Ads

Thursday, January 24, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 010

<<== Kembali <<==

"Kakek tua yang sakti, tidak salah wawasan andIka. Akan tetapi andika lupa agaknya bahwa aku seorang manusia, dan aku sedang berburu harimau! Aku memanah induknya, tidak sengaja mengenai anaknya. Mana mungkin manusia dapat disamakan dengan binatang harimau?"

Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian berkata dengan suara halus, akan tetapi ucapan ini terdengar bagaikan halilintar menyambar bagi sang adipati.

"Heh, orang muda, apakah harimau ini juga tidak berhak berburu? Untuk apa kau berburu harimau? Untuk dimakan dagIngnya dan diambil kulitnya untuk perhiasan! Apakah engkau kekurangan makanan di kadipaten sehingga harus mencari daging harimau? Apakah hidupmu akan kekurangan kalau tidak ada hiasan kulit harimau? Engkau berburu hanya untuk menuruti nafsu kesenangan, tidak mempunyai dasar atau alasan yang patut! Akan tetapi harimau berburu karena tuntutan hidup, karena wajar, yaitu bahwa harimau harus makan daging mentah agar dapat hidup. Buaskah dia kalau terpaksa harus menerkam mangsanya karena hanya itulah jalan yang diketahuinya untuk dapat langsung hidup? Patutkah engkau yang tidak membutuhkan dagingnya sebagai penyambung hidup, mengejar-ngejar dan membunuhnya hanya untuk melampiaskan nafsu dan kepuasan hati?"
Sang adipati menundukkan kepalanya. Ucapan itu menusuk perasaannya dan tidak sanggup menjawab.

"Tapi.......... tapi .......... aku seorang manusia.......... yang dijelmakan menjadi mahluk tertinggi derajatnya, dan aku hanya melakukan kebiasaan yang dilakukan semua orang...... " ia menangkis dan bersandar kepada kebiasaan manusia, termasuk raja dan para bangsawan yang suka berburu.

"Ha-ha-ha, engkau berlindung kepada kebiasaan manusia. Salah kaprah! Kesalahan, betapapun basarnya akan menjadi kebenaran kalau sudah dilakukan semua orang. Begitukah? Hei, orang muda, beginikah ajaran yang kau terima dari guru-gurumu? Dari Sang Patih Narotama yang sakti mandraguna, dari Sang Prabu AirIangga yang arif bijaksana?"

Pucat wajah sang adipati. Ia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Aduh, eyang.......... , ampunkan hamba. Hamba mengaku salah, eyang. Bolehkah hamba mengetahui siapa gerangan julukan eyang panembahan?"

"Hemmm, sang adipati, harap jangan merendahkan diri di depan seorang petani biasa seperti aku. Aku bukan pendeta, bukan pertapa, aku seorang kakek biasa, namaku Ki Tunggaljiwa. Bangkitlah, angger, dan mari kita bicara."

Pada saat itu, Bagus Seta sadar darI pingsannya. Ia membuka mata, teringat akan semua peristiwa. Dia masih hidup! Dan harimau itu mendekam di sebelahnya, sama sekali tidak kelihatan galak. Mata harimau itu kehijauan, amat indahnya. Dan bulunya, seperti buiu kucing putih di kadipaten. Ia meraih, mengelus-elus leher binatang itu dan sang harimau menjilati tangannya. Bagus Seta tersenyum, menoleh dan ketika melihat ayahnya berada di situ bersama seorang kakek tua renta, ia lalu berseru,

"Ayah, lihat! Macan ini besar dan bagus sekali. Hamba kira tadi hendak membunuhku, kiranya tidak, dia macan baik!"

Sang adipati terharu, lalu melangkah maju dan menarik tangan puteranya, diajak menghadap kakek itu yang kini sudah duduk di atas sebuah batu. Sang adipati mengajak puteranya duduk bersila depan kakek itu.

"Eyang Tunggaljiwa, sekarang hamba telah sadar akan semua kesalahan hamba. Hamba berjanji, mulai saat ini, hamba tidak akan berburu binatang lagi."
Kakek itu tersenyum.

"Berburu tidak mengapa asal berdasarkan kebutuhan. Memang Hyang Widhi telah menciptakan segala apa di mayapada ini untuk manusia yang amat dikasihi-Nya. Kalau manusia lapar lalu membunuh harimau atau apa saja untuk dimakan, itu wajar namanya, sewajar seekor harimau menerkam dan memangsa kelinci. Akan tetapi kalau membunuh sekedar membunuh, itu keji namanya, tidak wajar dan bersifat merusak. Betapa bodohnya merusak ciptaan Hyang Widhi Wisesa. Sang adipati, bukan hanya kebetulan saja pertemuan antara andika; putera andika, dengan saya. Hyang Widhi sudah menentukannya bahwa puteramu akan ikut bersamaku ke puncak Merapi. Andika harus tega melepaskannya, sang adipati."

Adipati Tejolaksono terkejut sekali. Melepaskan puteranya, menjadi murid kakek ini? Putera tunggalnya si Bagus Seta? Mana mungkin? Ibu anak inipun tentu akan melarangnya! Ia memegang tangan puteranya erat-erat, lalu menjawab,

"Mohon eyang sudi mengampunkan saya! Agaknya tidak mungkin saya dan ibu anak ini berpisah dari Bagus Seta, eyang. Hanya dia seorang putera kami, betapa dapat kami berpisah daripadanya?"

Kakek itu menarik napas panjang.
"Sang adipati, kehendak Dewata tak dapat dirubah. Perbuatanmu hari ini pasti akan mendatangkan malapetaka dan hukuman yang hebat, yang akan menimpa anak andika. Hanya sebuah syarat membebaskannya, yaitu anakmu ini harus ikut bersamaku selama lima tahun, menjadi muridku dan menjadi sahabat si Putlh, menghibur hatinya yang kehilangan anak. Aku tidak memaksa, akan tetapi hanya memberi jalan demi kebalkan keluarga andika. Apalagi karena dalam waktu mendatang, andika harus pergi meninggalkan Selopenangkep, alangkah akan baiknya kalau putera andika dititipkan kepada saya."

"Maafkan saya, eyang. Betapapun juga, saya tidak dapat melepaskan puteraku ini sebelum mendapat persetujuan daripada ibunya."
Kakek ini menghela napas lalu mengelus-elus kepala harimau putih.

"Putih, kau terimalah, memang tidak ada mahluk di dunia ini yang hanya mementingkan diri pribadi seperti manusia." Kemudlan kepada sang adipati ia berkata, "Kalau begitu, sang adipati, biarlah saya serahkan kepada takdir. Betapapun juga, sewaktu-waktu si Putih dapat mengantar puteramu kepadaku. Nah, selamat berpisah." Kakek itu lalu bangkit berdiri dan pergi dari situ dengan langkah perlahan-lahan, diikuti harimau putih dari belakang.

"Eh, paman macan putih.......... !" Tiba-tiba Bagus Seta berseru memanggil dan lari menghampiri harimau itu yang menghentikan langkah membalikkan tubuh. Anak itu merangkul lehernya dan si harimau merendahkan tubuh, menjilat-jilat pipinya. ''Engkau ikut saja bersamaku ke kadipaten!"

Harimau itu mengeluarkan suara gerengan perlahan, kemudian membalikkan tubuhnya dan lari mengejar Ki Tunggaljiwa. Bagus Seta tampak kecewa sekali, kembali kepada ayahnya.

"Ayah, macan itu indah dan baik sekali, tidak galak. Ingin aku bermain-main dengannya, menunggang di punggungnya."

Adipati Tejolaksono menghela napas, hatinya merasa tidak enak. Ia seperti dapat merasakan getaran aneh yang mengubungkan puteranya dengan kakek serta macan putih itu.

"Malam hampir tiba, hayo kita pulang. Ibumu tentu akan khawatir sekali," katanya.
Bagus Seta bertepuk tangan gembira.

"Aah, betapa kanjeng ibu akan terheran-heran mendengar cerita hamba tentang macan putihl" soraknya.

Adipati Tejolaksono menggendong puteranya lalu mengerahkan aji kesaktlannya, berlari turun dari lereng. Hari sudah malam ketika ia tiba di hutan dan bertemu dengan para pengawal yang mencari-cari mereka dengan gelisah. Para pengawal menjadi girang sekali dan pulanglah rombongan itu naik kuda yang telah dapat dikumpulkan oleh para pengawal.

Adipati Tejolaksono memberi perintah agar semua hasil buruan itu dibagi-bagi di antara petani di luar kadipaten yang jarang sekali dapat merasai nikmatnya daging kijang. Para pengawal hanya saling pandang dan melongo, namun tak seorangpun berani membantah.

Ketika tiba di kadipaten, sang adipati dan puteranya disambut dengan penuh kelegaan hati oleh keluarganya. Kemudian sang adipati bersama puteranya bercerita di depan isteri dan kedua bibinya. Mendengar cerita suaminya bahwa kakek sakti bernama Tunggaljiwa ini hendak mengambil Bagus Seta menjadl murid, wajah Ayu Candra berubah pucat. Akan tetapi di depan kedua bibinya, ia tidak berkata sesuatu kepada suaminya. Kartikosari mengerutkan keningnya.

"Serasa pernah aku mendengar nama Ki Tunggaljiwa ini. Dahulu ketika aku masih bersama ayah di Bayuwisma dekat pantai, pernah ayah menyebut nama ini sebagai satu-satunya tokoh sakti yang tak pernah mau mencampuri urusan dunia, hanya hidup sebagai petani biasa di puncak Merapi. Siapa kira, hari ini kalian berjumpa dengannya, bahkan beliau hendak mengambil Bagus sebagai murid. Hemmm..........” Kartikosari memandang kepada Ayu Candra dan tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi sang adipati maklum dari pandang mata bibinya itu bahwa bibinya menganggap hal itu amat baik dan menguntungkan.

"Orang yang dapat memelihara seekor harimau putih yang besar, tentu seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Tapi aku sendiri belum pernah mendengar nama Ki Tunggaljiwa," kata pula Roro Luhito.

Malam hari itu, ketika berada di dalam kamarnya berdua dengan isterinya, Ayu Candra menangis. Setelah tidak ada orang lain, barulah dia berani menumpahkan segala kekhawatirannya. Adipati Tejolaksono memeluk isterinya.

"Eh-eh, kenapa kau menangis, nimas?"

Ayu Candra merebahkan kepala di dada suaminya, tempat yang aman di seluruh dunia ini baginya, dan makin sesenggukan.

"Kakangmas.......... aku.......... aku khawatir sekali, kakangmas., ...... "
Adipati Tejolaksono merangkul dan membelai rambut isterinya.

"Apa yang kau khawatirkan, nimas? Tentang anak kita si Bagus Seta?"
Isterinya mengangguk.

"Tentang kata-kata Ki Tunggaljlwa itu.......... bahwa akan tiba hukuman kalau anak kita tidak dibawanya.......... ah, aku ngeri, kakangmas."
Adipati Tejolaksono yang amat mencinta isterinya, segera menghibur dan menciumi untuk mengusir kekhawatirannya.

"Apa yang ditakutkan? Ada aku di sini, nimas. Kalau aku berada di sini, siapakah yang akan dapat mengganggu Bagus atau kita? Di samping aku, engkaupun bukan seorang ibu yang boleh dipandang rendah! Belum lagi bicara tentang bibi Roro Luhito yang galak, dan bibi Kartikosari yang sakti mandraguna. Siapa berani main-main hendak mengganggu anak kita?"

"Tapi.......... tapi.......... " suara Ayu Candra sudah tidak begitu takut lagi dan bahkan gemetar bukan oleh takut, melainkan oleh rasa mabuk yang selalu datang apabila suaminya sudah menciumi tengkuk dan lehernya seperti itu. “........ kalau benar kakangmas pergi seperti dikatakan kakek itu.......... “

"Ah, pergi ke mana? Agaknya, Ki Tunggaljiwa melihat bakat baik dan kebersihan diri anak kita, saking inginnya mengambil murid lalu menakut-nakuti aku.......... " Akan tetapi, di sudut hatlnya, kekhawatiran besar yang timbul sejak pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa tak dapat juga diusirnya. Karena itu, ia mencari perlindungan kepada isterinya, kepada orang yang paling dicintanya di seluruh dunia ini, tenggelam ke dalam pelukannya, membiarkan diri terseret oleh arus nikmat cinta kasih. Mereka tak bercakap-cakap lagi, tidak ada yang perlu dipercakapkan pada saat itu. Malam menjadi sunyi, sunyi yang mengamankan hati dan semua kekhawatiran di dalam hati, lenyap tak terpikirkan lagi. Bahkan dunia ini seakan-akan hanya berisi mereka berdua.

===>> 010 <<===
==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 011 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment