Ads

Saturday, January 19, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 092

◄◄◄◄ Kembali

Perang kecil yang terjadi di pertapaan Durgaloka berlangsung semalam suntuk dan amat serunya. Biarpun Dewi dan teman-temannya merupakan wanita-wanita terlatih dan rata-rata memilih ketangkasan, namun karena jumlah mereka kalah banyak sehingga setiap orang harus melayani pengeroyokan dua orang, bahkan Dewi dan adik-adiknya berlima dikeroyok oleh belasan orang, maka mereka menemui tanding yang berat dan banyaklah korban yang jatuh di antara kedua fihak.

Joko Wandiro maklum akan hal ini. Akan tetapi ia hanya tega merobohkan para pengeroyok laki-laki saja karena ia merasa ragu-ragu kalau harus membunuh gadis-gadis yang mengeroyoknya. Baru setelah ia mendengar jerit Dewi menyebut namanya, la terkejut dan cepat kaki tangannya bekerja merobohkan para pengeroyoknya. Hanya dengan membuka jalan darah, merobohkan belasan orang di sebelah kiri, ia dapat lolos dari kepungan. Sambil menyerang kanan kiri dan depan, ia maju terus menuju ke arah suara panggilan Dewi.

Betapa sedih hatinya ketika melihat bahwa anak buah Dewi banyak yang roboh tewas. Pertempuran tinggal beberapa kelompok dan yang terbanyak adalah mereka yang mengeroyoknya. Kini Joko Wandiro menjadi marah. Apalagi ketika ia menemukan Dewi rebah telentang dengan tombak menancap di lambungnya, Joko Wandiro mengeluarkan pekik dahsyat dan mengamuk seperti seekor banteng terluka. Anak buah pertapaan Durgaloka terkejut dan gentar, lalu mereka yang masih belum terluka melarikan diri tersebar ke segala penjuru. Sinar matahari mulai menerangi bumi. Hati Joko Wandiro makin hancur setelah ia dapat melihat keadaan Dewi dan teman-temannya. Dewi masft merintih-rintih ketika ia pangku kepalanya.

"Dewi..! Kau.. terluka.......” tanya Joko Wandiro lirih sambil memangku kepala gadis itu. Sekali pandang saja ia tahu bahwa gadis ini tak mungkin dapat ditolong lagi. Tombak yang menusuk lambung amat dalam, hampir tembus!

Dewi membuka matanya. Mulut yang tadinya menyeringai kesakitan itu kini tersenyum, bibirnya bergerak-gerak lemah,

"Joko.. kita.. kita menang....”

Joko Wandiro terharu, mengangguk dan mendekap kepala yang tersenyum-senyum itu ke dadanya. Ketika ia menengok ke kanan kiri, ia melihat bahwa Lasmi, Mini, Sari, dan Sundari juga sudah roboh tak bernyawa lagi. Ia terisak dan memejamkan matanya.

"Joko..."

Ia membuka mata, memangku kepala dan memandang wajah Dewi.

"Joko... tak perlu kau bersedih. Kami berkorban dengan segala kerelaan...hati... kami... kami puas... kami... telah menemukan kau... seorang yang... patut kami bela... kami mencintamu, Joko...!"

Kedua mata Joko Wandiro menjadi basah. Teringatlah ia betapa lima orang gadis ini selalu mengharapkan balasan cumbu rayu mereka. Akan tetapi ia selalu berteguh hati tidak melayani mereka. Kini ia merasa menyesal, ia selalu mengecewakan hati mereka, padahal mereka itu benar-benar mencintanya, bersetia sampai mati! Tanpa ia sadari, ia menundukkan mukanya dan mencium mulut yang menyatakctn cinta kasih di ambang maut itu. Kini ia mencium penuh perasaan, penuh cinta kasih, penuh berahi. Ia merasa dengan bibirnya betapa mulut itu terbuka, mengeluh dan keluar sedu-sedan dari dada Dewi yang terengah-engah. Ketika ia melepaskan ciumannya dan memandang, ternyata Dewi sudah tak bernafas lagi, sudah mati dalam keadaan masih tersenyum bahagia! Memang bahagialah siapa saja yang mati dengan keyakinan bahwa dirinya mencinta dan dicinta!

Tiga puluh orang anak buah Dewi kini tinggal dua belas orang saja. Yang lain sudah tewas. Joko Wandiro berulang kali menghela napas panjang penuh penyesalan dan kengerian. Mayat-mayat bergelimpangan. Mayat anak buah Dewi yang telah bertempur mati-matian, mati dengan senjata di tangan, dan mayat anak buah Bhagawan Kundilomuko, banyak yang telanjang bulat, menyeramkan. Ia juga menyesal sekali melihat mayat Sang Wiku Jaladara. Banyak sekali yang tewas dalam pertempuran semalam. Tidak kurang dari enam puluh orang anak buah Durgaloka tewas. Dua belas orang anak buah Dewi yang masih hidup semua menangisi teman-teman yang tewas, Joko Wandiro menjadi makin berduka. Tiba-tiba terdengar suara memanggil,

"Kakang...!”

Joko Wandiro menoleh dan sejenak terusirlah kedukaannya, wajahnya berseri ketika ia menghampiri dan berseru,

"Ayu Candra...!"

Mereka saling tubruk, dan saling peluk. Ayu Candra menangis sesenggukan di dada kakaknya. Tadi ketika ia siuman dan sadar akan keadaan dirinya, melihat pertempuran hebat, Ja menyelinap mencari pakaiannya yang lalu dipakainya untuk mengganti pakaian sutera tipis yang menjijikan itu. Ia masih pening, masih belum sadar benar dan ntasih bingung. Maka ia menjauhkan diri lalu duduk bersila, bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengusir sisa-sisa pengaruh buruk yang menguasai dirinya.

Ketika ia sadar dari samadhinya, perang sudah berhenti, keadaan sunyi, hanya terdengar suara beberapa orang wanita menangis. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melihat bahwa malam telah berganti pagi dan alangkah bahagia hatinya ketika ia melihat Joko Wandiro.

"Terima kasih kepada Hyang Maha Agung yang telah melindungimu sehingga kita dapat bertemu dalam keadaan selamat adikku," kata Joko Wandiro sambil mengelus rambut yang harum dan halus itu, membiarkan adiknya sesenggukan melepas perasaan hati.

"Aduh, kakang, alangkah banyak derita yang kualami....... semua karena aku tidak menurut nasehatmu kakang. Aku menyesal....... maafkan aku.......”

"Husshhh, sudahlah, adikku sayang. Kau perlu mengaso dulu. Kelak kita bicara karena sekarang aku harus mengurus semua jenazah yang begini banyak ini”.

Joko Wandiro melepaskan Ayu Candra yang ia suruh mengaso, kemudian ia minta bantuan dua belas orang anak buah Dewi untuk menggali lubang-lubang dan mengubur semua jenazah baik kawan maupun lawan, secara sederhana. Khusus untuk jenazah Wiku Jaladara, Dewi, Lasmi, Mini, Sari, dan Sundari mereka buatkan tempat kubur terpisah. Sehari penuh mereka bekerja dan baru selesai setelah matahari tenggelam. Joko Wandiro lalu mengumpulkan dua belas orang wanita itu dan berkata,

"Kalian semua dengarlah nasehatku baik-baik. Setelah Dewi dan adik-adiknya tewas dalam pertempuran semalam, kiranya tidak ada perlunya lagi kehidupan dalam hutan di Anjasmoro yang kalian tempuh selama ini dilarutkan. Seperti telah menjadi peraturanku, kalian masing-masing berhak untuk hidup wajar dalam masyarakat umum, mencari jodoh dan hidup berumah tangga membentuk keluarga. Kalian telah berjasa besar. Tempat ini, di dalam pondok Bhagawan Kundilomuko itu, banyak terdapat barang-barang berharga. Nah, kalian ambil dan bawa, bagi rata di antara kalian dan pergilah kalian, kembali ke masyarakat ramai. Kuanjurkan untuk kembali ke keluarga masing-masing."

Sambil menangis dua beias orang wanita itu mentaati perintah Joko Wandiro, mengumpulkan emas intan dan benda berharga yang banyak terdapat di Durgaloka, kemudian setelah berpamit mereka pergi berbondong meninggalkan tempat itu, menuju penghidupan baru. Setelah semua wanita Gunung Anjasmoro itu pergi, Ayu Candra yang sudah pulih kembali kesehatannya lalu menghampiri Joko Wandiro yang masih termenung karena belum lenyap kedukaannya oleh jatuhnya demikian banyak korban dalam pertempuran semalam.

"Kakang Joko Wandiro, kau berduka karena akibat perbuatanku, ya?" Suara gadis itu penuh haru dan penyesalan, tangannya merangkul lengan Joko Wandiro.

Joko Wandiro menoleh, lalu merangkul pundak gadis itu.
"Tidak karena perbuatanmu, Ayu. Jatuhnya banyak korban ini adalah sewajarnya. Untuk memberantas kejahatan harus pula berani berkorban. Dewi dan saudara-saudaranya tewas sebagai wanita-wanita perkasa yang patut dipuji, demikian pula Wiku Jaladara sudah memenuhi kewajibannya sebagai seorang suci. Aku tidak marah kepadamu, adikku, bahkan aku bahagia sekali dapat bertemu denganmu dalam keadaan selamat. Mengapa engkau meninggalkan aku, adikku? Bencikah engkau kepadaku?”

Ayu Candra memundurkan mukanya dan dua butir air mata menetes turun. Ia menarik napas panjang berkali-kali kemudian berkata lirih,
"Aku seperti menjadi buta karena bujukan dan hasutan Ki Jatoko, manusia buntung yang amat keji dan jahat itu. Kaumaafkan aku, kakang. Terus terang saja semenjak berpisah denganmu di Sarangan.. semenjak...... semenjak kau menjadi... eh, kakak...kandungku....aku kecewa dan... seperti membencimu. Kemudian ditambah oleh hasutan Ki Jatoko, aku makin curiga kepadamu...... ah, aku menyesal, kakang Joko......."

Joko Wandiro memegang kedua tangan gadis itu. Sejenak mereka saling pandang dan rasa haru menyelinap ke dalam jantung masing-masing. Betapapun, keduanya harus mengaku di dalam hati bahwa mereka tak dapat melenyapkan cinta kasih diantara merekal Hanya oleh kenyataan bahwa mereka bersaudara sekandung, mereka memaksa diri, memaksa menyelimuti rasa cinta kasih dengan rasa persaudaraan yang dipaksakan. Hal ini menimbulkan rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum dalam hati.

"Ki Jatoko memang seorang jahat yang amat berbahaya dan curang. Engkau yang masih belum berpengalaman sampai terkena hasutan dan terbujuk, hal ini tidak dapat aku menyalahkan engkau, Ayu. Bahkan seorang gadis sakti mandraguna dan ganas seperti Endang Patibroto pun jatuh ke dalam bujukannya sehingga sampai menjadi tawanan di sini. Apalagi engkau yang jujur dan polos. Ah, tentu engkau banyak menderita kesengsaraan, adikku. Kalau saja dahulu kau lebih percaya kepadaku, takkan terjadi semua itu."

Ayu Candra memberengut. Setelah berkumpul dengan Joko Wandiro, timbul pula gaya manjanya. Entah mengapa, di dekat, pemuda ini. selalu ia mempunyai hasrat ingin bermanja, baik dahulu sebagai kekasih maupun kini sebagai adik!

"Kalau dipikir, engkau pula yang menjadi biang keladinya, kakang! Mengapa pula engkau tidak mau menuruti keinginan hatiku membalas dendam kepada mereka yang memusuhi ayahku dan ibunda kita? Mengapa engkau tidak membolehkan aku menuntut balas kepada orang yang membunuh ayah bundaku?"

"Panjang sekali ceritanya, adikku. Kalau kau sudah mendengar semua penuturanku, tentu kau akan mengerti dan akan sependapat dengan aku bahwa permusuhan itu tidak semestinya dilanjutkan sampai berlarut-larut. Terputus atau tersambungnya rantai karena tergantung daripada kita sendiri. Kalau balas-membalas dan permusuhan dilanjutkan, takkan ada habisnya. Kita tidak boleh hanya dipengaruhi oleh akibat dan bertindak tanpa menyelidiki sebabnya terlebih dahulu. Adikku, kematian kedua orang tuamu adalah akibat daripada sebab-sebab yang amat panjang dan nanti akan kuceritakan kepadamu. Sekarang lebih baik kita meninggalkan tempat ini."

"Ke mana, kakang?"

“Kau ikut lah saja, aku akan pergi ke Pulau Sempu."

Ayu Candra kelihatan kaget dan ia melepaskan tangannya dari pegangan Joko Wandiro,
"Ke Pulau Sempu? Di sana tinggal Kartikosari dan Roro Luhito, musuh besarku!"

Joko Wandiro segera merangkul adiknya.
"Ssttt, kau masih belum dapat melenyapkan pengaruh bujukan beracun dari mulut Ki Jatoko. Kau percayalah kepadaku dan sebelum kau kuajak bertemu dengan mereka, kau akan mendengarkan cerita yang menjadi sebab kematian ayah bundamu, Ayu."

Sejenak Ayu Candra diam, bingung dan ragu. Kemudian ia menubruk Joko Wandiro dan menangis di dada pemuda itu. Joko Wandiro mengerti akan perasaan adiknya, maka ia hanya mengelus-elus rambut yang halus itu sambil meramkan mata menahan hati yang seperti akan mencair oleh rasa cinta kasih. Akhirnya Ayu Candra dapat menekan perasaannya dan berkata,

"Aku menurut, kakang. Mulai sekarang aku akan mentaati segala perintahmu, kau... kau pengganti orang tuaku dan apapun yang kaukatakan, akan kutaati."

Joko Wandiro mencium rambut di ubun-ubun kepala gadis itu.
"Aku tahu, kau seorang gadis yang mulia, Ayu. Mari kita pergi, tidak enak lama-lama berada di tempat yang sudah berubah menjadi kuburan ini."

Mereka bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Ketika hendak keluar dari hutan, mereka melihat seekor kuda yang sedang makan rumput. Kuda itu cukup baik, lengkap dengan pelananya.

"Ah, tentu ini kuda Durgaloka, yang lain-lain tentu telah melarikan diri dalam keributan tadi. Lumayan kuda ini, lebih baik kaunaiki, adikku. Malam hampir tiba, mari kita cepat-cepat pergi dari sini."

"Dan kau, kakang?"

"Aku lari di sebelahmu, apa kaukira kalah oleh kuda?"

"Hi-hik, kau memang seperti kuda!” Ayu Candra sudah mulai timbul kejenakaannya.

"Hushh, masa kakakmu seperti kuda? Kalau kakaknya kuda, adiknya apa?" Joko Wandiro mengimbangi kelakar adiknya.

Ayu Candra tersenyum dan melompat ke atas pelana kuda, lalu membalapkan kuda di sebelah Joko Wandiro yang mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke barat. Setelah gelap baru mereka berhenti di bawah pohon besar untuk melewatkan malam, Joko Wandiro menangkap seekor ayam hutan. Malam itu setelah makan bakar ubi dan daging ayam hutan, mereka bercakap-cakap dan Joko Wandiro mulai menceritakan kepada Ayu Candra akan peristiwa belasan tahun yang lalu. Ia menceritakan hal yang ia dengar dari penuturan bibinya, Roro Luhito dan dari Kartikosari.

"Terus terang saja, Ayu, bahwa pokok pangkal segala peristiwa ini adalah karena kesalahan dua orang, yaitu yang pertama ayah kandungku sendiri, mendiang Raden Wisangjiwo, dan ke dua adalah seorang bernama Jokowanengpati. Paman Pujo dan isterinya, bibi Kartikosari yang mula-mula menjadi korban kejahatan."

Mulailah ia menuturkan betapa Kartikosari dan Pujo yang sedang bertapa itu diganggu oleh kedatangan Raden Wisangjiwo sehingga terjadi pertempuran dan yang membuat Pujo dan Kartikosari roboh pingsan. Ketika sadar Pujo tahu bahwa Kartikosari telah diperkosa orang yang tentu saja oleh mereka berdua dianggap bukan lain orang kecuali Raden Wisangjiwo. Perbuatan keji ini menimbulkan dendam sehingga Pujo yang hendak membalas dendam menyerbu ke Selopenangkep, kemudian karena Pujo tidak menemukan Wisangjiwo, dalam sakit hati dan kebencian membuta ia menculik Listyakumolo bersama anaknya.

"Akulah anak itu, Ayu. Aku baru berusia dua tahun ketika ibu diculik Pujo. Akan tetapi sebagai seorang ksatria utama, paman Pujo tidak tega untuk membalas dendam dengan memperkosa ibuku. Dia hanya pergi membawaku dan kemudian aku dianggapnya sebagai puteranya sendiri dan dididiknya seperti murid terkasih. Sampai menjadi dewasa, aku masih beranggapan bahwa aku adalah putera kandung paman Pujo."

Ayu Candra mendengarkan dengan muka pucat. Rasa kasihan yang besar terhadap Pujo dan Kartikosari sudah menghapus sebagian besar dendam hatinya. Tanpa mengganggu sedikitpun ia mendengarkan terus, pandang matanya bergantung pada bibir Joko Wandiro.

"Peristiwa itu membuat paman Pujo dan bibi Kartikosari berpisahan, mereka menderita lahir batin sampai belasan tahun dan bibi Kartikosari yang sudah mengandung kemudian melahirkan anak dalam keadaan yang mengerikan dan menderita sekali "

"Endang Patibroto !!" Ayu Candra memotong cepat.

"Benar," Joko Wandiro mengangguk. "Kemudian ibumu, juga ibuku, Listyakumolo yang bernasib malang, karena kehilangan aku, menerima pukulan batin hebat sehingga terganggu pikirannya. Ayahku yang ketika itu masih menyeleweng dari kebenaran malah mengirimnya..... pulang kerumah orang tua ibu kita, di lereng Lawu. Kalau nasib sedang dirundung kemalangan, belum lama setelah ibu dipulangkan, daerah itu diserbu perampok, semua keluarga kakek kita di sana habis dibunuh, kecuali ibu kita yang diculik oleh kepala perampok."

"Ah, kasihan ibu...!" Ayu Candra terisak, teringat kepada ibunya yang tercinta.

"tentang nasib ibu kita selanjutnya, aku tidak pernah mendengar ceritanya, dan tahu-tahu ibu kita telah tinggal bersama ayahmu di Sarangan. Sangat boleh jadi ibu kita tertolong oleh ayahmu, kemudian mereka menjadi suami isteri dan lahirlah engkau."

Ayu Candra mengangguk-angguk, air mata bertetesan di atas kedua pipi. Sejenak mereka diam, masing-masing tenggelam dalam lamunan. Ayu Candra mengenangkan ibunya yang tercinta. Adapun Joko Wandiro menekan perasaannya yang terasa perih dan sakit karena selama hidupnya, belum pernah ia berjumpa dengan ibu kandungnya, belum pernah ia melihat bagaimana wajah ibunya. Untuk mencegah agar kenangan pahit ini tidak meracuni hatinya, ia melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan betapa ayahnya, Raden Wisangjiwo, akhirnya sadar namun sudah terlambat karena ketika ayahnya mencari ibunya di lereng Lawu, ibunya sudah tidak ada. Diceritakan pula betapa ayahnya tewas dalam perang ketika membantu Pangeran Sepuh yang kini menjadi sang prabu di Panjalu.

"Akhirnya, paman Pujo dan bibi Kartikosari bertemu dengan ayahku dan barulah mereka itu tahu bahwa yang melakukan perbuatan keji terhadap diri bibi Kartikosari di dalam Guha Siluman itu bukanlah ayahku, melainkan Jokowanengpati. Paman Pujo menyesali perbuatannya, telah menculik aku dan menyengsarakan kehidupan ibuku. Karena itulah, ketika ibu kita bersama ayahmu datang ke Sungapan dan bertemu dengan paman Pujo, maka paman Pujo menyerahkan nyawanya di tangan ibu kita. Tanpa melawan paman Pujo rela ditusuk keris oleh ibu kita, untuk membalas dan menebus dosanya dahulu. Bahkan sebelum meninggal dunia, paman Pujo melarang bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito, yaitu adik kandung ayahku yang juga menjadi isteri paman Pujo, untuk membalas dendam. Paman Pujo rela menebus permusuhan itu dengan nyawa dan menghabiskan sampai di situ saja."

Ayu Candra memandang wajah kakaknya yang membayangkan keharuan, kekaguman dan kedukaan. Tahulah Ayu Candra bahwa guru kakaknya ini, Pujo, tentulah seorang ksatria yang amat gagah perkasa dan mulia sehingga rela menebus kesalahan dengan menyerahkan nyawa. Iapun menjadi terharu.

"Sayang sekali," Joko Wandiro menghela napas, "manusia berdaya upaya, namun Sang Hyang Wisesa yang menentukan kesudahannya. Maksud mulia paman Pujo itu ternyata gagal karena pada saat itu sebelum ia mati, datang secara tiba-tiba Endang Patibroto yang telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro dan memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito mentaati pesan paman Pujo, akan tetapi tidak demikian dengan Endang Patibroto. Begitu mendengar bahwa paman Pujo adalah ayah kandungnya yang baru saja ia jumpai selama hidupnya, dan melihat betapa ayahnya yang baru dijumpainya itu tewas tanpa melawan oleh ibu kita yang masih berada di situ, ia lalu menerjang dan berhasil menewaskan ibu kita, bahkan melukai ayahmu sehingga ayahmu meninggal dunia."

Ayu Candra terisak menangis. Joko Wandiro mendiamkannya sampai tangis adiknya mereda. Barulah ia bicara lagi dengan suara halus,
"Demikianlah, adikku. Kita tidak boleh dihanyutkan oleh dendam. Kalau kita renungkan, bukankah perbuatan Endang Patibroto itupun wajar, seperti engkau pula yang melihat orang tua terbunuh lalu timbul kemarahan dan dendam? Memang, dia terlalu ganas sehingga tidak memperdulikan pesan ayahnya, tidak memperdulikan cegahan ibunya. Akan tetapi, apakah kita perlu meniru dia? Bukankah lebih sempurna kalau kita taati pesan paman Pujo yang hendak menghabiskan urusan permusuhan dengan penebusan nyawanya? Dan terutama sekali, bukankah ayahmu sendiri meninggalkan pesan terakhir sebelum meninggal dunia, bahwa kau dilarang membalas dendam, dilarang untuk melanjutkan permusuhan? Inilah sebabnya, adikku sayang, mengapa aku melarang engkau mencari bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito untuk membalas dendam."

Ayu Candra tidak menjawab, hanya menubruk kakaknya dan menangis dengan muka di atas pangkuan Joko Wandiro. Sampai lama sekali Ayu Candra menangis dan Joko Wandiro mendiamkannya saja, membiarkan gadis itu menghanyutkan semua rasa dendam dan sakit hati keluar bersama air matanya.

Setelah Ayu Candra kini mingsek-mingsek sebagai sisa tangisnya, Joko Wandiro lalu memegang kedua pundaknya dan mendorongnya duduk kembali.
"Sekarang, aku sengaja akan mengajakmu ke Pulau Sempu menemui mereka berdua, Ayu, dan aku yakin bahwa kalau kau telah bicara dengan mereka berdua, kaupun pasti akan membenarkan pendapatku ahwa mereka berdua itu bukanlah orang-orang jahat yang patut dijadikan musuh. Kita pergi mengunjungi Pulau Sempu yang tak jauh lagi, kemudian dari sana aku akan mengajakmu ke Panjalu untuk mencari Joko Seto "

"Siapa?" Suara Ayu Candra masih gemetar.

"Joko Seto, putera paman Darmobroto. Lupakah kau akan pesan ayahmu? Engkau dijodohkan dengan Joko Seto, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus perjodohanmu, karena sekarang akulah yang menjadi pengganti orang tuamu, akulah yang menjadi walimu karena aku adalah kakak kandungmu!"

Ayu Candra mengerutkan keningnya yang bagus, lalu menggeleng kepalanya.
”ku....... aku tidak mau menikah!"

"Eh, jangan begitu, adikku. Tak mungkin pesan terakhir ayahmu akan engkau abaikan begitu saja dan "

"Sudahlah, aku tidak suka bcara tentang itu. Terserah saja kepadamu kelak. Tentang Pulau Sempu.. kakang, perlu benarkah kita ke sana? Rasanya tidak nyaman hatiku kalau harus bertemu dengan mereka, sungguhpun penuturanmu tadi cukup menekan dan menghilangkan tekadku untuk membalas dendam."

Joko Wandiro memegang jari-jari tangan adiknya yang kecil-kecil dan halus.
"Ayu Candra, sesungguhnya bukan hanya untuk menghadap kedua orang bibi itu, melainkan aku mempunyai kepentingan yang besar di Pulau Sempu. Aku hendak mengambil pusaka yang kusimpan di sana. Urusan ini amat pentingnya, karena itu adalah urusan Kerajaan Panjalu dan aku harus mentaati pesan eyang guru Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."

Ayu Candra mengangguk-angguk. Sebagai puteri seorang pendekar sakti, ia tahu akan kepentingan ini.
"Akan tetapi setelah itu, mengapa harus ke Panjalu? Aku lebih senang kalau kauajak kembali ke Sarangan, aku... aku kepingin nyekar (menabur bunga) di telaga untuk arwah ayahku ..."

Joko Wandiro menarik napas panjang. Ia maklum bahwa sebetulnya gadis ini menyatakan keberatannya pergi ke Panjalu untuk mencari Joko Seto. Diam-diam ia menjadi bingung. Ada rasa syukur dan senang di sudut hatinya melihat betapa gadis ini agaknya tidak suka berjodoh dengan lain orang, berarti tak dapat menghapus cinta kasih di antara mereka, akan tetapi kesadarannya membisukan bahwa ia harus berusaha merangkap perjodohan yang sudah dipesankan oleh ayah gadis ini.

"Begini, adikku. Setelah aku mengambil pusaka, aku harus menghaturkan pusaka itu kepada sang prabu di Panjalu, maka terpaksa aku harus ke sana. Setelah hal itu beres, barulah aku akan mengantarmu ke Sarangan."

Ayu Candra tidak membantah lagi dan malam itu ia tertidur dengan kepala berbantal paha Joko Wandiro yang duduk bersila. Kuda tunggangan mereka juga mengaso di bawah pohon, kadang-kadang menyabetkan ekornya, kadang-kadang mendengus mengusir nyamuk.

**** 092 ****
Lanjut ke Jilid 093 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment