Ads

Tuesday, January 29, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 016

<<== Kembali <<==

Malam hari itu, Adipati Tejolaksono atau yang kini berganti nama menjadi Sutejo tukang kuda, rebah di atas setumpukan jerami kering di dalam kamar di dekat kandang kuda. Hatinya gelisah sekali dan berkali-kali ia menghela napas panjang. Sudah beberapa pekan ia bekerja di situ sebagai tukang kuda, namun belum juga ia berhasil bertemu empat mata dengan Endang Patibroto. Ia tidak berani lagi secara sembrono mendatangi tempat Endang Patibroto setelah malam itu hampir saja ia tertangkap. Kalau sampai ia dikenal orang, tentu keadaan wanita itu akan menjadi terancam keselamatannya. Ah, dia sudah meninggalkan tanda tapak jari Aji Pethit Nogo, tidak mungkin Endang Patibroto tidak mengenalnya! Mengapa Endang Patibroto tidak mencarinya, bahkan para senopati dan pengawal yang berkeliaran mencari? Penjagaan makin diperketat sehingga ia tidak berani sembrono memperlihatkan diri, lebih tekun bekerja menyembunyikan diri di balik penyamarannya sebagai tukang kuda. Ia sudah mendengar percakapan para perwira yang seringkali datang jika membutuhkan kuda tunggangan mereka tentang keadaan Endang Patibroto, malah ia mendengar pula bahwa Raden Sindupati, senopati yang menjadi tokoh penting dan dipercaya sang adipati, agaknya jatuh cinta kepada Endang Patibroto!

Ia mendengar pula percakapan para perwira tentang watak Raden Sindupati yang tak pernah mau melewatkan begitu saja wanita denok! Semua ini tidak menggelisahkan hati Tejolaksono. Yang membuat ia terkejut sekali adalah ketika siang hari tadi ia mendengar bahwa Endang Patibroto nyaris menjadi korban peracunan dalam santapan paginya. Ia harus cepat-cepat menemui Endang Patibroto yang terancam keselamatannya, malam hari ini juga, sebelum ia terlambat!

Demikianlah, menjelang tengah malam, tukang kuda Sutejo ini melompat keluar dari kamarnya dan sebentar saja ia sudah berlompatan di atas atap dengan kecepatan luar biasa. Malam itu masih terang bulan dan kebetulan tidak ada mendung sehingga sinar bulan menerangi permukaan bumi. Dengan pandang matanya yang tajam dan waspada, ketika melewatl atap istana, Tejolaksono dapat melihat berkelebatnya bayangan yang amat cepat menuju ke taman sari, yaitu taman bunga yang amat luas dan indah dari istana Kadipaten Blambangan. Hati-nya berdebar keras. Bayangan seorang wanita yang bertubuh langsing. Tidak salah dugaannya ketika ia melihat wajah bayangan itu. Siapa lagi wanita yang dapat bergerak secepat itu kalau bukan Endang Patibroto! Dengan girang sekali Tejolaksono lalu melompat turun dan mengikuti dari jauh. Hatinya makin berdebar ketika ia melihat Endang Patibroto memasuki taman sari lalu duduk di atas bangku di tengah taman sari itu, lalu termenung menghadapi kolam ikan emas yang penuh dengan teratai putih.

Sejenak Tejolaksono memandang tubuh yang duduk termenung itu dengan hati terharu. Inilah Endang Patibroto, wanita yang sejak kecil ia kenal, yang pernah menjadi musuhnya berkali-kali, lawan terberat yang pernah ia jumpai. Endang Patibroto, puteri kandung bibi Kartikosarl dan ayah angkatnya, Pujo. Masih tunggal guru dengannya, ketika keduanya di waktu kecil digembleng oleh Resi Bhargowo di Pulau Sempu (baca Badai Laut Salatan). Telah sepuluh tahun ia tidak pernah bertemu muka dengan Endang Patibroto yang semenjak menjadi isteri Pangeran Panjirawit tak pernah meninggalkan istana suaminya. Kini, secara aneh terlibat oleh peristiwa-peristiwa .yang tak tersangka-sangka, mereka kembali bertemu dl Blambangan. Sungguh tidak dapat disangka lika-liku hidup ini. Ia melangkah maju menghampiri dan memanggil lirih,

"Endang......... !"

Tubuh yang duduk diam seperti arca itu tiba-tiba bergerak melompat sambil memutar tubuh menghadapi Tejolaksono, sepasang mata yang seperti bintang bercahaya dan suaranya penuh teguran,

"Joko Wandiro, ternyata benar engkau..... ...... !!!"

Tejolaksono terpesona memandang Endang Patibroto masih tetap seperti dahulu, seakan-akan tidak bertambah sepuluh tahun usianya. Masih tetap cantik jelita dan masih penuh semangat, panas dan galak seperti dahulu. Mendengar suaranya ketika menyebut nama kecilnya dengan nada marah, Tejolaksono mau tak mau tersenyum.

"Benar aku, Endang Patibroto. Akan tetapi namaku sekarang Tejolaksono......•."

"Tidak perduli Joko Wandiro atau Tejolaksono, engkau tetap selalu memusuhiku! Engkau......... pengecut rendah. Memang sudah kunanti-nanti kau.” Sambil berkata demikian, Endang Patibroto sudah menerjang maju dengan cepat dan tangkas, mengirim tamparan ke arah kepala Tejolaksono. Tangannya ketika berkelebat itu mengeluarkan angin panas menyambar.

"Plakk I!" Endang Patibroto menjadi miring kedudukan tubuhnya ketika Iengannya bertemu dengan tapak tangan Tejolaksono yang menangkisnya. Akan tetapi secepat kilat Endang Patibroto sudah memukul lagi ke dada lawan. Tejolaksono melompat mundur sambil beseru,

"Nanti dulu, Endang......... engkau salah sangka……”

"Weerrrr......... plakk!" Kembali Tejolaksono terpaksa menangkis karena tamparan yang menyusul hantaman ke tiga tak dapat ia elakkan lagi, demikian cepat sekali datangnya. Kembali keduanya terdorong ke belakang.

"Endang, dengarlah keteranganku......... kau......... kau tertipu......... masuk perangkap......... I" Adipati Tejolaksono kembali melejit ke kanan agak jauh untuk menghindari tendangan kilat yang disusul hantaman Aji Wisangnala yang ampuhnya menggiriskan.

"Engkau utusan Panjalu, hayo menyangkallah kau manusia palsu!"

"Betul, memang sang prabu di Panjalu yang mengutusku menyusul dan mencarimu, tapi semua pembunuhan keji itu..... "

"Tak usah banyak cakap. Aku sudah tahu semua! Aku tahu siasat Darmokusumo yang jahat. Aku tahu......... I Aku tahu......... Semua kesalahan ditimpakan pada diriku. Dan kau datang untuk menangkapku, menyeretku ke depan kaki Raja Panjalu dan Raja Jenggala yang jahat!"

"Endang......... l”

"Cukup! Tak usah banyak cerewet lagi. Kau sudah mencoba menangkapku malam itu, kemudian......... kemudian mencoba meracuniku ......... aku tidak takut. Hayo majulah, kalau tidak engkau yang menggeletak tewas di sini, tentu aku!"

Kembali Endang Patibroto sudah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Wanita ini teringat akan semua peristiwa yang menimpa dirinya, teringat akan kematian suaminya dan kini melihat Joko Wandiro yang hidupnya selalu lebih bahagia daripadanya, membuat ia menumpahkan semua kebencian dan kemarahannya kepada musuh lama ini.

"Endang, dengar dulu......... kau tertipu ……..!” Akan tetapi pada saat itu tampak banyak sekali bayangan manusia berkelebat dan ternyata tempat itu sudah terkurung oleh belasan orang senopati dan perwira yang dipimpin sendiri oleh Ki Patih Kalanarmodo dan Sindupati.

"Tangkap mata-mata.........” terdengar teriakan-teriakan di sekeliling tempat itu.

Tejolaksono terkejut sekali, tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi kepungan seperti ini. Ketika dua orang senopati menerjang dari kiri ia menggerakkan kaki tangan dan......... dua orang lawan itu roboh terjengkang!

"Wuuuttt......... !!" Tejolaksono cepat membuang diri ke kiri karena pukulan Endang Patibroto dari kanan itu dahsyat sekali datangnya.

"Endang, larilah. Mari kau ikut aku lari, Endang......... sebelum terlarnbat. Marilah, nanti aku beri penjelasan.........”

Namun Endang Patibroto tidak memperdulikannya dan pada saat itu, Raden Sindupati, Mayangkurdo, Ki Patih Kalanarmodo, Klabangkoro, Klabangmuko dan beberapa orang senopati yang lain yang pilihan telah menerjang maju. Cepat Tejolaksono menggerakkan tubuhnya, kaki tangannya menyambar dan sambil menangkis semua hantaman lawan, la telah berhasil merobohkan Klabangmuko dan Klabangkoro dengan tendangan berantai. Akan tetapi, karena ia dihujani serangan, seperti juga senopati-senopati yang ia robohkan tadi, Klabangkoro dan Klabangmuko tidak terluka parah dan dapat bangkit kembali sambil meringis kesakitan.

"Ehh......... dia ini si Sutejo tukang kuda ……..!" Terdengar seorang perwira berseru kaget dan semua orang tercengang. Siapa kira bahwa penjahat yang dianggap maling haguna (maling sakti) dan selama ini dicari-cari itu ternyata adalah si tukang kuda yang baru! Orang dusun yang kelihatan bodoh, jujur, dan rajin bekerja! Kinipun pakaiannya masih sederhana, namun setelah bergerak, bukan main hebatnya!

Melihat banyaknya orang-orang yang mengeroyoknya, bukan orang-orang sembarangan pula, dan melihat betapa taman itu terkepung oleh seratus orang lebih perajurit sehingga merupakan pagar manusia yang tebal, Tejolaksono mulai khawatir. Ia masih sibuk berkelebat ke sana ke marl menghadapi pengeroyokan para senopati yang kini sudah menggunakan senjata, dan untuk yang penghabisan ia berseru,

"Endang......... dengarlah kepadaku. Mari kita lari bersama......... masih ada waktu. Kalau kita berdua menyerang, tikus-tikus busuk ini tak mungkin dapat menahan kita.........!”

Akan tetapi sebagai jawaban dari ajakan ini, Endang Patibroto kini malah mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan menghantam dengan Aji Wisangnala yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dahsyat sekali ke arah lambung Tejolaksono. Itulah pukulan maut yang tak mungkin dapat ditahan, biar oleh seorang manusia sakti seperti Adipati Tejolaksono sekali pun! Beberapa orang senopati yang terdekat sudah roboh mendengar pekik tadi dan Tejolaksono terkejut bukan main. Dia sedang menghadapi serbuan senjata yang banyak sekali, dan kini dari samping kanan Endang Patibroto memukulnya ke arah lambung dengan pengerahan aji yang sedemikian dahsyatnya! Tidak ada pilihan lain baginya, mengelak tidak keburu lagi menangkis tentu kurang kuat dan tentu ia akan menjadi korban. Maka cepat ia membalikkan tubuh ke kanan dan menerima pukulan Wisangnala yang ampuhnya menggila itu dengan dorongan kedua telapak tangannya pula ke depan sambil mengerahkan Aji Brojo Dahono (Kilat Berapi) yang dahulu ia terima dari gurunya, Ki Patih Narotama.

"Desssss......... !!!" Dua pasang tangan bertemu permukaannya dan tubuh Endang Patibroto terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dalam keadaan pingsanI Akan tetapi, Tejolaksono juga terhuyung-huyung ke belakang, kepalanya pening pandang matanya berkunang. Kalau ia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, tentu Endang Patibroto akan terpukul tewas dan dia sendiri tidak akan terluka parah. Akan tetapi bagaimana ia tega untuk membunuh Endang Patibroto? Maka ia tadi hanya mengerahkan sebagian besar tenaganya, tidak sepenuhnya sehingga akibatnya sungguhpun ia dapat membuat Endang Patibroto pingsan, namun dia sendiri juga mendapat hantaman di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat.

Sebelum Tejolaksono sempat memulihkan tenaga, banyak pukulan-pukulan keras dan penggada menghujani tubuhnya sehingga ia roboh pingsan. Segera para senopati menubruknya dan melibat-libat tubuhnya dengan ikatan-ikatan rantai yang amat kuat seperti seekor kerbau hendak disembelih saja. Kemudian, beramai-ramai mereka menggotong tubuh Tejolaksono sambil bersorak kegirangan. Adapun Endang Patibroto yang pingsan itu sudah lebih dulu dipondong oleh Raden Sindupati dan dibawa pergi menuju ke......... rumah senopati itu sendiri. Ketika Sindupati yang memondong tubuh Endang Patibroto tiba di rumah gedungnya, ia disambut oleh seorang wanita yang maslh amat muda dan berwajah cantik jelita akan tetapi pucat pasi mukanya.

"Kakangmas......... I" Wanita itu menegur dan matanya terbelalak lebar.

Akan tetapi dengan kasar Sindupati membentak,
"Minggir kau!" Lalu terus membawa tubuh Endang Patibroto memasuki kamarnya.

Wanita muda itu adalah selirnya, yaitu puteri Adipati Menak Linggo dari selir yang "dihadiahkan" kepada Sindupatl. Dibentak seperti itu, wanita ini minggir dan terisak menangis, akan tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu, hanya pergi memasuki sebuah kamar lain dan membanting tubuh di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu. Semuda itu, sudah terlampau banyak ia menderita tekanan batin semenjak setahun yang lalu ia diberikan kepada Sindupati, dijadikan benda permainan senopati itu yang sama sekali tidak memperdulikan hati wanita muda ini.
Endang Patibroto masih merasa pusing sekali dan napasnya agak terengah ketika ia mendengar suara yang halus,

"Minumlah, diajeng......... minumlah madu tentu akan sembuh dan enak badan-mu......... !"

Segera ia merasa ada benda menempel bibirnya. Ia berada dalam keadaan setengah sadar akan tetapi dapat mengenal suara Sindupati, maka tanpa membuka mata ia segera membuka mulut dan minum madu manis dan harum dari cangkir itu dengan penuh kepercayaan. Memang enak rasanya, dan mendatangkan rasa hangat di dadanya. Madu yang manis dan harum bercampur jamu, Ia masih meramkan matanya, mengingat-ingat. Kemudian teringatlah ia akan pertandingan tadi. Tadikah? Ia tidak tahu bahwa ia telah rebah pingsan selama setengah malaml Joko Wandiro, alangkah berat lawan itu. Teringat ia betapa pukulan Wisangnala membentur gunung karang dan tenaga aji itu membalik, membuat dadanya sesak dan tubuhnya terlempar ke belakang. Bukan main hebatnya Joko Wandirol
Tangan yang lembut membelai rambutnya dahinya lalu turun ke pipinya, terus ke lehernya. Bisikan-bisikan yang tadinya hampir tak terdengar, kini mulai terdengar, lirih-lirih dekat telinga.

"Diajeng Endang Patibroto......... alangkah cantik jelita engkau, alangkah gagah perkasa......... ah, adinda......... aku cinta padamu, diajeng.........” Jari tangan itu turun ke atas dada dan....... bibir yang panas menempel mulutnya!

Endang Patibroto hampir saja tenggelam karena terbayang ia kepada kemesraan bercinta dengan suaminya, membayangkan bahwa yang berbisik-bisik, membelai dan menciumnya itu adalah suaminya. Akan tetapi ia segera teringat dan tersentak kaget. Bukan suaminya yang sudah mati, melainkan Raden Sindupati! Segera ia mendorong sambil melompat bangun dari atas pangkuan karena tadinya ia rebah telentang dengan kepala di atas pangkuan Sindupati yang duduk di atas pembaringan. Tubuh Sindupati terlempar keluar dari pembaringan dan seperti seekor burung kepinis, Endang Patibroto sudah melompat turun dan berdiri menatap Sindupati yang terbanting roboh di atas lantai.

"Diajeng.........” Sindupati merintih.

Merah wajah Endang Patibroto. Kamar ini terang dan kiranya sinar matahari telah bersinar masuk melalui celah-celah daun jendela kamar itu. Sebuah kamar yang indah. Dan ia tadi berada di atas pembaringan, bersama Sindupati, sejak malam tadi, ia memandang senopati itu, bingung karena merasa malu, menyesal bercampur marah.

"Maaf, kakang Sindupati. Akan tetapi ......... aku......... aku tidak dapat menerima cinta kasihmu! Betapapun baik engkau sudah terhadap diriku, namun....... hemm ..... jangan sekali-kali berani meraba diriku lagi karena lain kali......... aku akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Endang Patibroto lalu melompat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri.

"Diajeng......... Endang Patibroto......... !!"

Namun seruan Sindupati ini tidak terjawab dan senopati ini lalu merangkak bangun. Belakang kepalanya yang terbentur lantai menjendol dan terasa nyeri. la menyeringai, mukanya menjadi merah padam, kedua tangannya dikepal dan ia menggumam dengan marah,

"Hem m......... Endang Patibroto, engkau tak mau disayang orang! Lihat saja engkau nanti! Tidak bisa mendapatkan diri-mu secara halus, aku akan menggunakan kekerasan! Ha-ha-ha, awas engkau jangan kira dapat melepaskan diri begitu saja dari tangan Raden Sindupati!"

Kalau saja Endang Patibroto dapat mendengar ucapan dan sikap Sindupati setelah ia meninggalkan kamar senopati itu, tentu ia akan menjadi kaget sekali. Akan tetapi, Endang Patibroto sudah berlari jauh dan di dalam hatinya wanita ini malah merasa kasihan kepada Sindupati. Ia menganggap senopati itu amat baik dan biarpun tadi telah berani menjamah tubuhnya, bahkan mencium bibirnya, namun ia dapat memaafkan perbuatan yang ia anggap terdorong oleh cinta kasih yang mendalam!

Seorang wanita seperti Endang Patibroto, tentu saja tidak dapat membedakan antara cinta kasih murni seperti cinta kasih mendiang suaminya, dengan cinta berahi seperti cinta seorang pria macam Sindupati yang menjadi hamba daripada nafsu berahi dan menginginkan tubuhnya karena ia cantik jelita belaka, seperti rasa sayang seorang akan setangkai bunga mawar. Jika masih segar dinikmati keindahannya dan harumnya, jika sudah bosan dan kembang itu melayu lalu dibuang begitu saja!

Ketika Endang Patibroto memasuki tempat tinggalnya, ia mendengar dari para pengawal bahwa Adipati Tejolaksono telah tertangkap dan kini sedang mengalami siksaan di dalam penjara!

"Menurut keputusan gusti adipati, mata-mata itu yang telah menewaskan tujuh orang pengeroyok semalam, akan dihukum picis di alun-alun sore hari nanti!" demikian antara lain para pengawal memberitahukannya.

Berdebar jantung Endang Patibroto. Dihukum picis! Hukuman yang mengerikan. Tubuh orang hukuman akan diikat di alun-alun, dan setiap orang boleh menggunakan sebuah pisau tajam yang tersedia di situ untuk mengerat kulit dan daging si terhukum, kemudian algojo akan mengoleskan asam dan garam pada goresan pisau! Si terhukum tidak akan mati seketika, melainkan mati perlahan-lahan, menderita siksaan ngeri yang tiada taranya, kemudian mungkin baru pada keesokan harinya mati kehabisan darah! Ia membayangkan wajah Joko Wandiro dan Endang Patibroto meramkan mata.
Kepalanya makin pening, pandang matanya berkunang. Teringat ia akan semua kebaikan Joko Wandiro. Betapa pria itu kini telah menampung ibu kandungnya, betapa Joko Wandiro tidak mendendam kepadanya biarpun dialah yang membunuh ibu kandung Joko Wandiro! Betapa dahulu ia amat tertarik kepada Joko Wandiro, betapa ia merindu, haus akan kasIh sayangnya namun pada lahirnya ia selalu bersikap keras dan bermusuh. Bahkan terbayang pula betapa seringkali, sebelum akhirnya ia jatuh cinta sungguh-sungguh kepada Pangeran Panjirawit, seringkali ia membayangkan wajah Joko Wandiro di kala suaminya itu mencumbunyal

"Tidak......... ! Tidak boleh......... !" Demikian teriak hatinya dan dengan kepala masih pening, dengan langkah terhuyung-huyung Endang Patibroto lalu lari menuju ke penjara!

Para penjaga yang menjaga penjara dengan ketat, semua mengenal Endang Patibroto dan tidak seorangpun di antara mereka berani mencegah ketika Endang Patibroto memasuki penjara. Bahkan Mayangkurdo yang bertugas mengepalai barisan penjaga, hanya bertanya,

"Apakah perlunya menemui keparat itu? Gusti adipati sudah memutuskan hukum picis, harap saja paduka jangan membunuhnya!"

ENDANG PATIBROTO hanya menggeleng kepala, tidak berani mengeluarkan suara karena ia tidak percaya kepada suaranya sendiri yang tentu akan tergetar.

Adapun Mayangkurdo tidak melihat keberatan sesuatu atas kunjungan Endang Patibroto. Biarpun disiksa sejak malam tadi, Tejolaksono tidak pernah mau mengaku sesuatu, hanya tersenyum mengejek dan menerima siksaan sampai berkali-kali jatuh pingsan. Karena itu Mayangkurdo dan yang lain-lain tidak tahu bahwa rahasia busuk mereka telah diketahui Tejolaksono dari mulut Ki Brejeng! Mereka hanya menyangka bahwa Tejolaksono datang atas perintah sang prabu di Panjalu untuk menangkap Endang Patibroto yang sampai sekarang tentu dianggap pemberontak oleh Panjalu, dan Jenggala.

Ketika Endang Patibroto memasuki kamar tahanan, ia melihat Tejolaksono rebah dan setengah bersandar pada dinding. Kaki tangannya dibelenggu dengan rantai besi, juga lehernya. Pakaiannya hancur dan seluruh tubuhnya berdarah bekas cambukan! Ksatria sakti ini tidak pingsan, sadar dan sinar matanya masih penuh semangat sungguhpun tampak lemah sekali. Sedikitpun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya. Mukanya baret-baret bekas cambukan pula, mata kirinya membiru. Hati Endang Patibroto trenyuh sekali. Apalagi melihat betapa sinar mata itu memandangnya dengan senyum, seperti mulutnya.

"Pergilah kalian! Tinggalkan aku sendiri dengan keparat ini!" bentak Endang Patibroto kepada tiga orang algojo tinggi besar yang agaknya kelelahan karena harus terus menyiksa akan tetapi tak boleh membunuh si tahanan. Mereka lalu pergi meninggalkan Endang Patibroto yang segera menutupkan daun pintu besi. Lalu ia berdiri di depan Tejolaksono.

"Hemm, Endang Patibroto. Agaknya engkau puas sekarang. Dapat melampiaskan semuan kebencianmu kepadaku. Ah, betapa bencimu kepadaku, Endang. Sejak sepuluh tahun yang lalu! Belum dapatkah engkau melupakan semua peristiwa yang lalu? Endang............. demi bibi Kartikosari, demi paman Pujo............. kaubunuhlah saja aku. Aku tidak takut menghadapi siksaan, akan tetapi ngeri menghadapi penghinaan. Kau pukullah aku sampai mati, aku akan berterima kasih dan............. dan tolonglah kau amat-amati keluargaku di Selopenangkep."

Ucapan itu keluar dengan ringannya dari mulut Tejolaksono, sedikitpun tidak tampak berduka atau takut. Alangkah perkasanya pria ini! Dan tak tertahankan lagi Endang Patibroto terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut, lalu tangannya meraih belenggu-belenggu kaki tangan Tejolaksono.

"Tidak usah, Endang. Tiada gunanya. Kalau aku menghendaki, agaknya aku masih akan sanggup mematahkan belenggu-belenggu ini. Akan tetapi apa gunanya? Penjagaan terlampau kuat dan aku terlalu lelah dan lemah. Apalagi ada engkau, betapa mungkin aku dapat lari?"
Makin mengguguk Endang Patibroto menangis.

"Joko Wandiro............. mengapa......... ? Mengapa engkau selalu memusuhi aku? Mengapa engkau yang diutus oleh si keparat Darmokusumo untuk mengejar dan menangkap aku? Aku sudah............. sudah tidak lagi menganggap engkau sebagai musuh, tapi............. tapi kau datang ke sini dan...........“

"Husssshh............. engkau salah sangka. Inilah yang hendak kuterangkan kepadamu. Inilah sebabnya mengapa aku selalu hendak menemuimu. Kau tertipu! Kau harus segera lari dari sini. Mereka menipumu. Mereka hendak membunuhmu! Dengarlah baik-baik, Endang Patibroto. Semua peristiwa di Jenggala dan Panjalu diatur oleh si keparat Sindupati!"

"Tidak mungkin! Aku mendengar sendiri dari mulut Wiku Kalawisesa............. !!”

"Kau dibohongi! Aku tahu semua ini dari mulut Ki Brejeng sebelum ia mati."

"Ki Brejeng? Mati? Apa artinya ini ...... .?”

"Aku memang mengejarmu, dan di tengah jalan aku bertemu Ki Brejeng. Kau masuk perangkap! Wiku Kalawisesa adalah anak buah Sindupati. Sengaja membunuhi para ponggawa untuk melemahkan kedua kerajaan yang akan diserbu. Dan mereka memasang jerat. Menyebar desas-desus memburukkan namamu, hendak mengadu domba. Kau terkena hasutan sehingga kau menyerbu Pangeran Darmokusumo yang tidak berdosa! Kau......... eh, kenapa, Endang............. ?”

Akan tetapi Endang sudah tidak mendengarnya lagi. Wanita ini menjadi pucat wajahnya, lalu berusaha bangkit berdiri, terhuyung-huyung, kedua tangannya memegang kepala sendiri, matanya dimeramkan, mulutnya mengeluh lirih,

"Ahhh.............. kepalaku............. begini pening............. panas............. “

Tejolaksono terkejut sekali. Sekali pandang melihat wajah yang agak pucat itu kedua pipinya mangar-mangar merah, bibirnya yang terbuka itupun merah seperti habis makan cabe, matanya setengah dipejamkan, napasnya tersendat-sendat, tubuhnya gemetar, tahulah ia bahwa Endang Patibroto yang seperti orang mabok arak ini telah keracunan!

"Endang............. kau keracunan............. Lekas, bersila mengatur napas, menggunakan tenaga sakti mengusir hawa racun dari dada dan kepalamu............., pergunakan Widodo Mantra.............” Namun terlambat sudah. Endang Patibroto agaknya sudah tidak dapat menguasai diri dan pikirannya lagi, mulutnya berbisik-bisik, ".............pangeran............. kekasihku pangeran.............”

“Ha-ha-ha-ha! Jangan harap dapat lari dariku, diajeng............. !!" Daun pintu kamar tahanan terbuka dari luar dan Sindupati melompat masuk. Melihat Endang Patibroto yang terhuyung-huyung seperti orang mabuk, ia terkekeh girang lalu menubruk maju, memeluk dan memondong tubuh Endang Patibroto.

"Diajeng Endang Patibroto............. ! Aku cinta padamu............. ha-haha............. mengapa lari dari kakanda………..?”

“............. pangeran............. pangeran ……….!”

Dengan mata dipejamkan Endang Pathbroto berbisik-bisik dan ia sama sekali tidak marah lagi seperti tadi ketika tubuhnya didekap dan dipondong, bahkan kedua lengannya lalu merayap dan merangkul leher Sindupati, mukanya disembunyikan pada dada senopati itu!

"Ha-ha-ha-ha!" Sindupati tertawa bergelak, lalu sambil memondong tubuh wanita yang mabuk oleh racun pembangkit nafsu berahi yang tadi ia campurkan ke dalam madu, ia mengayun kaki menendang Tejolaksono yang memandang semua itu dengan mata melotot. Dalam keadaan terbelenggu seperti itu, terpaksa Tejolaksono menerima tendangan yang mengenai pinggangnya sehingga tubuhnya terbentur dinding. Kembali Sindupati tertawa sambil membawa tubuh Endang Patibroto keluar dari dalam kamar tahanan.

Blambangan adalah gudangnya ilmu hitam, gudangnya jamu-jamu yang amat mujijat, dan di kadipaten ini terdapat banyak sekali ahli-ahli pembuat racun. Ketika Sindupati malam kemarin memberi minum madu kepada Endang Patibroto, ia mencampurkan bubukan jamur belang yang mengandung racun pembangkit nafsu berahi amat hebat. Orang yang terkena racun ini, terutama sekali wanita, akan mabuk dan tidak dapat menguasai dirinya lagi, tidak sadar apa yang dilakukannya dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu berahi yang menyala-nyala. Demikian pula, biarpun ia seorang wanita yang sakti mandraguna, namun darahnya yang sudah keracunan membuat Endang Patibroto mabuk juga sehingga terbayang olehnya Pangeran Panjirawit yang tercinta dan ketika ia dipondong Sindupati, ia menganggap bahwa suaminyalah yang memondongnya!

Dengan kegirangan hati yang meluap-luap Sindupati memondong tubuh Endang Patibroto ke dalam rumahnya, masuk ke dalam kamarnya yang tadi ditinggalkan Endang Patibroto. Kini tercapailah keinginan hatinya. Ia ingin memiliki tubuh Endang Patibroto, baik secara suka rela ataupun paksa, dan setelah itu baru ia akan membunuh wanita ini untuk memenuhi perintah Adipati Blambangan! Kini, setelah Endang Patibroto mabuk oleh racun jamur belang, pasti akan terpenuhi keinginan dan nafsunya! Dengan wajah berseri-seri ia melemparkan tubuh Endang Patibroto ke atas pembaringan. Endang Patibroto hanya mengeluh lirih dan bergulingan gelisah di atas pembaringan itu, matanya dipejamkan.

"Ha-ha-ha-ha, Endang Patibroto. Akhirnya engkau terlempar juga dalam pelukanku, cah ayu denok.............” Dengan nafsu berkobar Raden Sindupati menghampiri pembaringan, matanya jalang memerah, napasnya agak terengah-engah panas, hidungnya kembang kempis, wajahnya yang tampan kini tampak buas. Lama ia berdiri di pinggir pembaringan, melahap tubuh Endang Patibroto dengan pandang matanya, kemudian ia membungkuk, terkekeh dan kedua tangannya menjangkau.............

"Kakangmas senopati.............” Raden Sindupati yang sudah menyentuh pundak Endang Patibroto dan sudah menaikkan sebelah lututnya ke atas pembaringan, tersentak kaget dan turun membalikkan tubuh dan menghardik,

"Umi! Mau apa engkau masuk ke sini? Hayo pergi, kalau tidak ingin kutempiling kau!!" Wanita muda bermuka pucat itu memandang dengan mata terbelalak ke arah tubuh Endang Patibroto yang bergerak-gerak gelisah dl atas pembaringan. Hatinya menjadI semakin panas sekali, panas oleh cemburu. Biarpun la mengalami banyak derita batin semenjak oleh ayahnya, sang adipati, dihadiahkan kepada senopati Sindupati, namun la telah jatuh cinta kepada laki-laki ini sepenuh hatinya. Tidak ingin ia melihat suaminya bermain dengan wanita lain, dan hatinya selalu sakit dan hancur kalau ia melihat Sindupati membawa pulang wanita-wanita cantik. Akan tetapi kali ini ia tidak dapat menahan kemarahannya melihat betapa suaminya Itu hendak memiliki seorang wanita dengan cara yang amat tidak patut, yaitu dengan paksa dan dengan bantuan jamu racun perangsang!

"Kakangmas............. , jangan............. jangan lakukan itu ............. “

Marah sekali Sindupati. Ia melangkah maju mendekati selirnya ini, mukanya merah. "Apa? Sejak kapan engkau berani menghalangi kesenanganku??"
Dewi Umirah, wanita muda itu menggelengkan kepalanya

"Tidak, kakangmas, saya tidak menghalangl kesenanganmu. Sebagai seorang selir, saya tidak berhak melakukan hal itu. Akan tetapi, saya berkewajiban untuk mengingatkan suami daripada perbuatan jahat dan keji! Memperkosa seorang wanita di luar kehendaknya adalah perbuatan jahat dan keji, kakangmas. Ingatlah, dan harap kakangmas sadar, jangan lakukan itu............! Wanita ini tidak sadar............. dia mabuk racun............. tidak baik memperkosa............. “

"Tutup mulutmu! Ha, engkau iri hati! Engkau cemburu, setan............. !" Dengan marah sekali Sindupati mendorong pundak selirnya sehingga tubuh Dewi Umirah terlempar ke belakang, menabrak dinding dan terguling. Namun wanita Itu bangun lagi, berlutut dan berkata,

"Saya tidak iri hati, tidak cemburu, kakangmas. Sudah kukubur perasaan itu! Akan tetapi............. melihat kau hendak melakukan perkosaan keji............. ah, bagaimana saya dapat melihat suami saya melakukan kekejian ini dan mendiamkannya saja? Ingat kakangmas, perbuatan ini akan dikutuk para dewata............. !”

"Apa? Keparat engkau! Berani mengumpat ...... ! Pergi minggat!!" Sindupati menggerakkan kakinya menendang dan tubuh Dewi Umirah terlempar ke luar melalui pintu! Sindupati sambil memaki-maki lalu membanting daun pintu kamar dan menguncinya dari dalam!
Napasnya terengah-engah saking marahnya dan kemarahan ini telah mengusir gelora nafsu berahinya. Ia jengkel sekali, lalu menyambar sebuah botol berisi arak dari atas meja, menuangkan isinya ke dalam perut. Perut dan dadanya terasa panas kini dan perlahan-lahan nafsunya menggelora lagi. Dilemparkannya botol kosong ke sudut kamar dan ia melangkah maju menghampiri pembaringan di mana Endang Patibroto masih menggeliat-geliat sambil mengeluh lirih. Sindupati terkekeh, tangannya meraih, merenggut, terdengar suara "breettt!!" pakaian robek, disusul ketawa terbahak.

**** 016 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 017 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment