Ads

Monday, February 18, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 060

<<== Kembali <<==

Gadis itu menangis tersedu-sedu sambil melangkah terhuyung-huyung di dalam hutan yang gelap. Malam telah tiba, namun dia dipaksa berjalan terus oleh temannya, seorang laki-laki tua yang membawa obor di tangan kanan, sedangkan tangan kiranya menggandeng lengan gadis itu. Mulutnya mengeluarkan suara menghlbur, sungguhpun suaranya sendiri menggetar penuh keharuan dan hiburan itu tidak ada artinya sama sekali bagi gadis yang berjalan sambil tersedu-sedu menangis itu.

Gadis itu bukan lain adalah Widawati, gadis berusia sembilan belas tahun, cucu Ki Patih Brotomenggala. Tubuhnya tinggi semampai, perawakannya sedang berisi, kulitnya hitam manis dan halus, gerak-geriknya serba luwes. Pada saat itu, pakaiannya kusut, sekusut rambutnya yang terurai. Ketika sinar obor di tangan laki-laki tua itu menerangi wajahnya, tampaklah wajah yang ayu menarik. Wajah yang dapat diduga tentu biasanya cerah gemilang seperti sinar matahari pagi, dengan bentuk mulut yang selalu senyum, bibir yang selalu merekah, selalu siap untuk senyum dan tertawa, siap selalu untuk mengucapkan kata-kata halus lembut, menutupi deretan gigi yang tidak begitu rata namun putih bersih, dengan ketidak rataan yang bahkan menambah manis! Alisnya menjelirit hitam, di atas sepasang mata yang indah sinarnya karena pandang mata itu mengandung pengertian mendalam, mengandung kesabaran dan kasih sayang terhadap segala yang dipandangnya. Gadis seperti yang muda-muda selalu datang kepadanya ini, kalau sedang berduka akan mengharukan hati setiap orang, kalau sedang gembira akan menyinari semua orang, dan kalau marah akan disangka pura-pura karena wajah seperti ini memang "tidak pantas" kalau dipakai marah. Wajah yang bulat telur dengan dagu kecil meruncing itu menyembunyikan usianya, membuat ia tampak jauh lebih muda daripada usianya.

Widawati cucu Ki Patih Brotomenggala ini adalah seorang gadis yang amat rajin mempelajari segala kepandaian puteri. Terkenal di kepatlhan sebagai seorang gadis yang cerdik dan pandai, baik dalam olah kewanitaan, kesenian, dan kerajinan tangan, maupun dalam olah keperajuritan karena sebagai cucu Ki Patih Brotomenggala yang sakti, tentu saja ia tidak mau ketinggalan mempelajari seni bela diri yang gerakan-gerakannya mendekati seni tari itu. Karena kecerdikannya, gadis ini amat disegani oleh para abdi, bahkan anggauta keluarga untuk bertanya segala macam hal yang tidak dimengertinya. Widawati dengan tekun dan sabar memberi bimbingan kepada mereka sehingga tampaklah bakatnya sebagai seorang pendidik yang sabar.

Biasanya, jika mendapat kesempatan mengikuti ramandanya yang sebagai mantu ki patlh yang juga menjabat pangkat, yaitu sebagai petugas perairan untuk mengatur pengairan sawah ladang milik istana, seringkali keluar dan melakukan pemeriksaan, Widawati merasa amat gembira. Dia seorang gadis pencinta alam dan sifatnya yang ramah dan riang itu pun sesuai dengan suasana alam terbuka.

Melihat tanah merekah merah dan subur, melihat rumput hijau seperti permadani, melihat padi di sawah menguning emas dan bernyanyi tertiup angin, disinari matahari yang cerah, semua ini menciptakan watak yang ramah dan baik pada dirinya. Widawati seorang gadis pencinta alam, seorang gadis pencinta sesama manusia, yang ramah-tamah, tidak suka menyakiti hati orang lain, dengan kecantikannya dan kesegaran yang wajar. Namun kini, biarpun ia melakukan perjalanan melalui hutan-hutan, di alam yang liar terbuka, ia sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia hanya menangis terus, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, pikirannya kalut, perasaannya hancur, mulutnya merintih-rintih menyebut nama ayah bundanya, kakek nenek, dan saudara-saudaranya yang kesemuanya terbasmi habis oleh sri bagirida dengan tuduhan berkhianat. Sepasang mata yang biasanya jernih dan berseri penuh kasih dan pengertian itu kini menjadi merah dan membendul oleh tangis.

Kakek itu adalah Ki Mitra, seorang juru taman, abdi keluarga pelatih tarian. Hanya juru taman ini sajalah yang dapat mengantar Widawati lolos dari kerajaan dengan aman, karena seorang abdi tidak akan kentara kalau pergi meninggalkan rumah. Memang ini merupakan siasat para ponggawa tua yang masih setia kepada Ki Patih Brotomenggala yang cepat-cepat turun tangan mengatur kebebasan Widawati begitu mendengar bahwa gadis ini kebetulan saja lolos daripada cengkeraman maut. Memang dugaan mereka benar karena tidak lama kemudian setelah Widawati melarikan diri diantar juru taman, datang orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan mencari gadis itu di rumah pelatih tarian. Biarpun diberi tahu bahwa gadis itu tidak berada di situ dan sudah pulang, namun pasukan pengawal ini tidak percaya dan tetap melakukan penggeledahan sehingga andaikata Widawati bersembunyi di dalam gedung itu, pasti akan tertangkap. Pula, para pengawal ini meneliti apakah penghuni rumah pelatih tari-tarian itu masih lengkap, dan baru mereka meninggalkan rumah itu setelah mendapat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun di antara keluarga guru tari itu meninggalkan rumah. Tentu saja mereka ini tidak perduli dan tidak menyelidiki apakah seorang juru taman ada atau tidak!

Dengan bantuan para ponggawa tua, akhirnya Ki Mitra si juru taman bersama Widawati, berhasil lolos keluar dari istana melalui pintu gerbang bagian selatan. Ki Mitra yang juga merupakan seorang yang biarpun hanya berpangkat juru taman namun dapat melihat kemaksiatan merajalela di dalam kerajaan, dengan taruhan nyawa sendiri membawa gadis cucu ki patih itu terus melakukan perjalanan ke selatan, tidak pernah benhenti karena takut kalau-kalau ada pengejaran dari istana.

Widawati adalah seorang gadis yang terlatih, kalau hanya berjalan kaki sampai jauh saja ia cukup kuat. Akan tetapi, melakukan perjalanan terus-menerus tanpa henti dan dengan hati hancur, benar-benar amatlah sengsara. Baiknya di situ ada Ki Mitra yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya, menggugah semangatnya sehingga ia dapat bertahan dan malam hari itu, dengan penerangan obor yang dinyalakan Ki Mitra, mereka berjalan terus menyusup-nyusup hutan liar.

"Aduh, Ki Mitra........... hendak kau bawa ke manakah aku ini? Ah, mengapa mereka tidak membiarkan aku mati bersama keluargaku agar aku terbebas daripada segala derita ...........’ Widawati berhenti dan menyandarkan diri di batang pohon. Tubuhnya gemetar, wajah yang pucat itu penuh peluh, dadanya bergelombang, kedua tangan membelai leher sendiri seakan-akan hendak mencekik leher sendiri, kedua matanya dipejamkan dan air matanya menitik turun melalui kedua pipinya.

Ki Mitra membetulkan obornya yang hampir padam. Setelah obornya bernyala baik kembali, ia menoleh kepada gadis itu. Hatinya penuh keharuan dan ia berkata,

"Den-ajeng, hendaknya tenang dan jangan berpendirian seperti itu. Keluarga Paduka tewas karena fitnah, sama halnya dengan dibunuh. Paduka tidak boleh bersikap lemah. Ingat bahwa Paduka adalah keturunan gusti patih yang sakti mandraguna dan gagah perkasa. Keluarga Paduka difitnah dan dibunuh orang, hanya Paduka yang dapat lolos, ini berarti bahwa kelak ada orang yang dapat membalaskan segala dendam sakit hati ini. Marilah, Den-ajeng, saya diberi kepercayaan dan tugas oleh para gusti yang menjadi sahabat keluarga Paduka untuk menyelamatkan Paduka, agar jauh dari jangkauan tangan iblis-iblis bermuka manusia itu."

"Ke mana? Ke mana engkau hendak membawaku?" Widawati menyusut air matanya, semangatnya mulai bangkit karena panas oleh ucapan Ki Mitra yang mengingatkannya akan semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Dengan tangan terkepal ia teringat kepada Pangeran Kukutan yang sudah beberapa kali berusaha untuk menggodanya, namun yang selalu ia tolak dengan tegas karena biarpun Pangeran Kukutan itu seorang muda belia yang tampan gagah, namun ia dapat mengenal moralnya yang bejat.

Dari penuturan Ki Mitra di sepanjang jalan, ia tahu bahwa yang menjatuhkan fitnah, entah bagaimana caranya sehingga terdapat bukti-bukti bahwa kakeknya melakukan khianat terhadap raja adalah Pangeran Kukutan dan Suminten, wanita cantik selir raja yang amat dibencinya karena ia sudah banyak mendengar tentang sifat rendah hina wanita itu.

"Menurut pesan para sahabat keluarga Paduka, kakek Paduka gusti patih mempunyai dua belas orang pengawal kepercayaan yang secara aneh telah menghilang pada saat terjadinya penangkapan keluarga Paduka. Dua belas orang pengawal itu adalah orang-orang gagah perkasa dan saya hanya mengenal dan tahu tempat tinggal seorang di antara mereka yang bernama Wiraman. Ki Wiraman ini berasal dari dusun Suko, dekat desa tempat asal saya, di selatan. Ke sanalah saya hendak membawa Paduka, mencari Ki Wiraman dan selanjutnya menyerahkan Paduka kepadanya. Karena hanya seorang yang memiliki kesaktian dan sudah terpercaya penuh seperti dua belas orang pengawal itu sajalah yang akan mampu menyelamatkan paduka, tidak seperti saya ini, seorang juru taman yang lemah."

Perjalanan dilanjutkan dan dengan bekal dendam sakit hati terhadap musuh-musuh yang membasmi keluarganya, Widawati menderita kesengsaraan perjalanan tanpa mengeluh lagi. Selama sepekan ia mengikuti Ki Mitra melakukan perjalanan menyusup-nyusup hutan, melalui dusun-dusun kecil, makan seadanya tidur di mana saja. Akhirnya tibalah mereka di dusun Suko dan di sini pun mereka menjumpai bekas tangan musuh-musuh kepatihan. Ternyata bahwa dusun ini pun diobrak-abrik oleh pasukan pengawal kerajaan karena pasukan ini terlambat datang mencari keluarga Wiraman yang telah lolos sehari sebelum pasukan pengawal datang. Banyak penduduk dusun Suko disiksa, ada beberapa orang malah dibunuh karena mereka tidak dapat memberitahukan ke mana perginya Wiraman dan keluarganya!

Apakah sesungguhnya yang terjadi? Wiraman adalah seorang di antara dua belas orang pengawal kepercayaan Ki Patih Brotomenggala yang dapat lolos dengan luka-luka di tubuhnya ketika dua belas orang pengawal ini berusaha melindungi sang prabu di dalam hutan. Seperti telah diceritakan di bagian depan ketlka peristiwa penghadangan rombongan sang prabu diserbu gerombolan gundul di hutan dan ketika para pengawal sri baginda terdesak oleh gerombolan itu, dua belas orang pengawal pilihan yang secara sembunyi mengawal, lalu muncul dan mengamuk. Akan tetapi mereka ini disambut oleh tiga orang yang sakti mandraguna, yaitu Warutama, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro sehingga sebelas orang di antara mereka tewas dan hanya Wiraman saja yang berhasil melarikan diri. Ki Wiraman ini langsung menuju ke kepatihan, akan tetapi karena ia terluka dan hanya dapat melakukan perjalanan lambat-lambat, ia datang terlambat karena keluarga kepatihan sudah ditangkap semua!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hati ksatria ini. Ia maklum bahwa keselamatan keluarganya sendiri pun terancam, maka dengan menahan nyeri di dadanya akibat luka pukulan, ia memaksa diri pulang ke dusunnya di Suko dan cepat-cepat ia membawa keluarganya pergi dari dusun itu, bersembunyi di daerah liar di pantai laut kidul.

Untung ia berlaku cepat, karena Pangeran Kukutan yang kemudian mendengar akan dua belas orang pengawal rahasia ini, cepat-cepat mengerahkan pasukan pengawal mencari keluarga dua belas orang itu dan menangkap mereka semua!

Hanya sehari setelah ia membawa keluarganya lari dari Suko, datanglah sepasukan pengawal ke dusun itu dan mengobrak-abrik dusun Suko. Mendengar berita ini, Ki Mitra maklum bahwa amatlah tidak aman bagi Widawati untuk berdiam di dusun Suko, maka terpaksa ia mengajak gadis itu pergi meninggalkan Suko, untuk ia ajak ke dusunnya sendiri di mana tinggal keluarga adik kandungnya yang hidup sebagai petani di situ. Memang dia berasal dari dusun ini, dan ia bermaksud menitipkan Widawati pada keluarga adiknya untuk sementara waktu sehingga ia akan lebih mudah pergi menyusul dan mencari Wiraman yang telah melarikan diri.

Menjelang senja mereka telah melewati gunung karang terakhir dari pegunungan yang berderet-deret dari barat ke timur seolah-olah menjadi tanggul pembendung ancaman Laut Selatan. Widawati sudah lelah sekali, dan baru sekarang ia mengeluh,

"Ki Mitra ........... , masih jauhkah dusunmu? Aku ingin sekali beristirahat dan berpikir .........”

"Sudah dekat, Den-ajeng, itu di depan ........... eh, hati-hatilah, di depan ada orang!”

Widawati cepat menundukkan mukanya. Pakaiannya sudah kusut dan kotor, juga kakinya penuh lumpur dan debu sehingga ia tidak banyak bedanya dengan gadis-gadis dusun biasa, apalagi karena telah melepaskan semua perhiasan emas permata dari tubuhnya dan menyimpannya di dalam kemben. Hanya menurut nasehat Ki Mitra, ia harus selalu menyembunyikan mukanya karena wajahnya terlalu cantik untuk mengaku seorang gadis dusun. Maka kini otomatis ia menundukkan mukanya agar orang yang disebut oleh Ki Mitra itu tidak akan melihat wajahnya apabila mereka bersilang jalan.

Ketika orang yang datang dari depan dan jalannya berindap-indap menyusuri tepi sawah itu telah datang dekat, Ki Mitra berseru, suaranya girang sekali,

“Ah, Denmas Wiraman ........... ?" Ki Mitra tertegun memandang. "Bukankan andika........... Denmas Wiraman ........... ?”

Mendengar sebutan nama ini, Widawati mengangkat muka memandang. Pria itu bertubuh sedang dan tegap, terbayang kekuatan di balik kulit lengan dan dadanya yang bidang. Usianya empat puluh tahunan, dengan pandang mata tajam dan wajahnya yang tampan membayangkan derita hidup yang diterimanya penuh kesabaran. Sabar, kuat, penuh pengertian membayang pada wajah di bawah rambut yang sudah mulai terhias warna putih. Seorang pria yang gagah dan wajahnya mendatangkan kepercayaan.

Wiraman, pria itu, juga memandang penuh perhatian, dan hanya mengerling sebentar kepada Widawati, lalu perhatiannya tercurah kembali kepada Ki Mitra. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya kelihatan menderita kelelahan hebat. Akan tetapi pandang matanya bersinar dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal Ki Mitra.

"Kakang Mitra kalau aku tak salah duga?" tanyanya.

"Betul, saya adalah Ki Mitra! Ah, Denmas Wiraman, betapa susah payah saya mencari Andika.......!" Dengan girang Ki Mitra memegang lengan tangan prla itu.

"Ada apakah? Engkau yang telah bekerja sebagai juru taman di kota raja, mengapa datang mencariku?"

"Denmas, ceritanya panjang sekali. Marilah Andika ikut bersama kami ke rumah adik saya di dusun itu, nanti saya ceritakan semua persoalan yang amat gawat dan penting ...........“

"Hemm ........... , boleh, marilah. Akan tetapi ........... siapakah nini yang ikut bersamamu ini?”

Ki Mitra menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab, lalu berbisik,
"Untuk dia inilah maka saya mencari Andika. Dia ini adalah satu-satunya cucu gusti patih yang berhasil lolos dari cengkeraman maut ........... “

"Ahhh ........... Ya Dewata Yang Maha Kasih! Paduka cucu gusti patih ........... ? Aduhai puteri yang patut dikasihani betapa hebat penderitaan Paduka ..........!” Digerakkan oleh hati yang penuh iba Wiraman mendekati Widawati dengan pandang mata penuh perasaan.

Kedukaan yang sudah memenuhi hati gadis itu kini meluap. Pria ini adalah seorang kepercayaan kakeknya dan sikap yang amat baik itu membuatnya terharu sehingga ia pun lupa diri, melangkah maju dan membiarkan dirinya dirangkul, menangis di atas dada yang bidang itu. Wiraman mengelus rambut yang kusut itu, hatinya seperti disayat-sayat pisau beracun.

"Duh para dewata yang agung, lindungilah kiranya puteri yang malang ini........... " bisiknya. Namun dia seorang satria yang segera dapat mengatasi keharuan hatinya. "Harap Paduka tenang dan teguh hati, menerima nasib seperti yang telah ditentukan para dewata. Manusia hanya sekedar menerima dan mengalami. Mari, mari kita pergi ke dusun dan di sana bicara panjang lebar dan menentukan langkah selanjutnya."

Pergilah mereka bertiga ke dusun kecil yang menjadi kampung halaman Ki Mitra. Mereka disambut dengan penuh keheranan akan tetapi juga penuh kegirangan oleh keluarga adik kandung Ki Mitra. Terhadap adiknya, Ki Mitra memperkenalkan Wiraman sebagal seorang rekan kerja di kota raja, adapun Widawatt diperkenalkan sebagal adik misan Wiraman. Agar tidak menimbulkan keraguan, terpaksa Widawati menyebut "kakang" kepada Wiraman, sebaliknya Wiraman menyebutnya "nimas".

Malam hari itu, mereka bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing. Hati Wiraman terharu sekali ketika ia mendengar betapa seluruh keluarga kepatihan musnah dibasmi oleh Pangeran Kukutan dan Suminten. Wajah satria ini menjadi merah, giginya berkerot dan kedua tangannya dikepal.

"Hem m ........... si bedebah Kukutan dan Suminten! Tentu saja sang prabu yang sudah sepuh dan kehilangan kewaspadaan karena mabuk nafsu itu tidak mengerti akan tipu muslihat mereka! Kalian tunggu saja! Di dunia ini, masih ada aku Wiraman yang tahu akan semua muslihat kalian!"

"Sebetulnya, rahasia apa yang tersembunyi di balik peristiwa itu, Kakang Wiraman?" tanya Widawati yang kini tidak merasa canggung lagi di hadapan pria itu, karena memang sikap Wiraman wajar dan sopan serta jujur terhadap dirinya.

Wiraman menghela, napas panjang, kemudian mulai bercerita,
"Ketika sang prabu pergi berburu, kami dua belas orang kepercayaan gusti patih mendapat tugas rahasia dari gusti patih untuk secara sembunyi melindungi keselamatan sang prabu. Kami melihat betapa rombongan sang prabu diserbu oleh gerombolan orang-orang gundul. Tentu saja kami segera menerjang keluar dari tempat persembunyian karena para pengawal kewalahan menghadapi serbuan liar mereka. Akan tetapi, tiba-tiba muncul tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga sebelas orang teman-temanku tewas semua, sedangkan aku sendiri terluka parah. Aku bersembunyi dan menyaksikan peristiwa hebat. Sang prabu, Pangeran Kukutan dan wanita iblis Suminten itu ditangkap dan diancam hendak dibunuh sisa gerombolan gundul. Tiba-tiba muncul seorang pria yang mengaku bernama Raden Warutama yang membunuhi sisa gerombolan gundul, padahal aku mengenal dia itu sebagai seorang sakti yang tadinya membantu gerombolan gundul. Hemm ............. ! Dan sekarang, Warutama itu menjadi seorang yang berjasa !”

"Kabarnya akan diangkat menjadi patih .........!” kata Ki Mitra.

Wiraman memukulkan tinjunya di atas tanah lantai kamar kecil itu.
"Tentu saja! ini adalah hasil persekutuan mereka! Siasat yang busuk sekali untuk menonjolkan jasa Warutama dan untuk menjatuhkan fitnah kepada gusti patih! Keparat…….! Kalau aku tidak dapat membalas kekejian ini, aku tidak akan sudi memakai nama Wiraman lagi!"

Suasana menjadi sunyi. Mereka bertiga tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa itu, ngeri mengingat tipu muslihat yang demikian keji dan busuknya. Kemudian kesunyian dipecahkan suara Ki Mitra,

"Sekarang........ bagaimana........ selanjutnya harus diatur, Denmas? Tentang Den-ajeng Widawati ini...........“

"Kakang Mitra lebih baik besok kembali ke kota raja agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kakang berjalan seperti biasa dan diam-diam memperhatikan keadaan dan perkembangan di dalam istana agar siap untuk memberi laporan kalau dibutuhkan. Sedangkan mengenai Diajeng Widawati, serahkan saja kepadaku. Akulah yang mulai detik ini bertanggung jawab atas keselamatannya. Aku sedang memikirkan jalan terbaik untuk Diajeng Widawati."

Widawati menyusut air matanya.
"Kakang Wiraman, karena membela mendiang Eyang Patih, engkau telah mengalami kesengsaraan. Bagaimana aku kini tega untuk menjadi beban tanggunganmu lagi? Aku akan memperberat hidupmu, akan membahayakan hidupmu dan keluargamu masih amat membutuhkan perlindunganmu ……..”

"Keluargaku ........... ?" Wiraman menghela napas panjang. "Jangan kau khawatir, Diajeng Widawati. Keluargaku telah kuungsikan dan mereka kini hidup sebagai petani-petani yang cukup aman tenteram. Bahkan sementara ini aku tidak berani mendekati mereka, karena keadaanku seperti sebuah penyakit menular, siapa yang kudekati berarti terancatn bahaya. Jenggala sedang mencari-cariku sebagai seorang yang berbahaya bagi Pangeran Kukutan dan Suminten, juga bagi Patih Warutama, karena akulah satu-satunya orang yang mengetahui akan rahasia mereka. Aku bahkan harus menjauhkan diri dari keluargaku. Isteriku seorang bijaksana, dan aku tidak khawatir akan keadaan mereka. Juga engkau sendiri merupakan seorang buronan seperti aku, Diajeng. Engkau dicari karena engkau merupakan sisa musuh besar yang tentu akan membalas dendam. Keadaan kita berdua sama-sama sebagai buronan, maka tidak ada yang saling menjadi beban, tidak ada yang saling memberatkan. Asal saja engkau menaruh kepercayaan penuh kepadaku, demi para dewata, aku tidak akan membiarkan engkau tertimpa malapetaka, akan kubela dengan seluruh jiwa ragaku."

Makin deras air mata Widawati mengalir dan di antara linangan air matanya ia memandang kepada pria yang begini baik terhadap dirinya. Seolah-olah ia mendapatkan pengganti orang tua dan keluarga dalam diri Wiraman. Mendapatkan seorang sahabat baik, seorang pelindung, seorang yang dapat ia sandari dalam kehidupan mendatang, yang boleh ia percaya sepenuhnya.

Pada keesokan harinya, mereka meninggalkan dusun itu sesuai rencana yang diatur oleh Wiraman. Ki Mitra kembali seorang diri ke kota raja setelah dilepas pergi oleh Widawati yang berkali-kali menghaturkan terima kasih sambil berlinang air mata. Kemudian Wiraman bersama gadis itu pergi meninggalkan dusun. Widawati kali ini tidak pernah bertanya ke mana mereka pergi, karena dia sudah menyerahkan seluruh keselamatan dirinya ke tangan pria ini, akan menurut saja ke mana dia dibawa pergi.

**** 060 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 061 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment