Ads

Monday, February 11, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 034

<<== Kembali <<==

"Tua bangka keparat! Berani kau main-main terhadap Ki Kolohangkoro? Jangan mengira bahwa kau sudah menang, terimalah pusakaku ini!" Berkata demikian, Ki Kolohangkoro sudah mencabut senjatanya yang hebat, yaitu senjata berat berbentuk tombak pendek yang ia sebut senjata Nenggala. Kemudian dengan gerakan seperti seekor gajah mengamuk, ia menerjang maju, menghantamkan senjatanya ke arah kepala kakek itu.

"Kolohangkoro.............. , jangan.............. !" terdengar jerit Ni Dewi Nilamanik, akan tetapi karena melihat kawannya sudah menerjang maju, iapun lalu meloncat dengan gerakan ringan mendekati kakek itu dari samping, kemudian menggerakkan senjatanya yang aneh dan dahsyat keampuhannya, yaitu kebutan merah buntut kuda, mengarah leherl

"Plakkk .............. Brettt.............. !!”

Hebat bukan main serangan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik tadi, dan kedua serangan itu tiba hampir berbareng. Dari depan menyambar nenggala Ki Kolohangkoro yang menusuk ubun-ubun, dari samping menyambar kebutan mengarah pusat jalan darah di leher. Dan menghadapi dua serangan ini, kakek tua renta itu sama sekali tidak mengelak. Seperti tadi, ia hanya mengangkat kedua tangan, batok kelapa di tangan kiri menangkis senjata nenggala, sedangkan sapu lidi di tangan kanan menyampok kebutan. Dan akibatnya .............. ujung kebutan putus sedangkan nenggala di tangan Ki Kolohangkoro patah!

Dua orang sakti itu terhuyung-huyung mundur dengan muka pucat, kemudian tanpa dikomando lagi, Ki Kolohangkoro mencontoh Ni Dewi Nilamanik yang melarikan diri tanpa pamit! Bagaikan dikejar-kejar iblis, kedua orang sakti ini lari sampai jauh dan setelah merasa yakin bahwa kakek tua renta itu tidak mengejar, barulah Ni Dewi Nilamanik berhenti, menyusut keringat dan berkata perlahan,

"Aduhhh .............. berbahaya sekali .............. ! Si tua itu makin tua makin mengerikan kesaktiannya!"

Muka Ki Kolohangkoro menjadi merah sekali. Kini barulah ia mengerti mengapa Ni Dewi Nilamanik tadi menyembah-nyembah dan bersikap amat takut dan hormat kepada kakek jembel itu. Kiranya kakek itu memiliki kesaktian seperti dewa sendiri!

"Ibunda Dewi, siapakah .............. dia tadi..............?" tanyanya sambil bergidik.

Ni Dewi Nilamanik menghela napas panjang.
"Ah, rakanda wasi tentu akan terkejut dan marah bahwa tua bangka itu telah menampakkan diri pula. Kolohangkoro, dia itu adalah paman guruku sendiri, dialah Resi Mahesapati .............. “

"Wahhh .............. !" Barulah Ki Kolohangkoro terkejut seperti disambar petir.

Tentu saja ia pernah mendengar nama besar Resi Mahesapati yang kabarnya dahulu, puluhan tahun yang lalu, setelah menggegerkan Kerajaan Sriwijaya di seberang lautan, telah lenyap dan kabarnya bertapa di pantai laut Banten. Kiranya orang sakti yang amat luar biasa itu kini telah memperlihatkan diri sebagai seorang kakek yang berpakaian jembel.

"Kesaktiannya memang hebat dan agaknya hanya rakanda wasi saja yang akan mampu menandinginya. Mendiang guruku sendiri dahulu selalu memuji-muji paman Resi Mahesapati, bahkan selalu berpesan agar dalam keadaan apapun juga, aku selalu harus mentaatinya. Biasanya dia itu keras dan galak, masih untung tadi kita terbebas daripada maut."

Ki Kolohangkoro membanting-banting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah. Wajahnya keruh dan ia marah, penasaran, juga menyesal.

"Celaka! Kedua orang tawanan itu mengapa kita tinggalkan?"

"Tentu saja! Kausangka mengapa Resi Mahesapati menghadang kita di sana tadi?"

"Mengapa?"

"Apalagi kalau bukan karena dua orang tawanan kita. Sudahlah, kita bukan lawan dia. Biar rakanda Wasi Bagaspati sendiri yang memutuskan. Setelah kakek itu muncul, kita harus lebih berhati-hati lagi." Dua orang itu melanjutkan perjalanan dengan cepat dan hati kesal.

Joko Pramono yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh Ni Dewi Nilamanik dan menyaksikan semua peristiwa dengan mata terbelalak kagum, kini melihatbetapa dua orang iblis jahat itu pergi, cepat ia menghampiri kakek yang duduk bersila tadi sambil menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.

"Duhai eyang resi yang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Tak terkatakan betapa besar rasa syukur dan terima kasih hamba akan pertolongan eyang. Dapatkah hamba mengetahui nama eyang resi yang mulia?"

Sebelum kakek itu menjawab, secara tiba-tiba ada suara menyambung di belakang Joko Pramono, suara Pusporini yang juga sudah berlutut menyembah, agak berjauhan dengan pemuda itu. Suaranya lantang mengatasi suara Joko Pramono,

"Eyang resi yang budiman tentu hanya menolong manusia baik-baik, dan harap eyang ketahui bahwa bocah ini masih disangsikan kebaikannya! Hamba menghaturkan sembah sujud dan terima kasih kepada Eyang dan hamba rasa Eyang tentu telah mengenaI rakanda Adipati Tejolaksono, atau mendiang ayah hamba Pujo dan mendiang eyang hamba Resi Bhargowo."

Kakek itu sudah sejak tadi tersenyum, mengelus jenggotnya dan mengejap-ngejapkan matanya yang putih. Kini ia mengangguk-angguk.

"Nini Pusporini bocah kewek, tentu saja aku mengenal eyangmu Resi Bhargowo dan tahu akan rakandamu dan mendiang ayahmu."

Mendengar ini, Pusporini memandang kepada Joko Pramono sambil mencebirkan bibirnya dan berkata,
"Nah, kau dengar tidak? Eyang resi ini mengusir dua orang iblis tadi hanya karena aku, karena eyang resi ini telah mengenal keluargaku, keluarga Selopenangkep! Kau hanya kebetulan saja terbawa-bawa! Kalau tidak ada aku, engkau tentu telah mampus! Masih hendak berlagak lagi?"

Joko Pramono tersenyum. Ia mulai mengenal watak dara remaja ini. Biarpun lagaknya galak dan menyakitkan hati, namun itu hanyalah watak lahirnya saja, padahal batinnya tidaklah begitu buruk. Bukankah dara ini tadi sudah jelas memperlihatkan sikap membelanya ketika ia tertawan oleh Ni Dewi Nilamanik? Dara ini tidak membencinya seperti yang hendak diperlihatkannya! Karena sudah mulai mengenal watak dara ini, maka sikapnya itu tidaklah menyakitkan hatinya lagi. Ia malah ingin menggodanya terus.

"Wah, engkau ini memang seorang bocah yang sombong dan banyak lagak! Sudahlah, perlu apa melayani orang seperti engkau?" Joko Pramono menengok lagi ke arah kakek itu dan berkata, "Eyang resi, mohon Eyang sudi memberitahu nama dan julukan Eyang yang mulia."

"Eyang resi! Jangan ladeni bocah itu! Dia bocah busuk hatinya, berani ia memaki-maki keluarga Selopenangkep!" teriak Pusporini yang kini meloncat bangun dan memandang Joko Pramono dengan sinar mata mengancam.

"Eyang resi, hamba yang mohonkan ampun bagi perawan kasar tak kenal susila dan berani bersikap tidak semestinya di depan paduka Eyang resi," kata pula Joko Pramono dan biarpun kata-katanya ini ditujukan kepada kakek itu namun pada hakekatnya seperti memaki-maki Pusporini! Tentu saja dara ini menjadi makin marah, mukanya merah sekali, matanya berapi-api dan hidungnya kembang-kempis.

"Heh, keparatl Aku bersikap kasar kepadamu, setanl Bukan kepada eyang resi yang kuhormati! Jangan kau mencoba untuk membakar hati eyang resi! Bangkitlah dan mari kita bertanding sampai selaksa jurus! Biar eyang resi yang menjadi saksi dan juri!"

"Boleh, memang kau bocah sombong. Apa kaukira aku takut padamu?" Joko Pramono juga seorang pemuda yang masih remaja, darahnya masih panas, maka kini ditantang di depan kakek sakti itu, ia merasa malu kalau tidak menerimanya.

lapun bangkit berdiri menghadapi Pusporini dan dua orang muda ini sudah siap seperti dua ekor jago aduan saling mengereki untuk segera bertanding.

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha .............. !" Tiba-tiba kakek itu tertawa. Suara ketawanya halus akan tetapi mengandung getaran yang :membuat kedua orang muda itu seketika menjadi lemas, lenyap segala kemarahan dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya menoleh ke arah kakek itu dan tersenyum lebar! Tak mungkin dapat menahan ketawa melihat dan mendengar suara ketawa kakek seperti itu.

Andaikata api membara kemarahan mereka tadi, suara ketawa itu seolah-olah merupakan air wayu yang amat dingin dan yang membuat kemarahan seperti api membara itu menjadi padam sama sekali!

"Ha-ha-ha, Joko Pramono! Apa kaukira gurumu Resi Adiluhung akan suka melihat sikapmu terhadap keluarga Kadipaten Selopenangkep? Tidak, Kulup, sebaliknya engkau tentu akan ditegur habis-habisan kalau Resi Adiluhung mengetahuinya. Dan engkau, nini Pusporini, apa kaukira rakandamu Adipati Tejolaksono suka melihat sikapmu terhadap Joko Pramono? Padamkan kemarahan kalian dan dengarkan kata-kataku."

Joko Pramono terkejut bukan main. Kakek aneh ini telah mengetahui namanya, bahkan nama gurunya! Cepat ia menjatuhkan lagi dirinya di depan kakek itu, berlutut dan menyembah. Akan tetapi gerakan ini didahului Pusporini sehingga mereka seperti berlomba menghormat kakek itu, bahkan menyembah dengan berbareng saling berdampingan. Sehabis menyembah, mereka saling lirik dengan mata melotot!

"Hamba mentaati perintah Eyang resi," kata Pusporini.

"Hamba sendika (sanggup mematuhi) akan dawuh (perintah) paduka Eyang resi, selanjutnya hamba mohon petunjuk," kata pula Joko Pramono dan kata-katanya inipun bercampuran dengan ucapan Pusporini tadi karena dilakukan berbareng.

Kembali kakek itu tersenyum lebar. Ia yang telah waspada akan segala peristiwa di dunia, yang awas dan tahu akan gerak-gerik manusia, seakan-akan dapat membaca isi hati kedua orang muda itu dan karenanya ia merasa kagum akan kegaiban kekuasaan Hyang Widhi Wasesa, kagum dan ikut bergembira.

"Ha-ha-ha, kalian berdua ini selalu tidak mau saling mengalah, tidak mau kalah dan bersaingan. Bagus sekali! Joko Pramono dan engkau nini Pusporini, sudah ditentukan oleh Hyang Jagad Pratingkah bahwasanya kalian berdua berjodoh untuk menjadi murid-muridku. Ketahuilah bahwa aku adalah Resi Mahesapati dan karena getaran gaib yang berupa perintah belakalah yang memaksaku turun ke dunia ramai dan menjumpai kalian di sini. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan keteranganku, aku ingin mendengar lebih dulu kesanggupan kalian. Kalian harus ikut bersamaku, menjauhkan diri daripada dunia ramai, sebentarpun tidak boleh keluar dari tempat pertapaan selama lima tahun dan kemudian setelah lima tahun aku ingin melihat siapa di antara kalian yang lebih menang dan maju. Bagaimana, sanggupkah?"

Memang pintar sekali Sang Resi Mahesapati ini. Tadinya, mendengar bahwa mereka akan diambil murid dan harus mengasingkan diri selama lima tahun, terasa berat sekali di hati kedua orang muda itu. Akan tetapi kalimat terakhir itu membuat mereka panas hati dan bangkit semangat. Kakek ini ingin melihat siapa di antara mereka yang lebih maju setelah lima tahun, berarti mereka berdua disuruh berlomba dan bersaing!

"Hamba setuju! Biar dia belajar penuh semangat sampai lima tahun juga, tidak nanti dia dapat mengalahkan hamba," kata Joko Pramono.

“HAMBA pun setuju! Dia ini boleh saja belajar mati-matian, kaki dibuat kepala dan kepala dibuat kaki, setelah lima tahun, akhirnya dia tentu akan keok (kalah) melawan hamba!" kata Pusporini.

Kembali kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Ucapan seorang gagah, sekali keluar dari mulut tidak akan dijilat kembali. Ketahuilah, aku tidak akan menyeret kalian menyeleweng daripada ajaran-ajaran yang telah kalian terima dari guru-guru kalian. Engkau, Joko Pramono, telah mempelajari Ilmu Cantuka Sekti dari gurumu Resi Adiluhung. Aji itu cukup hebat dan selama lima tahun, aku hanya ingin menuntunmu agar ajimu itu dan aji-ajimu yang lain makin matang. Semua aji itu tiada banyak bedanya. Yang dilatih dengan penuh kematangan, tentu akan menjadi ampuh. Dan engkau, Pusporini, engkau telah banyak menerima aji-aji kesaktian yang hebat dari rakandamu Adipati. Tejolaksono, seperti Pethit Nogo dan Bojro Dahono. Biarlah aku akan membimbingmu agar semua ajimu menjadi matang dan ampuh."

Dua orang muda yang tadinya tergesa-gesa menyanggupi karena panas hati dan tidak mau saling dikalahkan, kini menjadi kaget dan merasa betapa berat-nya syarat yang diajukan kakek itu. Lima tahun mengasingkan diri! Tanpa terasa, mereka saling menoleh, saling pandang dengan pandang mata sayu, akan tetapi begitu pandang mata mereka saling beradu, timbul kembali semangat di hati mereka!

"Joko Pramono dan Pusporini, ketahuilah bahwa sesungguhnya seperti kukatakan tadi, aku muncul di dunia ramai karena mendapat getaran perintah gaib. Awan gelap dan hawa jahat bergulung datang hendak mengeruhkan suasana, mendatangkan perang dan malapetaka kepada manusia. Untuk menghalau perusuh itu, akan muncul seorang satria muda yang sakti mandraguna. Akan tetapi dia seorang diri masih belum kuat untuk mengusir marabahaya, harus disandingi tenaga-tenaga muda lain yang cukup kuat. Kalian ini berjodoh untuk menjadi murid-muridku, kalianlah yang akan menjadi dua orang di antara mereka yang bertugas membantu satria muda itu. Kalianlah yang kelak akan ikut mencerahkan suasana, mengusir kegelapan, menentang kejahatan yang merajalela dan mengancam keselamatan rakyat. Karena itu, di pundak kalian terletak tugas yang suci dan luhur sehingga kelak tidak akan percumalah kalian sebagai keturunan orang-orang gagah perkasa."

Dua orang itu termenung. Baru mereka mengerti bahwa mereka diambil murid oleh kakek sakti ini bukan hanya kebetulan belaka.

"Eyang Resi, bolehkan hamba mengetahui siapa gerangan satria muda yang harus hamba bantu kelak?"

Kakek itu tersenyum.
"Itu masih merupakan rahasia. Kelak kalian akan mengerti sendiri karena sesungguhnya satria muda itu adalah paman gurumu sendiri. Ketahuilah bahwa saat ini, guruku yang bagi dunia sudah dianggap meninggal dunia, telah berkenan mengambil satria itu sebagai murid. Dialah yang akan bertugas memberantas segala kesesatan dan kalian akan menjadi pembantu-pembantunya. Cukup sekian saja keteranganku, murid-muridku, dan sekarang, meramkanlah matamu dan jangan dibuka sebelum kusuruh."

Dalam keadaan masih berlutut, Pusporini dan Joko Pramono meramkan kedua mata mereka. Tiba-tiba mereka merasa betapa lengan mereka dipegang, kemudian tubuh mereka serasa melayang, padahal mereka masih dalam keadaan duduk bersila! Mimpikah mereka? Benar-benar seperti orang dalam mimpi.

Namun, mereka patuh kepada perintah guru mereka dan sama sekali tidak berani membuka mata sebelum guru mereka menyuruh. Mereka tidak melIhat sesuatu, hanya bunyi angin semilir memenuhi kedua telinga.

"Pusporini............ Anakku............ Heh, manusia-manusia biadab, lepaskan puteriku! Hayo, lawanlah Roro Luhito ............ !”

"Bibi, ingat, Bibi ............ !" Tejolaksono terpaksa melompat dan menangkap lengan tangan Roro Luhito yang seperti orang kesurupan setan, hendak berlari mengejar puterinya yang telah dilarikan entah ke mana.

Roro Luhito tadinya meronta-ronta, akan tetapi setelah berkali-kali Tejolaksono dan Ayu Cancra membujuknya, ia menjadi tenang. Wajahnya pucat sekali, matanya menyinarkan kemarahan, dan suaranya terdengar dingin ketika ia berkata,

"Anakku Tejolaksono, engkau tahu bahwa aku tidak akan dapat hidup kalau membiarkan Pusporini begitu saja terjatuh ke tangan lawan. Tidak, biar sampai mati aku harus mencarinya sampai dapat. Engkau tentu maklum apa yang akan terjadi pada diri puteriku kalau tidak lekas ditolong. Biarkanlah aku pergi mengejar mereka."

"Berbahaya sekali, Bibi. Biarlah saya yang mengejarnya."

"Kakangmas............ !" Ayu Candra berseru dengan suara gemetar.

"Benar isterimu, Tejolaksono anakku. Kadipaten tidak boleh kautinggalkan, hal itu berbahaya sekali. Biarlah aku yang mencari adikmu sampai dapat atau............ aku takkan kembali sebelum dapat menolongnya. Selamat tinggal!"

"Nanti dulu, Bibi. Tak mungkin Kanjeng Bibi pergi seorang diri saja." Adipati Tejolaksono lalu memanggil dua losin orang pengawal untuk membantu bibinya yang memaksa diri hendak nekat mencari Pusporini. Ia maklum akan genting dan sulitnya keadaan. Ia harus mengakui bahwa memang amatlah berbahaya nasib Pusporini terjatuh ke tangan orang-orang biadab itu dan memang amat membutuhkan pertolongan dengan segera. Dan ia tahu bahwa mungkin penangkapan atas diri Pusporini itu disengaja untuk memancingnya keluar. Kalau ia keluar dari kadipaten, tentu kadipaten akan menjadi lemah dan akan diserbu musuh. Memang satu-satunya jalan untuk menolong Pusporini hanyalah bibinya, Roro Luhito. Akan tetapi iapun ragu-ragu. Musuh terlampau banyak dan di antara mereka terdapat banyak orang sakti. Biarpun bibinya bukan wanita sembarangan, namun ia sangsi apakah bibinya akan berhasil menolong Pusporini? Jangan-jangan malah membahayakan dirinya sendiri. Betapapun juga, tidak mungkin ia dapat mencegah kehendak bibinya itu. Maka terpaksa ia lalu menyuruh dua losin orang pengawal yang cukup tangguh untuk mengawal bibinya.

Rombongan ini lalu berangkat melakukan pengejaran. Adipati Tejolaksono bersama isterinya lalu mencurahkan perhatiannya kepada penjagaan di Selopenangkep yang sudah terkepung musuh dari segenap jurusan. Kegelisahan hati mereka tentang keselamatan Pusporini dan bibi mereka terpaksa mereka kesampingkan lebih dulu.

"Nimas, keadaan kita amat berbahaya. Engkau tidak boleh berpisah dari sampingku dan harus selalu waspada."

Ayu Candra hanya mengangguk lesu. Terlalu banyak peristiwa sedih yang susul menyusul melemahkan semangat wanita ini. Mula-mula puteranya secara terpaksa dipisahkan dari sampingnya, ditambah tewasnya bibinya, Kartikosari. Kemudian disusul dengan munculnya Endang Patibroto yang membawa pergi Setyaningsih entah ke mana. Kini ditambah terculiknya Pusporini oleh musuh dan perginya Roro Luhito yang secara nekat melakukan pengejaran, padahal musuh amat besar jumlahnya dan memiliki banyak orang sakti. Sekarang, Kadipaten Selopenangkep dikepung musuh dan ia tahu bahwa hal yang paling menggelisahkan hati suaminya adalah karena melihat betapa banyaknya penduduk Selopenangkep yang kini datang bersama musuh, menjadi sekutu dan anak buah musuh!

Malam itu Adipati Tejolaksono mengumpulkan dan mencacahkan jumlah seluruh pasukannya. Tidak lebih hanya tiga ratus orang perajurit, termasuk para pengawal, para abdi dalem dan rakyat penduduk kadipaten yang setia. Banyak di antara penduduk yang siang-siang sudah diam-diam melarikan diri keluar kadipaten. Tigaratus orang, harus menghadapi kepungan musuh yang entah berapa banyaknya! Dan pembantunya, Mundingyudo, baru saja berangkat ke kota raja Panjalu. Ia sangsi apakah bantuan dari Panjalu dapat diharapkan datang sebelum terlambat.

Adipati Telolaksono membagi tugas, mengumpulkan para kepala pasukan yang ia bagi menjadi lima. Ia segera mengatur siasat. Penjagaan dilakukan sekeliling kadipaten, merupakan lima kelompok yang selalu bergerak, berpindah-pindah saling bertukar tempat. Kalau sewaktu-waktu pasukan lawan melakukan penyerbuan, pasukan kadipaten harus membentuk barisan Kalajengking Sakti. Barisan dengan gaya inilah yang paling tepat untuk melakukan penjagaan kadipaten dan menghadapi musuh yang besar jumlahnya.

Barisan bergaya Kalajengking Sakti ini dibagi menjadi lima. Dua barisan kepala di depan merupakan sepasang sapit kalajengking yang menghadapi musuh terbesar dari depan, dari kanan kiri datangnya, menyerang ke arah lambung pasukan besar lawan yang datang menyerbu. Dua barisan lain yang lebih kecil menjaga lambung di kanan kiri merupakan deretan kaki kalajengking, dua pasukan ini mencegah penyerbuan gelap dari jurusan kanan kiri dan mereka ini terdiri daripada barisan panah. Ke lima adalah barisan terbesar yang berada di belakang, merupakan sengat kalajengking. Barisan inilah sebetulnya yang menjadi barisan inti, barisan penyerang yang dipimpin sendiri oleh Adipati Tejolaksono dan isterinya. Barisan ini tugasnya melakukan penyerangan tiba-tiba kepada pasukan penyerbu dan cepat mundur lagi jika barisan sepasang capit sudah kuat kembali, untuk menyusun tenaga dan secara tiba-tiba menyerang lagi. Karena gerakannya cepat tak terduga dan di dalam pasukan ini terletak inti penyerangan yang amat kuat, maka dapat diharapkan fihak penyerbu akan dapat dihancurkan.

Semua telah siap di kadipaten. Penjagaan dilakukan secara bergilir dan tepat agar semua anggauta pasukan mendapat giliran mengaso dan tidur. Bagian dapur umum juga sudah sibuk, mempersiapkan ransum bagi para pasukan yang bertugas berat. Juga bagian perlengkapan senjata selalu sibuk, mempersiapkan senjata-senjata cadangan, mengasah dan menambah jumlah anak panah darurat. Pendeknya, Kadipaten Selopenangkep telah siap sedia dengan semangat tempur yang tinggi.

Akan tetapi, malam itu fihak musuh tidak ada yang melakukan serangan, bahkan tidak melakukan gerakan sama sekali. Dari atas menara kadipaten yang juga dipergunakan sebagai pusat penjagaan, Adipati Tejolaksono melakukan penyelidikan. Hanya tampak obor dan barisan musuh yang padat, tidak bergerak namun mengambil posisi mengurung kadipaten. Hatinya gelisah kalau teringat akan Pusporini dan Roro Luhito. Tidak ada kabarnya sama sekali bibinya dan adik misannya itu. Juga tidak ada seorangpun di antara pasukan pengawal bibinya datang melapor.

Menjelang pagi, ketika ayam jago mulai berkeruyuk, burung-burung mulai berkicau menyambut datangnya fajar, tampaklah pasukan musuh bergerak makin mendekati kadipaten. Pasukan-pasukan kadipaten siap sedia dan kini di pintu gerbang bagian barat terdapat pasukan yang bersorak-sorak. Agaknya pasukan di pintu gerbang barat inilah merupakan pasukan inti lawan, karena di situ tampak Cekel Wisangkoro, Sariwuni, bahkan kelihatan pula Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro yang mengepalai barisan masing-masing.

Pasukan Ni Dewi Nilamanik sendiri daripada wanita-wanita cantik dan muda, yang berbaris rapi dengan pakaian indah, dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama adalah pasukan wanita bersenjata gendewa dan anak panah, kelompok ke dua adalah pasukan wanita bertombak, dan ke tiga pasukan wanita berpedang. Juga barisan yang dipimpin Ki Kolohangkoro amat menyeramkan, terdiri daripada laki-laki tinggi besar seperti raksasa, ada pasukan tombak, ada pasukan penggada dan kesemuanya kelihatan kuat-kuat menyeramkan.

Yang mengerikan adalah pasukan raksasa gundul yang seperti boneka hidup. Mereka ini dipimpin oleh Cekel Wisangkoro. Raksasa-raksasa gundul yang seperti boneka atau mayat hidup ini tidak bersenjata, akan tetapi mereka ini kelihatan lebih mengerikan. Dan bercampur dengan bermacam pasukan ini tampaklah para petani, rakyat wilayah Selopenangkep yang kena terbujuk atau terpikat sehingga mereka ini ikut menyerbu kadipaten mereka sendiri! Mereka ini terdiri daripada orang-orang yang memang pada dasarnya tidak memiliki kesetiaan, yang bodoh, yang kena terbujuk karena pengaruh wanita-wanita penyembah Durga yang genit-genit, yang kena pikat oleh harta benda, atau yang terbujuk melalui pelajaran kebatinan dan Agama Shiwa.

Akan tetapi, para perajurit Selopenangkep tidak memperhatikan keadaan pasukan musuh, bahkan tidak gentar melihat mereka. Yang membuat mereka terbelalak adalah ketika fihak musuh mengeluarkan dua buah gala bambu yang panjang dan di ujung gala bambu ini tampak dua buah kepala. Yang sebuah adalah kepala Mundingyudo, pemimpin pasukan Selopenangkep! Adapun yang ke dua adalah kepala Roro Luhito!

"Aduh, kanjeng bibi" Ayu Candra yang memeriksa bersama suaminya dari atas menara, tiba-tiba mengeluh dan terhuyung roboh, akhirnya pingsan di dalam pelukan suaminya.

Adipati Tejolaksono sambil memeluk isterinya yang pingsan, memandang ke bawah, keluar pintu gerbang dan ke arah kepala bibinya dan pembantunya. Matanya menyinarkan api kemarahan, dadanya serasa hendak meledak, giginya berkerot, tangan kanannya mengepal tinju. Jelas bahwa bibinya terbunuh, gagal merampas kembali Pusporini yang entah berada dimana. Terbunuhnya bibinya itu berarti terbunuhnya dua losin pengawal yang membantunya. Dan Mundingyudo juga terbunuh, hal ini berarti bahwa usahanya minta bantuan ke Panjalu gagal pula. Tidak ada jalan lain, ia harus melawan mati-matian! Cepat ia menyadarkan isterinya, lalu menghiburnya,

"Nimas, Kanjeng Bibi tewas sebagai seorang pahlawan. Namanya akan dipuja sepanjang masa sebagai seorang perajurit yang membela Selopenangkep sampai mengorbankan nyawa. Tidak perlu kiranya disedihkan lagi, lebih penting kita siap-siap menggempur musuh untuk membalaskan kematian Kanjeng Bibi Roro Luhito dan yayi dewi Pusporini!"

Bangkit semangat Ayu Candra mendengar ucapan suaminya ini. Dengan muka beringas ia melompat bangun, meraba gagang kerisnya.

"Mari kita hajar mereka, Kakangmas!"

Pagi hati itu dimulailah perang campuh yang hebat. Melihat betapa kadipaten dijaga kuat, barisan musuh yang kini dipimpin langsung oleh Ni Dewi Nilamanik menantang dan mengatur barisan di luar kadipaten. Barisan yang merupakan penggabungan macam-macam pasukan itu, terdiri dari lima ratus orang lebih, hampir dua kali jumlah seluruh perajurit Selopenangkep. Perang tanding ini terjadi amat seru, berlangsung dari pagi sampai petang. Namun ternyata, siasat barisan Selopenangkep dengan gelar Kalajengking Sakti ini benar-benar ampuh. Apalagi karena bagian intinya, yaitu bagian sengat kalajengking, penyerang utama barisan itu, dipimpin sendiri oleh sang adipati bersama isterinya.

Barisan Selopenangkep mengamuk dan banjir darah terjadi di medan yuda. Sang Adipati Tejolaksono dan bersama Ayu Candra mengamuk seperti banteng-banteng terluka dan hanya setelah para pimpinan pasukan musuh yang terdiri dari Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan dibantu oleh dua orang Gagak, maju menyambut, barulah Adipati Tejolaksono dan isterinya terdesak hebat.

Namun gerak barisan Kalajengking Sakti tidak membiarkan barisan "sengat" ini terdesak. - Pasukan-pasukan yang merupakan sapit membantu dari kanan kiri dan pasukan inti itu mundur lagi untuk menyusun tenaga baru.

Setelah hari menjadi petang, perang tanding dihentikan, barisan musuh mundur dan pasukan kadipaten juga kembali memasuki kadipaten. Kedua fihak, bagaikan dua ekor harimau bertanding dan kini menjilat-jilati luka-luka di tubuh masing-masing, kini menghitung-hitung sisa pasukan. Hebat memang akibat perang sehari itu. Di fihak Selopenangkep kehilangan lima puluh orang lebih perajurit yang tewas dan terluka berat, belum terhitung yang luka-luka ringan. Tiga orang kepala pasukan tewas pula. Akan tetapi di fihak musuh, kerugian yang diderita ternyata lebih besar lagi. Lebih dari seratus orang perajurit tewas, tidak terhitung yang terluka, dan Ki Kolohangkoro terpaksa harus beristirahat sedikitnya tiga hari karena dalam perang tanding tadi, ketika ia ikut mengeroyok Adipati Tejolaksono dan beradu lengan yang dipenuhi getaran hawa sakti, ia kalah kuat dan hawa sakti yang dilancarkan lewat pukulannya membalik dan melukai isi dadanya sendiri sehingga ia harus beristirahat untuk memulihkan tenaga.

Sungguhpun melihat jumlah korban dalam pertandingan itu boleh dikatakan fihak Selopenangkep mendapat kemenangan, namun kenyataannya tidak demikian. Jumlah pasukan Selopenangkep lebih kecil, dan dengan jatuhnya korban-korban itu, kini keadaan mereka menjadi makin payah dan lemah. Apalagi, kadipaten sudah dikurung sehingga mereka tidak dapat mengirim permintaan bantuan ke Panjalu. Kalau mereka terus dikurung, tanpa diperangipun mereka akhirnya akan kalah sendiri karena kehabisan ransum. Agaknya siasat ini pula dijalankan oleh Cekel Wisangkoro yang menjadi penasehat dalam barisan itu, seorang yang banyak mengerti akan siasat perang karena Cekel Wisangkoro ini dahulunya bekas senopati Kerajaan Cola.

Cekel Wisangkoro tidak hanya melakukan pengurungan yang amat ketat dengan menambah jumlah pasukan, bahkan setiap malam ia menyuruh barisan panah untuk menghujankan anak panah ke arah kadipaten, anak panah yang disertai api sehingga setiap malam, Kadipaten Selopenangkep sibuk memadamkan kebakaran dan hanya dapat membalas dengan anak panah ke arah yang mengawur karena fihak musuh selalu berpindah tempat di tengah malam gelap itu!

Siasat yang dipergunakan musuh itu benar-benar melemahkan keadaan para perajurit Selopenangkep. Setelah pengurungan dilakukan selama sepekan, keadaan mereka benar-benar dalam bahaya karena beras telah habis tinggal sehari lagi! Menyelundupkan dari luar tidak mungkin karena penjagaan amat ketat dan untuk menyerbu mati-matian keluar, berarti mengosongkan kadipaten. Malam itu, sebelum musuh melakukan penyerangan dengan anak panah berapi seperti biasa, Tejolaksono memanggil semua pembantunya, para perwira dan kepala pasukan. Ketika ditanya pendapat mereka, seorang panglima tua mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara penuh kegagahan,

"Gusti adipati, hamba sekalian bersedia mempertahankan Selopenangkep sampai titik darah terakhir!"
Para perwira menyambut pernyataan ini dengan suara tak seorang pun di antara mereka yang gentar menghadapi kematian dalam mempertahankan Selopenangkep. Adipati Tejolaksono terharu sekali, akan tetapi suaranya sungguh-sungguh dan tegas ketika ia berkata,

"Tidak benar pendapat kalian ini, para Paman dan Kakang senopati. Kita harus mencari siasat untuk mengosongkan kadipaten dan menyelamatkan diri."

"Meninggalkan kadipaten, membiarkan kadipaten jatuh ke tangan musuh? Maaf, Gusti adipati! Akan tetapi sungguh-sungguh hamba tidak dapat menerima pendapat ini. Musuh baru boleh menduduki kadipaten, akan tetapi hanya melalui mayat hamba!" bantah panglima tua yang sudah puluhan tahun menjadi hulubalang di Kadipaten Selopenangkep. Pernyataan yang gagah ini kembali disetujui semua kawannya.

Adipati Tejolaksono yang duduk di dekat isterinya, mengangguk-angguk dan berkata kembali
"Aku dapat menghargai kesetiaan kalian, dan jangan mengira bahwa aku sendiri kurang mencinta Kadipaten Selopenangkep. Aku terlahir di tempat ini, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mempertahankan Selopenangkep. Akan tetapi, hendaknya andika sekalian mengerti bahwa gerakan musuh ini bukanlah sekedar untuk memusuhi Selopenangkep. Sama sekali bukan, Selopenangkep hanya merupakan awalan yang kecil saja. Gerakan mereka merupakan ancaman untuk seluruh Nuswantara, dan tujuan mereka adalah menundukkan Panjalu dan Jenggala. Kalau sekali ini kita kalah, bukan berarti kita kalah perang. Sama sekali tidak, Paman dan Kakang senopati. Kekalahan kita sekarang ini dapat kita tebus kelak dalam pertempuran di lain kesempatan, bukan kalah perang melainkan hanya kalah dalam suatu pertempuran karena kalah banyak jumlah perajurit kita. Kita harus mencari siasat dan jalan untuk keluar dari sini dalam keadaan selamat."

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 035 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment