi, bagaimana kalau Pangeran Anom yang ia tahu benar mengadakan hubungan dan dibujuk-bujuk kakeknya, Maha Raja Sriwijaya untuk merebut kedudukan di Kahuripan? Dan Pangeran Anom yang ibunya seorang puteri Sriwijaya itu mempergunakan tokoh-tokoh bekas musuh Sang Prabu Airlangga! Bagaimana ia dapat mendiamkan saja kalau kelak Pangeran Anom membuat gara-gara? Akan tetapi ia telah berjanji kepada junjungannya dan ia maklum bahwa lebih baik ia mati daripada melanggar janjinya itu.

"Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."

Demikian ucapan Sang Resi Jatinendra tadi ketika hendak pergi. Narotama tersenyum. Betapapun juga ia hampir lupa akan kebijaksanaan junjungannya itu. Kini mengertilah dia. Sang Resi Jatinendra tidak menghendaki ia kelak turun tangan ikut berperang saudara, karena sang resi menganggap ia kakak sendiri, berarti paman putera-puteranya! Tentu saja tidak rela hati Sang Resi Jatinendra kalau Narotama ikut berperang antar saudara. Dan tadi junjungannya telah memberi "jalan keluar", yaitu dengan jalan menurunkan kepandaian kepada seorang murid yang tepat! Seorang murid yang kelak dapat menggantikannya menggunakan kepandaian untuk menjamin ketentraman kerajaan, membela yang benar menghancurkan yang salah, siapapun adanya yang benar atau yang salah itu. Menjadi penggantinya membela kebenaran dan keadilan, karena dia sendiri tidak mungkin dapat turun tangan, terbelenggu oleh janjinya tadi!

"Joko Wandiro, maukah engkau menjadi muridku?"

Saking heran, kaget dan juga girang Joko Wandiro mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar. Ia tadi sudah menyaksikan betapa hebat sepak terjang ki patih yang sakti, bahkan dahulu pernah pula menikmati kesaktian kakek ini dikeroyok oleh tokoh-tokoh pandai. Tentu saja ia suka sekali menjadi murid Ki Patih Narotama yang menurut kabar adalah seorang yang paling sakti di Kahuripan, kecuali Sang Prabu Airlangga sendiri tentunya. Maka cepat-cepat ia menyembah.

"Hamba suka sekali, gusti patih......."

"Bagus, dan mulai sekarang jangan menyebut gusti patih kepadaku, melainkan bapa guru. Sekarang jawablah, apakah engkau tadi menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di sini?"

Joko Wandiro mengangguk. Ki Patih Narotama bermaksud mengambil murid Joko Wandiro hanya dengan satu tujuan, yaitu agar kelak ia mempunyai wakil penjaga keselamatan Kerajaan Kahuripan yang ia cinta, agar ia dapat mewakilkan muridnya untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan di Kahuripan tanpa dia sendiri turun tangan. Maka ia ingin agar anak yang menjadi muridnya ini mengerti benar akan keadaan di Kerajaan Kahuripan, mengenal pula musuh-musuh Sang Prabu Airlangga yang amat banyak dan amat sakti, di antaranya Wirokolo tadi.

"Mengertikah engkau akan segala peristiwa yang terjadi tadi, muridku? Kalau ada yang belum kau mengerti, sekarang juga kau boleh bertanya dan aku akan memberi penjelasan."

Berkata demikian, Narotama lalu duduk di atas batu di depan Joko Wandiro. Girang hati anak ini. Tidak saja ia diterima menjadi murid kakek sakti mandraguna ini, juga ia mendapat kenyataan bahwa gurunya ini amat peramah dan sabar. Maka ia lalu segera mengajukan pertanyaan tentang peristiwa yang amat mengesankan hatinya tadi.

"Bapa guru, sebelum manusia iblis Wirokolo tadi muncul, terjadi peristiwa aneh sekali. Serombongan kelelawar yang jumlahnya beribu-ribu datang menyerang ke sini, disambut ribuan burung sriti yang mengalahkan dan mengusir mereka. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bapa guru?"

"Hal itu terjadi karena aji yang disebut Panji Satwo. Aji ini adalah aji penakluk segala macam binatang. Akan tetapi seperti juga semua ilmu di dunia ini, bisa dihitamkan atau diputihkan oleh pelakunya. Segala aji di dunia ini bisa menjadi ilmu yang baik, bisa juga buruk, tergantung dari si manusia sendiri. Wirokolo menggunakan Aji Panji Satwo untuk melakukan hal-hal keji, maka ia memilih rombongan kelelawar untuk menyesuaikan diri. Di lain fihak, kakang Empu Bharodo juga menggunakan aji itu dan barisannya adalah burung-burung sriti yang memang bersarang di dalam guha. Pilihan tepat untuk mengusir kelelawar itu."

Joko Wandiro merasa kagum, juga bangga.
"Bapa guru, sesudah kelelawar-kelelawar itu dikalahkan dan pergi, lalu muncul nenek mengerikan yang mengeluarkan lidah api. Hamba pukul dan serang dia dengan golok, namun pukulan dan bacokan hamba tembus saja, seakan-akan tubuhnya hanya bayangan. Siapakah dia itu, bapa guru, dan mengapa setelah disambit puspa (bunga) oleh eyang Empu Bharodo, dia lenyap?"

"Aahhh, sungguh keji si Wirokolo." Kakek sakti itu menghela napas. "Untung ada kakang Empu Bharodo yang ahli dalam hal ilmu sihir. Kalau tidak kedigdayaan saja akan sukar mengalahkan Wirokolo. Ketahuilah, muridku. Nenek itu adalah iblis ciptaan ilmu hitam Calon Arang yang amat keji, juga amat dahsyat sukar dikalahkan. Kalau si Wirokolo sudah memiliki ilmu macam itu, sungguh ia merupakan manusia iblis yang berbahaya dan sudah selayaknya dibasmi. Sayang bahwa junjungan kita tadi melarang, kalau tidak, tentu sudah kubinasakan si jahat Wirokolo."

"Siapakah dia itu, bapa guru? Dan mengapa dia memusuhi Sang Prabu Airlangga ? "

"Dia seorang bekas senopati Kerajaan Wengker yang dahulu dikalahkan oleh tentara Kahuripan. Agaknya ia masih mendendam dan hendak menuntut balas."

Kemudian Ki Patih Narotama menyuruh muridnya memperlihatkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya, dan mulailah ia memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan oleh Joko Wandiro penuh perhatian. Mulailah Joko Wandiro menerima gemblengan dari kakek sakti ini dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan dari kakek sakti ini, dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan ini jauh bedanya dengan gemblengan-gemblengan yang pernah ia terima, dapat mengerti bahwa gurunya ini memiliki ilmu kesaktian yang amat hebat. Maka iapun amat tekun mengikuti pelajaran yang diberikan Ki Patih Narotama.

**** 049 ****
Lanjut ke Jilid 050 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment