Ads

Tuesday, January 29, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 019

<<== Kembali <<==

"Nimas, engkau sudah tahu bahwa aku sekarang adalah Adipati Tejolaksono............ mengapa kau tak pernah menyebutku kakanda? Kau nakal sekali, manis............ masa memanggilku dengan menyebut nama kecilku............”

Endang Patibroto tersenyum, lalu menghela papas panjang, tertawa kecil dan berkata, suaranya penuh kesungguhan,

"Akan tetapi aku masih menganggapmu Joko Wandiro, karena engkau adalah Joko Wandiro bagiku, dan selamanya akan menjadi Joko Wandiro-ku! Joko Wandiro yang bertahun-tahun kurindukan, yang telah sering kumusuhi, biarlah sekarang kumelepaskan rinduku dan menebus kesalahan-kesalahanku kepada Joko Wandiro."

Tejolaksono mencium dua butir air mata di atas pipi Endang Patibroto.
"Engkau memang wanita aneh dan hebat sejak dahulu."

"Joko Wandiro, adakah sedikit cinta kasih di hatimu kepadaku sekarang?"

Tejolaksono membelai rambut yang kusut masai di atas pangkuannya.
"Adindaku, perlu lagikah kau bertanya? Perlukah aku menyatakan dengan mulut? Nimas, bagi cinta kasih di antara kita, pengakuan bibir adalah jauh terlalu hambar dan bahkan mengecilkan arti dan kebesarannya. Mungkinkah kata-kata dapat mewakili getaran yang terasa oleh kita? Pancaran sinar dari pandang matamu yang bagaikan cahaya sinar matahari pagi menembus dan menimbulkan embun sejuk di bunga dalam hatiku? Nyanyian dan gamelan dari Lokananta yang terkandung dalam getaran suara kita? Dapatkah kata-kata menggambarkan perasaan yang aneh dan ajaib ini? Menggantikan perasaan yang tercurah sehingga terasa benar cinta kasih di antara kita sampai ke bulu-bulu di tubuh yang meremang? Sampai ke denyut-denyut darah yang mengencang tak menentu? Sampai, ke ujung-ujung hidung kita yang mencium ganda harum semerbak seluruh kembang di Indraloka? Endang Patibroto kekasihku, masih perlu lagikah aku mengaku cinta?"

Endang Patibroto rebah terlentang di atas pangkuan Tejolaksono, kedua matanya dipejamkan, bulu matanya yang hitam panjang melengkung itu membentuk bayang-bayang manis di pipinya dan bagaikan mutiara-mutiara keluarlah air matanya bertitik-titik. Bibirnya bergerak dan ia berbisik lirih,

"Terima kasih............ , terima kasih Joko Wandiro, kekasihku, suamiku............ sekarang aku siap untuk menerima datangnya Sang Yamadipati, marilah Joko Wandiro, mari kita bersama menghadap ramanda Pujo....... kita bersama menemui Pangeran Panjirawit, kau bimbinglah tanganku, Joko Wandiro............”

Pada saat itu terdengar suara percik air dari atas lubang sumur dan............ bagaikan hujan turun, berjatuhan air ke atas kepala dan tubuh mereka berdual Air yang segar dingin ini seketika membuat tubuh mereka berdua yang sudah lunglai itu menjadi segar dan meloncatlah mereka bangun, berdiri lalu menengadah, memandang ke atas. Kiranya dari atas sumur itu kini dipasangi bambu besar berlubang dan dari bambu itulah air dipancurkan ke dalam sumur! Dan tampak bayangan beberapa orang, bahkan terdengar, suara yang tertawa bergelak, suara Raden Sindupati,

"Ha-ha-ha, kalau mereka belum mampus, biarlah sekarang mereka menjadi tikus-tikus tenggelam! Joko Wandiro dan Endang Patibroto, selamat minum dan mandi sepuasnya!" Kini dari bawah tampak bentuk kepala Sindupati yang sebentar kemudian lenyap lagi.

Dan kata-kata Sindupati itu benar-benar dilakukan oleh Endang Patibroto dan Tejolaksono! Setelah empat hari tidak pernah mendapat air, kini pancuran air itu membuat mereka berdua tiba-tiba menjadi haus. Mereka menerima air dengan kedua tangan dan minum sepuasnya, membiarkan air menyiram tubuh sehingga merekapun mandi sepuasnya.

Sejenak mereka lupa bahwa air tadi dipancurkan dari atas sama sekali bukan karena kebaikan hati Adipati Blambangan, sama sekali bukan memberi kesempatan mereka dapat minum dan mandi! Mereka tertawa-tawa dan menikmati air sambil berpelukan dan barulah mereka sadar akan ancaman kematian mengerikan setelah air menggenang di dalam ruangan itu sampai ke lutut mereka!

"Endang, air mulai naik............ " kata Adipati Tejolaksono. Biarpun dia tahu kematian berada di depan mata, namun suaranya masih tenang saja, sedikitpun tidak membayangkan rasa takut atau ngeri.

Endang Patibroto malah tertawa!
"Joko Wandiro, pegang tubuhku erat-erat agar kita tidak berpisah lagi. Mari kita hadapi kematian yang indah ini…….!”

"Endang, kurasa tidak seharusnya kita membiarkan diri mati konyol. Kalau begitu, akan sia-sia saja dahulu Eyang Resi Bhargowo menggembleng kita, kemudian orang tuamu, dan guru-guru kita. Tidak, kekasih, selama nyawa kita belum direnggut Sang Yamadipati, kita berkewajiban untuk mempertahankannya!"

"Engkau selalu benar, Joko Wandiro. Akan tetapi betapa mungkin? Air akan naik terus memenuhi tempat ini, dan tenaga dalam tubuh kita tidak ada setengahnya lagi. Betapa kita akan dapat melawan cengkeraman maut? Akan tetapi kita tidak akan mati seperti tikus yang dikatakan si jahanam keparat Sindupati tadi. Kita akan mati dengan tenang dan tak kenal takut, bukan, Joko Wandiro?"

"Hemmm, kalau air naik sampai memenuhi sumur, kita dapat berenang ke atas dan berusaha lolos dengan perlawanan. Setidaknya kita harus dapat membunuh si keparat Sindupati!" kata TejolakSono.
Akan tetapi, pada saat itu seakan-akan sebagal jawaban pernyataannya, dari atas menyambar turun banyak sekall anak panah! Terpaksa Tejolaksono dan Endang Patibroto mundur sampai terlindung, tidak tepat di bawah lubang sumur yang lebih sempit.

"Tiada gunanya, Joko Wandiro. Lebih baik kita mati tenggelam daripada dikeroyok anak panah dari atas. Marilah pegang erat-erat dan kita berpegang batu karang di sini sampai mati!"

Endang Patibroto memeluk pinggang Tejolaksono dan mendekapkan muka di dada pria yang dikasihinya ini. Mereka berdekapan, sementara air makin naik sampai di atas lutut. Dari atas lubang terdengar gema suara ketawa dan anak panah kadang-kadang menyambar turun seperti hujan. Agaknya Sindupati dan kawan-kawannya sudah menjaga kalau-kalau dua orang korban di bawah itu hendak naik melalui air. Bencana kematian sudah membayang di depan mata, agaknya mereka berdua tidak akan dapat lolos lagi!

Dengan mulut tersenyum Endang Patibroto membenamkan muka di dada Tejolaksono dan ia menutup seluruh panca indranya, dicurahkan kepada detak jantung di dada kekasihnya. Ia hendak mati dengan detak jantung ini memenuhi semua perasaan dan pikirannya, tidak mau memikirkan hal lain lagi, tidak merasa betapa air kini tidak lagi naik, malah turun sampai ke bawah lutut!

"Eh............ airnya menurun............ !!" Tejolaksono berseru girang dan juga heran. Air dari atas masih terus memancur, akan tetapi mengapa air di kaki kini tidak menaik malah menurun?
Karena merasa betapa Tejolaksono melepaskan pelukannya karena pria ini sekarang memandang ke sekeliling penuh selidik, Endang Patibroto sadar dan membuka mata. Kebetulan sekali ia menghadap pada dinding yang berlapis besi dan dengan mata terbelalak ia melihat dinding itu bergerak-gerak!

"Dinding itu bergerak............ !!" Iapun berteriak kaget dan heran.

Tejolaksono cepat memutar tubuh menengok dan benar saja, perlahan akan tetapi pasti dinding besi itu bergerak dan membuka lubang yang kini sudah kurang lebih setengah meter lebarnya! Dan air menerobos cepat sekali melalui lubang itu!

"Endang, lekas, melalui lubang itu...... ....!!" Tejolaksono menarik tangan Endang Patibroto dan mereka cepat menyelinap memasuki celah dinding yang terbuka itu. Mereka harus mengerahkan seluruh sisa tenaga mereka karena arus air yang menyerbu keluar amat kuatnya sehingga mereka yang sudah lemah itu menjadi terhuyung-huyung ke depan. Namun dengan bergandeng tangan, mereka dapat menahan arus air. Karena air yang membobol keluar mendapat jalan lebih cepat dan lebih besar daripada air yang memancur dari atas, maka sebentar saja air mengecil dan dua orang itu lalu meraba-raba dan terhuyung maju melalui terowongan tanah yang amat gelap.

"Ke mana kita............ ?" Endang Patibroto bertanya, suaranya gemetar penuh ketegangan. Hal ini amat tidak disangka-sangkanya sehingga menimbulkan ketegangan hati.
Bahkan Adipati Tejolaksono yang biasanya tenang itupun kini tampak tegang dan gugup. Diapun tadinya sudah yakin akan tewas di tempat itu dan hal ini benar amat ajaib baginya.

"Entahlah, setidaknya tentu ada jalan keluar dan kita tidak mati di dasar sumur!"

"Tapi............ tapi............ siapa yang membuka dinding itu?"

"Siapa tahu, nimas? Tentu Dewata yang menolong kita …..”

"Jangan-jangan jebakan mereka untuk menyiksa kita lebih hebat lagi............”

"Tidak perduli, setidaknya setiap kesempatan harus kita pergunakan. Lebih baik mati dalam perlawanan daripada mati konyol di dalam sumur. Mari, nimas, jangan lepaskan tanganku, begini gelap…….”

Mereka berjalan terus terhuyung-huyung dan meraba-raba ke depan. Air dari belakang masih terus mengalir dan suara air mancur menimpa dasar terdengar jelas sekali. Akan tetapi aliran air tidaklah kuat lagi, hanya setinggi mata kaki.

"Aihhh, apa ini............ ??”

Tejolaksono yang berjalan di depan tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kakinya tadi menyentuh benda lunak hangat. Mereka berdua siap sedia menghadapi segala kemungkinan.

"Aduhhh............ ............ Rintihan di bawah mereka itu lemah dan jelas adalah suara seorang wanita. Mendengar ini, Endang Patibroto cepat berjongkok dan tangannya meraba ke depan. Memang seorang wanita yang rebah di situ, merintih-rintih kini, suaranya lirih dan napasnya terengah-engah. Ketika Endang Patibroto meraba terus, ia mendapat kenyataan bahwa wanita itu menderita luka parah di bagian kepalanya, seperti bekas dipukul atau terbanting pada benda keras. Ia merangkul pundak wanita itu yang ia dudukkan, lalu bertanya,

"Engkau siapakah?"

"Endang Patibroto............ aku............ aku isteri Sindupati………”

Teringatlah Endang Patibroto akan seorang wanita yang masIh amat muda, baru lima belas tahun usianya, puteri selir Sang Adipati Menak Linggo yang dihadiahkan sebagai selir Sindupati. Pernah ia beberapa kali bertemu dengan wanita ini di dalam gedung Sindupati.

"Ahh............ kau....... Dew! Umirah....”

"Betul, Endang Patibroto, aku ..... aku............ aduhh............ “

"Mengapa kau berada di sini? Kaukah yang membuka dinding besi?"

"Memang aku yang membuka....... tempat ini merupakan tempat rahasia...... peninggalan jaman dahulu............ hanya RĂ¡manda Adipati dan para puteranya yang tahu akan rahasianya............ aku............ aku............ ah, tidak sangka air itu amat deras, arusnya menyeret aku............ terbanting pada batu-batu............ aduuuhhh............ “

Terharu hati Tejolaksono. Kiranya Hyang Widhi telah mengirim pertolongan melalui puteri Sang Adipati Blambangan sendiri. Hal yang amat luar biasa sekali. Juga Endang Patibroto menjadi terheran-heran.

"Dewi Umirah, kenapa engkau menolong kami?"

Napas wanita muda itu makin terengah-engah dan susah payah sekali ia memaksa diri bicara,
"............ Sindupati...... dia terlalu menyakitkan hatiku............, Endang Patibroto, berjanjilah............ kau balas pertolonganku dan............ kau............ bunuhlah Sindupati untukku !" Suaranya tersendat-sendat dan hanya di kerongkongan. Payah sekali agaknya keadaan wanita muda ini, kepalanya yang terluka parah mengeluarkan banyak darah.

Endang Patibroto menggigit bibir karena gemas. Sindupati memang jahanam besar dan tidak mengherankan kalau wanita muda yang dihadiahkan menjadi selirnya ini mendendam sakit hati.

"Legakan hatimu, Dewi Umirah. Aku bersumpah untuk membunuh si jahanam keparat Sindupatil" katanya geram-.

“........... terima kasih............ tidak sia-sia aku mengorbankan diri............ menolongmu...... Rama, maafkan hamba ..... " napasnya makin sesak.

"Katakanlah di mana jalan untuk keluar............ !" Tejolaksono berkata di dekat telinga wanita yang sudah sekarat itu.

"Terus saja............ melalui terowongan yang amat jauh............, jangan belok............ akan tiba di hutan............ lubang tertutup batu............ di guha............ " Terhenti kata-kata Dewi Umirah bersamaan dengan terhentinya napas dan darahnya.

"Dia mati............ " kata Endang Padbroto. "Kasihan dia telah menolong kita……”

"Hyang Widhi yang menggerakkan dia. Mari, Endang!" Tejolaksono bangkit dan menarik tangan Endang Patibroto. Mereka terpaksa meninggalkan jenazah penolong mereka itu dan terus berjalan sambil meraba-raba melalui terowongan yang gelap dan panjang, terowongan yang makln lama makin sempit sehingga tak dapat bagi mereka berjalan berdampingan lagi. Endang Patibroto berjalan di belakang Tejolaksono, namun tangan mereka masih saling berpegangan, tak pernah tangan mereka terpisah semenjak berada di dalam sumur.

Lebih dari satu jam mereka berjalan dan akhirnya, setelah jalan terowongan itu melalui banyak jalan simpangan yang menanjak, mereka tiba di dalam sebuah guha yang tertutup batu besar. Agaknya jalan-jalan simpangan tadi adalah jalan yang menjadi jalan rahasia yang menembus istana dan tempat-tempat rahasia di kota raja Blambangan.

Setelah mengintai dari celah-celah batu penutup guha, Endang Patibroto dan Tejolaksono lalu mendorong batu penutup ke pinggir, kemudian mereka melompat keluar. Kiranya mereka telah berada di dalam sebuah hutan yang lebat dan liar! Tak tampak seorangpun manusia di situ.

"Mari kita lari, Endang. Ke barat!" kata Tejolaksono. Matahari telah naik tinggi dan mulai condong ke barat. Agaknya waktu itu sudah lewat tengah hari. Akan tetapi Endang Patibroto menahan tangannya yang ditarik.

"Tidak, aku mau kembali ke Blambangan!" katanya, suaranya keras dan tegas.

"Eh, mau apa?"

"Membunuh si keparat Sindupati dan sebanyak mungkin orang Blambangan, apa lagi?"
Melihat wajah itu membayangkan kemarahan, Tejolaksono lalu merangkul pundaknya.

"Aihh, Endang, belum waktunya sekarang! Keadaan kita amat lemah dan mereka itu amat banyak. Betapa mungkin kita melawan orang senegara? Kita harus menyelamatkan diri, ini yang terpenting. Kelak kita akan membawa pasukan Jenggala dan Panjalu, menggempur Blambangan dan itulah saatnya kita membunuh si jahat itu!"

Endang Patibroto tetap saja kelihatan ragu-ragu dan kini ia memandang wajah Tejolaksono dengan sinar mata penuh selidik.

"Joko Wandiro............ !" dan tiba-tiba saja Endang Patibroto menangis sesenggukan!

"Eh-eh....... mengapa pula ini? Endang Patibroto, kekasihku, jiwa hatiku, kenapa kau menangis? Bukankah semestinya kita harus bergirang dan berbahagia bahwa Hyang Widhi masih melindungi kita dan menyelamatkan kita daripada ancaman bahaya maut?"

Endang Patibroto terisak-isak.
"Joko Wandiro,............ aku ingin mati bersamamu............ !"

Tejolaksono tersenyum, lalu dipegangnya muka Endang Patibroto dengan kedua telapak tangannya, dipaksanya muka itu tengadah dan menentang mukanya agar mereka dapat berpandangan.

"Bocah bodoh kau............ Tidak senangkah engkau menjadi isteriku? Tidak cintakah kau kepadaku?"

Endang Patibroto yang mukanya dihimpit kedua tangan itu hanya bergerak mengangguk. Tejolaksono lalu menciumi muka yang penuh air mata itu, menghapus air mata dengan kecupan bibirnya.

"Nah, kalau begitu, hentikan tangismu. Bukahkah anugerah yang membahagiakan sekali kalau kita masih hidup, masih mendapat kesempatan untuk lebih lagi menikmati hidup dan cinta kasih kita? Bocah bodoh, pujaan hati, kalau aku girang dan bahagia, mengapa kau menangis?"

"Aku............ aku............ tadinya mengira kita akan mati............ , kalau tahu akan dapat lolos............ ah, betapa aku dapat membuka rahasia hatiku............ Betapa memalukan....... betapa hina aku...... “

"Ehhh, memang kau wanita aneh. Wanita aneh dan hebat, tiada keduanya di dunia ini. Ha-ha-ha!" Tejolaksono mencium bibir yang hendak banyak membantah lagi itu kemudian memondongnya dan membawanya lari cepat ke barat. Tubuhnya amat lelah, tenaganya hampir habis, akan tetapi kebahagiaannya karena dapat lolos dari kematian itu seakan-akan mendatangkan tenaga baru kepadanya. Ia berlari terus keluar hutan masuk hutan sampai matahari tenggelam, cuaca menjadi gelap dan ia kehabisan tenaga lalu roboh terguling di dalam hutan. Pingsan!

Kini Endang Patibroto yang menjadi bingung dan gelisah setengah mati melihat Tejolaksono rebah tak berkutik. Dipeluk dan dipanggil-panggil namanya, ditangisi! Akan tetapi, barulah ia sadar akan kelakuannya yang seperti gila itu ketika ia mendapat kenyataan bahwa Tejolaksono hanya pingsan karena lelah. Ia menjadi geli dan tertawa sendiri.

Endang Patibroto, menangis dan bingung melihat Joko Wandiro yang hanya pingsan biasa. Takut kalau-kalau mati! Padahal tadinya mengajak mati bersama! Ah, benar-benar cinta kasih yang menggelora membuat orang menjadi bodoh dan lucu. Di mana lagi perginya kegagah perkasaannya? Dia seorang wanita sakti mandraguna. Namun tadi bersikap sebagai seorang wanita lemah yang menangis takut ditinggal mati suaminyal

Ketika Tejolaksono sadar dari pingsannya, ia telah rebah telentang di dekat api unggun yang hangat. Kepalanya berbantal paha Endang Patibroto yang membelai rambutnya dengan jari-jari tangan penuh kasih sayang. Begitu ia membuka mata, Endang Patibroto mencium matanya dan berbisik,

"Kakanda............ , makanlah pisang ini, kupetik tadi dari dalam hutan di sana...."

Tejolaksono membelalakkan mata, lalu bangkit dan duduk.

"Kakanda............ ?" Ia bertanya, mengulang sebutan itu.

Endang Patibroto menundukkan mukanya dan............ aneh bukan main bagi Tejolaksono melihat betapa wajah wanita sakti ini menjadi kemalu-maluan seperti seorang dara diajak kawin! Di bawah sinar api yang kemerahan, wajah itu tampak amat jelita menggairahkan. Rambut itu tidak kusut lagi, agaknya tadi Endang Patibroto sudah sempat membereskan rambutnya, pakaian mereka tidak basah lagi karena terpanggang dekat api unggun.

"Kita............ kini akan hidup terus........ lain lagi halnya dengan ketika di dalam sumur maut............ , kini kita akan hidup di dunia ramai............ tentu saja tidak pantas bagi seorang isteri menyebut suaminya dengan nama kecilnya saja............!!”

Adipati Tejolaksono tertawa bergelak, lalu merangkul. Luar biasa sekall wanita ini. Wataknya amat aneh akan tetapi segalanya menyenangkan hatinyal Endang Patibroto menggunakan kedua tangan mendorong dadanya dengan gerakan halus.

"Hiss............ kau makanlah dulu agar jangan mati kelaparan!" katanya tersenyum.

Joko Wandiro kembali tertawa, lalu mengambil pisang yang besar-besar dan matang kemudian dikupas kulitnya.

"Nih, kau makanlah." ia menawarkan, karena tanpa bertanya ia tahu bahwa Endang Patibroto juga belum makan. Pisang itu masih dua sisir.

Endang Patibroto menerima pisang dan makanlah mereka. Perut yang sudah empat hari tidak diisi itu menerima pisang yang lembut dan terasa agak tidak enak pada permulaannya. Akan tetapi lama-lama mendatangkan rasa lega dan memulihkan tenaga sehingga tubuh mereka tidak lemas lagi.

"Endang, kenapa kau tadi tidak makan dulu pisang ini?"

"Bagaimanakah aku boleh makan dulu, Kakangmas Tejolaksono? Seorang isteri harus selalu melayani suami lebih dulu.”

"Aduh, isteriku yang tersayang............ !" Tejolaksono menarik lengan Endang Patibroto, mendudukkannya di atas pangkuannya dan bagaikan sepasang pengantin baru, mereka saling menyuapi pisang sambil bercumbuan!

"Kakanda," kata Endang Patibroto kemudian jauh lewat tengah malam ketika tubuh mereka yang kelelahan itu beristirahat, rebah di atas rumput yang lunak dan dekat api unggun yang hangat, kepala Endang Patibroto berbantal dada suaminya, "bagaimanakah nanti kalau isterimu yang di Selopenangkep marah mengetahui bahwa aku telah menjadi isterimu?"

"Ayu Candra? Ah, tidak, nimas. Dia tidaklah demikian sempit pendapat. Apalagi kalau sudah kujelaskan akan semua pengalaman kita. Dia akan menyambutmu sebagai saudara madu yang baik dan aku percaya kalian akan dapat hidup rukun seperti ibumu, bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhita."
Endang Patibroto menarik napas panjang.

"Aku khawatir............ kalau-kalau ibu akan marah kepadaku............ ah, kalau aku ingat betapa dahulu aku menyakitkan hati ibu dan Ayu Candra............ betapa aku dahulu ingin membunuhnya............ “

"Hushhh............ urusan yang lalu tak perlu dipikirkan lagi. Aku yang akan mengatur segalanya, tak perlu kau khawatir, nimas."

"Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi kalau teringat bahwa engkau berada di sampingku, Kakangmas Adipati. Asal engkau mencintaku, aku............ aku sanggup menghadapi kesengsaraan yang bagaimanapun juga............ “

Akhirnya kedua orang yang amat lelah itu tertidur pulas dan pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi, baru mereka bangun, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Jenggala. Perjalanan mereka merupakan perjalanan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, penuh dengan cinta kasih mesra.

**** 019 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 020 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment