Ads

Wednesday, February 6, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 028

<<== Kembali <<==

Angin dingin sejuk memang ia dapatkan, dan hampir saja ia celaka oleh angin dingin sejuk ini. Tadinya ia bermaksud menjaga di taman dan mengharapkan munculnya musuh di dalam taman. Akan tetapi begitu ia melangkahkan kaki memasuki taman sari, angin sejuk menyambutnya dan saking kesal hatinya, dara remaja ini duduk di atas bangku dalam taman. Angin sejuk semilir menggerayangi muka dan lehernya, menimbulkan rasa nyaman. Ganda harum semerbak yang datang terbawa angin tidak membangkitkan kewaspadaannya, tidak menimbulkan kecurigaannya karena ia menganggap itu adalah ganda bunga-bunga yang tumbuh di taman. Malah cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis menyedot ganda harum sedap itu. Maka dengan mudah saja getaran hawa sakti aji penyirepan menguasainya, membuat dara ini tiga empat kali menguap saking mengantuknya, tiap kali menutup mulut dengan punggung tangan kirinya. Tak lama kemudian Pusporini pun tertidurlah dengan pulas sambil duduk di atas bangku.

Tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan seorang laki-laki tinggi besar yang meloncat keluar dari balik pohon di taman itu. Dengan beberapa loncatan saja orang ini telah mendekati Pusporini yang masih tidur dengan napas panjang teratur. Ketika melihat dara remaja itu tidak bergerak dan tidur, laki-laki itu menyergap ke depan dan di lain saat tubuh dara remaja itu telah disambar dan dipondongnya. Golok yang dipegang Pusporini terlepas dan jatuh! Pusporini masih pulas dan hanya mengeluarkan suara rintihan perlahan seperti orang ngelindur ketika tubuhnya dipondong dan dibawa lari.

Sementara itu, Roro Luhito dan Ayu Candra yang masih duduk menjaga di ruangan dalam, bercakap-cakap. Dua orang wanita ini maklum akan bahaya yang mengancam kadipaten, namun mereka itu biar tegang di hati, sikap mereka masih tenang saja dan memang ketegangan hati mereka bukanlah tanda hati khawatir.

Mereka tidak khawatir, juga tidak takut karena mereka percaya penuh akan kesaktian Adipati Tejolaksono, juga percaya akan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi musuh. Kedua orang wanita ini, seperti juga Pusporini, berpakaian ringkas dan di sabuk mereka terselip senjata pusaka mereka. Sebatang tombak berada di samping mereka selalu.

Dua orang wanita ini sudah dua kali menguap dan Ayu Candra tidak dapat menahan kantuknya lagi, mulai melenggut. Tiba-tiba Roro Luhito memegang pundaknya, mengguncangnya dan berbisik,

"Ayu ............ Bangun ............ Awas, musuh menggunakan aji penyirep!"

Biarpun terpengaruh aji penyirepan, karena memang Ayu Candra bukan wanita sembarangan dan sudah memiliki kekuatan batin yang tangguh, guncangan ini cukup menyadarkan dan bersama Roro Luhito ia cepat duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin untuk melawan pengaruh aji penyirepan ini. Bau kembang menyan mengambar-nyambar semerbak memenuhi ruangan itu membuat kepala mereka terasa pening. Akhirnya mereka dapat menguasai diri mereka dan Roro Luhito berbisik,

"Cepat ............ kita cari Pusporini ............ !”

Mereka meloncat bangun dan menggunakan Aji Widodo Mantera untuk memperkuat batin. Setelah menyambar tombak masing-masing, mereka lalu meloncat dan lari ke arah belakang. Angin sejuk menyambut mereka ketika mereka keluar dari pintu butulan di belakang, memasuki taman sari.

"Ah, Bibi............ lihat............ !!" Ayu Candra berseru kaget dan menudingkan telunjuknya ke arah kiri. Sesosok bayangan laki-laki tinggi besar lari memondong tubuh Pusporini!

"Keparat ............ ! Kejar ............ !!" teriak Roro Luhito sambil meloncat ke depan, diikuti Ayu Candra.

Akan tetapi mendadak muncul empat orang laki-laki tinggi besar. Seperti juga laki-laki yang menculik Pusporini tadi, empat orang laki-laki inipun selain tinggi besar, juga kepalanya gundul, ditutup ikat kepala berwarna biru tua dan muka mereka seperti muka arca atau muka mayat. Mereka muncul begitu saja, tidak mengeluarkan suara dan secara tiba-tiba langsung menubruk dan menyerang Roro Luhito dan Ayu Candra. Jari-jari tangan mereka yang sebesar pisang itu terbuka dan lengan tangan mereka yang penuh bulu amat besar dan kuat menyeramkan.

Roro Luhito dan Ayu Candra terkejut, cepat mengelak sambil memutar tombak, menghadapi masing-masing dua orang lawan yang bertubuh kuat dan bersenjata golok besar. Terjadilah pertempuran hebat di dalam taman, dan terdengar suara senjata berdencingan ketika bertemu berkali-kali. Dua orang wanita perkasa itu mendapat kenyataan bahwa empat orang lawan mereka memiliki tenaga yang amat kuat sehingga tiap kali beradu senjata, mereka merasa telapak tangan mereka panas dan sakit.

Roro Luhito marah sekali, mengeluarkan pekik seperti seekor kera dan gerakannya menjadi cepat laksana halilintar menyambar-nyambar. Dalam amarahnya karena teringat akan puterinya yang terculik, wanita ini telah mengeluarkan ajinya Sosro Satwo yang dahulu ia pelajari dari gurunya, yaitu Resi Telomoyo. Seketika tombaknya berubah menjadi banyak ujungnya dan dalam gebrakan selanjutnya kedua lawan yang menjadi berkunang-kunang pandang matanya itu dapat ia tusuk dengan ujung tombak, tepat mengenai paha dan perut.

Akan tetapi betapa terkejutnya ketika kedua tusukannya itu membalik dan ternyata ujung tombaknya hanya merobek pakaian dan kulit sedikit saja, tidak mampu menembus daging. Kiranya dua orang lawannya ini selain amat kuat juga memiliki tubuh yang kebal! Ia makin marah dan kini menujukan ujung-ujung tombaknya kepada bagian-bagian yang lemah, terutama ke arah mata kedua orang lawan.

Ayu Candra mengalami hal yang sama. Ia menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari suaminya sehingga kini ia dapat mengatasi kedua lawannya karena gerakannya jauh lebih cepat. Beberapa kali tombaknya dapat menusuk leher dan lambung, namun kesemuanya meleset seakan-akan menusuk karet yang licin sekali. Seperti juga bibinya, kini ia bergerak lebih cepat dan mengarahkan ujung tombak ke bagian-bagian berbahaya dari kedua orang lawan yang terus mengamuk membabi buta tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.

Adipati Tejolaksono setelah berhasil membuyarkan getaran aji penyirepan, lalu bangun dari samadhinya, keluar dari sanggar pamujan dan bergerak cepat keluar. Sanggar pamujan ini letaknya di bagian samping gedung, dan kini setelah keluar ia mendengar suara senjata beradu di sebelah belakang, di taman sari. Cepat ia berkelebat memasuki taman sari dan terkejut hatinya melihat isterinya dan bibinya dikeroyok empat orang laki-laki tinggi besar yang agaknya kebal karena dari jauh ia melihat betapa tombak isterinya dan bibinya itu berkali-kali meleset jika mengenai tubuh lawan. Ia menjadi marah sekali, bagaikan seekor garuda melayang tubuhnya mencelat dan menyambar ke depan.

"Siuuuuttt ............ dess! dessss!"

Dua kali tangannya menghantam dengan pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya menggila itu. Kalau lawan lain terkena hantaman ini tentu tubuhnya akan roboh dan hangus, atau setidaknya tentu akan patah-patah tulang iganya. Akan tetapi dua orang pengeroyok Ayu Candra itu terkena pukulan ini hanya mencelat roboh tergiling-guling tanpa mengeluh, kemudian merangkak dan bangkit kembali! Terbelalak mata Tejolaksono memandang saking herannya.

Dua orang ini sama halnya dengan dua orang tinggi besar anak buah Cekel Wisangkoro yang ia patahkan pergelangan tangannya, sama pula dengan Sariwuni, memiliki kekebalan luar biasa sehingga dapat menahan keampuhan pukulan tangannya. Ia menjadi penasaran sekali. Ditiupnya kedua tangannya kemudian ketika dua orang laki-laki gundul itu menerjang maju, ia memapak dengan loncatan dan hantaman kedua tangan ke arah kepala mereka.

TERDENGAR suara seperti buah kelapa dipukul pecah dan dua orang Itu terbanting roboh tak bergerak lagi kini karena kepala mereka pecah oleh hantaman kedua tangan sang adipati!

Ayu Candra sudah membantu Roro Luhito menghadapi dua orang laki-laki tinggi besar yang lain. Karena kini satu lawan satu, dua orang laki-laki tinggi besar itu terdesak hebat, golok mereka telah dapat dipukul runtuh dan tombak Roro Luhito sudah berhasil menusuk mata kiri lawannya sampai masuk ke kepala dan orang itu roboh berkelojotan sebentar lalu diam dan tewas. Ayu Candra yang terus mencecer baglan mata, hampir berhasil pula, akan tetapi tiba-tlba Tejolaksono berseru,

"Jangan bunuh, aku hendak menangkapnya!" Ayu Candra mundur dan Tejolaksono menerjang, menghantam roboh orang itu dengan memukul dadanya.

Orang iu terbanting roboh, merangkak hendak bangun akan tetapi kena dipiting oleh Tejolaksono sehingga tak mampu berkutik lagi. Pada saat itu, beberapa orang pengawal yang mendengar ribut-ribut di taman, sudah datang dan atas perintah Tejolaksono mereka segera menelikung orang tinggi besar itu sampai tak mampu berkutik.

"Pusporini .............. dia dilarikan penjahat .............. !”

"Lekas kau kejar, Kakangmas ..............“

Mendengar ucapan Roro Luhito dan Ayu Candra ini, bukan main kagetnya hati Tejolaksono. Tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah yang ditunjuk oleh dua wanita itu. Roro Luhito dan Ayu Candra segera menyusul dan berpencar untuk mencari Pusporini yang diculik.

Akan tetapi mereka bertiga tidak dapat menemukan jejak Pusporini, sebaliknya mendapatkan keadaan para penjaga yang kacau-balau! Para penjaga di utara dan timur kehilangan sepuluh orang perajurit sedangkan enam orang luka-luka dalam perang tanding sendiri akibat kekacauan keadaan yang gelap-gulita dan penuh godaan iblis. Sedangkan para penjaga di sebelah selatan dan barat lebih celaka lagi keadaannya. Mereka semua tertidur dalam keadaan tidak karuan, ada yang bertelanjang bulat, ada yang tertawa-tawa seperti orang mabuk, bersikap seperti orang kegilaan wanita, dan dua puluh orang di antara mereka lenyap.

Adipati Tejolaksono terpaksa kembali ke gedung kadipaten dan memanggil semua pembantunya mendengar pelaporan mereka yang aneh. Malam itu Kadipaten Selopenangkep geger dan mengalami kerugian besar. Enam orang luka-luka dan tiga puluh orang perajurit lenyap, Pusporini terculik dan sebagai gantinya hanya dapat membunuh tiga orang laki-laki gundul dan menawan seorang.

Roro Luhito pucat mukanya, dan hanya dengan kekerasan hati saja wanita tua perkasa ini dapat menahan tangisnya.

"Aduh, Anaknda Adipati, bagaimana dengan nasib Pusporini .............. ?" Ia mengeluh.

Tejolaksono dan Ayu Candra juga gelisah memikirkan Pusporini. Tejolaksono menghibur,
"Kita harus tenang, Kanjeng Bibi. Saya rasa Cekel Wisangkoro tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu Pusporini, karena kalau ia melakukan hal itu, kalau terganggu seujung rambutpun dari Pusporini, ia tahu bahwa Tejolaksono akan mencarinya sampai dapat dan akan menghancurkan kepalanya!" Berkata demikian sang adipati tampak marah sekali, kemudian ia menghela napas panjang untuk menekan perasaannya.

"Agaknya dia menangkap Pusporini dengan maksud untuk memaksa kita menyerah, Akan tetapi, saya akan berusaha merampas Pusporini kembali. Karena itu, kebetulan sekali kita dapat menawan hidup-hidup seorang di antara empat iblis gundul itu. Heh, pengawal, seret tawanan itu ke sini!"

Tawanan laki-laki tinggi besar gundul yang sudah ditelikung seperti ayam itu diseret ke depan Tejolaksono. Adipati ini terhetan-heran melihat betapa tawanan ini sama sekali tidak mengeluh, juga sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang seperti wajah mayat. Ia berusaha mengorek rahasia dari tawanan ini dengan janji-janji manis dan ancaman-ancaman mengerikan, namun tawanan itu hanya memandang dengan mata melotot dan bodoh, tidak menjawab, mengangguk tidak menggelengpun tidak!

"Hemm, engkau jangan berpura-pura bodoh!" bentak sang adipati. "Melihat kepandaian, kekebalan dan sepak terjangmu, engkau bukan orang bodoh! Hayo mengakulah, ke mana Pusporini adikku dibawa pergi. Kalau engkau mengaku dan mau membawaku ke sana, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi kalau tidak, hemm .............. engkau akan kusuruh hukum picis!"

Hukum picis adalah hukuman yang amat mengerikan pada waktu itu. Tubuh seorang tawanan akan diikat dan di situ disediakan sebatang pisau tajam, air asam garam. Setiap orang perajurit akan mengerat tubuh si tawanan dan menyiramkan air asam garam pada luka guratan itu. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang akan dialami orang yang dihukum picis sebelum ia mati kehabisan darah.

Namun tawanan itu hanya melototkan mata makin lebar saja, tak menyatakan sesuatu, baik dengan suara maupun gerakan. Ia hanya mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan. Melihat ini, sang adipati menjadi curiga, lalu menggunakan jari tangan untuk menusuk beberapa bagian jalan darah di tubuh tawanan itu. Ia tidak menyaksikan gerakan tubuh yang mengerahkan kekebalan atau hawa sakti, akan tetapi jarinya yang menusuk perlahan itu meleset! Ia mengangguk-angguk, lalu memegang kepala orang itu dan membuka pelupuk matanya memeriksa biji mata yang selalu dipelototkan.

"Ahhhhh .............. sungguh kasihan orang ini .............. " Ia berkata kemudian sambil memberi isyarat kepada pengawal untuk membawa pergi si tawanan. Kemudian ia duduk termenung.

"Apakah artinya semua itu, kakangmas?" tanya Ayu Candra. Juga Roro Luhito tidak mengerti.

"Si keparat Cekel Wisangkoro atau siapa saja yang melakukan perbuatan-perbuatan keji itu. Orang-orang itu bergerak bukan atas kehendak sendiri. Mereka seperti mayat-mayat yang telah dikuasai oleh iblis-iblis itu, tubuh mereka kebal dan mereka amat kuat dan pandai berkelahi hanya karena berada dalam pengaruh sihir yang amat kuat! Tentu saja dia tidak dapat menjawab karena dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu apa-apa, tidak dapat bicara, hanya dapat bergerak untuk menghancurkan segala yang merintangi mereka, sesuai dengan perintah rahasia yang diberikan oleh iblis berupa manusia melalui getaran dalam otak mereka. Dia itu telah mati, mati dalam hidup. Hanya jasmaninya saja yang hidup akan tetapi perasaan dan semangatnya telah berada dalam genggaman orang yang menguasai mereka."

"Si bedebah! Kalau begitu, anakku .............." Roro Luhito menahan kata-katanya dan mengerutkan keningnya.

"Aduh, Kakangmas, bagaimana dengan Pusporini?"

"Harap Kanjeng Bibi dan engkau Yayi, tenang pada saat seperti ini. Sudah menjadi kenyataan bahwa Pusporini ditawan musuh. Akan tetapi itu hanya merupakan satu di antara akibat perang yang kita hadapi. Perang yang aneh melawan orang-orang yang seperti iblis. Kita belum kalah dan kita harus mempertahankan diri di Selopenangkep. Pada waktu ini, yang terpenting adalah menjaga agar musuh tidak sampai dapat menguasai Selopenangkep. Kalau aku membawa pasukan mencari Pusporini, atau pergi mengejar, berarti keadaan Selopenangkep akan kosong dan lemah. Agaknya memang siasat ini dipergunakan musuh untuk memancing aku keluar dari kadipaten. Biarlah kita bersabar, menjaga kadipaten sambil menanti datangnya Kakang Mundingyudo yang tentu akan membawa bala bantuan dari Panjalu. Kita akan menghancurkan musuh dan percayalah, Sang Hyang Widhi tentu akan melindungi Pusporini. Orang yang benar pasti akan mendapat kemenangan terakhir."

Biarpun perasaan hati mereka hancur dan penuh kegelisahan, namun kedua orang wanita itu harus membenarkan pendapat sang adipati ini, maka mereka tak dapat berbuat lain kecuali berprihatin sambil memperkuat penjagaan dan mempertebal kewaspadaan.

**** 028 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 029 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment