Ads

Monday, February 18, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 052

<<== Kembali <<==

Pagi-pagi sekali para calon pengikut sayembara sudah berbondong-bondong mendaki puncak Wilis, didahulul oleh serombongan anak buah Padepokan Wilis yang dipimpin sendiri oleh LimanWilis sebagai penyambut para tamu. Lebih dari dua puluh orang calon pengikut sayembara diiringkan wali masing-masing yang terdiri darI guru, ayah sendirl, atau jagoan undangan mereka. Mereka mendaki puncak dengan wajah serius dan hati berdebar-debar karena sedikit banyak nama Padepokan Wilis, terutama sekali nama Endang Patibroto sudah membuat hati mereka gentar.

Di antara banyak pengikut ini tampak Pangeran Panji Sigit dan Ki Datujiwa yang berjalan paling belakang. Di tengah lapangan di atas puncak, tempat para anak buah Padepokan Wilis biasanya berlatih ulah yuda, telah dibangun sebuah panggung yang luasnya ada lima meter persegi, terbuat daripada balok-balok dan papan tebal. Panggung inilah yang akan menjadi arena pertandingan dengan ketentuan bahwa slapa yang dipaksa turun panggung, berarti kalah. Hal ini sengaja diadakan untuk mencegah atau mengurangi kekalahan yang mendatangkan maut, karena yang sudah terguling, tidak akan diserang lagi dan sudah dianggap kalah.

Endang Patibroto, Setyaningslh, dan Retna Wilis sudah duduk di kursi dekat panggung. Semua mata tentu saja ditujukan ke arah mereka. Orang-orang muda yang menjadi calon pengikut, memandang ke arah Setyaningsih dan banyak di antara mereka yang menahan napas menelan ludah sendiri. Dara remaja itu demikian cantik jelita, sehingga bangkitlah semangat mereka untuk mencoba-coba, siapa tahu akan "kejatuhan bulan"! Andaikata kalah atau terluka berat sampai mati sekalipun, mereka tidak akan penasaran memperebutkan seorang dara seperti dewi kahyangan Itu.

Setyaningsih hanya menyapu mereka dengan pandang mata kosong, akan tetapi pipi dara inl mendadak menjadi merah dan matanya berserl gembira bercampur malu-malu dan segera menundukkan muka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Pangeran Panji Sigit!

Adapun para wall yang datang hendak membela murid, putera, atau pengundang mereka ini, memandang ke arah Endang Patibroto dengan pandang mata kagum bercampur sangsl dan khawatir. Baru melihat saja orang sudah dapat menduga bahwa Endang Patibroto adalah seorang wanita yang saktl mandraguna, pandang matanya tajam dan dingin mengerikan, seluruh pembawaannya membayangkan tenaga mujijat yang menyeramkan. Seorang lawan yang amat berat, demikian rata-rata di pikiran para wali yang terdiri daripada orang-orang tua yang digdaya Itu. Tentu saja para orang muda yang hadlr juga memandang ke arah Endang Patibroto dengan jerih dan kagum. Kagum menyaksikan betapa wanita saktl yang amat terkenal itu ternyata masih cantik jelita, bagaikan buah sudah masak di samping Setyaningsih yang bagaikan sebutir buah yang ranum matang ati. Dan jerih karena sesungguhnya dalam sayembara tanding ini, Endang Patibroto-lah yang menentukan kesudahannya. Biarpun di antara mereka ada yang sanggup mengalahkan Setyaningsih, namun kalau walinya tidak dapat mengalahkan Endang Patibroto, berarti gagal juga.

Setelah hening sejenak, Limanwilis melompat naik ke atas panggung. Lompatannya ringan, karena tiga orang kakak beradik Wilis itu telah digembleng aji meringankan tubuh Bayu Tantra oleh Endang Patibroto. Melihat gaya lompatan pembantu ketua Padepokan Wilis ini saja, banyak sudah yang memuji dan menjadi gentar. Lompatan orang tinggi besar itu sedemikian ringannya seolah-olah lompatan seekor kucing, dan ketika kedua telapak kakinya menginjak papan panggung, sedikitpun tidak mengeluarkan suara, juga tidak menggetarkan panggung.

Limanwilis mewakili ketuanya menyampaikan selamat datang kepada semua peserta, kemudian menjelaskan peraturan sayembara, dinyatakan bahwa maksud sayembara ialah memilih seorang calon jodoh untuk Setyaningsih, adik kandung ketua Padepokan Wilis dan bahwa di dalam sayembara ini tidak ada tentang permusuhan, baik pribadi maupun golongan sehingga pertandingan diatur dengan panggung agar mengurangi kemungkinan tewas. Hal ini diharapkan pengertian para peserta sehIngga sifat sayembara hanya "menguji kepandaian" dan bukanlah pertempuran untuk membunuh atau melukai lawan. Kemudian ia menutup sambutannya dengan peraturan terakhir,

"Siapa saja yang berniat memasuki sayembara, dipersilahkan naik ke panggung secara bergilir. Adapun ketua kami yang akan menentukan apakah peserta yang boleh bertanding lebih dahulu ataukah walinya." Kemudian Limanwilis kembali mempersilahkan peserta pertama naik ke panggung. Lalu iapun melompat turun dan kembali ke tempatnya, yaitu rombongan anak buah Padepokan Wilis yang berbaris rapi dan angker.

Karena sebagian besar para peserta mengambil sikap "sip", mereka itu hanya menanti dan "melihat-lihat gelagat" maka sampai lama tidak ada juga yang naik ke panggung! Keadaan sunyi hening dan menggelisahkan. Akhirnya terdengar suara kecil nyaring,

"Apakah yang datang para pingecut? Kalau tidak berani bertanding, untuk apa mengikuti sayembara dan mau apa datang ke sini?"

Semua orang menengok dan memandang ke arah Retna Wilis yang mengeluarkan ucapan itu. Merahlah muka semua orang, termasuk Endang Patibroto yang tidak keburu mencegah puterinya. Di dalam hatinya ia merasa cemas. Puterinya ini benar-benar amat tajam mulutnya, dan mempunyai pandangan seperti seorang dewasa saja.

Tiba-tiba tampak bayangan melompat ke atas panggung. Dia seorang pemuda tampan dan setelah menghadap ke arah Endang Patibroto, ia berkata,

"Saya Pranolo dari Ponorogo mengambil kehormatan untuk menjadi peserta pertama!"

Tepuk sorak gemuruh menyambut naiknya pemuda ini. Orang bukan kagum akan gerakannya melompat yang tak dapat dikatakan gesit, masih kalah oleh Limanwilis tadi, melainkan memuji ketabahannya naik sebagai orang pertama.

Sekilas pandang Endang Patibroto merasa suka kepada pemuda ini yang cukup tampan. Dia teringat bahwa daerah Ponorogo memiliki banyak orang sakti. Akan tetapi melihat gerakan pemuda ini ketika melompat tadi, jelas bahwa ilmunya meringankan tubuh kurang tinggi. Betapapun juga, masih timbul harapan di hatinya. Siapa tahu kalau-kalau hanya ilmu meringankan tubuhnya saja yang lemah sedangkan ilmu lainnya kuat. Maka ia memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Setyaningsih yang bangkit dengan tenang, melangkah maju dan sekali mengayun tubuh, tubuhnya yang langsing dan berkulit kuning itu melayang seperti seekor burung terbang, hinggap di atas panggung di depan Pranolo.

Tepuk tangan makin riuh dan semua orang kini benar-benar kagum, baik atas gaya loncatan indah itu maupun untuk kejelitaan yang kini nampak nyata setelah dara itu berada di atas panggung. Setyaningsih mengikat rambutnya ke belakang, ujung rambut terurai seperti ekor kuda, di atas terhias cunduk emas permata. Bajunya berlengan pendek, berkembang dan berwarna merah. Kembennya berwarna kuning kehijauan, sedangkan kainnya berwarna biru, tepinya agak tinggi sehingga tampaklah betis memadi bunting dan mata kaki yang merit, tungkak yang berwarna jambon. Kulit lengan dan betis itu bersih halus, kuning kemerahan amat menggairahkan hati para peserta sayembara.

Dengan sikap tenang Setyaningsih berdiri di depan Pranolo. Pranolo sejenak seperti terpesona, tak tahu harus berbuat atau berkata apa melainkan memandang dara yang berada di depannya. Tercium olehnya keharuman yang tipis dan pemuda ini menelan ludah. Kebimbangan dan kebingungan Pranolo, sampai cara ia menelan ludah jelas tampak oleh semua orang sehingga mulailah terdengar kekeh tawa yang membuat pemuda itu makin gagap-gugup lagi. Dari bawah panggung terdengar seorang kakek berkata,

"Pranolo, lawan telah slap, engkau menanti apa lagi?"

"Ohh ............ baiklah, Eyang, baik ............ !" Pranolo menjawab gagap lalu melangkah maju mendekati Setyaningsih dan berkata, "Maafkan ............ maafkan keberanianku............ “

Setyaningsih hanya mengangguk, diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda yang canggung ini. Pranolo lalu menerjang maju, serangannyapun bukan serangan pukulan atau tendangan, melainkan serangan untuk menangkap lengan dara itu, agaknya ia pikir kalau dapat menangkap lengan Setaningsih dan mendorongnya turun panggung, ia tentu akan menang. Gerakannya cukup sebat dan mantap, namun dalam hal kepandaian ia jauh kalah oleh Setyaningsih. Gadis inipun tidak suka mempermainkan orang. Begitu ia mengelak beberapa kali daripada sambaran tangan lawan yang hendak menangkap lengannya, cepat dari samping ia menendang ke arah belakang lutut kanan Pranolo.

Pemuda itu berseru kaget karena kakinya tiba-tiba melengkung dan ia hampir roboh. Tiba-tiba pergelangan tangannya disambar oleh Setyaningsih dan sekali dara ini mengayun, tubuh Pranolo melayang terlempar turun panggung Akan tetapi pemuda itu tidak terbanting keras, melainkan melayang turun dengan kaki di bawah sehingga ketika ia mendarat, ia hanya terhuyung saja dan mengalami kaget.

Tepuk tangan gemuruh menyambut kemenangan pertama ini. Mereka yang ilmunya tinggi, termasuk Endang Patibroto, tentu saja mengerti bahwa Setyaningsih menaruh kasihan kepada lawannya, kalau tidak tentu lemparan ke bawah panggung itu setidaknya akan membuat kulit lecet kepala benjut. Endang Patibroto kecewa. Kalau macam itu saja pemuda-pemuda yang hadir, tidak ada harapan bagi Setyaningsih untuk mendapatkan jodoh yang patut. la teringat akan Pangeran Panji Sigit dan mengerling ke arah pemuda itu. Ia melihat seorang kakek berpakaian sederhana, bertubuh kecil berdiri di dekat Panji Sigit dan menduga bahwa tentu itulah yang bernama Ki Datujiwa. Sinar mata orang itu hebat, pikir Endang Patibroto, akan tetapi hatinya panas kembali kalau terIngat betapa orang itu langsung mengangkat Retna Wilis sebagai murid. Pula, sungguhpun harus ia akui bahwa Pangeran Panji Sigit mempunyai banyak persamaan dengan mendiang suaminya, Pangeran Panjirawit, wajahnya mirip dan sikapnya juga sama halusnya, akan tetapi di sudut hati Endang Patibroto sudah menaruh rasa tidak suka kepada Jenggala sehingga kalau mungkin, lebih senang kalau ia melihat adik kandungnya mendapatkan jodoh lain orang.

Kekalahan Pranolo itu diam-diam telah mengundurkan enam orang peserta lainnya, yaitu mereka yang merasa masih belum dapat menandingi Pranolo, apalagi harus melawan Setyaningsih. Betapapun hati mereka gandrung wuyung, tergila-gila menyaksikan dara remaja yang jelita dan tangkas itu, namun merekapun merasa segan untuk mendapat malu seperti Pranolo, baru bertanding dalam beberapa jurus saja sudah keok!

Berturut-turut maju lagi dua orang pemuda yang masih muda dan cukup tampan. Melihat sikap mereka itupun sopan seperti Pranolo, Setyaningsih maju melawan mereka dan mengalahkan mereka dalam waktu singkat saja, melemparkan mereka turun dari panggung!

Kembali kekalahan dua orang pemuda yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari Pranolo itu membuat banyak pemuda lainnya diam-diam membatalkan niatnya mencoba-coba. Kiranya Setyaningslh benar-benar hebat sekali dan mereka menjadi ngeri sendilri memikirkan betapa mereka akan dilempar atau dibanting oleh tangan halus itu. Maka setelah Setyaningsih melompat turun dan duduk kembali dekat Endang Patibroto sehabis mengalahkan orang ke tiga, dan ketika Limanwilis mempersilahkan peserta berikutnya naik panggung, tidak ada seorangpun pemuda berani naik dan mereka itu hanya saling pandang dan saling menanti saja. Memang masih banyak di antara mereka yang memiliki ilmu kepandaIan tinggi, akan tetapi mereka yang menyaksikan ketangkasan Setyaningsih menjadi ragu-ragu apakah mereka akan dapat menandingi dara perkasa itu.

Setelah keadaan mulai menegang karena tidak ada yang menyambut desakan Limanwilis, tiba-tiba terdengar suara terbahak dan sesosok bayangan tiInggi besar meloncat naik ke atas panggung. Terdengar suara berdebukan ketika kedua kaki laki-laki tinggi besar ini tiba di papan panggung, dan panggung itu sendiri tergetar!

Diam-diam Endang Patibroto tertarik dan kaget. Pria itu tentu, lebih dari tiga puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi tegap dan kokoh kuat seperti kebanyakan anak buah Padepokan Wilis. Mukanya cukup gagah, dengan kumis melintang dan dagu tertutup jenggot tipis. Ikat kepalanya berkembang merah, sabuknya putih dan mengkilap, agaknya dari perak, kainnya berdasar merah dan celananya putih. Begitu tiba di atas panggung, pria itu menghormat ke arah Endang Patibroto dan berkata, suaranya keras sekali,

"Namaku Joko Bono, di pesisir selatan orang menyebutku si Lengan Baja. Terus terang saja, aku kagum menyaksikan kedigdayaan sang dyah ayu sehingga ragu-ragu untuk menandinginya. Apalagi mendengar nama ketua Padepokan Wilis, sungguh sampai mati saya tIdak akan berani lancang melawannya. Akan tetapi, aku hidup seorang diri di dunia ini, tidak ada wali. Karena ingin menguji ilmu, aku memaksa diri naik, walinyapun aku sendiri. Terserah apakah Padepokan Wilis sudi memperkenankan aku ikut atau tidak."

Semua orang memandang penuh perhatian dan hati mereka merasa tertarik. Biarpun sebagian besar di antara mereka baru sekali ini bertemu dengan pria tinggi besar itu, namun nama Si Lengan Baja Joko Bono telah terkenal sekali sebagai seorang jagoan di pesisir selatan. Terkenal karena lengan dan tangannya yang kuat sekali, dan wataknya yang jujur, terbuka dan penuh keberanian. Dari ucapannya di atas panggung tadipun terbayanglah sifatnya yang terbuka sehingga Endang Patibroto merasa suka. Setelah bertukar pandang dengan Setyaningsih, ia berbisik lirih,

"Lawanlah, akan tetapi hati-hati, kedua lengannya amat kuat dan jangan mengadu tenaga dengan dia. Pergunakanlah kecepatan, tundukkan dengan Pethit Nogo sebelum mendorong dia ke bawah."

Setyaningsih mengangguk lalu bangkit dan melompat ke atas panggung. Semua orang berdebar tegang. Tadinya, karena ucapan Bono, mereka mengira bahwa sekali ini tentulah Endang Patibroto sendiri yang naik panggung karena bukankah Joko Bono itu tidak mempunyai wali? Endang Patibroto berhak untuk menghadapinya. Akan tetapi, siapa menduga, ternyata Setyaningsih sendiri yang maju! Tentu saja mereka menjadi berkhawatir sekali dan berdesakanlah mereka, maju mendekati panggung agar dapat menonton lebih jelas.

"Ha-ha-ha! Sungguh Padepokan Wilis menaruh kasihan kepadaku, membiarkan sang dyah ayu melawanku. Marilah, Nimas Ayu, biar terbuka mata Bono menyaksikan aji-aji kesaktian Padepokan Wilis!"

Setyaningsih sudah mengenal watak calon lawannya yang terbuka dan jujur, maka iapun tersenyum dan menjawab,

"Aku sudah siap. Majulah, Joko Bono."

"Bagus! Awas seranganku............ hyeew eeetttt ............ !!"

Dengan gerakan cepat laksana seekor harimau menubruk anak kambing, Bono menerjang maju, lengan kanan yang besar itu menyerang dengan kepalan memukul ke arah pundak Setyaningsih. Cepat dan keras sekali, mendatangkan angin yang sudah terasa oleh dara itu sebelum kepalannya tiba. Namun Setyaningsih dengan kecekatan mengagumkan sudah miringkan tubuh dan jari-jari tangannya yang terbuka dan diisi dengan Aji Pethit Nogo menyambar dari samping, menghantam lambung.

"Wuuut ............ plakk............!" Bono dapat menangkis tamparan itu dengan lengan kirinya yang seperti juga lengan kanannya, terlindung lingkaran besi kuningan.

Setyaningsih memang tadi sengaja membiarkan tamparannya tertangkis karena biarpun ia sudah diberi peringatan oleh ayundanya, ia masih belum puas kalau tidak mencoba sendiri. Ternyata tamparan Pethit Nogo itu dapat ditangkis dan telapak tangannya terasa panas, tanda bahwa lengan lawan memang benar amat kuat, sesuai dengan julukannya Si Lengan Baja!

Sebaliknya, Joko Bono juga merasa betapa kulit lengannya pedas ketika bertemu dengan tamparan jari-jari tangan lunak kecil itu. Diam-diam ia kaget dan kagum. Tahulah raksasa muda ini betapa sang ayu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Maka la kembali berseru keras dan tubuhnya bergerak-gerak maju, kadang-kadang berputar seperti sebuah kitiran angin, kedua lengannya diputar sedemikian rupa merupakan baling-baling yang dengan gencar bergantian menyambar ke arah tubuh Setyaningslh dengan pukulan, dorongan, tamparan atau cengkeraman. Dahsyat sekali serangannya ini dan para penonton menahan napas. Bahkan Endang Patibroto sendiri bersama Retna Wilis tak terasa lagi maju mendekati panggung saking tegang dan tertariknya.

Pertandingan sekali ini baru ada harganya untuk ditonton. Setyanirgsih kelihatannya didesak terus. Namun sesungguhnya dara remaja itu menguasai keadaan karena betapapun cepat gerakan Joko Bono, dara ini memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga setiap pukulan kepalan tangan besar itu dapat ia lihat dengan nyata dan dapat ia elakkan. Tubuhnya berkelebat ke kanan kadang-kadang meloncat ke atas, kadang-kadang menyelinap ke bawah, kadang-kadang dengan jari-jari tangan terbuka ia menyampok lengan lawan dari samping. Pethit Nogo adalah aji pukulan yang mengandalkan jari-jari terbuka, dengan meminjam tenaga lawan dapat menyampok ke samping dan apabila dipergunakan untuk menyerang, maka jari-jari tangan itu mengandung tenaga mujljat yang amat ampuhnya.

Penonton mulai bersorak-sorak. Sungguh menarik pertandingan ini. Setelah kini Setyaningsih mempergunakan Aji Bayu Tantra untuk bergerak mengelak dan menyelinap, baru jelas tampak oleh mereka betapa gerakan kedua orang itu amat jauh bedanya. Tubuh Joko Bono yang tadi bergerak cepat, kini di samping gerakan dara itu kelihatan seperti gerakan seekor badak yang kuat namun lamban sekali, sebaliknya dara itu bergerak cepat dan ringan seperti seekor kijang. Semua pukulan Joko Bono jauh meleset daripada sasarannya.

Ada seperempat jam Joko Bono mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak lawan. Kadang-kadang ia memang dapat mendesak Setyaningsih ke sudut panggung dan dengan penuh nafsu ia hendak mendesak terus agar dara itu terpaksa melompat turun dan dengan demikian ia akan dinyatakan menang. Namun setiap kali dara yang lincah itu dapat menyelinap melalui bawah kedua lengannya atau melalui atas pundaknya dengan melompat tinggi dan tahu-tahu telah berada di tengah panggung lagi sehingga ia harus membalikkan tubuh dan mulai dengan serangan baru lagi.

Beberapa kali sambil mengelak, Setyaningsih membalas dengan tamparan Aji Pethit Nogo secara tiba-tiba dan tak terduga. Memang ada beberapa kali Joko Bono kena diserempet tamparan, akan tetapi karena tidak tepat dan pukulannya dilakukan sambil mengelak, sedangkan tubuh Joko Bono memiliki kekebalan yang amat kuat, maka semua tamparan jari tangannya membalik, tidak berhasil merobohkan orang kuat itu.

Joko Bono mulai pening kepalanya, pandang matanya berkunang ketika tiba-tiba Setyaningsih mempercepat gerakan tubuhnya, meloncat ke sana ke mari sambil mengerahkan Aji Bayu Tantra. Ia merasa penasaran dan sambil berseru keras ia lalu maju menubruk, mengerahkan seluruh tenaganya, kedua tangan dikepal dan tangan kirinya menghantam ke arah kepala Setyaningsih. Dara itu cepat menggunakan jari-jari tangan kanannya menyampok dari samping kanan. Akan tetapi ternyata sekali ini Joko Bono berlaku cerdik. Pukulan tangan kiri itu hanya merupakan gertak belaka karena tiba-tiba saja tangan kanannya meluncur ke depan dan ia berhasil menangkap lengan kiri Setyaningsih!

Semua penonton mengeluarkan seruan tertahan dan mengira bahwa dara itu akhirnya akan kalah oleh Joko Bono, sungguhpun hal ini tidak berartI bahwa pria tinggi besar Itu telah lulus dalam sayembara karena ia harus mengalahkan Endang Patibroto.

ENDANG Patibroto bersikap tenang-tenang saja. Dia dapat melihat jelas dan mengerti akan siasat Setyaningsih. Dara itupun merasa bingung karena lawannya terlampau kuat sehingga sukar dirobohkan, maka biarpun tidak kentara oleh siapapun, juga oleh lawannya, ia sengaja memperlambat gerak tangan kirinya sehingga dapat tertangkap lawan. Pada saat Joko Bono merasa kegirângan, tiba-tiba tubuh Setyaningsih mencelat ke atas dan berjungkir balik sambil memutar lengan kirinya yang terpegang. Gerakan ini tentu saja membawa pula tangan kanan Joko Bono sehingga terpuntir. Joko Bono kesakitan namun tetap mempertahankan cengkeramannya dan dari atas sambil meloncat ini, Setyaningslh memukul tengkuk Joko Bono dengan jari-jari tangan kanannya, dengan Aji Pethit Nogo sepenuhnya.

“Dess .......... ! Aduhhh .......... !”

Joko Bono terhuyung, cengkeramannya lepas, akan tetapi ia benar-benar kuat karena pukulan dahsyat itu belum merobohkannya. Namun Setyaningsih sudah meloncat turun ke belakang tubuhnya, kedua kakinya bergantian menendang belakang lutut, membuat kaki Joko Bono melengkung dan berlutut. Saat itulah dipergunakan oleh Setyaningslh untuk mendorongkan kedua tangannya ke punggung lawan dengan sekuat tenaga. Joko Bono yang sudah berlutut itu tentu saja tidak mampu mempertahankan diri lagi dan tubuhnya bergulingan terus terjatuh dari atas panggung!

"Hebat, aku mengaku kalah ..........” teriaknya sambil bangkit berdiri dan pergi meninggalkan tempat itu dengan terhuyung-huyung.

Tepuk tangan riuh gemuruh menyambut kemenangan itu. Dara itu menyusut peluhnya dan melompat turun terus bersama Endang Patibroto dan Retna Wills kembali ke tempat duduk mereka.

Makin gentarlah hatl para muda yang hendak ikut sayembara. jelas sudah bahwa amat sukar menandingi kedigdayaan perawan Lembah Wills itu. Joko Bono yang demikian perkasapun tidak mampu menandinginya. Hanya ada beberapa orang pemuda, termasuk Pangeran Panji Sigit, yang masih menantl kesempatan mereka. Melihat betapa agaknya tidak ada pengikut lagi yang berani nalk ke panggung, Pangeran Panjl Sigit memandang Ki Datujiwa yang menganggukkan kepalanya perlahan-lahan.

Pangeran itu lalu bangkit, akan tetapi selagi ia hendak melangkah maju mendekatl panggung, tiba-tiba tampak sesosok bayangan tubuh seorang pria kurus kering melompat ke panggung mendahululnya. Terpaksa pangeran itu duduk kembali dan semua mata kini memandang ke arah pria kurus kering yang berada di atas panggung. Cara orang itu melompat amat mengagumkan, karena tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali, kemudian dari atas ia turun dengan cara berjungkir, kepalanya di bawah. Semua orang terkejut, bahkan ada yang menahan pekik, mengira bahwa kepala itu akan remuk terbanting pada papan panggung. Akan tetapi anehnya, kepala itu mendarat dengan lunaknya di atas papan dan laki-laki itu berdiri di atas kepalanya. Kemudian sekali ia bersuara seperti orang terbatuk, tubuhnya sudah berjumpalitan dan kini ia berdiri di tengah panggung sambil tersenyum menyeringai.

Semua orang tercengang. Laki-laki itu usianya tentu sudah mendekati lima puluh tahun, mukanya kurus seperti tengkorak hidup, matanya berlubang dalam sekali dan kepalanya gundul. Pakaiannya serba merah berkembang dan tubuhnya juga kurus kering, kaki kirinya memegang tongkat bambu yang baru saja dicabutnya dari ikat pinggang. Kakinya yang telanjang itulah yang menambah keanehannya, karena kalau tubuhnya kurus kering, adalah kakinya itu besar dengan jari-jari kaki mekar seperti cakar bebek. Wajah yang buruk menjijikkan, akan tetapi setiap orang dapat menduga bahwa laki-laki ini tentu memiliki kesaktian luar biasa.

"Hemmm, si Hantu Kelabang Purwoko berani mencari bencana .........!” terdengar oleh Pangeran Panji Sigit suara Ki Datujiwa berbisik lirih. la segera mendekati kakek penolongnya itu dan bertanya dalam bisikan.

"Orang apakah Purwoko ini, Eyang?"

"Tokoh hitam di pesisir utara, pertapa di Bukit Muria. Kalau ia mengenalku di sini, tentu dia tak akah berani main gila," jawab kakek itu sambil mangerutkan kening.

Munculnya orang-orang macam Si Hantu Kelabang ini menandakan bahwa negara mulai lemah dan tidak aman sehingga kaum sesat dan golongan hitam mulai keluar dari sarang mencari kesempatan baik untuk mengacau dan merampas kedudukan serta keuntungan.

Sementara itu, laki-laki buruk rupa ltu sudah melambaikan tanganhya yang hanya tinggal tulang terbungkus kulit ke arah Setyaningsih dan terdengarlah suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita,

"Bocah denok ayu Setyaningsih! Ke sinilah, manis! Mari kita main-main sebentar. Engkau layanilah aku sang sakti Purwoko dan kutanggung engkau akan merasa puas, heh-heh-heh!"

Kaum tua yang berada di situ terkejut mendengar nama ini dan terdengarlah suara berisik membisikkan sebutan "Si Hantu Kelabang". Suara berisik ini terdengar oleh Purwoko yang segera menyeringai ke arah para tamu sambil berkata,

"Kalian sudah mendengar dan mangenal nama julukanku? Heh-heh, benar aku Si Hantu Kelabang!"

Setyaningsih menjadi marah sekali. Mukanya yang jelita itu sebentar pucat sebentar merah mendengar ucapan yang tIdak senonoh dari pria gundul kurus kering itu. Ia sudah bangkit berdiri, tangan kiri mengepal tinju, tangan kanan meraba gagang keris. Akan tetapi lengannya dlsentuh Endang Patibroto yang memberinya isyarat supaya duduk kembali. Kemudlan Endang Patibroto bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang mengatasi semua suara hiruk-pikuk,

"Heh, engkau orang yang bernama Purwoko! Suruh walimu naik dan bertanding melawan aku! Kalau walimu menang, barulah engkau berhak menandingi adikku. Pada saat ini adikku enggan bertanding dengan orang macam engkau!"

Suara berisik terhenti seketika dan semua mata memandang bahwa pasti akan terjadi hal-hal hebat setelah kini ketua Padepokan Wilis memperlihatkan kemarahannya. Akan tetapi Purwoko terkekeh sambil memandang ke arah Endang Patibroto dan menudingkan telunjuknya yang kecil panjang,

"Heh-heh-heh, engkau tentu Endang Patibroto, bukan? Denok ayu! Hebat bukan main, tidak kalah oleh adiknya. Ketahuilah, ayah bundaku telah mati semua, guruku banyak sekali dan sudah mati. Aku tidak punya wali. Bagiku sama saja, engkau juga denok, boleh maju main-main ke sini. Hadiahnya engkau atau adikmu sama juga! Memang aku datang untuk berkenalan dengan engkau, Endang Patibroto, dan kebetulan ada sayembara ini, heh-heh!"

Endang Patibroto tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi siapa yang sudah mengenal wanita ini di waktu mudanya akan maklum bahwa senyum itu adalah senyum yang menyembunyikan kemarahan hebat dan bahwa senyum ini dapat menjadi senyum maut yang akan merenggut nyawa lawan. Terdengar ia bersuara, "Hemmml" dan tahu-tahu tubuhnya sudah meloncat ke atas panggung. Cara meloncat ini dalam keadaan tegak berdiri, seolah-olah dari tempat ia berdiri tadi tubuhnya dibawa angin mujijat dan ia sudah berhadapan dengan Purwoko di atas panggung. Itulah aji Meringankan tubuh Bayu Tantra yang sudah mencapai puncaknya! Biarpun apa yang diperlihatkan Endang Patibroto ini hebat, akan tetapi tidak ada yang bertepuk tangan. Suasana terlalu menegangkan sehingga semua orang memandang dan menahan napas, lupa untuk bersorak memuji.

"Purwoko, alangkah sombongnya engkau! Kita tidak saling mengenal dan aku tidak tahu orang macam apa engkau ini, akan tetapi melihat lagakmu dan mendengar ucapanmu, mudah saja menilai bahwa engkau ini seorang yang masih kosong melompong!"

"Gentong kosong suaranya nyaring!" Tiba-tiba terdengar suara Retna Wills menyela kata-kata ibunya.

Semua orang mau tak mau tertawa geli karena ucapan bocah itu membuyarkan keadaan yang tegang.

"Gasak saja, Ibu, habiskan giginya yang tinggal dua!"

Endang Patibroto tidak memperdulikan kenakalan puterinya, lalu berkata lagi,

"Purwoko, kalau saja engkau tidak muncul di atas panggung sayembara, tentu aku tidak akan dapat mengampunimu. Akan tetapi karena kau muncul di sini, marilah kita buktikan apakah kepandaianmu juga sehebat suaramu."

"Heh-heh-heh! Engkaupun seorang wanita sombong, Endang Patibroto. Aku sudah banyak mendengar tentang sepak terjangmu. Nah, kau bersiaplah!" Belum juga habis gema suaranya, kakek gundul itu sudah menerjang maju dengan tongkatnya, menusuk perut Endang Patibroto dengan tongkat di tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencengkeram dengan kuku tangan kiri yang tiba-tiba saja sudah berubah merah seperti dicat!

Endang Patibroto cepat melangkah mundur dan menyentil ujung tongkat dengan telunjuk kirinya. Ia mengerti bahwa tangan kirI lawan yang berubah merah Itu amat berbahaya, tentu mengandung racun yang hebat. Inilah agaknya mengapa orang ini mendapat julukan Si Hantu Kelabang. Agaknya tangan kiri itu telah dilatih dengan sari racun kelabang sehingga sekali gores dengan kuku, atau sekali sentuh dengan tangan itu saja sudah cukup untuk mengirim nyawa lawan meninggalkan raganya.

SI gundul itu berseru kaget ketika tongkatnya tiba-tiba membalik seperti didorong tenaga raksasa begitu kena disentil telunjuk tangan wanita itu. Diam-diam ia kagum dan tahu bahwa tangan wanita itu mengandung hawa sakti yang kuatnya menggila. Tidak berani lagi ia memandang ringan dan mulailah kakek ini melakukan serangan dengan hati-hati sekali. Ia tadi sudah melihat kelincahan Setyaningsih, maka ia pun dapat menduga bahwa Endang Patibroto tentu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa pula. Dia sendiri biarpun tidak dapat mengimbangi ilmu meringankan diri yang dibuktikan dengan cara meloncat Endang Patibroto tadi, namun ia mengandalkan ajinya tangan beracun dan kekuatan hawa sakti yang timbul dari cara bertempur berjungkir –balik seperti yang ia demonstrasikan ketika meloncat tadi.

Namun sesungguhnya sudah terlambat bagi Purwoko untuk menyadari bahwa dia tadi terlalu memandang rendah Endang Patibroto. Kini wanita sakti itu sudah terlampau marah dan tubuh yang masih langsing itu tiba-tiba lenyap dan berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerangnya dengan pukulan bertubi-tubi.

Purwoko memutar tongkatnya melindungi tubuh, dan gerakan yang cepat ini membuat tongkatnya menimbulkan gulungan sinar yang menyelimuti dirinya. Pertandingan berlangsung cepat, sukar diikuti pandang mata biasa. Hanya tampak gulungan sinar dan bayang-bayang tubuh berkelebatan, dan terdengar suara bersiutan.

"Plakkk .......... krakkk .......... !!”

Tubuh Purwoko terhuyung ke belakang dan tongkatnya telah patah-patah dan remuk! Kiranya tadi tongkatnya kena dicengkeram tangan Endang Patibroto dan direnggutkan sehingga patah-patah dan remuk, Purwoko yang berusaha merampas tongkat, kini hanya memegang sepotong kecil saja dan terbawa oleh tenaga betotannya sendiri. la terhuyung ke belakang. Marahlah si gundul. Ia mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya dan berseru,

"Aku belum kalah, belum turun dari panggung. Endang Patibroto, kau tidak mau disayang, rasakan kedigdayaan Si Hantu Kelabang!" Tiba-tiba saja kedua tangan yang tadi sudah kemerahan kini berubah hitam dan tercium bau yang wengur seperti bau binatang kelabang atau ular-ular berbisa. Tubuh yang kurus kering itu melompat berjungkir balik dan .......... ia menyerang Endang Patibroto dengan kepala di bawah kaki di atas!

Hebat bukan main serangan ini. Hebat dan juga aneh. Karena keanehan inilah maka amat berbahaya, sukar diduga dan setiap serangan mengandung hawa beracun yang dapat merenggut nyawa. Kepala gundul yang berubah kegunaannya menjadi kaki itu berloncatan dengan suara "dak-duk-dak-duk!" di atas panggung, kedua kaki di atas dan bergerak-gerak seperti dua batang tongkat, juga kedua lengannya bergerak-gerak mencari sasaran, bukan hanya untuk memukul atau mencengkeram, bahkan kini kedua tangan itu bergantian menyambitkan jarum-jarum beracun ke arah Endang Patibroto!

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 053 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment