Ads

Sunday, January 13, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 084

◄◄◄◄ Kembali

Ketika sadar dari pingsannya, yang teringat oleh Joko Wandiro adalah bahwa ia bertanding mati-matian dengan Dibyo Mamangkoro dan bahwa kerisnya patah tertinggal di dalam dada lawan yang tubuhnya menindih tubuhnya, sedangkan lehernya tercekik hampir patah dan pundak kirinya sakit sekali membuat lengan kirinya lumpuh. Ketika ia sadar, ia merasa betapa pundaknya masih sakit, lengan kirinya masih tak dapat digerakkan, lehernya juga masih kaku dan nyeri-nyeri, akan tetapi dadanya tidak tertindih lagi. Masih hidupkah ia? Ataukah sudah mati? la tidak akan merasa heran kalau mendapatkan dirinya sudah mati. Dibyo Mamangkoro luar biasa saktinya. Terlalu sakti baginya. Pertandingan tadi hebat dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami pertandingan sebehat itu.

"Dia bergerak........ !"

"Dia sadar kembali.......!”

"Dia hebat sekali, dapat mengalahkan kakek sakti itu."

"Pertandingan yang mengerikan dan seru bukan main."

"Dia benar-benar perkasa, patut menjadi junjungan kita."

Suara percakapan ini merdu dan halus, suara wanita. Kemudian jari-jari tangan yang halus lunak meraba-rabanya, membelainya. Tercium harum rambut wanita ketika bibir yang hanyat menyentuh dahinya. Joko Wandiro tersenyum. Ia teringat, ini tentu Dewi, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari! Lima orang gadis jelita yang hebat. Ia tidak marah lagi mereka belai dengan mesra. Lima orang gadis ini telah membuktikan cinta kasih dan kesetiaan mereka. Bahkan mereka telah menyelamatkan nyawanya pada saat terakhir ketika tadi ia dikempit dari belakang oleh Dibyo Mamangkoro.

Mereka menolongnya dengan taruhan nyawa, karena menolongnya berarti melawan Dibyo Mamangkoro yang masih kakek paman Dewi sendiri! Ia membuka matanya. Kiranya Dewi yang menciumnya. Tanpa disadarinya, Joko Wandiro membalas rangkulannya dan mencium pipi Dewi sambil berbisik,

"Sudahlah, Dewi, jangan menangis. Aku tidak apa-apa lagi......."

Dewi mengangkat mukanya, memandang dengan air mata berlinang, lalu tersenyum manis sekali.

"Kalau tadi kau yang kalah dan mati, kami sudah siap untuk mengadu nyawa dengan eyang Dibyo Mamangkoro!"

"Dibyo Mamangkoro? Ah, di mana dia sekarang......?"

"Dia sudah tewas, sudah kami kubur di lereng wetan."

Joko Wandiro menarik napas lega. Kiranya luka-lukanya telah dirawat dengan baik-baik oleh Dewi dan adik-adiknya, bahkan ketika ia masih pingsan, tulang pundaknya telah diberi obat penyambung tulang. Untuk menunggu pulihnya tulang pundaknya, ia harus rebah untuk beberapa hari lamanya. Setiap hari, tak pernah lima orang gadis itu membiarkan ia seorang diri. Mereka itu secara bergilir menjaganya, siang malam, dengan penuh perhatian, penuh kesetiaan dan penuh cinta kasih yang mesra.

Kini Joko Wandiro tak pernah menolak sikap mereka yang mencinta. Dia mulai mengenal keadaan hati lima orang gadis ini. Mereka itu adalah orang-orang yang haus akan cinta kasih, semenjak kecil tak pernah mengenal cinta kasih maka sekarang, begitu bertemu dengan dia yang mereka kagumi, mereka menumpahkan seluruh perasaan itu kepadanya dengan harapan untuk mendapatkan cinta kasih. Karena ia tahu betapa mereka itu amat setia kepadanya, bahkan ia telah berhutang budi, ia tidak tega mengecewakan hati mereka. Bahkan seringkali, darah muda di tubuhnya mendesak dan mendorong agar dia mengambil Apa yang disodorkan kepadanya, agar dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyenangkan diri sendiri dan menikmatinya. Namun, Joko Wandiro sebagai murid Ki Patih Narotama selalu menekan dan menentang perasaan ini, selalu teringat bahwa sekali ia dikalahkan nafsunya sendiri, ia akan meiakukan penyelewengan-penyelewengan daripada jalan kebenaran.

Oleh karena inilah, Joko Wandiro selalu kuat bertahan. Dia mengimbangi pernyataan kasih sayang Dewi dan adik-adiknya, namun dalam batas-batas tertentu dan tidak terpeleset ke dalam bujukan iblis nafsu berahi yang akan menyeretnya melalui batas-batas kesusilaan.

**** 084 ***
Lanjut ke Jilid 085 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment