Ads

Sunday, December 30, 2012

Badai Laut Selatan Jilid 059

◄◄◄◄ Kembali

"Tidak boleh! Tidak bisa!! Harus kami laporkan lebih dahulu."

"Mana bisa kalian masuk begitu saja ke dalam istana?"

Akan tetapi Dibyo Mamangkoro tidak perdulikan cegahan dan halangan para pengawal istana. Ia menggandeng lengan Endang Patibroto dan melangkah lebar memasuki pendopo keraton yang berlantai mengkilap itu. Ketika enam orang pengawal depan istana itu mengepungnya, tangan kiri Dibyo Mamangkoro bergerak ke depan dan.... enam orang pengawal itu kini berdiri terbelalak, dengan tubuh kaku-kaku tak bergerak seperti berubah menjadi arca-arca batu!

Setelah sambil tertawa Dibyo Mamangkoro menggandeng tangan muridnya masuk ke ruangan dalam, barulah enam orang itu seakan-akan hidup kembali. Tadi mereka merasa betapa kaki tangan mereka kaku tak dapat bergerak! Tentu saja mereka menjadi bingung dan sibuk sekali, karena tentu mereka akan mendapat hukuman berat, membiarkan kakek raksasa dan gadis jelita itu memasuki keraton. Di ruangan dalam, segera dari kanan kiri dan depan berdatangan para penjaga dan pengawal istana, denga tombak panjang di tangan.

"Hai, berhenti! Siapa berani masuk tanpa ijin? "

Melihat mereka itu, muka Dibyo Mamangkoro menjadi merah.
"Butakah mata kalian? Siapa berani menghalangi aku, Dibyo Mamangkoro, datang menghadap raja??"

Dengan mata mendelik dan sikap mengancam Dibyo Mamangkoro menantang. Seketika berubah pucat wajah para pengawal itu. Baru sekarang ia mengenal kakek itu, seorang kakek raksasa yang amat terkenal. Tentu saja mereka maklum akan kesaktian kakek ini dan tidak berani melawan. Namun, sebagai petugas-petugas dan penjaga, merekapun tidak berani membiarkan kakek itu masuk ke dalam ruangan persidangan, di mana sang prabu sedang bercengkerama dengan para ponggawanya.

"Tapi...... tapi...... harap paduka menunggu, biar kami laporkan lebih dulu kepada gusti prabu.......... " Dan beberapa orang sudah berlari ke dalam untuk menyampaikan laporan.

Namun Dibyo Mamangkoro tidak perduli, terus menggandeng tangan muridnya melangkah masuk.

"Maafkan, kami tidak berani membiarkan paduka masuk sebelum ada perintah dari sang prabu."

Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak.
"Hendak kulilhat bagaimana kalian tikus-tikus ini bias mencegah aku masuk!"

Ia melangkah terus dan keadaan menjadi tegang. Para pengawal tidak berani turun tangan, akan tetapi merekapun tidak mau memberi jalan, sehingga mereka itu membentuk lingkaran yang menghadang di depan Dibyo Mamangkoro dan muridnya, sambil mundur-mundur ketakutan. Dalam keadaan ketegangan mengancam keributan ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah dalam,

"Ki Dibyo Mamangkoro dan temannya diperkenankan menghadap."

Suara itu adalah suara pengawal dalam yang merupakan hasil pelaporan dua orang pengawal tengah tadi. Begitu mendengar bahwa orang yang mendatangkan ribut di luar adalah Dibyo Mamangkoro, sang prabu tersenyum dan memberi tanda agar raksasa itu diperbolehkan masuk dan menghadapnya.

Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak, lalu bersama muridnya memasuki ruangan yang amat indah itu. Endang Patibroto celingukan memandang ke kenan kiri, mengagumi segala yang indah-indah dan yang baru pertama kali ini dilihatnya. Melihat sikap muridnya ini, Dibyo Mamangkoro tertawa.

"Semua ini, dan banyak yang jauh lebih hebat dan indah lagi, kelak menjadi punyamu, Endang!”

Mereka memasuki pintu tebal terakhir dan tampaklah ruangan yang indah. Di sebelah paling dalam, yang terhias sutera-sutera berkembang beraneka wama, tampak Raja Jenggaia duduk di atas singgasana, sebuah kursi kencana.

Endang Patibroto menahan napas. Raja itu tampan, seperti dewa kahyangan. Tubuh atas yang tak berbaju itu berkulit kuning dan seperti emas mengeluarkan cahaya. Kepalanya memakai mahkota bertabur emas permata Wajahnya tampan sekali. Heran sekali hati Endang. Gurunya pernah bilang bahwa Raja Jenggala berusia empat puluh tahun lebih, mengapa mukanya begitu halus dan kelihatannya tampan seperti seorang pemuda? Juga perhiasan leher dan lengannya gemerlapan, pakaian yang menutup tubuh bagian bawah mewah dan indah pula.

Beberapa orang ponggawa duduk bersila menghadap sang prabu. Akan tetapi pada saat itu, para hulubalang hanya mendengarkan saja dan sang prabu agaknya sedang merundingkan sesuatu yang amat penting dengan tiga orang yang duduk menghadap dekat di depan singgasana. Mereka
ini adalah ki patih dan dua orang senopati.

Ketika Dibyo Mamangkoro dan Endang Patibroto muncul, sang prabu menghentikan percakapan, mengangkat muka dan memandang kepada kakek raksasa itu dengan senyum gembira. Akan tetapi sepasang alisnya terangkat, agaknya heran ketika melihat kakek itu datang bersama seorang gadis yang berwajah jelita. Kalau saja yang datang itu bukan murid Dibyo Mamangkoro, tentu sang prabu akan marah sekali. Seorang wanita muda datang menghadap dengan langkah tenang begitu saja, tidak berjalan jongkok, memakai baju lagi!.

Dengan lagak kasar tidak dibuat-buat, Dibyo Mamangkoro menarik muridnya maju, lalu mengajak muridnya itu berlutut memberi hormat. Ia duduk bersila sedangkan Endang Patibroto duduk bersimpuh. Berbeda dengan semua wanita yang mendapat kehormatan hadir di depan sang prabu dan selalu menundukkan muka, gadis remaja ini mengangkat muka, matanya berkeliaran memandang ke mana-mana, bahkan secara terang-terangan menatap wajah sri baginda tanpa takut sedikit pun juga! Sikapnya sama benar dengan sikap Dibyo Mamangkoro yang tidak mengherankan hati sang prabu, karena sang prabu sudah mengenal watak kakek raksasa yang kasar dan liar ini.

"Kiranya paman Dibyo Mamangkoro yang membikin geger para pengawal keraton!" Demiklan tegur sang prabu sambil melirik ke arah Endang Patibroto.

"Hamba, Dibyo Mamagkoro dan murid terkasih hamba, Endang Patibroto menghaturkan sembah sujut!” Suara raksasa tua ini menggema di seluruh ruang persidangan.

Sang prabu tersenyum lagi.
"Bagus, paman Dibyo. Kedatanganmu memang aangat tepat karena sesungguhnya kami amat membutuhkan bantuanmu."

"Untuk menggempur Panjalu, gusti?" Dibyo Mamangkoro memotong.

"Eh, bagaimana engkau bisa tahu, paman?"

"Huah-hah-hahi Justeru karena itulah hamba datang menghadap dan membawa murid hamba ke sini. Hamba menawarkan tenaga bantuan murid hamba ini dan percayalah, gusti, kalau Endang Patibroto mengepalai semua senopati Jenggala, dalam waktu singkat saja Panjalu akan dapat dihancurkanl Huah-hah-hah!"

Ucapan ini terlalu mengejutkan sehingga sri baginda dan semua hulubalang yang hadir tidak memperdulikan sikap dan kata-kata yang kasar itu. Mereka semua kini menengok dan memandang ke arah Endang Patibroto, yang bersikap tenang-tenang saja, bahkan membalas pandang mata mereka dengan senyum setengah mengejek.

Sri baginda salah tampa, mengira bahwa Dibyo Mamangkoro sanggup membantu kerajaannya dengan syarat agar wanita yang menjadi muridnya itu diterima menjadi dayang di keraton. Karena gadis itupun cantik jelita, hanya sayang belum tahu tata susila keraton, pula karena memang amat membutuhkan tenaga bantuan orang-orang sakti seperti Dibyo Mamangkoro, tanpa ragu-ragu lagi sang prabu berkata,

"Baiklah, paman Dibyo. Muridmu ini kuangkat menjadi pelayan dalam, sedangkan engkau boleh memimpin para senopati di sini...... "

"Bukan demikian maksud hamba, gusti! Murid hamba ini, Endang Patibroto, Puteri Nusakambangan, hamba tawarkan menjadi senopati, memimpin perang terhadap Panjalu, bukan hamba!"

“Apa katamu?? Paman Dibyo Mamangkoro, harap jangan main-main begitu. Kami benar-benar sedang menghadapi perang saudara, dan Panjalu mempunyai banyak orang sakti. Bagaimana kami dapat memakai tenaga seorang gadis remaja untuk menghadapi mereka?"

"Huah-ha-ha-hal Hendaknya gusti tidak salah menduga. Murid hamba ini tidak boleh disamakan dengan segala wanita di jagad ini! Dia puteri di antara segala puteri! Sakti mandraguna tidak kalah oleh laki-laki yang manapun juga. Hamba sendiri sekarang belum tentu akan mampu mengalahkan murid hamba ini!"

Ucapan Dibyo Mamangkoro mengandung kebanggaan luar biasa dan memang ia tidak terlalu melebih-lebihkan karena pada saat itu tingkat kepandaian Endang Patibroto memang sudah luar biasa sekali. Mungkin belum dapat menandingi kedigdayaan gurunya, akan tetapi kalau ia mempergunakan pusaka Ki Brojol Luwuk, belum tentu Dibyo Mamangkoro sanggup mengalahkannya!

Tentu saja sang prabu dan para senopati memandang dengan kening berkerut dan tidak percaya. Namun, karena para senopati itu mengenai baik-baik siapa dia Dibyo Mamangkoro, sungguhpun mereka merasa tersinggung dan terhina dengan usul yang diajukan raksasa itu, mereka tidak berani mengeluarkan bantahan. Hanya sang prabu yang berani berseru,

"Paman Dibyol Hentikan kelakarmu ini! Gadis muridmu ini paling banyak berusia sembilan belas tahun "

"Baru tujuh belas tahun usia hamba!" Tiba-tiba Endang Patibroto memotong sabda sri baginda dengan suara melengking nyaring, mengagetkan semua orang. Sejenak sang prabu sendiri tercengang, kemudian tertawalah beliau dengan geli hati.

"Ha-ha-ha! Baru tujuh belas tahun lagi! Paman Dibyo, sungguh kau lucu, akan tetapi leluconmu ini kaukeluarkan tidak pada saat yang tepat. Sedangkan Ni Nogogini dan Ni Durgogini berdua yang merupakan wanita-wanita paling sakti di dunia ini, masih tidak sanggup memimpin semua barisan menghadapi Panjalu. Apalagi gadis remaja ini!"

"Huh, nenek-nenek!" Dibyo Mamangkoro berseru mengejek. "Harap paduka jangan memandang rendah murid hamba ini. Benar dia baru tujuh belas tahun usianya, akan tetapi nenek-nenek Durgogini dan Nogogini bukan tandingannya!”

"Ahhh.........!!” Para hulu-balang tidak dapat menahan seruan kaget mereka.

"Benarkah itu, paman Dibyo Mamangkoro?" sang prabu juga terkejut dan heran.

"Hamba tidak berkata bohong. Mohon paduka perintahkan apa saja, tentu akan dapat dilakukan murid hamba."

Sang prabu mengerutkan kening, masih meragu. Benarkah seorang wanita begini muda dapat menandingi kedigdayaan Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Sukar dipercaya. Ia menarik napas panjang lalu berkata,

"Menjadi senopati bukanlah hal mudah, paman. Tentu saja tentang hal ini paman sendiri yang pernah menjadi senopati besar telah mengerti, bukannya aku tidak percaya kepadamu, akan tetapi melihat muridmu ini hanya seorang wanita muda, memang amatlah.sukar dipercaya kalau tidak ada buktinya. Pada saat kami menghadapi perang besar ini, hanya dua hal yang selalu membuat hatiku selalu khawatir. Pertama, adalah paman Narotama yang kini masih menjadi pertapa di lereng Gunung Bekel. Biarpuri semenjak pembagian kerajaan, paman Narotama tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, namun aku tahu bahwa diam-diam ia berfihak kepada Panjalu! Sebelum dia mati, hatiku takkan merasa tenteram dan aku selalu masih ragu-ragu untuk mulai perang melawan Panjalu. Ke dua, keadaan di Panjalu kini tertutup, penuh rahasia sehingga sukarlah bagi para penyelidikku untuk mengukur kekuatan mereka. Pernah aku mengutus Ni Durgogini dan Ni Nogogini pergi menyelidik, akan tetapi hampir saja mereka berdua tertawan. Kiranya Panjalu sudah mengumpulkan banyak orang sakti."

Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak. Suara ketawanya mengumandang di seluruh ruangan yang luas itu.

"Terbukalah kesempatan bagi murid hamba untuk memperlihatkan kepandaian. Apa yang tidak dapat dicapai oleh dua orang nenek itu, tentu akan dapat diiakukan oleh murid hamba. Eh, Endang muridku yang denok montok, muridku yang ayu manis! Engkau sudah mendengar sabda sang prabu. Beranikah engkau menyelidiki keadaan keratin Panjalu?"

Sambil mengangkat muka dan membusungkan dada Endang Patibroto menjawab,.
"Mengapa tidak berani? Kapan aku harus berangkat, bapa? Dan apa yang harus kukerjakan di keraton Panjalu?"

Selagi sang prabu dan para menteri terkejut mendengar jawaban seenaknya ini, Dibyo Mamangkoro tertawa lagi saking girang dan bangga hatinya.

"Huah-ha-ha! Muridku, kau berhati-hatilah kalau berada di Kota Raja Panjalu. Jangan bertindak sembrono dan jangan sekali-kali membiarkan dirimu terkepung atau tertawan. Kauselidiki keadaan di sana, sedapat mungkin kautangkap pembicaraan antara sang prabu di Panjalu dengan menteri-menterinya, kemudian sebagai tanda kenang-kenangan kaubawa ke sini bendera pusaka yang berkibar di atas keraton Panjaiu. Sanggupkah?"

"Sanggup, dan aku berangkat sekarang juga, bapa. Hamba mohon diri, gusti!"

Belum lenyap gema suaranya, gadis remaja itu telah berkelebat secepat kilat dan tahu-tahu sudah lenyap dari ruangan itu!.

"Jagad Dewa Bathara! Bukan main muridmu itu, paman Dibyo Mamangkorol" Sang prabu akhirnya bersabda setelah sejenak terpaku keheranan. Juga para menteri dan hulubalang saling pandang. Menipis keraguan mereka terhadap gadis remaja tadi, menyaksikan gerakan yang sedemikian cepat seakan-akan gadis itu pandai ilmu "menghilang" saja.

"Sudah hamba haturkan tadi, murid hamba takkan mengecewakan paduka. Akan tetapi, tentu saja untuk berhadapan dengan Narotama, murid hamba kalah gemblengan dan kalah pengalaman. Untuk mengatasi Narotama, hamba sendirilah yang akan maju, gusti. Perkenankan hamba mundur, karena hamba hendak langsung menuju ke Gunung Bekel dan mencari si Narotama, musuh besar hamba!"

"Apakah engkau tidak membutuhkan pasukan pengawal, paman?"

"Ha-ha-ha! Tidak perlu, gusti. Hamba sudah mempunyai pasukan sendiri, yang telah hamba beri kabar dan sekarang agaknya sudah menanti di alun-alun."

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar lapat-lapat suara gagak. Dibyo Mamangkoro tertawa,
"Ha-ha, itulah mereka, gusti, para anak buah hamba telah menanti di alun-alun."

Semua menteri dan senopati merasa serem. Benar-benar kakek raksasa ini seorang yang menyeramkan. Adapun sang prabu yang merasa girang melihat datangnya bantuan seorang sakti seperti Dibyo Mamangkoro, segera berkata,

"Baiklah, paman. Berangkatlah, doaku mengiringimu dan biarlah kutunda pesta penghormatan untukmu setelah kau kembali menyelesaikan tugas."

"Huah-ha-ha Seorang panglima yang baik tidak akan bicara tentang jasa sebelum tugas terlaksana, gusti. Hamba mohon diri!”

Setelah sang prabu mengangkat tangan kanan memberi perkenan, raksasa tua itu mengundurkan diri dan melangkah lebar menlnggalkan Keraton Jenggala. Benar saja seperti perhitungannya, di alun-alun telah menanti pembantu-pembantunya, yaitu Wirokolo, sepasang Gagak dan sepasukan orang-orang tinggi besar berjumlah tiga puluh enam orang.

"Hayo, konco, kita berangkat sekarang juga ke Gunung Bekel!" teriak Dibyo Mamangkoro setelah tiba di alun-alun disambut oleh Wirokolo dan sepasang Gagak.

"Gunung Bekel??" sepasang Gagak bertanya hamper berbareng.

Agaknya Gagak Kunto dan Gagak Rudro masih teringat akan pengalaman mereka ketika menyerbu Jalatunda sehingga disebutnya gunung itu membuat mereka jerih.

"Huah-ha-ha! Sang prabu ingin agar kita lebih dulu membereskan si keparat Narotama!"

"Na..... Narotama..... ??" Gagak Kunto berseru kaget. Juga Gagak Rudro nampak pucat.

"Huh, kalian takut apa? Bersama kakang Dibyo Mamangkoro, iblis mana yang takkan dapat kita hancurkan?" bentak Wirokolo sambil melototkan mata.

Teringat akan hadirnya Dibyo Mamangkoro, sepasang Gagak timbul pula keberaniannya dan tertawa-tawalah mereka ketika rombongan ini bergerak menuju ke Gunung Bekcl.

**** 059 ****
Lanjut ke Jilid 060 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment