Ads

Friday, January 11, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 078

◄◄◄◄ Kembali

ABerpekan-pekan Joko Wandiro menjelajah gunung-gunung dan pantai Laut Selatan untuk mencari jejak adiknya, Ayu Candra. Namun hasilnya sia-sia belaka sehingga hatinya menjadi gelisah sekali. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin sekali adiknya itu oleh Ki Jatoko yang mencurigakan itu dibawa ke Bayuwismo. Siapa tahu kalau-kaiau Ayu Candra berusaha membalas dendam sendiri dan minta diantar Ki Jatoko. Maka ia lalu kembali ke Bayuwismo dan alangkah terkejut hatinya ketika ia mendengar dari penduduk dusun yang berdekatan bahwa memang beberapa hari setelah Kartikosari dan Roro Luhito pergi meninggalkan pantai itu, ada seorang dara cantik bersama pamannya yang kedua kakinya bunting bertanya-tanya kepada penduduk di situ ke mana perginya penghuni Bayuwismo!

Tentu saja tidak ada seorangpun penduduk yang dapat memberi tahu dan kedua orang itu lalu pergi lagi dari situ. Kejadian ini sudah terjadi tiga pekan yang lalu. Aduh, untung bahwa bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito telah pergi. Kalau masih berada di sana, tentu akan terjadi hal yang amat mengerikan. Ia maklum bahwa Ayu Candra sama sekali bukanlah lawan Kartikosari dan Roro Luhito yang sakti, akan tetapi karena ayah bundanya terbunuh, tentu saja gadis itu menjadi nekat, sedangkan Kartikosari yang berwatak gagah itu tentu akan rela memberikan nyawanya seperti yang diperbuat oleh Pujo! Alangkah akan mengerikan kalau gadis itu, adiknya, bekas kekasihnya, melakukan pembunuhan seperti itu.

Karena Ayu Candra dan Ki Jatoko pernah datang ke dusun itu, biarpun telah lewat tiga pekan, namun setidaknya Joko Wandiro mulai mendapatkan jejak mereka. Menurut para penduduk yang melihatnya, dua orang itu pergi menuju ke utara. Dia mengikuti jejak mereka dan tibalah Joko Wandiro di Selopenangkep yang kini telah mempunyai seorang adipati baru, seorang ponggawa Kerajaan Panjalu. Di tempat ini ia mendapat keterangan pula bahwa memang dua orang itu pernah berada di Selopenangkep, akan tetapi kemudian pergi lagi menuju ke utara.

Joko Wandiro mengikuti terus jejak ini dan selanjutnya dengan hati girang ia mendapat kenyataan bahwa tidaklah sukar mengikuti jejak kedua orang itu walaupun sudah lewat belasan hari. Hal ini tidaklah aneh karena memang kedua orang itu menarik perhatian serta mudah diingat. Yang seorang adalah gadis cantik jelita yang sukar dicari bandingannya. Yang ke dua adalah seorang laki-laki bermuka buruk menjijikkan dan buntung kedua kakinya. Tentu saja "pasangan" seperti ini tidak mudah terlupa orang.

Akhirnya, Joko Wandiro mengikuti jejak kedua orang itu menuju ke timur. Hatinya berdebar dan tidak enak. Pulau Sempu letaknya di pantai Laut Selatan sebelah timur dan kini jejak kedua orang itu terus saja ke timur. Apakah dua orang itu telah dapat menduga ke mana perginya Kartikosari dan Roro Luhito? Ah, tidak mungkin! Yang tahu akan hal ini hanyalah mereka bertiga. Kalau begitu, ke manakah tujuan Ayu Candra? Mengapa terus ke timur bahkan sama sekali tidak kembali ke Sarangan?

Makin cepat ia mengejar, jarak di antara mereka makin dekat akan tetapi jejak itu juga makin dekat dengan Pulau Sempu! Ia hampir dapat menyusul mereka ketika tiba di kaki Pegunungan Anjasmoro. Dari seorang petani ia mendapat keterangan bahwa baru beberapa jam yang lalu petani itu melihat seorang buntung yang mengiringkan seorang gadis jelita lewat di dekat sawahnya.

"Bagaimana keadaan gadis itu, paman?" tanya Joko Wandiro setelah minum dari air kendi yang ditawarkan si petani dengan ramah. Petani itu memandang dengan mata penuh selidik. Ia melihat wajah, kemudian melihat pakaian Joko Wandiro, dan bertanya,

"Apakah andika ini seorang perajurit? Kalau seorang perajurit dari Jenggala ataukah dari Panjalu?"

Joko Wandiro cepat menggeleng kepala menyangkal.
"Bukan perajurit bukan bangsawan, aku seorang pengelana biasa saja, paman."

"Syukur kalau begitu. Biasanya kalau perajurit, apalagi dari Jenggala, tentu akan terjadi hal yang tidak sedap dipandang kalau bertemu dengan gadis jelita seperti yang lewat tadi. Hemm, engkau bertanya tentang gadis itu, apakah keperluannya, orang muda?"

"paman jangan menaruh curiga. Gadis itu adalah adik saya, dan orang buntung itu adalah paman saya. Saya memang mencari mereka, paman."

"Oooo, begitukah? Gadis itu tampak sehat-sehat saja, agaknya tidak lelah biarpun melakukan perjalanan jauh. Sungguh cantik jelita dan trengginas (tangkas), juga pemberani, buktinya berani melakukan perjalanan hanya dikawal seorang paman yang lumpuh."

Lega hati Joko Wandiro mendengar ini. Ia lalu berpamit dan cepat-cepat ia melakukan pengejaran ke arah lereng Gunung Anjasmoro. Karena Joko Wandiro melakukan pengejaran sambil mengerahkan Aji Bayu Sakti, maka menjelang senja, ia dapat menyusul. Alangkah girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang yang bercakap-cakap di dalam hutan sambil mengaso di bawah pohon itu adalah Ayu Candra dan Ki Jatoko si buntung!

Sambil bersembunyi Joko Wandiro mengintai. Hatinya berdebar-debar girang ketika melihat betapa keterangan paman tani tadi betul. Ayu Candra kelihatan sehat, hanya pada wajahnya terbayang sinar kedukaan yang membuat sinar mata yang biasanya bening berseri-seri itu kini suram, senyumnya yang biasa selalu menghias bibir menambah cerah sinar matahari kini lenyap. Namun dalam kedukaan, bekas kekasihnya itu masih cantik jelita, masih menarik dan masih membuat jantung Joko Wandiro berdegupan keras. Dia adik saya, ia menekan jantungnya, dia adik saya, adik sekandung, adik seibu! Sambil menekankan kenyataan ini di hatinya, Joko Wandiro memandang Ki Jatoko dan ia merasa heran melihat betapa Ki Jatoko kini tidak kelihatan sebagai orang buntung yang lemah. Bahkan hebatnya, kakek buntung itu yang duduk di atas tanah kini menghadapi beberapa ekor ular yang berkelojotan di depannya sambil tertawa-tawa!

"Paman Jatoko, di sepanjang jalan kau membunuhi ular-ular berbisa dan mengambil racunnya untuk meracuni jarum-jarum itu, apakah masih kurang cukup?" Ayu Candra bertanya sambil duduk menjauh, agaknya jijik melihat banyak ular menggehat-geliat dan berkelojotan itu.

"Heh-heh-heh-heh, Ayu Candra cah ayu, cah denok! Kaulihat saja, kalau jarum-jarum ini sudah jadi betul, kemudian kau kuberi pelajaran mempergunakan jarum ini, kau akan memiliki kepandaian seratus kali sambit seratus kali kena! Nah, dengan jarum-jarum inilah kau kiranya. baru akan dapat menghadapi Pujo dan kedua orang isterinya yang sakti. Heh-heh-heh!"

"Paman, bukankah kabarnya menurut penduduk pantai dekat Bayuwismo, Pujo sudah meninggal dunia?"

"Ah-hah, omongan orang desa sebodoh itu tak perlu kaupercaya, cah manis! Mereka tahu Apa? Pujo orangnya belum tua benar dan sakti. Agaknya ia sudah tahu bahwa kau hendak mencarinya dan membalas dendam, maka ia lalu lari menyembunyikan diri bersama kedua isterinya, dan berpura-pura mati. Akan tetapi jangan kau khawatir, sekali kita bertemu dengannya, kau pasti akan mampu membalas dendam. Aku tanggung! Kalau tidak, jangan panggil aku Ki Jatoko lagi, heh-heh!"

Tiba-tiba tubuh orang buntung itu berkelebat ke kiri, cepat sekali gerakannya, tahu-tahu tubuh yang buntung itu telah menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak, lalu muncul dan mencelat lagi ke tempat tadi, tangan kirinya telah menjepit seekor ular bandot yang amat berbisa!
Leher ular itu terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya, kemudian sekali jari-jari tangan kanan mengurut tubuh ular itu dari leher ke ekornya, ular itu sudah berkelojotan tak mampu lari lagi, lalu dilemparkan ke bawah, ke sekumpulan ular-ular tadi.

"Heh-heh, bandot hijau, amat berbisa. Bisanya banyak dan amat ampuh!" kata Ki Jatoko.

Ayu Candra agaknya sudah sering melihat cara kakek buntung itu menangkap ular, maka ia tidak merasa heran lagi. Gadis ini sudah cukup maklum bahwa orang buntung itu sesungguhnya memiliki kesaktian yang hebat sekali. Akan tetapi Joko Wandiro yang tidak menduga sama sekali, menjadi kaget setengah mati, Dapat bergerak secepat itu, si buntung ini memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh pendekar-pendekar kebanyakan yang masih lengkap anggauta badannya! Caranya bergerak melompat tadi amat cepat, juga cara menangkap ular benar-benar mengagumkan. Seorang lawan berat!

"Sudah yakin benarkah kau bahwa musuh kita adalah Pujo dan dua orang isterinya, paman?"

"Kau masih ragu-ragu kepadaku, Ayu? Ah, masih tidak percaya setelah aku membelamu, bersusah-payah mengajakmu mencari musuh besarmu? Ayu, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membohongimu. Aku orang Selopenangkep, kau sudah kuceritakan tentang ini. Aku tahu ketika Pujo menculik ibumu Listyokumolo dan anaknya yang masih kecil. Aku tahu betapa ibumu lalu menjadi gila karena perbuatan biadab si Pujo! Kemudian untung tertolong oleh Ki Adibroto, menjadi suami isteri dan mempunyai anak engkau."

Sambil bicara, Ki Jatoko menangkap seekor ular, mengurut tubuh ular itu sehingga racunnya keluar dari mulut yang dijungkirkan. Racun kehijauan yang menetes-netes itu jatuh ke dalam sebuah batok kelapa di mana terdapat puluhan batang jarum yang sudah hijau menghitam warnanya. Setelah racunnya habis, ia membuang tubuh ular itu ke samping dan ternyata binatang itu telah mati. Ia menangkap ular ke dua dan memperlakukannya seperti tadi, kemudian ke tiga dan ke empat, demikian seterusnya.

"Kenapa kau mengajakku ke Kerajaan Jenggala, paman? Bukankah lebih baik kita berdua saja terus mencari si penjahat Pujo?"

Perih hati Joko Wandiro mendengar adiknya menyebut Pujo "penjahat" itu. Ah, adikku yang terkasih, engkau tidak tahu keadaan sebenarnya. Engkau terlalu mabok oleh racun hasutan si buntung yang mencurigakan sekali ini! Demikian dia mengeluh dan merasa marah sekali kepada Ki Jatoko. Akan tetapi mendengar pertanyaan yang diajukan Ayu Candra, ia terkejut dan mendengarkan terus.

"Ayu Candra, cah manis. Engkau percaya sajalah kepadaku. Sudah kukatakan berkali-kali kepadamu, aku seorang yang hidup sebatangkara, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa sisa hidupku ini kuperuntukkan dirimu seorang. Asal kelak engkau dapat mengasihi seorang buntung seperti aku, ahhh....... rela aku berkurban Apa saja untukmu, manis. Ketahuilah, untuk mencari Pujo tidak mudah setelah kini kita tidak tahu ke mana ia menyembunyikan diri. Akan tetapi di Jenggala aku mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang sakti. Bahkan sang prabu di Jenggala tentu akan suka membantuku. Dengan bantuan orang-orang sakti dan pasukan, Apa susahnya mencari Pujo? Nah, kalau sudah bertemu, bukankah kita mendapat bantuan orang-orang pandai dan engkau akan dapat melampiaskan dendammu, manis?"

Pucat wajah Joko Wandiro mendengar ini. pucat saking marahnya. Tidak hanya karena kenyataan bahwa manusia buntung ini bersekutu dengan orang-orang sakti yang membantu Jenggala seperti Dibyo Mamangkoro dan yang lain-lain, juga karena sikap dan kata-kata si buntung ini jelas sekali mengandung niat yang tidak wajar. Agaknya si buntung itu diam-diam gandrung dan tergila-gila kepada Ayu Candra, memperlihatkan sikap seperti terhadap kekasihnya. Hanya karena Ayu Candra seorang gadis jujur dan polos, berwatak bersih dan masih bodoh, maka sikap mesra itu dianggapnya sikap ramah dan baik dari seorang paman terhadap keponakan!

Tiba-tiba tubuh si buntung berkelebat lagi menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak seperti tadi dan ketika melompat keluar lagi tangannya sudah menjepit seekor ular yang kulitnya hijau keputihan. Akan tetapi pada saat itu, Joko Wandiro juga sudah melompat keluar menghampiri Ayu Candra.

"Ayu Candra.........!"

"Joko........... eh, kakang....... engkau....... ??"

Ayu Candra melompat bangun. Sejenak wajahnya berseri, matanya yang sayu dan wajahnya yang muram itu berseri, bibirnya terbuka mengarah senyum, kedua tangannya diulur ke depan. Joko Wandiro terharu dan melangkah maju hendak memeluk, akan tetapi tiba-tiba dari belakangnya terdengar Ki Jatoko menghardik,

"Mundur engkau! Engkau bernama Joko Wandiro, bukan? Engkau murid terkasih si keparat Pujo, bukan? Engkau ini anak durhaka, anak tidak berbakti! Ibu kandungmu dahulu diculik Pujo, diperkosa, dirusak kehormatannya sampai menjadi gila! Engkau sendiri diculik, akan tetapi karena diperlakukan sebagai murid, engkau lalu lupa akan ibu kandungmu sendiri! Engkau tahu ibumu dibunuh Pujo, akan tetapi engkau melarang Ayu Candra hendak menuntut balas. Cih, laki-laki macam engkau ini mana pantas menjadi kakak Ayu Candra?"

Hebat sekali ucapan ini. Joko Wandiro merasa seakan-akan mukanya ditampar. Ia mengurungkan niatnva memeluk Ayu Candra, lalu perlahan-lahan membalikkan tubuhnya menghadapi si buntung yang duduk di atas tanah memegangi ularnya yang baru saja ditangkapnya tadi. Muka Joko Wandiro sebentar merah sebentar pucat karena perasaannya yang menggelora. Ucapan itu selain kasar dan keras, juga beracun sekali, lebih beracun daripada bisa yang terkumpul di dalam batok. Sekiranya Joko Wandiro belum bertemu dengan Kartikosari dan Roro Luhito, mungkin ia akan terpengaruh oleh kata-kata ini dan akan menjadi ragu-ragu dan malu kepada diri sendiri yang dikatakan tidak berbakti kepada ibu kandungnya! Akan tetapi, ia telah tahu akan duduknya perkara, maka ia menjadi marah bukan main kepada orang buntung ini.

"Paman, engkau seorang tua lagi buntung kedua kakimu. Jagalah mulutmu agar jangan sampai aku seorang muda berlaku kurang ajar kepadamu!" bentak Joko Wandiro menahan kemarahannya.

"Heh-heh-heh, coba sangkal kata-kataku kalau mampu. Ayu Candra, jangan engkau terlalu percaya kepada kakak tirimu ini. Dia sudah diracuni si keparat Pujo, seperti juga bibinya. Ya, aku belum menceritakan kepadamu, Ayu, bahwa adik ayah bocah ini, yang bernama Roro Luhito, ketika di Selopenangkep dahulu juga menjadi korban kebiadaban Pujo, dicemarkan kehormatannya. Kemudian Roro Luhito yang hendak membalas dendam, dikalahkan oleh Pujo, malah dipaksa menjadi bini mudanya sekali! Nah, karena kini Pujo selain menjadi guru dan menjadi pemeliharanya sejak kecil juga menjadi suami bibinya, tentu saja ia tidak akan membiarkan engkau membalas dendam....."

"Tutup mulutmu yang busuk......!"

Joko Wandiro kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Ia tidak sudi bertengkar mulut dengan orang buntung yang ternyata amat pandai bicara dan pandai membakar hati ini. Paling baik memberinya hajaran lalu mengajak Ayu Candra cepat-cepat pergi dari situ, pikirnya. Dengan sebuah loncatan kilat Joko Wandiro menerkam maju. Akan tetapi pemuda ini terkejut dan cepat mengelak ke belakang ketika tiba-tiba ada suara mendesis dan kepala ular hijau telah menyambar ke arah lehernya. Kiranya ular itu kini telah dipegang perutnya oleh Ki Jatoko yang mempergunakan ular itu sebagai senjata hidup, diobat-abitkan sehingga kepala ular itu merupakan ujung senjata yang mendesis-desis marah dan siap menggigit! Ular hijau ini baru saja ditangkap oleh Ki Jatoko, masih liar dan belum diambil racunnya, maka amat berbahaya.

Kini Ki Jatoko sudah meloncat berdiri dan menerjang dengan senjata ular itu dengan serangan-serangan dahsyat. Diam-diam Joko Wandiro terkejut. Benar-benar hebat gerakan orang buntung ini sehingga ia menjadi heran sekali. Apalagi semua serangan si buntung itu didasari ilmu meringankan tubuh yang mirip dengan Aji Bayu Sakti! Agaknya memang Aji Bayu Sakti, hanya menjadi agak berbeda karena dilakukan dengan kedua kaki buntung! Dan ular yang hidup itu digerakkan seperti orang menggerakkan sebatang tongkat atau sebatang tombak saja, bukan main cepatnya dan kepala ular itu saking cepatnya digerakkan, seakan-akan berubah menjadi belasan buah banyaknya.

Di lain fihak Ki Jatoko juga terkejut dan kagum. Orang muda ini ternyata memiliki gerakan yang amat gesit, tidak kalah oleh gerak cepatnya sendiri. Hampir ia tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri. Ia kini menambah serangan dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang disertai Aji Siyung Warak, yang keampuhannya tidak kalah oleh gigitan ular berbisa di tangan kanannya. Namun Joko Wandiro yang maklum bahwa tangan kiri yang mengeluarkan angin dingin itu tentu ampuh, dapat menghindar dengan amat mudah. Ketika untuk kesekian kalinya tangan kiri Ki Jatoko menampar, Joko Wandiro mengangkat tangan kanan menangkis dan mengerahkan hawa sakti dari dalam pusar disalurkan ke tangan, mencipta gerakan "menempel" sehingga ketika lengan kiri Ki Jatoko bertemu lengan kanannya, si buntung itu merasa lengannya tergetar dan tak dapat terlepas dari lengan lawan! Ia terkejut, memukulkan ular ke arah leher Joko Wandiro.

Pemuda ini mengeluarkan seruan keras, jari tangan kirinya mempergunakan Aji Pethit Nogo menyampok ke arah kepala ular dan "krakkk!" kepala ular itu hancur berantakan!. Ki Jatoko terkejut dan melompat ke belakang. Tangan kirinya terasa linu dan kejang-kejang. Ia makin terheran-heran. Pemuda ini sama sekali belum membalas dengan serangan, baru mengelak, menangkis dan membunuh ular, namun sudah jelas bahwa dia terdesak dan terjepit. Dalam beberapa gebrakan saja telah terbukti bahwa dia kalah!.

Ki Jatoko dahulu adalah Jokowanengpati yang gemblengan. Dahulu, biarpun kedua kakinya belum buntung, kepandaiannya tidak sematang sekarang. Dahulupun sudah jarang sekali ada orang pandai yang dapat mengalahkannya, apalagi hanya seorang pemuda hijau macam ini! Betapa mungkin pemuda itu dapat mengalahkannya hanya dengan tangan kosong dan tanpa balas menyerang? Ia menjadi penasaran dan marah sekali. Sepasang matanya menjadi merah, mulutnya menyeringai lebar dan ia sudah mencabut sebatang keris yang selama ini selalu tersembunyi di balik bajunya! Melihat kemarahan orang, Joko Wandiro menjadi sabar dan tenang kembali.

"Paman Jatoko, mengingat bahwa selama ini, tak perduli apakah maksud keji yang tersembunyi di dalam pikiranmu, ternyata engkau tidak mengganggu adikku Ayu Candra dan dia dalam keadaan sehat selamat, biarlah kita sudahi pertandingan ini dan kita mengambil jalan masing-masing. Aku akan mengajak adikku pergi dan di antara kita tidak perlu ada urusan dan sangkut-paut lagi."

Andaikata Joko Wandiro mengajukan alasan lain, tentu saja Ki Jatoko juga akan menerima karena dia bukanlah seorang bodoh. Tidak, jauh daripada itu. Ki Jatoko adalah seorang yang cerdik luar biasa, penuh akal bulus dan tipu muslihat. Ia bukan seorang yang nekat yang merasa malu untuk mundur jika keadaan tidak menguntungkan. Ia tahu bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, bahwa belum tentu ia dapat menandinginya. Akan tetapi, alasan yang diajukan Joko Wandiro untuk mengakhiri pertandingan adalah untuk membawa pergi Ayu Candra! Hal ini sama artinya dengan membawa pergi semangat atau nyawanya! Sampai mati ia tidak akan mau berpisah lagi dari Ayu Candra, perawan jelita yang dicintanya sepenuh jiwa raga! Tidak, lebih baik mati daripada harus berpisah dari Ayu Candra,

"Kau bocah kemarin sore tak perlu membujuk seorang seperti aku! Joko Wandiro, aku kasihan melihat Ayu Candra. Ayah bundanya terbunuh orang dan aku tahu siapa pembunuhnya. Kalau engkau seorang laki-laki yang tidak mau menjadi orang durhaka, lebih baik kau mengikuti aku pula dan mari kita bertiga mencari musuh kita. Kalau tidak, kau pergilah, tapi jangan kau ajak pergi Ayu Candra. Aku telah bersumpah akan mengantarkannya sampai bertemu dengan musuh besarnya dan biarpun engkau ini putera kandung Listyokumolo, namun belum tentu kau suka memusuhi Pujo yang menjadi guru dan pamanmu."

Joko Wandiro tidak memperdulikannya lagi, membalikkan tubuhnya menghadapi Ayu Candra. Gadis ini sudah berdiri di balik batang pohon dan wajahnya pucat. Agaknya ia merasa ngeri menyaksikan pertempuran tadi, sungguhpun ia sendiri bukan seorang wanita lemah.

"Ayu, adikku, tidak perlu kita melayani orang buntung ini. Marilah ikut aku, Ayu, dan nanti kau kuberi penjelasan, akan kuceritakan semua kepadamu...."

"Awas.......... Joko.........!!" Ayu Candra menjerit.

Biarpun andaikata tidak diperingatkan Ayu Candra, Joko Wandiro juga tidak akan mudah diserang dari belakang secara menggelap begitu saja. Selain panca indranya yang sudah tajam melebihi manusia biasa, juga ada semacam indra ke enam yang membuat ia seakan-akan mempunyai mata pada belakang kepala nya!

"Wuuuttt.......!!"

Sinar hitam keris di tangan Ki Jatoko menusuk angin ketika tubuh Joko Wandiro yang diserangnya tiba-tiba berkelebat dan meloncat melewati kepalanya! Ki Jatoko membalikkan tubuh dan kembali menubruk sambil menusukkan kerisnya disusul hantaman tangan kiri. Cepat dan bertubi datangnya serangan ini, dan pada saat itu tubuh Joko Wandiro baru saja melayang turun. Namun Joko Wandiro dapat sekaligus menangkis tusukan dan pukulan. Kembali empat lengan bertemu dan Ki Jatoko terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah. Diam-diam Joko Wandiro merasa kasihan dan malu. Lawannya seorang buntung sehingga melangkahpun terhuyung-huyung!.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut karena tubuh itu sudah melayang dan menyerangnya seperti seekor burung garuda menyambar. Hemm, ia mencela kebodohannya sendiri. Biarpun buntung, orang ini sama sekali tidak perlu dikasihani karena ketangkasan dan kedigdayaannya melebihi jagoan-jagoan yang sudah pilih tanding. Ki Jatoko ini seorang yang sakti mandraguna, sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Seperti juga tadi, Joko Wandiro melayani lawannya dengan kedua tangan kosong saja, mengandalkan kegesitan tubuhnya dan kekuatan hawa sakti tubuhnya untuk mengelak atau menangkis. Seperti tadi pula, ia belum mau membalas dan diam-diam memperhatikan gerakan-gerakan lawan. Diam-diam harus ia akui bahwa gerakan Ki Jatoko ini merupakan ilmu-ilmu yang tinggi dan bersih, bahkan hampir sama sumbernya dengan ilmu-ilmu milik Resi Bhargowo.

Biarpun dahsyat dan dilakukan dengan beringas saking penasaran dan marah, namun ilmu tata kelahi orang buntung ini merupakan ilmu yang indah dan amat kuat. Kecepatan gerakannya tak dapat disangkal lagi tentulah Bayu Tantra atau Bayu Sakti, atau setidaknya tentu bersumber dari ilmu gerak cepat keduanya itu. Makin ragu-ragulah ia untuk merobohkan Orang ini. Apakah orang buntung ini pernah belajar ilmu kepada Resi Bhargowo? Ataukah pernah menerima gemblengan Empu Barodo? Mereka berdua itu adalah pendeta-pendeta sakti yang bijaksana dan berbudi, tentu menaruh kasihan kepada seorang buntung dan tidaklah aneh kalau memberi sebuah dua buah ilmu.

"Tahan........!" Tiba-tiba Joko Wandiro berseru seraya melompat mundur dari gelanggang pertempuran.

"Paman Jatoko, aku seperti mengenal gerakan-gerakanmu........! Bukankah engkau pernah belajar ilmu kepada eyang Empu Bharodo atau eyang Resi Bhargowo.......?"

Ki Jatoko terkejut. Semenjak ia menjadi buntung dan rusak mukanya dan berganti nama Ki Jatoko, ia sudah mengubur nama Jokowanengpati dan agar jangan sampai ada orang mengenalnya, ia pun memperdalam ilmunya dan sedapat mungkin merubah gerakan ilmu silatnya agar berubah daripada aselinya dan tidak akan dikenal orang. Namun, betapa pandainya, tentu saja tidak mungkin ia melenyapkan sama sekali gerakan dasar yang menjadi inti aji kesaktian yang telah ia pelajari. Kini setelah bertanding, pemuda ini dapat mengenal ilmu-ilmunya. Hal ini menandakan bahwa pemuda ini sudah mahir betul akan ilmu-ilmu itu. Akan tetapi karena maklum bahwa sekali orang tahu akan rahasianya maka keselamatan hidupnya akan selalu terancam, ia menghardik,

"Bocah dusun, engkau melantur tentang Apa? Kalau takut, pergilah, kalau berani, terima ini!" Ia melompat maju, menerkam dengan ganas sambil mengayun kerisnya.

"Manusia tak tahu diri!" Joko Wandiro berkata perlahan, tidak mengelak dari tempatnya, melainkan menyambut serangan itu keras sama keras Kedua tangannya bergerak merampas keris sambil mendorong.

"Desss............ weerrrr.........!”

Ki Jatoko berteriak kaget, kerisnya terlempar dan tubuhnya juga melayang ke belakang lalu terbanting ke atas tanah. Sejenak orang buntung ini bengong terlongong. Ia mengenal gerakan Pethit Nogo yang membuat kerisnya terlempar tadi karena tenaga yang terkandung di jari-jari tangan itu hebatnya luar biasa sekali, akan tetapi ia tidak tahu dorongan macam Apa tadi yang membuat tubuhnya terlempar seperti daun kering tertiup angin!

Joko Wandiro yang tidak mempunyai niat mencelakai. Ki Jatoko, tidak menyerang lebih lanjut. Ia membalikkan tubuhnya hendak menghampiri Ayu Candra. Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ayu Candra tidak berada di tempat yang tadi pula, tidak tampak bayangannya lagi.

"Ayu! Ke mana engkau pergi....?"

Joko Wandiro berteriak memanggil lalu mencari di sekeliling tempat itu. Namun sia-sia. Ayu Candra seperti hilang ditelan bumi, tak meninggalkan bekas. Joko Wandiro menjadi gelisah. Senja telah mulai menggelapkan cuaca. Ia melompat naik ke atas pohon yang tinggi, seperti seekor kera di atas pohon ia memandang ke sekeliling. Akhirnya ia berseru girang ketika melihat sesosok tubuh seorang wanita di sebelah utara, tubuh seorang wanita muda. Siapa lagi kalau bukan adiknya? Ia melompat turun dan bagaikan seekor kijang cepatnya ia sudah lari mengejar ke arah utara.

Sebentar saja ia sudah dapat menyusul. Bocah nakal, pikirnya. Dari Sarangan pergi tanpa pamit. Susah payah ia mencari kini sudah bertemu, kembali hendak pergi tanpa pamit. Mungkinkah karena kehancuran dan kepatahan hati oleh perubahan hubungan antara mereka dari kekasih menjadi kakak beradik? Joko Wandiro hendak menggodanya, hendak menimbulkan suasana gembira di hati adiknya dan mengusir kekesalan hatinya. Maka ia menghampiri dengan pengerahan tenaga dalam, sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali tak menerbitkan suara sama sekali Setelah dekat, ia melompat dan menubruk dari belakang, langsung ia memeluk tubuh adiknya dari belakang. Sambil menciumi rambut adiknya, ia berbisik,

"Ayu........ engkau nakal sekali. Hendak lari ke mana lagi engkau sekarang? Akhirnya aku dapat juga menangkapmu, anak nakal!"

Joko Wandiro merasa heran sekali ketika tubuh yang dipeluknya itu menggigil kemudian menjadi lemas dan kepala yang rambutnya lemas halus dan harum itu rebah di atas dadanya, jari-jari tangan yang halus pula mencengkeram kedua lengannya. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba gadis itu merenggutkan tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa sekali sehingga dapat terlepas, lalu membalikkan tubuh menghadapinya. Hampir saja Joko Wandiro berteriak kaget ketika ia melihat bahwa dara itu sama sekali bukan Ayu Candra, melainkan....... Endang Patibroto! Endang Patibroto yang berdiri di hadapannya dengan muka menunduk, kemerahan, dan kemalu-maluan! Rasa kaget ini seperti terganti rasa sesal dan kecewa karena kembali ia kehilangan Ayu Candra. Akan tetapi kembali segera berubah menjadi rasa girang karena memang ia sedang mencari-cari gadis ini pula untuk memenuhi janjinya kepada Kartikosari.

"Endang Patibroto! Kebetulan sekali kita berjumpa di sini. Memang aku sedang mencari-carimu. Kau maafkan aku tadi...., kau tadi kusangka orang lain.... "

Seketika berubahlah wajah wanita cantik itu, Kini Endang Patibroto mengangkat mukanya memandang, tidak malu-malu lagi, tidak berseri lagi, melainkan dengan bayangan perasaan dingin, bibirnya agak tersenyum, wajahnya membayangkan kalau dia sedang kesal hati atau marah.

"Hemmmm......! Ada Apa kau mencariku? Hendak melanjutkan pertandingan?"

"Endang, aku telah bertemu dengan ibumu di Bayuwismo dan...... "

"Hemm, engkau sudah mendengar tentang kematian ibumu di tanganku? Nah, kalau engkau mencariku untuk membalas dendam kematian ibumu, hayolah. Aku sudah siap!"

Joko Wandiro menarik napas panjang. Hatinya penuh penyesalan. Gadis yang berdiri gagah di depannya ini adalah seorang dara yang amat cantik jelita, hampir sama dengan bibi Kartikosari, bertubuh ramping padat dan segar bagaikan sekuntum bunga sedang mekar, seorang dara yang sukar dicari bandingnya. Akan tetapi pandang mata gadis ini amat dingin, juga sikapnya, suaranya, mengandung sesuatu yang mendirikan bulu roma.

"Tidak, Endang. Aku tidak bermaksud membalas dendam. Ayahmu karena salah sangka telah menyakiti hati ibuku. Ibu kandungku yang merasa dirusak kebahagiaan hidupnya telah menuntut balas dan sebagai seorang satria utama, ayahmu rela memberikan nyawa menebus dosa. Ayahmu mati di tangan ibuku. Kemudian engkau membalas kematian ayahmu dan membunuh ibuku. Kalau aku sekarang mengambil pembalasan kepadamu, dendam-mendendam ini tiada ada habisnya. Tidak, Endang. Aku murid ayahmu, dan sebagai murid harus mencontoh langkah-langkah nidup gurunya. Aku mencontoh ayahmu, tidak akan menumpuk permusuhan yang tiada habisnya. Yang tewas sudah sempurna, sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa, bukan urusan manusia."

"Kalau begitu, Apa perlunya engkau mencariku? Kalau hanya untuk berkhotbah saja, aku tiada waktu untuk mendengarkan!"

Mau tak mau Joko Wandiro tersenyum. Gadis ini tiada bedanya dengan dahulu ketika masih kecil. Nakal, galak dan jenaka. Sifat ini masih mendasari wataknya, hanya sayang kini tertutup oleh bayangan-bayangan keganasan dan keanehan yang mengerikan, seakan-akan ada hawa iblis yang hitam menyelubungi dirinya.

"Endang telah kukatakan tadi bahwa aku telah bertemu dengan ibumu. Aku telah berjanji kepada ibumu untuk membujukmu agar kau suka insyaf dan kembali kepada ibumu. Endang, ingatlah bahwa ayahmu, ibumu, dan juga eyangmu adalah patriot-patriot perkasa yang selalu membela kebenaran dan membela Pangeran Sepuh yang kini menjadi sang prabu di Panjalu. Endang, lupa lagikah engkau kepada eyang Resi Bhargowo? Beliau dahulu di Pulau Sempu begitu sayang kepadamu. Dan ibumu! Dia telah mengorbankan segalanya untukmu, kemudian selama belasan tahun menderita siksa batin karena kau lenyap. Engkau insyaflah, Endang Patibroto, bahwa kedudukanmu sekarang sebagai pengawal Kerajaan Jenggala merupakan penyelewengan besar daripada kebenaran yang selama ini dipegang keluargamu. Kau tinggalkan Jenggala dan temani ibumu yang kini sudah pindah ke Pulau Sempu."

Lanjut ke Jilid 079 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment