Ads

Saturday, January 19, 2013

Badai Laut Selatan Jilid 097

◄◄◄◄ Kembali

Joko Wandiro membalas ucapan selamat para senopati dengan sikap sederhana dan merendah. Matanya memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Akhirnya ia mendapatkan orang yang dicarinya dan segera dengan langkah lebar ia menghampiri Ki Darmobroto yang memang tadi ikut menghadap sang prabu.

"Selamat, anak-mas Joko Wandiro. Aku merasa ikut gembira, bukan hanya karena kembalinya pusaka Mataram, akan tetapi karena engkaulah yang berhasil mengembalikannya. Selamatlah, anakmas adipati "

"Paman Darmobroto, selain bermaksud mempersembahkan pusaka kepada sri baginda, kedatangan saya di kota raja memang khusus hendak menemui paman. Dapatkah kita bicara leluasa?"

Ki Darmobroto melirik ke arah Ayu Candra dan berkata,
"Marilah, anak-mas. Mari ke pondokku."

Setelah memberitahu kepada Ki Patih Suroyudo bahwa dia bersama adiknya hendak berkunjung lebih dulu ke pondok Ki Darmobroto, Joko Wandiro lalu menggandeng tangan adiknya. Pondok itu merupakan pasanggrahan yang disediakan oleh kerajaan untuk para satria yang menjadi pembantu luar kerajaan. Pondok yang cukup mewah dan bersih menyenangkan, dengan ruangan muka luas. Di ruangan inilah Ki Darmobroto menerima dua orang tamunya. Setelah mempersilahkan mereka duduk di atas lantai bertilamkan tikar indah, Ki Darmobroto lalu bertanya,

"Silahkan, anak-mas. Keperluan apakah gerangan yang hendak anda sampaikan kepadaku?"

Joko Wandiro menggandeng tangan adiknya dan berkata,
"Inilah dia adikku, paman. Inilah adikku Ayu Candra. Seperti pernah saya katakan kepada paman, mengenai pesan paman Adibroto, adikku Ayu Candra ini dengan putera paman Joko Seto... eh, di mana pula adanya adimas Joko Seto? Mengapa tidak paman perkenalkan kepada kami?"

Ayu Candra mendengarkan semua ini dengan muka tertunduk, wajahnya agak pucat dan hatinya seperti diiris-iris rasanya. Ia tidak rela mendengar betapa nasib hidupnya diatur dan dibicarakan oleh dua orang itu, ia tidak rela untuk berpisah dari Joko Wandiro dan menjadi isteri siapapun juga. Akan tetapi ia tidak melihat jalan lain. Ia harus tunduk dan taat kepada pesan terakhir ayahnya, pula ia harus taat kepada Joko Wandiro, kakaknya yang kini menjadi walinya, menjadi wakil dan pengganti ayah bundanya. Ingin ia menangis, namun ia tidak berani.

Kl DARMOBROTO menarik napas panjang. Begitu jelas elahan napas panjang ini, membayangkan kedukaan besar sehingga Joko Wandiro menjadi terkejut dan mengangkat muka memandang. Dilihatnya wajah tua itu berkerut-kerut, pandang matanya sayu dan dagunya mengeras dalam usaha menekan kedukaan hati.

"Ada apakah, paman? Apa yang terjadi?"

"Kedatanganmu terlambat, anakmas. Belum lama ini, ketika mendapat tugas memimpin pasukan yang diperbantukan oleh sang prabu untuk membantu Jenggala dan memukul Nusabarung, anakku Joko Seto telah tewas dalam medan perang. Tewas.... gugur sebagai seorang senopati muda....!"

Suara itu menggetar, tanda keharuan dan kedukaan hati seorang ayah yang ditinggal mati puteranya yang tunggal. putera satu-satunya yang amat disayang, diharap-harapkan menjadi seorang penyambung riwayat hidupnya yang berguna, telah mati muda! Tiba-tiba terdengar isak tangis dan Ayu Candra sudah menubruk Joko Wandiro, memeluk dan menangis. Joko Wandiro dapat mengerti perasaan gadis itu, perasaan lega dan lapang seperti yang dirasainya sendiri pula. Dan Ki Darmobroto yang tak dapat menyelami isi hati gadis itu, menjadi makin terharu, juga terheran. Benarkah gadis ini menjadi sedih dan menangis karena kematian Joko Seto yang dipertunangkan kepadanya? Berjumpapun belum pernah. Akan tetapi sudah menangisi kematiannya? Akan tetapi setelah mendengar bisikan-bisikan yang keluar dari mulut gadis itu, pandangannya menjadi lain dan di dalam hatinya ia mengangguk-angguk. Gadis itu berkata dengan suara lirih,

"Kakang.. dewata telah menentukan, sekarang kau tidak bisa melarangku lagi, aku... aku selamanya takkan mau menikah dengan orang lain. Aku akan melayanimu selama hidupku, kakang... jangan paksa aku menikah dengan orang lain !"

Ki Darmobroto merasa jantungnya perih. Bibirnya bergerak-gerak dan keluarlah ucapan lirih, "Anakku Joko Seto, kiranya kematianmu masih dapat membahagiakan hati orang lain"

Ayu Candra adalah seorang gadis yang memiliki dasar pribudi tinggi dan mulia. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa berita kematian Joko Seto ini mendatangkan rasa lega dan lapang di dalam dadanya, seakan-akan berita itu telah mengusili batu besar yang tadinya selalu menekan dan menindih perasaannya. Saking girangnyalah maka tadi ia menubruk dan memeluk Joko Wandiro, lupa akan keadaan sekelilingnya. Akan tetapi ketika ia mendengar bisikan lirih Darmobroto, ia dapat menangkap rintih hati yang hancur. Maka ia segera melepaskan pelukannya, memandang Ki Darmobroto dan menyembah di depan orang tua itu sambil berkata, suaranya gemetar,

"Ampunkanlah saya, paman Darmobroto. Sudah seringkali ayah saya dahulu bercerita tentang paman dan tentang kebaikan paman. Saya tidaklah sekeji itu, paman. Saya tidak hendak menarik kesenangan dari penderitaan paman. Saya tahu betapa hancur dan duka hati paman karena kehilangan putera paman. Saya sendiri ikut berduka mendengar berita kematian... kakangmas Joko Seto. Saya... tadi lupa diri dan bergembira bukan karena kematian puteramu, melainkan karena aku tidak bisa berpisah dari kakang Joko Wandiro, pengganti orang tuaku...” Gadis itu menangis perlahan.

Ki Darmobroto memaksa senyum dan meraba kepala gadis itu.
"Ah, anakku bocah ayu. Engkau mewarisi watak ayahmu. Seakan kulihat adikku Adibroto dalam dirimu, Ayu Candra. Dia benar sekali dengan menjodohkan kau dengan puteraku. Akan tetapi, dewata kuasa atas mati hidup manusia. Dan kakakmu ini, dia seorang satria perkasa, satria utama yang memang patut sekali kau junjung tinggi, patut sekali kaucinta. Akan tetapi Ayu Candra, Anak-mas adipati ini adalah seorang jejaka dan baru saja menerima pangkat. Dia akan sibuk sekali mengurus kadipaten. Agaknya akan lebih baik kalau untuk sementara engkau tinggal bersamaku, Ayu, sebagai pengganti puteraku yang gugur. Biarkan anak-mas adipati menyelesaikan tugasnya. Setelah ia berumah tangga....... barulah kau ikut dengannya. Kurasa setelah membereskan Kadipaten Selopenangkep, anak-mas adipati tentu akan memilih seorang wanita untuk menjadi timbangannya "

"Saya....... saya takkan menikah paman!" Tiba-tiba Joko Wandiro berkata gagap. "Dan.. saya rasa tidak ada salahnya kalau saya mengajak Ayu Candra ke Kadipaten Selopenangkep. Sebagai kakak kandungnya, saya adalah walinya, saya pengganti ayah bundanya."

"Kakak kandung..?" Ki Darmobroto bertanya, suaranya meragu.

Joko Wandiro mengira bahwa kakek ini belum tahu akan duduknya persoalan, maka ia lalu berkata,
"Paman Darmobroto, agaknya paman belum tahu. Ketika ibu saya menikah dengan paman Adibroto, ibu telah mempunyai anak saya. Oleh karena itu, saya dan Ayu Candra adalah saudara sekandung, seibu berlainan ayah. Ibu kami telah tiada, juga ayah kami kedua-duanya sudah tiada, kami berdua adalah anak-anak lola (yatim piatu), maka kalau bukan saya yang menjadi pengganti orang tuanya, siapa lagi?"

Ki Darmobroto tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian dengan suara halus ia berkata,
"Sesungguhnya tepat sekali ucapan anak-mas adipati. Akan tetapi, melihat Ayu Candra, saya merasa seakan-akan berjumpa dengan saudara saya tercinta Adibroto. Biarpun Ayu Candra gagal menjadi anak mantu saya, namun dia ini masih keponakan saya. Ayahnya adalah sahabat baik dan juga saudara seperguruan saya. Maka, harap kalian suka menaruh kasihan kepada saya orang tua. Saya masih kangen, ingin bercakap-cakap dengan Ayu Candra. Biarkan dia menemani saya untuk beberapa hari, anak-mas, sementara anak-mas adipati mengurus dan mempersiapkan keberangkatan ke Selopenangkep. Sebelum berangkat, saya rasa banyak hal harus dibicarakan lebih dahulu dengan Ki Patih Suroyudo, tentang peraturan dan sebagainya mengenai tugas-tugas anak-mas. Setelah semua selesai dan hendak berangkat, barulah anak-mas datang menjemput Ayu Candra di pondok saya ini. Tentu saja kalau anak-mas dan nini Ayu Candra menyetujui."

Tak enak hati Ayu Candra mendengar permintaan ini. Orang tua ini amat baik, bekas calon ayah mertuanya, juga sahabat baik serta saudara seperguruan ayahnya. Maka ia lalu memberi isyarat, mengangguk kepada Joko Wandiro. Pemuda itu merasa lega. Memang iapun merasa kebenaran omongan kakeK itu. Ia harus mempersiapkan segalanya dengan Ki Patih Suroyudo. Maka berpamitlah Joko Wandiro dengan hati lapang. Ia percaya penuh bahwa di tangan Ki Darmobroto, Ayu Candra akan berada dalam keadaan aman sentausa. Ia segera menghadap Ki Patih Suroyudo untuk menerima segala petunjuk dan mempersiapkan segalanya sebelum ia berangkat membawa pasukannya ke Selopenangkep. Di lubuk hatinya, ia merasa terharu sekali karena ia akan melanjutkan jabatan kakeknya yang belum sempat dipegang ayahnya. Ia akan menjadi adipati, menjadi yang dipertuan dan menjadi orang pertama yang bertanggung jawab, berwenang, berhak dan berkewajiban di Selopenangkep, di rumah di mana ia dahulu dilahirkan! Ia akan kembali ke tempat asalnya, tempat di mana seharusnya ia berada.

Persiapan itu makan waktu sampai tiga hari. Pada hari ke tiga, Joko Wandiro sudah berubah, dari seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berjalan kaki menjadi seorang adipati muda yang berpakaian indah dan menunggang seekor kuda putih sehingga wajahnya menjadi makin tampan dan gagah. Pagi hari itu pasukannya sudah siap. Pasukan terdiri dari perajurit-perajurit pilihan, muda-muda dan gagah perkasa. Setelah bermohon diri dan mendapat restu dari sang prabu sendiri, Joko Wandiro yang kini menjadi Adipati Tejolaksono memimpin pasukannya menuju ke pondok Ki Darmobroto. Ia bergegas mengeprak kudanya mendahului pasukan dan memesan agar pasukan siap menantinya di alun-alun karena ia hendak singgah di pondok Ki Darmobroto untuk menjemput Ayu Candra.

Hatinya berdebar keras. Apa yang akan dikatakan Ayu Candra melihat ia kini telah berubah menjadi seorang adipati muda ini? Adiknya tentu akan girang dan bangga, dan ia sudah mereka-reka bagaimana adiknya itu harus berpakaian, sebagai seorang puteri bangsawan, adik seorang adipati yang terkasih! Pondok Ki Darmobroto sunyi. Seorang pelayan menyambutnya dengan sembah. Joko Wandiro tidak sabar lagi.

"Di manakah paman Darmobroto? Dan di mana pula diajeng Ayu Candra?"

Pelayan itu sambil menyembah berkata,
"Hamba telah dipesan oleh gusti puteri bahwa apabila paduka dating berkunjung, paduka dipersilahkan terus saja masuk ke taman sari menjumpai beliau." Sambil berkata demikian, pelayan wanita ini dengan ibu jarinya menunjuk ke pintu samping yang menuju ke taman bunga.

Joko Wandiro hampir tak dapat menahan ketawanya. Benar-benar canggung dan aneh rasanya disambut oleh seorang pelayan dengan sikap menghormat. Dan apa pula sikap kekanak-kanakan dan aneh dari Ayu Candra ini? Mengapa tidak langsung menyambutnya dan di mana pula Ki Darmobroto? Akan tetapi karena ingin cepat-cepat bertemu dengan Ayu Candra, maka ia segera memasuki pintu kecil itu dan berjalan memasuki taman bunga yang amat indah.

Dari jauh ia sudah melihat Ayu Candra. Tentu Ayu Candra yang duduk membelakanginya, menghadapi sebuah kolam ikan itu, di antara kembang-kembang mawar yang semerbak harum. Memang pakaiannya amat indah, serba baru dan pakaian seorang puteri bangsawan. Akan tetapi rambut terurai yang hitam itu, bentuk tubuh itu, di dunia ini takkan ada gadis lain dengan rambut dan bentuk tubuh seperti itu kecuali Ayu Candra, adiknya yang terkasih. Sejenak ia menahan napas, matanya menatap gadis itu seperti orang mengagumi matahari muncul di pagi hari, seringkali dilihat akan tetapi tak pernah berhenti mengaguminya. Kemudian ia berlari maju dan berteriak memanggil,

"Ayu Candra....!!"

Gadis itu terkejut, bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Joko Wandiro sudah lari mendekat. Mereka berdiri, berhadapan, saling pandang seakan-akan baru bertemu setelah berpisah berbulan-bulan. Padahal baru tiga hari mereka saling berpisah. Bukan saling melihat pakaian mereka yang indah-indah, sama sekali bukan. Pakaian indah itu bagi mereka tidak ada artinya, dan orangnyalah yang penting. Pandang mata mereka bertaut, akhirnya, aneh sekali, Ayu Candra menundukkan matanya dan kedua pipinya kemerahan!

"Kakang.. mas... adipati " Gadis itu membuka mulut, suaranya gemetar, mukanya menunduk.

Joko Wandiro coba mengusir suasana lucu dan aneh itu dengan ketawanya.
"Ha-ha-ha! Ayu Candra! Apa-apaan ini? Aku masih tetap kakang Joko, kakakmu yang nakal, kakakmu yang terkasih. Mengapa mesti mengubah kebiasaan? Bagi orang lain aku adalah kanjeng adipati, akan tetapi bagimu tetap kakang Joko Wandiro Kau anak nakal, mana paman Darmobroto?"

Joko Wandiro melompat dan memegang tangan yang halus dan aneh sekali. Tangan yang biasanya hangat dan jari-jari tangan yang biasanya mencengkeram jari-jarinya itu kini menggigil dingin. Muka itu masih belum terangkat, bahkan kini Ayu Candra menarik tangannya yang terpegang Joko Wandiro.

"Ayah... ayah... masih bersamadhi... silahkan duduk, kakang-mas adipati aku... aku "

"Eh, eh, bocah nakal! Hentikan kelakarmu! Apa artinya semua ini? Ayah? Siapa ayahmu? Kau mengapa, Ayu?" Kembali Joko Wandiro memegang tangan adiknya, dan sekali lagi Ayu Candra merenggut lepas tangannya.

"Aku... telah menjadi anak ramanda Darmobroto, dan kau..”

"Apa katamu? Mengapa begitu? Eh, Ayu Candra, bukannya aku melarang engkau menjadi anak angkat paman Darmobroto, akan tetapi, mengapa kau tidak tanya dulu kepadaku? Aku pengganti ayah bundamu, aku walimu, aku kakak kandungmu!"

"Bukan..!" Tiba-tiba Ayu Candra mengangkat mukanya yang kemerahan, membentak keras. "Bukan apa-apakul Bukan kakak kandung, sama sekali bukan. Kakak tiripun bukan! Di antara kita tidak ada hubungan darah...!"

"Apa...??? Ayu Candra, apa artinya ...semua ini? Kau bukan adikku??" Joko Wandiro memandang adiknya dengan mata terbelalak dan kerling berkerut. Gilakah gadis ini? Atau... jangan-jangan...terkena bujukan orang lain. Apakah Ki Darmobroto juga berhati palsu dan sejahat Ki Jatoko? Gadis itu dengan muka masih kemerahan akan tetapi sinar matanya tajam dan nakal seperti biasa, agaknya sudah pulih ketegangan hatinya, menggeleng kepala dan berkata lagi,

"Bukan adikmu, bukan apa-apa, karena itu jangan kau pegang-pegang tanganku, tidak pantas dilihat orang, tidak sopan.... !"

Saking kaget dan herannya, Joko Wandiro tidak melihat betapa gadis itu menggigit bibir dengan sikap nakal menggoda.
"Ayu... Siapa bilang begitu? Dari mana kau tahu...?" Kini suara Joko Wandiro gemetar. Urusan ini bukan kecil artinya bagi dia, hampir sama dengan urusan mati atau hidup!

"Ramanda Darmobroto yang bilang. Dia mengenal ayah semenjak muda, dan dia tahu bahwa ibuku bernama Rasmi, sudah meninggal dunia ketika aku masih kecil. Jadi, ayah adalah seorang duda dan sudah mempunyai anak aku ketika bertemu dengan ibumu dan menikah dengannya, ibumu yang sudah meninggalkan anak, yaitu engkau. Jadi... kita ini... bukan apa-apa, tidak seayah tidak seibu..”

Jantung Joko Wandiro berdebar keras, kedua kakinya menggigil. Ia. mengucek mata dengan tangan kanan, seakan-akan ia tidak percaya akan semua yang dihadapinya ini, khawatir kalau-kalau ini hanya terjadi dalam mimpi. Melihat keadaan pemuda ini, Ayu Candra melangkah maju setindak dan bertanya,

"Kau..... kau kenapa...??”

Joko Wandiro menangkap tangan gadis itu, memandang tajam, bertanya dengan suara lirih gemetar,
"Jadi kau.. kau bukan adikku. ...... ?”

Ayu Candra menggeleng kepala.
"Bukan, bukan apa-apa”

"Siapa bilang bukan apa-apa? Kau bukan adik memang dan terima kasih kepada Dewata bahwa kau bukan adikku, akan tetapi kau... kau... kekasihku..!" Sebelum Ayu Candra sempat menjawab, Joko Wandiro sudah menarik tangannya, memeluknya erat-erat.

"Aahhhh, kakang......."

Akan tetapi Joko Wandiro sudah memotong protes lemah ini dengan menutup mulut yang mungil itu dengan bibirnya. Naik sedu-sedan dari dalam rongga dada Ayu Candra dan gadis itu merangkulkan kedua lengannya, memeluk ketat. Demikian besar rasa bahagia hati mereka berdua, dan Ayu Candra hanya meramkan kedua mata dengan air mata bercucuran ketika orang yang paling dikasihinya di dunia ini memeluk dan menciumi seluruh mukanya. Air mata itu bagaikan air embun menyegarkan hati Joko Wandiro, dikecup dan dihisapnya.

"Ayu....... Ayu.. tidak mimpikah kita.....?" Akhirnya setelah mampu menguasai hatinya, ia berbisik di dekat telinga.

Suara Ayu Candra juga gemetar dan hanya dapat berbisik lemah,
"... entahlah, kakang... entahlah... serasa.. mimpi.."

Memang kebahagiaan itu terlalu besar bagi mereka, serasa tidak mungkin terjadi. Rasa cinta kasih yang besar sejak dahulu memenuhi perasaan hati mereka, akan tetapj, secara terpaksa harus mereka tindih dengan kesadaran akan kenyataan bahwa mereka itu saudara sekandung, tak mungkin dilanjutkan pertalian cinta kasih antara pria dan wanita itu. Akan tetapi sekarang keadaan berubah sama sekali. Mereka bukan saudara sekandung, bahkan saudara tiripun bukan. Mereka orang-orang lain!

"Kalau begitu, mari kita buktikan, Ayu. Kalau hanya mimpi, biar kita sadar !"

Sebelum gadis itu mengerti akan maksud kata-katanya, Joko Wandiro sudah memondong gadis itu dan langsung membawanya....... terjun ke dalam kolam ikan!

"Byuuurrr...!!"

Kolam itu tidak terlalu dalam, hanya sebatas dada. Akan tetapi karena Joko Wandiro yang mabuk kebahagiaan itu membawa Ayu Candra terjun dengan kepala lebih dahulu, gelagapan juga dan basah kuyup. Mereka tertawa-tawa dan saling rangkul dalam keadaan basah kuyup, berdiri di dalam kolam ikan.

"Eh-eh... auuupphh... kau nakal,.. kakang......!" Ayu Candra gelagapan, akan tetapi membalas peluk cium pemuda itu dengan mesra dan penuh kasih.

"Ha-ha-ha! Kita tidak mimpi...!"

"Aiihhh...!!" Tiba-tiba Ayu Candra menjerit kegelian dan Joko Wandiro terbahak tertawa sambil menarik keluar seekor ikan emas kecil yang dengan nakalnya menyusup di balik kemben Ayu Candra. Kembali mereka tertawa-tawa sambil berpelukan, seperti dua orang anak-anak bermain dalam kolam air.

Pada saat itu terdengar suara Ki Darmobroto yang tahu-tahu sudah berada di taman,
"Eehh.... ehhh ...... anakku..... Ayu Candra, engkau sedang apa itu? Dan....siapakah orang muda yang kurang.... eh, kiranya anak-mas adipati! Wah-wah, bagaimana ini? Kolam ikan bukan tempat mandi, anak-mas adipati. Anakku Ayu Candra, bagaimana kau ini? Tamu agung kita kauajak mandi dalam kolam ikan? Ataukah anak-mas adipati yang memaksamu mandi di situ?"

Sejenak muka kedua orang muda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Joko Wandiro lalu menuntun Ayu Candra, diajak keluar dari dalam kolam. Basah kuyup tubuh mereka. Pakaian yang basah itu menempel ketat di tubuh Ayu Candra, mencetak tubuh itu sehingga tampak jelas bentuk tubuh yang menggairahkan. Gadis itu cepat-cepat duduk bersimpuh di depan Ki Darmobroto. Joko Wandiro juga cepat-cepat memberi hormat kepada Ki Darmobroto. Kini pandangannya terhadap Ki Darmobroto berubah sama sekali, bukan lagi sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang tua. Bukankah orang tua ini sekarang menjadi ayah Ayu Candra?

"Mohon maaf sebanyaknya, paman. Baru saja saya mendengar dari Ayu Candra bahwa.... bahwa di antara kami... tidak ada ikatan keluarga. Maka dari ...itu..... eh, saking girang..... eh, bukan,....karena merasa aneh dan ingin mendapat kepastian apakah kami mimpi, kami lalu.. eh, .......mandi di kolam!" Baru kali ini selama hidupnya Joko Wandiro tergagap-gagap.

Ki Darmobroto tertawa, suara ketawanya seorang tua yang maklum akan keadaan dan menganggapnya sebagai sebuah lelucon yang wajar. Iapun pernah muda dan tahu apa artinya sikap aneh-aneh orang muda yang mabuk asmara.

"Saya tahu, anak-mas. Saya sudah mendengar dari Ayu tentang hubungan andika berdua sebelum terjadi salah sangka antara kalian sebagai kakak beradik itu, Sayapun sudah dapat menduganya ketika melihat sikap andika berdua pada waktu mendengar tentang kematian puteraku. Karena itulah maka saya mengangkat Ayu Candra sebagai anak. Dia seorang bocah lola, dan sekarang akulah yang menjadi walinya. Aku memang seperti saudara atau kakak sendiri dengan mendiang ayahnya. Dengan ada walinya, maka derajatnya sebagai seorang gadis akan pulih kembali sebagai seorang gadis terhormat, anakmas. Saya yakin anakmas maklum akan maksud hati saya."

Joko Wandiro mengangguk-angguk. Tentu saja ia maklum. Setelah ternyata bahwa Ayu Candra bukan adiknya, berarti ia akan dapat melanjutkan tali perjodohan yang terputus, melanjutkan tali asmara yang tadinya terpaksa diputuskan. Dan alangkah buruknya dalam mata umum apabila ia mengambil Ayu sebagai isteri begitu saja, seakan-akan seorang adipati memungut seorang perawan terlantar di tepi jalan. Kini Ayu mempunyai ayah angkat, mempunyai wali yang cukup terhormat. Sehingga ia dapat mengajukan pinangan secara terhormat pula dan dengan demikian, derajat Ayu Candra sebagai calon isterinya, sebagai calon isteri adipati, akan terangkat naik di mata umum. Tanpa ragu-ragu lagi Joko Wandiro lalu maju dan menghaturkan sembah dengan khidmat. Cepat-cepat Ki Darmobroto mencegahnya.

"Harap anakmas jangan sungkan-sungkan. Percayalah, apa yang Saya lakukan ini sama sekali bukan untuk menanam budi, bukan pula menolong andika, melainkan menjadi sebuah kebahagiaan bagi saya orang tua. Dengan mempunyai seorang anak seperti Ayu Candra dan kelak mempunyai mantu seperti andika, akan terobati luka di hati kehilangan Joko Seto.''

Joko Wandiro terharu hatinya. Orang tua ini amat bijaksana, mulia budinya.
"Terima kasih saya kepada paman, hanya Dewata yang mengetahuinya. Semua yang paman nyatakan benar adanya. Setelah kini Ayu Candra di tangan yang tepat dan mempunyai wali yang terhormat, sayapun hendak menemui bibi saya sebagai pengganti orang tua saya."

"Baik sekjali, anak-mas. Memang sebaiknya demikian. Anak-mas berangkatlah ke Selopenangkep dengan hati lapang dan setelah urusan di Selopenangkep beres, anak-mas boleh memilih hari baik mengajukan pinangan resmi."

Joko Wandiro ingin sekali menari-nari saking girangnya. Kalau nasib sedang mujur, bertumpuk-tumpuk dan berlimpah-limpah berkat menghujani dirinya. Diangkat menjadi Adipati Selopenangkep disusul berita bahagia bahwa Ayu Candra bukan adiknya sehingga tiada halangan untuk menjadi isterinya, ditambah lagi campur tangan Ki Darmobroto yang melancarkan segala urusan!

"Terima kasjh, paman. Kalau begitu, saya bermohon diri untuk memimpin pasukan ke Selopenangkep."

"Selamat jalan, anak-mas. Doa restu paman saja mengiringi anak-mas."

"Terima kasih, paman. Ayu, kau di sini dulu, Ayu, aku hendak membereskan urusan di Selopenangkep."

"Kakang, jangan terlalu lama....!"

"Tentu saja tidak, Ayu. Aku sendiri mana senang bersunyi diri berjauhan dengan engkau? Selamat tinggal, Ayu."

"Selamat jalan, kakang..!"

Setelah pandang mata mereka sejenak bertaut penuh kasih mesra, Joko Wandiro lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari taman sari.

"Kakang..!"

Joko Wandiro menengok. Kiranya Ki Darmobroto sudah tidak ada di situ dan tampak Ayu Candra berlari-lari mengejarnya.

"Ada apa, Ayu?"

Ayu Candra memegang tangannya.
"Pakaianmu itu, kakang. Basah semua. Masa engkau akan melakukan perjalanan dalam pakaian basah kuyup begitu?"

"tidak apa, sayang."

"Engkau masuk angin nanti, kakang."

"Ah, tidak, Ayu. Pula, pasukanku telah lama menanti di alun-alun. Aku harus berangkat sekarang, dewiku. Selamat tinggal." Joko Wandiro membalikkan tubuhnya.

"Kakang-mas..."

Joko Wandiro kembali membalikkan tubuh.
"Ada apakah, sayang?"

Ayu Candra terisak dan menubruknya.
"Jangan lama-lama, kakang. Aku tak tahan terlalu lama kau tinggalkan "

Joko Wandiro tersenyum, memeluk dan mengangkat muka yang jelita itu, lalu menciumnya mesra.
"Tidak sayang. Aku segera datang bersama bibi Roro Luhito untuk meminangmu secara resmi."

Sejenak mereka berpelukan dan berciuman, kemudian Joko Wandiro melepaskan rangkulannya dan melangkah pergi dengan tindakan lebar, diikuti pandang mata Ayu Candra yang berlinang air mata bahagia!

**** 097 ****
Lanjut ke Jilid 098 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment