Ads

Friday, February 22, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 067

<<== Kembali <<==

"Eh, paman mengapa bersembunyi-sembunyi dan membohong kepada kami?" Tiba-tiba Pusporini mencela. Gadis ini memang lincah dan kenes, juga paling membenci segala macam bentuk kebohongan karena dia sendiri tidak pernah membohong dan selalu menghendaki kejujuran.

"Paman bukan orang dusun, apalagi Ayunda ini, pasti sekali bukan seorang gadis dusun! Cara Paman melawan ular tadi pun menunjukkan bahwa Paman bukan seorang petani biasa! Kami tidak keberatan Paman tidak mengaku siapa sebenarnya Andika berdua karena bukan urusan kami, akan tetapi kami pun tidak suka dibohongi karena yang membohong dan menyembunyikan diri hanyalah para pengecut. Dan kami yakin Paman bukan seorang pengecut!" Ucapan ini keluar dari hati yang jujur karena setelah tadi mendengar percakapan mereka, Wiraman mendatangkan kesan yang baik dalam hati Pusporini, maka gadis perkasa ini menjadi kecewa mendengar pengakuan Wiraman yang tidak sejujurnya.

Merah wajah Wiraman dan sejenak ia tidak dapat bicara. Tak disangkanya ia akan bertemu dengan gadis sakti yang begini terus terang tanpa tedeng aling-aling kalau bicara!

"Saya .......... sesungguhnya .......... " ia menggagap.

Melihat keadaan Wiraman ini, Widawati menjadi kasihan. Gadis ini tentu saja maklum mengapa Wiraman perlu membohong, tentu untuk menjaga keselamatannya karena mereka berdua belum mengenal betul siapa adanya muda-mudi yang sakti itu. BagaImana kalau mereka itu orang-orang yang pro kepada kekuasaan baru yang kini mencengkeram Jenggala? Cepat ia membela, siap mengorbankan dirinya,

"Sesungguhnya, saya bernama Widawati dan saya adalah satu-satunya cucu Ki Patih Brotomenggala di Jenggala yang terbebas daripada malapetaka yang membasmi keluarga kepatihan. Dan Kakang Wiraman ini hanya mengantar saya menuju ke Panjalu minta pengadilan.......... “

"Diajeng .......... !" Wiraman hendak mencegah, namun pengakuan itu telah lengkap.

Pusporini dan Joko Pramono terkejut sekali mendengar pengakuan itu dan mereka saling pandang. Kemudian Pusporini cepat melangkah maju dan memegang tangan Widawati sambil berkata,

"Ah, kIranya Andika ini cucu Ki Patih Brotomenggala di Jenggala? Dan keluarga-kepatihan Jenggala terbasmi habis? Apa artinya itu? Apa yang telah terjadi di Jenggala?"

Widawati dan Wiraman saling pandang dan pada pandang Wiraman terdapat pesan kepada Widawati, agar jangan mengaku sebelum mengenal siapa adanya dua orang muda-mudi ini. Melihat ini, Pusporini menjadi tidak sabar dan cepat berkata,

"Andika berdua tidak perlu curiga. Kami adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan. Ketahuilah, aku adalah seorang dari Kadipaten Selopenangkep. Sang Adipati Tejolaksono adalah rakandaku, kakak misanku! Ayunda Endang Patibroto adalah kakakku! Masih tidak percayakah Andika kepadaku?"

Kini yang menjadi amat terkejut adalah Wiraman, sedangkan Widawati memandang dengan mata terbelalak karena tentu saja ia sudah mendengar dan tahu siapa adanya Endang Patibroto yang dahulu menjadi isteri Pangeran Panjirawit di Jenggala! Serta-merta kedua orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan Widawati lalu menangis.

"Sungguh merupakan kemurahan para Dewata bahwa hamba berdua mendapat pertolongan dari Paduka yang menjadi saudara muda Gusti Patih Tejolaksono di Panjalu .......... !" kata Wiraman dengan girang sekali.

Kini giliran Pusporini yang tercengang.
"Apa kau bilang? Rakanda Tejolaksono adalah adipati di Selopenangkep, mengapa Andika menyebutnya gusti patih?"

Wiraman melongo.
"Betapa mengherankan pertanyaan Paduka ini! Gusti Adipati Tejolaksono kini telah menjadi patih muda di Panjalu. Bagaimana Paduka sampai tidak mengerti?"

Pusporini mengangguk-angguk.
"Syukurlah kalau begitu. Ketahuilah, Paman Wiraman. Telah bertahun-tahun aku meninggalkan Selopenangkep dan menjadi murid Eyang Resi Mahesapati. Sekarang ceritakan kesemuanya, ceritakanlah apa yang terjadi di Jenggala, siapa sebenarnya Andika ini, dan mengapa kepatihan Jenggala terbasmi, oleh siapa."

Maka berceritalah Wiraman tentang dirinya, betapa dia bersama sebelas orang temannya sebagai orang-orang kepercayaan mendiang Ki Patih Brotomenggala melakukan tugas mengawal secara diam-diam pada sri baginda yang mengadakan perburuan. Betapa kemudian sri baginda diserbu penjahat. Dia menceritakan semua rahasia, juga membongkar rahasia orang yang bernama Raden Warutama yang dengan licik telah dapat mengangkat diri menjadi patih di Jenggala. Dia juga menceritakan bagaimana Ki Patih Brotomenggala difitnah dan dijatuhi hukuman mati sekeluarga dan hanya Widawati saja yang kebetulan dapat lolos. Diceritakan pula betapa Kerajaan Jenggala kini dicengkeram oleh selir baru yang bernama Suminten dan persekutuan antara Suminten, Pangeran Kukutan dan patih baru yang bernama Warutama.

"Karena hamba berdua merupakan orang-orang buruan Jenggala, maka hamba mengajak .......... Diajeng Widawati untuk melarikan diri ke Panjalu, untuk mohon bantuan dan pengadilan sri baginda di Panjalu. Karena hamba berdua melakukan perjalanan secara rahasia, maka hamba melewati daerah-daerah yang sunyi. Siapa nyana, di sini hamba berdua diserang ular siluman dan untung tertolong oleh Paduka. Akan tetapi hamba ............ " Wiraman tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia teringat akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Widawati.

Joko Pramono maklum akan isi hati bekas pengawal yang gagah perkasa itu, maka ia cepat berkata,
"Paman Wiraman harap menenangkan hati. Aku dan Pusporini yang menjadi saksi bahwa Paman berdua telah menjadi korban racun ular yang amat jahat. Kami berdua yang menjadi saksi akan perlindungan dan pembelaan Paman yang amat setia terhadap cucu mendiang Ki Patih Brotomenggala."

Wiraman mengangkat muka memandang wajah Joko Pramono dengan penuh syukur dan terima kasih.

"Kalau begitu, perkenankan hamba berdua untuk melanjutkan perjalanan agar dapat segera sampai di Panjalu."

"Nanti dulu, Paman. Cerita Paman sungguh menarik hati dan aku sendiri ingin pergi menjumpai Rakanda Tejolaksono di Panjalu, Akan tetapi, aku harus minta ijin dulu dari Eyang Resi dan sebaiknya Andika berdua ikut dengan kami menghadap Eyang Resi untuk mendapat nasehat dan doa restunya."

Wiraman tidak berani membantah, apalagi sebagai seorang gagah perkasa, ia pun ingIn sekali menghadap guru dua orang muda yang sakti itu, yang ia percaya tentu memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa hebatnya. Adapun Widawati yang telah menyerahkan jiwa raga dan nasibnya ke tangan Wiraman, hanya menurut saja. Berangkatlah mereka berempat menuju ke puncak Gunung Kawi dan di sepanjang perjalanan Wiraman dihujani pertanyaan-pertanyaan, terutama sekali oleh Pusporini yang ingin tahu tentang keadaan keluarganya. Ketika mendengar akan kejahatan Suminten yang telah mencengkeram Jenggala melalui sang prabu yang lemah dan tua, dua orang murid Resi Mahesapati ini menjadi marah.

Akan tetapi sungguh berbeda dengan kedua orang muridnya yang marah mendengar kelaliman merajalela di Jenggala, Sang Resi Mahesapati malah tersenyum lebar, seolah-olah tidak merasa heran dan juga tidak menganggap peristiwa-peristiwa mengerikan yang terjadi di Jenggala itu sebagai hal-hal yang menjadikan penasaran. Ia menerimanya dengan tenang, tersenyum dan mengangguk-angguk, menganggapnya sudah wajar!

"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun buruk menurut penilaian orang, adalah wajar dan sudah ditentukan oleh Sang Hyang Widi Wisesa, sesuai dengan hukum karma, sama wajarnya dengan perkembangan sebab-akibat sebutir benih yang ditanam lalu tumbuh, berdaun, berkembang, dan berbuah. Dan sesungguhnya, untuk menghadapi semua itulah maka aku dahulu mengambil kalian sebagai murid, Joko Pramono dan Pusporini!"

"Eyang Resi, kalau begitu, hamba mohon Eyang sudi memperkenankan hamba pergi bersama Paman Wiraman berdua ke Panjalu untuk menghadap Rakanda Tejolaksono dan membantunya membebaskan Jenggala dari cengkeraman persekutuan busuk itu!" kata Pusporini penuh semangat.

"Ha-ha, belum tiba saatnya, Pusporini. Ingatkah engkau akan janjimu dahulu bahwa kalian berdua harus lima tahun menerima gemblengan? Baru berjalan tiga tahun, dan yang kalian bantu bukanlah Sang Patih Muda Tejolaksono. Jangan tergesa-gesa, muridku."

"Pusporini, agaknya engkau lupa akan tugas yang kita lakukan atas perintah Eyang Resi. Mengapa tidak kau keluarkan mustika ular itu dan kita sama sekali belum menceritakan hasil tugas kita kepada Eyang Resi."

Pusporini terkejut. Peristiwa perjumpaan dengan Wiraman dan Widawati, kemudian mendengar tentang rakandanya, membuat ia lupa sama sekali akan hal itu. Cepat ia mengeluarkan batu mustika ular itu dan menyerahkannya kepada Resi Mahesapati, sedangkan Joko Pramono lalu menceritakan secara ringkas tentang hasil mereka membunuh ular Puspo Wilis. Tentu saja ia tidak menyinggung-nyinggung tentang peristiwa mengerikan yang hampir saja menyeret mereka menjadi hamba-hamba nafsu karena pengaruh racun mujijat dari ular itu, juga tidak menceritakan tentang keadaan Wiraman dan Widawati.

Kakek itu menerima batu mustika ular, memandanginya sejenak dan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Kemudian sinar matanya yang halus penuh wibawa itu menyapu ke arah wajah keempat orang itu. Sinar mata ini begitu penuh pengertian sehingga tanpa dapat ditahan lagi empat orang yang duduk menghadap itu menundukkan muka yang menjadi merah padam, terutama sekali Wiraman dan Widawati.

"Kau simpaniah batu mustika ular Puspo Wilis ini, Pusporini. Ketahuilah bahwa di antara semua binatang berbisa, ular Itu telah menghimpun segala macam bisa dan kebal terhadap semua bisa karena khasiat batu mustika ini. Batu ini kelak, sesuai dengan kehendak para Dewata, akan dapat menyelamatkan banyak orang yang terancam keselamatannya oleh racun-racun yang disebar oleh orang-orang sesat. Semua luka berbisa dapat digosok bersih dengan batu ini dan semua racun dalam tubuh dapat dibersihkan dengan minum air yang merendam batu ini."

"Eyang, mengapakah hamba belum diperkenankan pergi ke Panjalu sekarang untuk membantu pembersihan di jenggala terhadap persekutuan jahat?" Pusporini masih penasaran. “Telah tiga tahun hamba mempelajari ilmu dari Eyang, dan hamba merasa cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawan jahat itu. Hamba tidak takut biar menghadapi iblis sekalipun yang mengeruhkan Kerajaan Jenggala!"

Kakek itu tertawa.
"Pusporini, engkau tidak tahu. Calon-calon lawanmu adalah orang-orang yang sakti mandraguna, dikemudikan oleh orang-orang yang maha sakti. Jangankan hanya engkau dan Joko Pramono, biar aku sendiri belum tentu dapat menandingi mereka. Karena itu, bersabarlah dan belajarlah lebih rajin lagi. Selama dua tahun. Kalau sudah tiba masanya, tentu kuperkenankan kalian berdua untuk pergi. Juga Ki Wiraman dan Nini Widawati kuperkenankan tinggal selama dua tahun di sini. Ki Wiraman adalah seorang hamba yang setia di Jenggala, adapun Nini Widawati adalah seorang korban kekeruhan yang melanda Jenggala, karena itu keduanya berhak untuk menerima ilmu sekedarnya dan kelak menjadi pembantu-pembantu yang baik. Tentu saja kalau Andika berdua suka menerima bimbinganku .......... “

Wiraman sudah menyembah dan menjawab dengan suara mantab,
"Hamba menghaturkan banyak terima kasih bahwa Paduka sudi menurunkan kasih sayang dan hendak memberi petunjuk kepada hamba berdua Diajeng Widawati."

Demikianlah, semenjak hari itu, bukan hanya Pusporini dan Joko Pramono yang dengan rajin memperdalam ilmu mereka, juga Wiraman dan Widawati digembleng dengan aji-ajI kesaktian oleh Sang Resi Mahesapati di puncak Gunung Kawi.

**** 067 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 068 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment