Ads

Monday, February 18, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 056

<<== Kembali <<==

Bagus Seta menoleh ke arah gurunya dengan pandang mata penuh pertanyaan. Betapapun juga, selama lima tahun ia digembleng oleh kakek ini dan ia merasa terharu kalau harus meninggalkan gurunya yang dikasihinya. Namun gurunya tersenyum kepadanya dan berkata,

"Berangkatlah, Angger, dan doa restuku selalu mendampingimu.”

Bagus Seta lalu menyembah ke arah Bhagawan Ekadenta,
"Baiklah, ,Eyang. Hamba siap untuk pergi bersama Eyang."

"Bagus! Kau ikutlah aku, Angger. Ki Tunggaljiwa, sampai jumpa pula!"

Tubuh kakek itu bergerak, diselubungi halimun putih dan Bagus Seta cepat-cepat menyembah ke arah Ki Tunggaljiwa sebagai tanda pamit, lalu bergegas mengikuti halimun putih itu yang meninggalkan puncak bukit. Ki Tunggaljiwa bangkit berdiri, memandang kepergian muridnya dengan mulut tersenyum. Hatinya lega dan puas karena ia telah melaksanakan tugasnya selama lima tahun dan diam-diam ia berdoa semoga sinar terang selalu akan mengatasi kegelapan yang mengancam dunia, semoga kebenaran akhirnya akan unggul sehingga dunia menjadi tempat tinggal manusia yang penuh damai dan ketenteraman. Clta-cita inilah yang menjadi kandungan hati setiap orang pertapa, sungguhpun Ki Tunggaljiwa sendiri maklum bahwa segala peristiwa telah diatur oleh Sang Hyang Widhi, dan bahwa manusia, betapapun pandainya, tidak kuasa mengubahnya. Dia maklum pula bahwa sudah menjadi kehendak alam bahwa dua sifat yang saling bertentangan, baik dan buruk, akan desak-mendesak, ganti-mengganti, berkuasa di dalam kehidupan manusia. Bahwa selama masih ada yang disebut kebaikan, maka di sampingnya akan selalu ada pula keburukan. Bahwa selama manusia mengenal kebajikan, manusia takkan bebas daripada kejahatan, karena sesungguhnya baik dan jahat, seperti halnya dua unsur berlawanan di dunia ini, adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Betapapun juga, manusia berkewajiban untuk berikhtiar, manusia berakal budi dan sadar akan perbedaan antara kedua unsur berlawanan itu. Dan ia mengerti pula bahwa kalau Sang Bhagawan Ekadenta sampai "turun" ke dunia ramai, hal ini hanyalah merupakan kewajibannya sebagai manusia maha sakti, untuk mengimbangi "turunnya" seorang tokoh sepert Nini Bumigarba! Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang.

"Panjalu dan terutama Jenggala akan geger .......... dan bocah itu telah terpilih menjadi orang yang akan menanggulangi dan mengimbangi kekuatan-kekuatan sesat. Alangkah berat tugasnya .......... !"

Kakek inipun menggerakkan kaki, perlahan-lahan menghampiri mayat Sardulo Pethak dan dikuburnya mayat binatang yang derajatnya sudah mendekati manusia itu dengan penuh kasih sayang.

Tanpa berkata-kata, kakek yang tubuhnya diselubungi halimun putih itu berjalan terus, dlikuti oleh Bagus Seta. Setelah mereka turun dari bukit, kakek itu menoleh, memegang tangan Bagus Seta, digandengnya dan Bagus Seta tertegun. Kini ia berada di dalam halimun putih dan tubuhnya terasa ringan sekali. Tampaknya saja mereka berjalan lambat-lambat, akan tetapi ia maklum bahwa sesungguhnya mereka melakukan perjalanan dengan kecepatan yang tak dapat ia bayangkan, karena mereka bukan berjalan biasa, melainkan bergerak maju didorong hawa sakti yang amat mujijat.

Seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu dari cerita ini, pada waktu itu Sang Adipati Tejolaksono sedang memimpin barisan Panjalu mengadakan pembersihan terhadap anak buah Sang Wasi Bagaspati. Telah diceritakan pula betapa Adipati Tejolaksono menyerbu ke Gunung Merak dan di gunung inilah dia terjebak, roboh oleh Sang Wasi Bagaspati dan tentu akan tewas di ujung senjata nenggala mIlik KI Kolohangkoro kalau saja tidak muncul Sang Bhagawan Ekadenta yang datang bersama Bagus Seta. Nyawa TejoIaksono tertolong dan baru pertama kali itu Sang Bhagawan Ekadenta menampakkan diri sehingga kelihatan oleh Wasi BagaspatI dan Biku Janapati, bahkan oleh para anak buah mereka. Pihak lawan terusir dan Tejolaksono dapat bertemu dengan puteranya yang telah pergi selama lima tahun lebih. Telah diceritakan pula betapa dalam pertemuan ini Bagus Seta memberikan setangkai bunga cempaka putih dengan pesan agar diberikannya bunga itu kepada ibundanya, kemudian Bagus Seta mengikuti gurunya meninggalkan ramandanya yang memandang penuh kagum dan haru.

Oleh kakek yang maha sakti itu, Bagus Seta dibawa ke puncak Gunung Mahameru, gunung yang tertinggi di seluruh Nusantara. Puncak gunung ini tertutup awan putih dan samar-samar tampak asap yang tak pernah berhenti mengepul dari kawah di puncak. Dapat dibayangkan betapa dinginnya puncak yang selalu diselimuti halimun tebal itu, akan tetapi juga dapat diduga betapa panasnya kawah yang selalu mengepulkan asap. Namun, di antara pertemuan kedua hawa yang bertentangan ini, Bagus Seta dituntun Sang Bhagawan Ekadenta memasuki kawah di puncak Gunung Mahameru untuk memulai dengan gemblengan yang akan dIterimanya sebagai murid sang sakti! Mulai saat Itu, terbebaslah Bagus Seta daripada dunia ramai, hidup menggembleng diri seperti hidup di alam khayal, seolah-olah ia telah menjadi sebagian daripada puncak Mahameru, menjadi sebagian daripada alam.


**** 056 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 057 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment