Ads

Thursday, January 3, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 063

◄◄◄◄ Kembali

Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sudah tentu takkan ada yang percaya kalau mendengar bahwa pemuda gunung yang tadi minta pekerjaan di istana, kini dalam gebrakan pertarna sudah sanggup membuat Ni Durgogini dan Ni Nogogini terlempar sampai jauh!

Dengan dua kali loncatan, Ni Durgogini dan Ni Nogogini sudah kembali ke hadapan Joko Wandiro. Sepasang mata mereka berkilat-kilat penuh kemarahan, wajah mereka kini cemberut kehiiangan manisnya, kening berkerut. Sinar maut membayang pada mata mereka yang dengan penuh kebencian menentang wajah Joko Wandiro. Pemuda ini tetap tenang, lalu berkata.

"SESUNGGUHNYA aku tidak mencari permusuhan. Andaikata kalian ini tidak melakukan sesuatu yang jahat, tidak nanti aku akan mencampuri urusan kalian. Akan tetapi, melihat kalian mengamuk di alun-alun Kerajaan Panjalu, membunuh banyak orang kemudian malah menantang-nantang semua orang yang terkenal sebagai satria-satria utama, tidak mungkin aku mendiamkannya saja."

"bocah keparat!"

"Jahanam sialan!"

"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, belum terlambat apabila kalian insyaf dan pergi dari sini."

Akan tetapi dua orang wanita itu mana mau berhenti sampai sekian saja ? Sambil memekik nyaring, suaranya melengking seperti bukan suara manusia lagi, kakak beradik yang sakti mandraguna ini lalu menerjang Joko Wandiro. Gerakan mereka cekatan sekali, tubuh mereka seperti lenyap dan hanya tampak bayangan mereka menyambar-nyambar di sekeliling Joko Wandiro. Apabila bayangan tangan mereka berkelebat, terdengar angin bersiutan. membuat debu
beterbangan daun daun pohon waringin yang kecil-kecil itu bergoyang-goyang.

Namun Joko Wandiro menghadapi mereka dengan tenang. Gerakannyapun lambat dan tenang, namun kedua tangannya yang bergerak itu membentuk lingkaran-lingkaran hawa sakti yang amat kuat, yang merupakan benteng melindungi tubuhnya daripada terjangan-terjangan lawan. Semua pukulan lawan, sebelum dapat menyentuh tubuhnya telah bertemu dengar lingkaran hawa sakti itu dan membalik.

Bagi pandangan para perwira yang kurang tinggi ilmunya, keadaan Joko Wandiro seperti terdesak. Pemuda ini kelihatan menggerak-gerakkan kaki tangan melawan dua bayangnn yang amat cepatnya. Akan tetapi bagi Ki Patih Suroyuda dan mereka yang ahli, terutarna bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini sendiri, mereka amat kagum menyaksikan perlawanan Joko Wandiro yang jelas membuktikan keunggulannya.

"Pergilah!!" Tiba-tiba Joko Wandiro berseru keras dan tubuh dua orang wanita itu kembali terlempar jauh, melayang seperti daun kering tertiup angin. Bentakan tadi disertai Aji Dirodo Meto dan kedua tangannya mendorong dengan Aji Bojro Dahono. Demikian dahsyat serangan balasan ini sehingga tidak tertahankan oleh kedua orang lawannya yang mencelat sampai beberapa meter jauhnya.

Namun Ni Durgogini dan Ni Nogogini juga bukan orang sembarangan. Biarpun mereka tidak kuat menahan hawa sakti yang mendorong sedemikian dahsyatnya, namun tubuh mereka juga memiliki kekebalan sehingga biarpun terlempar, mereka masih belum terluka karena cepat-cepat mereka tadi rnengerahkan tenaga sehingga ketika terbanting ke tanah, mereka dapat mencelat kembali ke atas dan kini sudah berdiri dengan muka merah saking marahnya.

"Tar-tar-tar!!"

Terdengar ledakan-ledakan nyaring ketika Ni Durgogini menggerakkan dan melecutkan cambuk nya di udara. Kiranya dalam keadaan marah sekali wanita ini telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu cambuk Sarpokenoko Juga Ni Nogogini tidak mau ketinggalan. Ia pun merasa marah dan malu, maka dengan gerakan cepat penuh kegemasan ia telah menghunus pusakanya, yaitu sebuah cundrik yang terkenal ampuh dan mengeluarkan sinar berkilauan. Inilah cundrik Embun Sumilir!

Joko Wandiro cepat mengerahkan Bayu Sakti untuk menyelamatkan diri daripada hujan serangan itu. Cambuk Sarpokenoko hebat bukan main. Suaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat, karena suara ledakan-ledakan itu mengandung daya menggetarkan jantung. Dari atas, cambuk itu menyambar-nyambar ganas sekali melingkar-lingkar, ujungnya mematuk-matuk mencari bagian tubuh yang berbahaya atau jalan darah mematikan, seperti seekor ular sakti! Selain diserang oleh sambaran cambuk dari atas yang sudah amat berbahaya, dari bawah Joko Wandiro diterjang bertubi-tubi oleh Ni Nogogini yang mernpergunakan keris pusakanya Embun Sumilir. Hanya dengan gerakan Bayu Sakti yang luar biasa cepatnya, barulah ia dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan itu lalu melompat ke belakang. Dua orang lawannya berseru garang dan menerjarg maju lagi.

Akan tetapi pada saat itu, para senopati dan pengawal yang menonton pertandingan, tiba-tiba menjadi gaduh, menuding-nuding ke arah dua orang wanita itu, berseru kaget dan ada yang menahan ketawa. Hal ini mengherankan hati kedua orang wanita itu sehingga sesaat mereka menunda penyerangan mereka lalu saling pandang. Begitu mereka saling pandang, keduanya menahan jerit, tangan kiri membuat gerakan menutup mulut.

"Aiiiiihh! Mbok-ayu Lasmini......! Kau kenapa....... ? Rambutmu penuh uban, mukamu penuh keriput........!" Ni Nogogini menegur dengan mata terbelalak.

"Kau..... kau....... juga, Mandari.......!"

Ni Durgogini berkata sambil menudingkan telunjuk kiri ke arah adiknya dan dengan suara terisak. Kedua orang wanita itu lalu sibuk meraba-raba rambut dan wajahnya sendiri. Jelas terasa oleh ujung jari betapa kulit muka yang biasanya halus itu kini menjadi kasar dan kerut-merut berkeriputan. Dan ketika mereka membawa rambut ke depan untuk dilihat, sebagian besar rambut itu membodol (rontok) dan yang masih tinggal bercampur banyak uban!

Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, mengertilah kedua orang wanita ini Apa yang telah terjadi. Ternyata pukulan pemuda tadi yang mengandung hawa panas seperti halilintar, disertai pekik dahsyat, yang membuat mereka berdua terlempar, telah membuyarkan aji dan khasiat obat Suketsungsang yang membuat mereka menjadi awet muda.

Getaran hebat yang hampir mematahkan tungkai jantung, yang tadi menjalar ke seluruh tubuh, telah membuat mereka terluka di sebelah dalam sehingga hawa yang mempengaruhi jalan darah membuat mereka awet muda itu terdorong keluar. Akibatnya, keadaan mereka menjadi badar dan kembali asal, atau menjadi sewajarnya, Rambut mereka beruban, kulit mereka berkeriput, sesuai dengan keadaan semestinya wanita-wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun!.

Bagi seorang wanita biasa dan normal, dalam usia hamper enam puluh tahun, kiranya kenyataan ini tidak mempengaruhĂ­ hatinya, uban dan keriput bukan hal yang mengecilkan hati. Akan tetapi, bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kenyataan ini amat hebat. Mereka adalah orang-orang yang telah menjadi hamba nafsu berahi, bagi mereka hidup adalah senang, dan senang hanya dapat mereka nikmati melalui wajah cantik dan tubuh muda menarik. Kini mereka telah sadar dan kenyataan ini bagi mereka terasa lebih menderita daripada luka- luka maut. Wajah mereka menjadi pucat sekall, tubuh gemetaran dan urat syaraf lemas, Kedukaan hati mereka demikian besar, jauh melampaui kemarahan mereka terhadap Joko Wandiro. Terdengarlah ratap tangis mereka.

"Aduh Dewa, cabutlah saja nyawa hamba......!” Ni Nogogini mengeluh.

"Aduh rama (ayah)......, rama bhagawan......., ketiwasan (celaka), rama.......!"

Ni Durgogini menjerit-jerit lalu lari pergi dari tempat itu sambil menyeret cambuknya. Ni Nogogini juga mengikuti kakaknya sambil menangis. Dalam waktu sebentar saja lenyaplah bayangan kedua oräng wanita sakti itu.

Sejenak Joko Wandito berdiri tertegun. Kemudian la menarik napas panjang, hatmya terasa trenyuh. Dia tidak membenci mereka berdua dan hanya menentang mereka berdua karena mereka membuat geger, membunuh banyak orang dan menantang ayah angkatnya. Kini, menyaksikan keadaan mereka, mendengar ratap tangis mereka, hati pemuda ini merasa kasihan dan terharu. Akan tetapi tidak ada rasa sesal di hatinya oleh karena bukan dialah yang membuat mereka berdua menderita. Dia sama sekali tidak ada niat membuat mereka menderita seperti itu dan semua yang terjadi tadi adalah buah daripada perbuatan mereka sendiri.

"Orang muda, kiranya andika adalah seorang satria yang perkasa!" terdengar Ki Patih Suroyudo berkata kagum.

"Raden Joko Wandiro, maafkan kami yang tadi kurang hormat kepada andika," kata seorang perwira.

"Marilah, Joko Wandiro. Mari ikut bersamaku menghadap sang prabu, akan kulaporkan tentang kedigdayaanmu dan kau tentu dianugerahi kedudukan yang pantas," kata pula Ki Patih Suroyudo.

Di daiam hatinya, Joko Wandiro merasa senang. Ternyata sekarang bahwa ki patih dan para ponggawa keraton ini adalah orang-orang yang baik hati, tidak menaruh iri hati dan dengki kepada orang lain yang berjasa. Kiranya tadi memandang rendah kepadanya karena memang ragu-ragu dan tidak percaya kepada seorang pemuda dari dusun seperti lajimnya sikap para bangsawan terhadap rakyat kecil.

Perasaan Joko Wandiro yang halus segera dapat memaklumi hal ini dan dia memang tidak suka memelihara dendam. Akan tetapi, sejak semula ia memang tidak mempunyai hasrat untuk menghambakan diri ke istana. Kalau tadi ia menghadap raja, hanyalah untuk memenuhi pesan gurunya. Dan ia tadi sudah menghadap, berarti ia tidak mengabaikan pesan gurunya. Kalau ia tidak diterima, itu bukan salahnya. Maka ia cepat-cepat memberi hormat dan berkata,

"Gusti patih, hamba tidak berani lagi mengganggu gusti prabu. Biarlah lain kali saja hamba datang menghadap."

Setelah berkata demikian, tanpa jawaban lagi, Joko Wandiro sudah melompat jauh ke belakang lalu menggunakan Aji Bayu Sakti lari meninggalkan tempat itu. Ki Patih Suroyudo dan para senopati dan pasukan pengawal, hanya dapat memandang dengan melongo. Mereka semua merasa menyesal sekali mengapa seorang pemuda sakti mandraguna seperti itu kini tidak mau tinggal di kota raja karena kekeliruan sikap mereka tadi. Agaknya hanya orang sesakti pemuda itu yang akan mampu menandingi si maling haguna yang telah menggegerkan istana sebulan yang lalu.

**** 063 ****
Lanjut ke Jilid 064 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment