Ads

Thursday, January 3, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 069

◄◄◄◄ Kembali

Sia-sia saja Ki Adibroto membujuk-bujuk isterinya agar suka membatalkan niatnya mencari Pujo untuk membalas dendam. Ia sudah berusaha sekuatnya dan melakukan perjaianan secara memutar, tidak langsung menuju ke Sungapan Kali Progo. Dengan dalih mencari sabahat baiknya, ia bahkan mengajak isterinya menyimpang ke kaki Gunung Merbabu untuk mengunjungi Ki Darmobroto, saudara seperguruannya dan sahabat baiknya yang tinggai di dusun kecil.

Perjumpaan dengan kakak seperguruannya ini amat menggembirakan, apalagi ketika Ki Adibroto melihat putera tunggal sahabatnya itu. Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang tampan dan gagah, bersikap halus dan berkulit putih bersih. Karena kulitnya yang putih sejak lahir itulah maka oleh ayahnya diberi nama Joko Seta. Sebagai seorang putera tunggal yang teiah kehilangan ibunya semenjak kecii, Joko Seta mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan biarpun masih muda, ia merupakan seorang yang sakti mandraguna. Melihat pemuda ini, timbullah rasa suka dalam hati Ki Adibroto dan dengan persetujuan isterinya pula, ia lalu mengajukan usul kepada Ki Darmobroto untuk berbesanan. Ki Darmobroto menerima usul ini dengan penuh kegembiraan.

Biarpun ia menjadi saudara seperguruan yang lebih tua, namun ia sudah cukup tahu akan sepak terjang adik seperguruannya yang mengagumkan, sudah mengenal watak adik seperguruannya ini sebagai seorang pendekar besar yang sakti. Kacang tidak akan meninggalkan lanjarannya, demikian ia berpendapat. Ayahnya seorang pendekar, puterinyapun tentu seorang yang berbudi.

Adapun Joko Seta adalah seorang putera yang amat berbakti dan patuh kepada ayahnya. Di lubuk hatinya memang ia kurang puas menerima keputusan itu, menjodohkan dengan seorang dara yang sama sekali belum pernah ia melihatnya. Akan tetapi maklum bahwa penolakannya akan menyusahkan hati ayahnya, maka ia menerima dengan wajah gembira untuk menyenangkan hati ayahnya. Demikianlah, ikatan perjodohan itu diresmikan oleh kedua orang tua.

Penyimpangan perjalanan ini tidak membuat Listyokumolo berubah niat hatinya. Setelah meninggalkan rumah calon besan itu, ia lalu mengajak suaminya melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan, yaitu ke Bayuwismo, bekas tempat tinggal Resi Bhargowo yang diduga menjadi tempat tinggal Pujo dan isterinya sekarang. Sambil menghela napas Ki Adibroto terpaksa meluluskan kehendak isterinya dengari hati penuh kekhawatiran. Dalam percakapannya dengan Ki Darmobroto, ia telah menyinggung tentang Pujo yang dicari-cari isterinya itu dan Apa kata calon besan itu tentang diri Pujo?

"Aku mengenal baik paman Resi Bhargowo dan aku pernah bertemu satu kali dengan adimas Pujo, murid dan mantunya yang gagah perkasa, pendekar yang menjunjung kebenaran dan keadilan."

Jawaban Ki Darmobroto itu menambah kedukaan hati Ki Adibroto. Tepat seperti yang telah diduganya dan ditakutinya. Pujo adalah seorang satria yang perkasa dan tentang permusuhan Itu, tak salah lagi tentulah bekas suami isterinya, Wisangjiwo, yang memulainya. Betapapun juga, ia merasa tidak setuju dengan sepak terjang Pujo dalam membalas dendam. Kalau Wisangjiwo yang bersalah terhadap pendekar itu, kenapa Pujo membalasnya kepada Listyokumolo dan puteranya yang sama sekali tidak berdosa? Dengan modal pendapat inilah maka ia mengikuti isterinya menuju ke Bayuwismo. Ia hanya akan melihat dan mendengar dan siap membela isterinya daripada marabahaya dan mencegah isterinya melakukan sesuatu yang melanggar kebenaran.

Menjelang senja mereka tiba di Sungapan. Dan kebetulan sekali mereka berdua melihat Pujo berdiri seorang diri di pinggir hutan kering di dekat pantai, di lembah sungai yang menumpahkan airnya ke laut. Begitu melihat laki-laki itu, Listyokumolo segera mengenalnya. Wajahnya menjadi merah, sinar matanya berapi dan ia mendesis.

"Itulah dia, si keparat Pujo!" Hampir ia berlari menuju ke tempat musuh besarnya berdiri. Namun suaminya sudah memegang lengannya dan berbisik,

"Kau bersikaplah tenang, isteriku. Jangan dibikin mabuk oleh nafsu dendam. Kau boleh menemuinya dan bertanyalah secara baik-baik, tegurlah ia akan perbuatannya yang lalu dan tanyakan di mana adanya puteramu. Jangan bertindak terburu nafsu, dan apabila puteramu dalam keadaan baik, kurasa tidak perlu kau melanjutkan permusuhan ini. Aku akan tinggal di sini dan mengamat-amati dari sini, karena aku merasa tidak enak kalau mencampuri urusan ini."

Listyokumolo mengangguk kemudian meninggalkan suaminya yang bersembunyi di balik gerombolan pandan itu. Dengan hati berdebar dan tangan menggigil saking menahan gelora hatinya, wanita itu berlari cepat menghampiri Pujo yang tengah berdiri melamun seorang diri. Pondok kecii di pinggir laut tampak puluhan meter dari tempat itu dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi. Pria itu memang Pujo adanya. Beberapa tahun sudah ia tinggal di Bayuwismo, hidup penuh kebahagiaan dengan kedua orang isterinya, yaitu Kartikosari dan Roro Luhito. Dua orang wanita ini seakan berlumba dalam pencurahan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya sehingga Pujo merupakan seorang pria yang amat bahagia dalam hal ini. Akan tetapi, kadang-kadang ia suka termenung kalau berada sendirian, teringat akan puterinya yang tak pernah dilihatnya, yaitu Endang Patibroto. Kalau teringat akan hal ini, penyesalan memenuhi hatinya, menghambarkan semua kebahagiaan hidupnya. Ia merasa amat rindu kepada puterinya, anak tunggal yang tidak pernah ia lihat itu.

Memang ada hal yang mengurangi kedukaan dan penyesalan ini yaitu bahwa kini kedua orang isterinya sedang mengandung! Sekaligus ia akan mendapatkan pengganti puterinya yang hilang sebanyak dua orang anak. Akan tetapi, betapapun juga, ia masih sangat ingin bertemu dengan puterinya yang hilang. Apalagi kalau ia ingat betapa Kartikosari sering kali menangis sedih apabila teringat akan Endang Patibroto.

Teringat akan ini, hati Pujo merasa perih dan membuat ia teringat akan semua sepak terjangnya yang lalu. Kalau sudah begitu, timbullah penyesalan besar di dalam hatinya. Teringatlah ia akan Wisangjiwo yang disangkanya menjadi musuh besarnya. Teringatlah ia betapa nafsu dendam membuat ia seperti gila, membuat ia mengamuk di Kadipaten Selopenangkep, membunuhi orang tak berdosa, bahkan telah menculik isteri Wisangjiwo dan puteranya. Teringat akan keadaan isteri Wisangjiwo yang menjadi gila karena perbuatannya itu sehingga wanita yang malang nasibnya itu dipulangkan ke desanya, kemudian bahkan dibawa lari perampok. Semua ini gara-gara perbuatannya yang didorong nafsu dendam yang menggila.

"Ah, agaknya hilangnya puteriku merupakan hukuman bagi perbuatanku itu. Beginilah rasanya kehilangan anak, dan aku telah merenggut Joko Wandiro dari tangan dan hati ayah bundanya! Hukum karma, tepat seperti yang dikatakan bapa Resi Bhargowo. Semoga Dewata sudi mengampuni dosaku dan anakku dalam keadaan aman sentausa "

Demikianlah pada senja hari itu ia melamun dan menyesali perbuatannya. Tiba-tiba Pujo meloncat dan memutar tubuhnya membalik. Biarpun gerakan di sebelah belakangnya itu perlahan sekali, namun sebagai seorang sakti ia telah dapat mendengarnya. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik telah berdiri di situ, menentangnya dengan pandang mata penuh kebencian dan kemarahan serta memegang sebatang keris yang mengeluar kan sinar, sebuah keris pusaka! Akan tetapi, pendekar sakti ini segera dapat menenangkan hatinya dan dengan sabar dan tenang ia bertanya,

"Siapakah andika dan apakah kehen..."

"Pujo! Sudah butakah matamu sehingga kau tidak mengenal aku? Ataukah engkau pura-pura tidak mengenal? Lupakah kau akan peristiwa di Guha Siluman delapan belas tahun yang lalu?"

Wanita itu membentak dan memotong pertanyaannya. Kini Pujo benar-benar kaget sekali. la mengenal suara ini, mengenal pula sekarang wajah ini dan ia benar-benar terkejut bukan main. Kedua matanya terbelalak dan ia berdiri bagaikah arca, bibirnya bergerak,

"Andika........... Listyokumolo....??" Ia masih belum percaya akan dugaan ini dan memandang dengan penuh keheranan.

Listyokumolo tersenyum mengejek, dan tangan yang memegang keris itu gemetar.
"Bagus, engkau masih ingat kepadaku. Aku datang untuk menuntut balas, untuk minta pertanggungan jawabmu atas kekejian yang kau lakukan delapan belas tahun yang lalu! Hayo katakan di mana kau kubur anakku? Kau tentu telah membunuh Joko Wandiro!"

Seketika lemas kedua lutut Pujo ketika mendapatkan kenyataan bahwa wanita ini memang betul Listyokumolo. Wanita inilah yang selama ini ia bayangkan, menjadi pengganggu kebahagiaan hidupnya karena ia merasa berdosa kepada wanita ini. Sekarang wanita ini datang. Dia ibu Joko Wandiro, muridnya! Melihat sinar mata penuh kebencian, penuh dendam dan kedukaan, tak tertahankan lagi Pujo menjatuhkan diri berlutut. Sejenak ia merasa kepalanya pening dan ia menutupi muka dengan kedua tangannya. Alangkah besar dosanya kepada wanita ini, wanita yang tidak berdosa sama sekali. Ia telah merenggut semua kebahagiaan hidup wanita ini, merampas puteranya, membuat ia menjadi gila sehingga terpisah pula dari suami.

Kehidupan wanita ini telah hancur lebur, semua karena akibat perbuatannya. Dendamnya kepada Wisangjiwo dahulu telah membuat ia gila, membuat ia menumpahkan dendamnya kepada wanita tak berdosa ini. Alangkah kejamnya ia. Alangkah menyesal hatinya sekarang, apalagi kalau dia ingat bahwa dendamnya kepada Wisangjiwo dahulu itu salah alamat! Dosanya kepada wanita ini adalah dosa tak berampun. Ia telah merusak kehidupan Listyokumolo, merusak sehingga tak dapat diperbaikinya kembali.

"Aku berdosa........... , aku mengaku bersalah. Aku telah menjadi gila dan buta oleh dendam kepada suamimu, dendam yang salah alamat pula. Engkau sudah datang, engkau berhak menuntut balas. Aku menerima segala pembalasanmu. Akan tetapi, percayalah, puteramu Joko Wandiro tidak kubunuh. Dia kupelihara baik-baik, bahkan menjadi puteraku, menjadi muridku. Kini ia menjadi murid Ki Patih Narotama "

"Bohong! Pengecut kau! Inikah seorang satria? Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, tidak berani mengaku. Aku tak percaya omonganmu! Kalau Joko Wandiro masih hidup, tentu dia sudah mencari ibu kandungnya "

"Aku sengaja tidak menceritakan kepadanya tentang ibu kandungnya, baru akhir-akhir ini ia tahu dan aku mendengar kau diculik perampok dan suamimu kakangmas Wisangjiwo telah gugur dalam perang " Suara Pujo terisak menahan getaran perasaannya yang penuh penyesalan dan iba kepada wanita di depannya itu.

"Huh, siapa percaya obrolanmu? Kau kemukakan ini semua karena kau takut akan pembalasanku. Kau takut menebus dosa-dosamu, pengecut!"

Pujo bangkit berdiri, mukanya menjadi pucat sekali.
"Tentu kau tidak mau percaya kepadaku, orang yang telah melakukan perbuatan kejl terhadap dirimu, terhadap puteramu. Listyokumolo, sudah kukatakan tadi, aku bersalah dan aku menerima kesalahanku. Aku tidak akan mundur untuk menghadapi hukumanmu, tidak akan gentar untuk menerima pembalasanmu. Nah, lakukanlah niat yang sudah membayang di matamu, aku takkan melawan!" Pujo memasang dadanya dengan penuh penyerahan karena ia merasa akan dosanya yang hebat terhadap wanita ini.

"Kau telah merusak hidupku, kau telah membunuh puteraku. Rasakan pembalasanku ini!" Listyokumolo menggerakkan tangan kanannya menusuk. Pujo tidak mau melawan dan sengaja memasang tubuhnya.

"Blesss........!!"

Keris pusaka itu nancap di lambung Pujo sampai ke gagangnya! Biarpun Listyokumolo seperti gila oleh dendam, dan belasan tahun ia digembleng suaminya dengan ilmu kesaktian, akan tetapi ia bukanlah seorang wanita kejam dan belum pernah selama hidupnya ia membunuh orang. Kini merasa betapa lambung itu dengan mudah tertusuk kerisnya, tangannya menggigil dan ia meloncat mundur dengan muka pucat. Ia menggunakan tangan menutup mulutnya yang hendak menjerit ketika ia melihat Pujo terhuyung-huyung ke belakang sambil memegang lambung yang ditancapi keris sanpai ke gagangnya. Pujo tersenyum. Lenyaplah sekarang perasaan sesalnya. Ia telah menebus dosa yang selama ini menyelubungi dan menggelapkan kebahagiaan hidupnya!

"Sudah tertebus...........!" Ia menggumam lalu terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya roboh terduduk di atas rumput.

"Aku aku tidak bohong............. Joko Wandiro masih hidup dia di lereng Gunung Bekel" ia masih berusaha untuk memberi keterangan.

"Kakangmas Pujo........!!”

Mendengar jerit melengking ini Listyokumolo terkejut dan mengangkat mukanya memandang dua orang wanita yang datang berlari-lari secepat terbang. Matanya terbelalak ketika ia mengenal bahwa seorang dl antara dua wanita cantlk itu bukan lain adalah Roro Luhito, bekas adik iparnya. Dan lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melihat Roro Luhito menubruk Pujo yang duduk bersandar pohon, memeluknya dan menangis. Tiba-tiba Listyokumolo meloncat ke samping, menghindarkan diri daripada terjangan wanita ke dua yang amat hebat.

"Kau....... , wanita Iblis....... kau berani melukai suamiku?" teriak wanita itu yang bukan lain adalah Kartikosari.

Mendengar bentakan ini, Roro Luhito agaknya baru sadar bahwa musuh yang melukai suaminya masih berada di situ. Sekali tubuhnya bergerak, ia telah meloncat dan berhadapan dengan Listyokumolo.

"Kau......... ?!? Kang-mbok Listyo "

Tentu saja Roro Luhito terkejut bukan main setelah mengenal wanita yang masih berdiri bingung itu. Teguran ini membuyarkan semua kebingungan hati Listyokumolo. Matanya mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang bekas adik iparnya.

"Benar, Roro. Akulah Listyokumolo. Akulah orang yang dihancurkan kebahagiaannya oleh si keparat Pujo ini. Akulah yang diculiknya, dirampas puteraku sehingga aku menjadi gila dan dipulangkan oleh kakakmu. Dia ini musuh besarku dan pula yang menjerumuskan aku sampai aku terculik oleh perampok-perampok liar. Roro Luhito, dia, si keparat ini telah menyerbu dan mengacau Selopenangkep, dia musuh besar kita. Mengapa sekarang kulihat engkau menangisinya??"

"Kau kaukah yang melukainya.... ? Kang-mbok........... dia...... dia ini adalah suamiku........ "

"Suamimu?!? Keparat...........!"

"Wuuuttt!" Listyokumolo kini sudah dapat menguasai dirinya sehingga ia menjadi marah sekali mendengar pengakuan Ini.

Serta-merta ia melakukan serangan hebat dengan melancarkan pukulan maut ke arah dada bekas adik iparnya. Roro Luhito kaget sekali, kaget dan heran sambil mengelak cepat. Tidak disangkanya bahwa kini bekas kakak iparnya dapat melakukan penyerangan begini hebat, padahal dahulu Listyokumolo adalah seorang wanita yang halus dan lemah. Melihat betapa penyerangannya gagal, Listyokumolo menerjang lagi, Roro Luhito kembali mengelak. Betapapun sakit hatinya melihat suaminya dilukai, namun di dalam hatinya Roro Luhito memaklumi sakit hati yang diderita bekas kakak iparnya, maka ia bersikap mengalah dan hanya mengeiak saja.

Tidak demikian dengan Kartikosari. Ketika ia memeriksa keadaan suaminya dan melihat betapa keris itu menancap sampai ke gagangnya dalam lambung suaminya, ia hampir gila oleh rasa marah dan duka. Ia maklum bahwa keadaan suaminya amat parah dan terancam bahaya maut. Hal ini membuat ia hampir gila dan dengan pekik dahsyat wanita ini lalu menerjang maju. Ketika Listyokumolo menangkis pukulan ini, ia sampai terpental ke belakang hampir terjengkang roboh.

"Wanita jahat, kau harus mampus!" bentak Kartikosari sambil mtenubruk ke depan.

"Tahan dulu........ "

Terdengar suara halus dan sebuah lengan yang amat kuat menangkis lengan Kartikosari yang cepat melompat ke samping. Diam-diam ia harus mengakui bahwa yang menangkis ini memiliki tenaga yang amat kuat. Ketika memandang, ia melihat bahwa yang menangkis adalah seorang laki-laki setengah tua yang bersikap tenang, namun wajahnya diselimuti kedukaan dan penyesalan.

"Nimas Sari nimas Roro, sudahlah....... tak perlu dilanjutkan permusuhan ini aku sudah menerima salah, aku sudah menebus dosaku terhadap Joko Wandiro dan ibunya. Jangan kalian mengulangi lagi dosaku, jangan kalian mengotori lagi Apa yang sudah kucuci bersih dengan darah......... " Terdengar suara Pujo berkata lemah.

Mendengar kata-kata ini, Kartikosari dan Roro Luhito teringat kembali akan suaminya. Mereka menengok dan keduanya menubruk Pujo sambil rnenangis. Mereka sibuk ingin menolong suami mereka yang tercinta ingin merenggut kembali nyawa yang sudah dalam cengkeraman maut. Akan tetapi Pujo menggeleng kepala.

"Tiada guna aku sudah merasa takkan hidup lagi nimas Sari, ketahuilah...... dia itu”. telunjuknya menuding ke arah Listyokumolo yang berdiri pucat di samping suaminya, “dia itu isteri Wisangjiwo.................. dialah ibu kandung Joko Wandiro. Dia dahulu yang kuculik, kurampas puteranya dalam kegilaanku hendak membalas W isangjiwo, dalam dendam kita yang salah alamat kini ia datang membalas sudah sepatutnya, aku sengaja membiarkan dia menanamkan kerisnya sudah kuhancurkan hidupnya........ biarlah dia yang merenggut nyawaku....... "

"Tidak........! Tidak boleh! Ahh........ kakangmas tidak mungkin aku mendiamkannya saja tanpa membalas!"

Bagaikan seekor singa betina Kartikosari meloncat lagi dan rnenerjang Listyokumolo.

"Harap andika sudi bersabar!" Ki Adibroto kernbali menangkis pukulan Kartikosari yang ditujukan kepada isterinya.

"Dukkk! " Tubuh Kartikosari terpental ke belakang, namun karena pendekar itu menggunakan tenaga lemas, ia tidak merasa nyeri.

"Siapa engkau?!?" Kartikosari membentak, tangan kanan meraba gagang keris pusakanya, yaitu keris pusaka ki Banuwilis milik suaminya. Ki Adibroto membungkuk dengan sikap hormat.

"Saya bernama Adibroto, sekarang menjadi suami Listyokumolo..... "

"Kau hendak membela isterimu? Boleh!!" Kartikosari membentak.

"Harap bersabar." Ki Adibroto menarik napas panjang penuh sesal dan duka. "Sudah bertahun-tahun isteri saya merajuk dan membujuk untuk mencari puteranya dan mencari musuh besarnya, saudara Pujo. Sudah sebanyak itu pula saya mencegah dan berusaha menghapus dendam, namun sia-sia. Akhirnya kami datang dan tadi saya melihat sendiri betapa saudara Pujo sengaja menyerahkan diri untuk dibalas. Saya menyesal dan berduka sekali. Saudara Pujo ternyata seorang satria utama dan seorang yang suka mengenal diri pribadi, suka mengakui kesalahan sendiri. Alangkah bahagianya seorang yang dapat mengakui kesalahan sendiri kemudian menikmati hukuman yang akan membebaskannya dari rasa salah diri. Saudara Pujo dahulu melakukan pembalasan dendam secara membuta, tidak kepada orang yang telah menyakitkan hatinya, melainkan kepada keluarga orang itu. Dan sekarang saya amat prihatin, tidak ingin melihat isteri saya melakukan kekeliruan yang sama. Urusannya dengan saudara Pujo sudah beres dan terhadap andika berdua, isteri saya tidak punya urusan sesuatu yang patut dipersoalkan lagi. Harap andika berdua suka berpikir mendalam akan hal ini dan menghentikan dendam-mendendam Ini."

"Enak saja kau bicara! Suamiku telah dibunuh isterimu dan aku disuruh menerima begitu saja? laki-laki bedebah! Kalau aku tidak dapat membunuh Listyokumolo, tidak patut aku menjadi puteri Resi Bhargowo dan namaku bukan Kartikosari lagi!"

Setelah berkata demikian, Kartikosari yang seperti orang gila oleh kedukaan dan kemarahan itu rnenerjang maju sambil menghunus keris pusaka Banuwilis. Wajah Adibroto menjadi pucat dan ia sedih bukan main, akan tetapi tak mungkin ia menyaksikan isterinya yang terkasih itu dibunuh orang begitu saja di depannya. Ia cepat menarik lengan isterinya dan mendorong tubuh isterinya ke arah belakangnya sehingga dialah yang menghadapi Kartikosari.

"Kau benar-benar hendak membela isterimu?" Kartikosari membentak.

Ki Adibroto hanya menggeleng kepalanya, tidak mampu menjawab dan memandang sedih.

"Nimas Sari!" Terdengar suara Pujo memanggil.

Akan tetapi Kartikosari seperti tidak mendengar panggilan ini karena ia sudah menerjang maju, menusukkan kerisnya ke arah dada Ki Adibroto. Pendekar ini dapat melihat betapa dahsyatnya terjangan lawan, maklum bahwa wanita di depannya ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Cepat-cepat ia menggeser kaki dan mengelak ke kiri. Pada saat itu tampak bayangan putih berkelebat, sukar diikuti pandangan mata saking cepatnya. Bayangan putih ini berkelebat di antara Kartikosari dan Ki Adibroto dan tubuh Ki Adibroto terjengkang ke belakang sampai terhuyung-huyung dan hampir roboh. Bukan main kagetnya pendekar itu. Bayangan tadi hanya mendorongkan tangan, namun serangkum tenaga dahsyat sekali telah mendorongnya, tak dapat dipertahankan lagi tubuhnya terdorong seperti daun kering terbawa angin. Ketika ia membuka mata memandang, keheranannya makin menghebat karena kiranya bayangan putih itu hanyalah dara yang masih amat muda, seorang dara remaja sebaya puterinya.

Dara remaja yang cantik jelita, berpakaian serba mewah, dengan hiasan rambut dari emas permata, gelang tangan dan lengan, kalung, pendeknya pakaian seorang puteri keraton!. Dara remaja itu tidak memperdulikannya lagi. Kini dara itu memutar tubuh menghadapi Kartikosari yang juga berdiri tercengang. Sejenak kedua orang wanita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Dan dalam keadaan seperti itu, Ki Adibroto merasa bulu tengkuknya meremang. Jelas sekali tampak persamaan di antara kedua orang wanita itu. Bentuk mukanya sama benar, seperti pinang dibelah dua, hanya bedanya, yang seorang setengah tua, yang seorang lagi masih muda belia.

"Bunda.....!!!"

"Endang........ Ohhh, Endang..........! Engkaukah ini, Endang Patibroto anakku... ??" Kartikosari menjerit dan kedua orang wanita itu saling tubruk dan saling rangkul.

"Kakangmas, jangan bergerak...... "

Roro Luhito mencegah Pujo yang berusaha hendak bangun. Tadi ia sudah rebah terlentang dan kini ia berusaha bangkit, matanya terbelalak memandang ke arah Endang Patibroto.

"Biar......... biar.......... aku harus melihat dia, ohhh, Endang puteriku....... "

Mendengar ini barulah Kartikosari sadar dan teringat akan suaminya. Ia memegang tangan puterinya mendekati Pujo yang sudah duduk.

"Endang, lihatlah baik-baik, inilah ayah kandungmu, anakku. Inilah ayahmu Pujo, beri sembah kepadanya, anakku...... "

Kartikosari tak tahan lagi, terisak menangis.

"Ayah ?........ Ayah kandungku......... "

Sejenak Endang Patibroto tertegun, kemudian terbelalak memandang ke arah gagang keris yang menempel pada lambung laki-laki itu. Setelah saling pandang sampai lama, Endang Patibroto lalu berlutut menyembah.

"Ayah!"

"Anakku!..... Endang Patibroto! Anakku........!” Pujo merangkul dan mengambungi rambut yang harum dan halus itu. "Ha-ha-ha-ha, terima kasih kepada Dewata Yang Maha Agung! Sebelum mati aku diberi kebahagian bertemu muka dengan anakku......! Ha-ha-ha-ha! Tiada penasaran lagi sekarang, dosa hapus anak jumpa......! Nimas Sari,...., nimas Luhito......... dengar baik-baik, untuk terakhir ini....... kalian harus memenuhi pesanku......... ja...... jangan kalian membalas kepada Listyokumolo.... "

"Aduh, kakangmas Pujo..... Jangan...... tinggalkan aku, kakangmas bawalah aku.....!" Kartikosari memeluki, menciumi dan menangis tersedu-sedu.

Juga Roro Luhito memeluk dan menangis. Tinggal Endang Patibroto yang memandang semua ini dengan kening berkerut. Tidak biasa ia menangis. Semenjak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, hatinya mengeras melebihi batu,

"Endang....... anakku cah ayu, anakku yang cantik jelita kau....... kau turutilah permintaan ayahmu, nak " Suara Pujo makin lemah, napasnya terengah-engah.

"Permintaan apakah, ayah?" Endang Patibroto mendekatkan kepalanya dan memegang tangan ayahnya. Pujo meremas jari jari tangan puterinya, sejenak matanya yang sudah layu itu bersinar-sinar.

"Anakku...... , kau.......... kau.......... kujodohkan dengan....... Joko Wandiro jangan jangan.... uggghhh....... " Suara terakhir ini mengantar nyawa Pujo meninggalkan badannya.

"Kakangmas Pujo.......!!" Kartikosari terguling roboh dan pingsan.

"Kakangmas.......... " Roro Luhito merangkul tubuh suaminya dan menangis menjerit-jerit.

Listyokumolo berdiri dengan muka pucat sekali. Setelah kini menyaksikan akibat pembalasan dendamnya sedemikian menyedihkan, hatinya diliputi keharuan yang amat hebat, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia tentu akan roboh terguling kalau tidak dipeluk suaminya yang juga memandang dengan muka pucat.

Ki Adibroto menghela napas panjang dan diam-diam ia membaca mantera untuk mengantar nyawa Pujo yang dianggapnya seorang satria luhur budi pekertinya. Suami isteri ini berdiri seperti arca, tidak tahu harus berbuat Apa. Ketika Kartikosari sadar dari pingsannya dan melihat Roro Luhito masih menangis menjerit-jerit dan memanggil-manggil nama suaminya, segera ia meloncat dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Listyokumolo.

"Kau perempuan keji! Kau telah membunuh suamiku......... dan aku tidak berani melanggar pesannya terakhir. Hayo kaubunuhlah aku sekalian, agar aku dapat menyusul suamiku.......! bunuhlah aku...... bunuhlah....."

Sambil menangis dan berteriak-teriak minta dibunuh Kartikosari yang amat menclnta suaminya Itu jatuh berlutut di depan Listyokumolo. Tidak dapat lagi Listyokumolo menahan hatinya yang hampir meledak karena rasa haru. Iapun berlutut dan merangkul Kartikosari sarnbil menangis. Akan tetapi tiba-tiba rangkulan Listyokumolo terenggut dan tubuhnya terlempar sampai terjengkang. Ketika wanita ini meloncat, ia dan suaminya sudah berhadapan dengan Endang Patibroto! Suami isteri itu merasa ngeri memandang wajah yang demikian cantik jelitanya Itu seakan-akan merupakan kedok yang mati, begitu dingin dan tidak membayangkan apa-apa.

"Engkau yang membunuh ayahku?" Pertanyaan ini terdengar halus dan merdu, tenang dan, seakan-akan biasa saja.

"Betul!" jawab Listyokumolo yang sudah dapat menekan perasaannya, suaranya tegas dan agak marah.

Biarpun dara ini cantik jelita seperti puteri keraton, namun sikapnya mengerikan seperti iblis betina. Gadis ini oleh Pujo hendak dijodohkan dengan puteranya! Berarti bahwa puteranya benar-benar masih hidup. Ia sudah merasa menyesal telah membunuh Pujo, akan tetapi ia benar-benar tidak setuju kalau puteranya dijodohkan dengan gadis yang sikapnya seperti siluman ini.

"Aku yang membunuhnya dan ia sudah menerima kematiannya dengan rela karena dosanya terhadap dirlku."

"Hemmm, begitukah?" Dengan sikap tenang Endang Patibroto menghampiri mayat ayahnya yang masih ditangisi Kartikosari dan Roro Luhito, kemudian dicabutnya keris yang menancap dilambung Pujo. Sedikit darah keluar dari luka di lambung dan tanpa memperdulikan Kartikosari dan Roro Luhito yang berteriak kaget, Endang Patibroto membawa keris itu sambil menghampiri Listyokumolo. Ia memegang ujung keris pusaka Itu dan mengangsurkannya kepada pemiliknya.

"Nah, karena engkau sudah membunuh ayahku, sekarang gunakan kerismu ini untuk menusuk perutmu sendiri!"

Ucapan inipun dikeluarkan dengan suara halus dan sewajarnya, tanpa perasaan sehingga Listyokumolo dan Ki Adibroto yang mendengarnya menjadi bergidik. Bahkan Kartikosari dan Roro Luhito juga tercengang.

"Endang! Apa yang kaulakukan....?" Kartikosari berseru sambil melompat ke depan dan memeluk pundak puterinya.

Akan tetapi dengan halus akan tetapi bertenaga Endang Patibroto mendorong ibunya sehingga Kartikosari kembali duduk di dekat mayat suaminya dengan mata terbelalak.

"Angger, Endang Patibroto. kau ingatlah pesan ayahmu..." Roro Luhito juga berusaha mengingatkannya.

Endang Patibroto memandang Roro Luhito dengan kening berkerut.
"Siapakah wanita ini?"

Pertanyaan ini ia tujukan kepada ibunya akan tetapi pandang matanya tetap menatap wajah Roro Luhito.

"Dia Roro Luhito, dia juga ibumu, Endang, karena diapun isteri ayahmu...." Kembali Kartikosari terisak dan merangkul mayat suaminya.

Lanjut ke Jilid 070 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment