Ads

Sunday, March 3, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 080

<<== Kembali <<==

Kita tinggalkan dulu dara perkasa Retna Wilis yang setiap malam menanti datangnya tanda seperti yang dipesankan gurunya dan mari kita menjenguk keadaan di Jenggala sendiri.

Telah dituturkan di bagian depan bahwa Pangeran Panji Sigit bersama isterinya Setyaningsih, telah tinggal di Jenggala, di lingkungan istana. Juga Pusporini dan Joko Pramono tinggal di istana Jenggala. Mereka, empat orang muda perkasa ini, gagal dalam penyelidikan mereka tentang diri Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis. Kemudian mereka lebih menujukan perhatian mereka terhadap keadaan di Jenggala dan bertekad untuk membantu perjuangan dari Panjalu yang dipimpin oleh Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono, yaitu untuk membebaskan sang prabu dan Kerajaan Jenggala dari cengkeraman persekutuan jahat yang telah mereka ketahui siapa orang-orangnya itu.

Makin jelaslah kini bagi Pangeran Panji Sigit dan isterinya, juga Pusporini dan Joko Pramono, akan keadaan di kerajaan ini. Sang prabu yang sudah tua itu benar-benar telah terlalu dalam tenggelam dan semua kekuasaan telah dicengkeram oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Empat orang muda ini maklum bahwa persekutuan ini amat licin dan cerdik, tidak memperlihatkan kekuasaan namun sudah mutlak mengoper kekuasaan Jenggala di tangan mereka sehingga kalau sewaktu-waktu sang prabu yang sudah tua itu meninggal, otomatis Pangeran Kukutan yang menggantikan menjadi Raja Jenggala, Ki Patih Warutama tetap menjadi patih, dan Suminten menjadi ibu suri!

Pangeran Panji Sigit maklum bahwa untuk menyelamatkan kerajaan harus dilakukan sekarang juga selagi ramandanya masih hidup. Mulailah pangeran ini mendekati ramandanya, mulailah mencari kesempatan untuk memberi ingat kepada ramandanya akan bahaya yang mengancam bagi Kerajaan Jenggala. Menurut penyelidikan Joko Pramono dan Pusporini, tidak hanya para ponggawa yang diganti oleh orang-orang baru, juga para emban dan pendeta Agama Wishnu telah didesak dan kini telah dibangun candi-candi besar untuk keperluan beberapa orang pendeta penyembah Shiwa yang agaknya mendapat tempat istimewa dan dianak emaskan oleh Ki Patih Warutama dan Pangeran Kukutan.

Dalam pertemuan rahasia mereka, Pangeran Panji Sigit memutuskan untuk mengirim Joko Pramono dan Pusporini ke Panjalu dan memberi kabar kepada Ki Patih Tejolaksono dan Pangeran Darmokusumo tentang hasil penyelidikan mereka, dan tentang gagalnya penyelidikan mereka mengenai diri Nini Bumigarba. Empat orang muda ini tidak tahu bahwa rencana mereka telah diketahui Suminten, bahwa Suminten telah mengatur siasat yang telah lama direncanakan dan yang kini dipercepat pelaksanaannya untuk mendahului rencana Pangeran Panji Sigit yang hendak mengutus dua orang muda itu membuat laporan ke Panjalu.

Malam itu terang bulan dan langit cerah sekali. Langit yang membiru dihias beberapa buah bintang, terang oleh sinar bulan yang sejuk. Ketika Pangeran Panji Sigit sedang bercakap-cakap dengan isterinya di luar kamar sambil memandang bulan purnama yang indah, tiba-tiba seorang pelayan wanita datang menghadap dan menyampaikan permintaan gusti selir yang minta kepada Setyaningsih untuk menemaninya di dalam taman keputren. Gusti selir hendak menikmati cahaya bulan di taman dan minta agar Setyaningsih suka menemaninya bercakap-cakap.

Tentu saja hal yang wajar ini sukar ditolak oleh Setyaningsih, bahkan Pangeran Panji Sigit yang tidak ingin menimbulkan kecurigaan di hati Suminten musuh utama yang paling berbahaya itu, membujuk isterinya untuk berdandan dan segera berangkat bersama pelayan itu untuk memenuhi panggilan ibunda selir. Biarpun di dalam hatinya Setyaningsih merasa segan dan tidak senang karena sesungguhnya ia muak melihat Suminten, namun ia tidak berani menolak dan setelah cepat berdandan, berangkatlah ia bersama pelayan wanita yang diutus memanggilnya itu memasuki keputren dan langsung menuju ke taman yang indah, milik pribadi Suminten. Sementara itu, Joko Pramono yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya, mendapat kunjungan Ki Mitra. Kakek ini berindap-indap mengetuk daun jendela kamar Joko Pramono.

"Raden .......... ! Raden .......... , keluarlah .......... " la berbisik.

Joko Pramono turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela.
"Paman Mitra, bagaimana engkau bisa masuk .......... ?" Pemuda ini merasa heran karena orang tua ini menjadi juru taman di luar istana dan untuk memasuki daerah istana bukanlah hal yang mudah.

"Ssttt .......... hamba mengenal seorang pengawal setia. Dia yang memanggil hamba karena terjadi urusan yang gawat sekali!"

Joko Pramono menarik kakek itu memasuki kamarnya.
"Apakah yang terjadi?"

"Lekas paduka bertindak, Raden, kalau tidak .......... bisa terlambat.........! Hamba mendengar dari pengawal setia bahwa Gusti Puteri Setyaningsih malam ini diundang ke taman bunga di taman sari oleh Gusti Selir Suminten ……”

Joko Pramono memandang tajam,
“Hemm, urusan begitu saja, apa salahnya?”

“Ah, paduka terlalu memandang rendah Gusti Selir Suminten! Menurut laporan-laporan yang hamba dengar, malam ini Gusti Puteri Setyaningsih sengaja dipancing untuk diajak makan minum dan .......... akan diracun!"

"Apa .......... ???" Joko Pramono terkejut sekali.

"Lekaslah paduka menolongnya sebelum terlambat!"

"Di manakah Kakangmas Pangeran Panji Sigit? Dia harus diberi tahu, dan .......... Pusporini ..........”

"Ah, Raden, mengapa menyia-nyiakan waktu? Gusti selir banyak memasang mata-mata, dan kalau kita ribut-ribut .......... dapat terlambat dan celaka! Lebih baik sekarang juga paduka cepat memasuki taman sari dan menolong Gusti Puteri Setyaningsih sebelum terlambat terkena racun. Hamba yang akan memberi tahu kepada Gusti Pangeran Panji Sigit dan Raden-ayu Pusporini.”

Karena mengkhawatirkan keadaan Setyaningsih, Joko Pramono mengangguk setuju, kemudian ia meloncat keluar dari jendela kamarnya, menghilang ke dalam gelap untuk cepat-cepat menolong Setyaningsih yang terancam bahaya maut di tangan Suminten yang jahat. Ki Mitra juga berindap-indap menuju ke pondok keputren di mana terdapat kamar Pusporini.

Pada saat itu, Pangeran Panji Sigit yang masih duduk di serambi depan pondoknya, merasa tidak enak mengapa isterinya belum juga pulang. Andaikata bukan Suminten yang mengajak isterinya bersenang-senang di taman, andaikata selir lain dari ramandanya yang sekarang sudah terasing, tentu ia tidak gelisah seperti itu.

"Pangeran .......... “

Pangeran Panji Sigit tersentak kaget ketika mendengar suara ini dan melihat orangnya yang muncul dari pintu tembusan ke belakang. Ternyata orang yang dikhawatirkan akan mencelakakan isterinya, Suminten, berada di situ! Cantik jelita dan seluruh pembawaannya mengandung tantangan yang merangsang dan genit. Wanita ini memang cantik manis sekali, hal ini tak dapat disangkal oleh Pangeran Panji Sigit, dan terutama sekali mulut dan mata itu mengundang cinta kasih pria dan tentu akan mudah menjatuhkan hati pria yang bagaimana keras pun. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit yang sudah mengenaI watak dan isi dada membusung itu, isi yang amat keji dan kotor, menjadi terkejut dan cepat-cepat ia bangkit berdiri sambil menghormat.

"Ibunda selir .......... mengapa berada di sini .......... Di mana isteriku, Setyaningsih?"

"Aduh Pangeran .......... , karena dialah aku bersusah payah datang mencarimu. Marilah kau ikut bersamaku melihat dia. Lihat apa yang dilakukan isterimu dan sahabat baikmu, si keparat Joko Pramono."

"Apa .......... apa yang terjadi .......... Tipu muslihat apalagi yang kaulakukan?" Pangeran Panji Sigit serta-merta menuduh ibu tirinya ini dan memandang dengan kening berkerut dan jantung berdebar penuh kegelisahan akan keselamatan isterinya dan sahabat baiknya.

Bibir yang merah semringah itu menahan senyum mengejek, bibir bawah yang penuh bergerak-gerak, dagunya berguncang-guncang karena di dalam rongga mulut lidahnya bergerak-gerak. Dalam keadaan begini, Suminten tampak amat menarik hati dan menggemaskan hati pria, apalagi disertai pandang mata yang redup sayu seperti mata orang yang mengantuk, benar-benar memikat. Sang Arjuna sendiri biarpun sedang bertapa, kalau digoda seorang wanita seperti Suminten, agaknya belum tentu akan kuat bertahan! Kalau dalam ceritera Arjuna Mintaraga, Sang Arjuna yang bertapa digoda oleh tujuh orang bidadari dapat bertahan, bukanlah aneh karena bidadari-bidadari yang suci mana mungkin bisa membangkitkan nafsu berahi seorang satria!

"Aduh, Pangeran, paduka juga puteraku dan saya adalah ibumu.......... ah begitu keras dan kejamkah hatimu sehingga kesalahan kecil yang pernah saya lakukan dahulu itu masih saja tak terlupakan? Saya tidak melakukan fitnah .......... tadinya isterimu bersamaku di taman. Karena sesuatu urusan, saya terpaksa meninggalkannya sebentar di taman dan .......... ah, kau lihat sendiri sajalah. Saya sudah mempersiapkan pengawal mengepung taman, akan tetapi saya tidak membolehkan mereka turun tangan sebelum paduka menyaksikan dengan mata sendiri agar kelak jangan menuduh saya menjatuhkan fitnah terhadap isteri dan sahabatmu. Marilah, Pangeran .......... “

Pangeran Panji Sigit menjadi pucat wajahnya dan jantungnya berdebar keras sekali. Bagaimana dia dapat menolak? lsterinya belum kembali dan dia amat khawatir. Tidak, sama sekali bukan khawatir bahwa berita yang dibawa Suminten ini mengandung kebenaran. Isterinya dan Joko Pramono? Wah, biar dunia kiamat dia tidak akan dapat percaya akan hal ini isterinya memang cantik jelita dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria, akan tetapi Joko Pramono adalah seorang satria sejati, seorang gagah perkasa dan seorang pria yang mencinta Pusporini.

Sebaliknya, biarpun Joko Pramono adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa dan pasti akan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita, akan tetapi isterinya, Setyaningsih, tentu saja amat setia dalam cinta kasihnya dan sampai mati pun ia tidak akan meragukan kesetiaan isterinya sedikit pun juga isterinya dituduh tidak setia oleh wanita hina yang gila laki-laki ini? Ah, betapa ingin ia menampar atau mencekik wanita ini di saat itu juga!

"Ibunda selir .......... saya akan melihat dan .......... kalau ini hanya fitnah .......... demi para dewata, saya takkan mendiamkan saja penghinaan ini .......... !" desisnya dengan gigi terkancing.

Suminten tersenyum, bibirnya merekah sehingga mututnya terbuka seperti sebuah luka yang tampak dagingnya memerah, dan sebelum Pangeran Panji Sigit dapat menolaknya, wanita itu telah menyambar lengannya dan ditariknya lengan pemuda bangsawan itu keluar dari situ melalui pintu belakang.

"Marilah, Pangeran. Saksikan saja sendiri dan buktikan kebenaran omongan .......... Suminten .......... !" Ketika menyebutkan namanya sendiri ini, terdengar seperti bisikan mesra sekali.

Wanita ini sudah menyebutkan nama sendiri, tidak lagi bersikap sebagai seorang ibu tiri, dan andaikata hati Pangeran Panji Sigit tidak sedang diliputi kegelisahan hebat, tentu ia akan merasakan ketidakwajaran dan sikap yang jelas menantang asmara ini. Bergegas Suminten yang menarik tangan pangeran itu menyelinap melalui taman-taman istana menuju ke taman sari miliknya sendiri. Beberapa sosok bayangan menyambut mereka di tempat gelap, di belakang semak-semak. Mereka itu ternyata adalah pengawal-pengawal yang telah mengadakan pengurungan di taman itu.

"Di mana mereka .......... ?" Suminten berbisik.

Seorang pengawal menyembah dan dengan ibu jarinya menunjuk ke depan. Jantung Pangeran Panji Sigit makin berdebar dan ia menurut saja ketika Suminten kembali menggandengnya, menyusup di belakang pohon-pohon dan akhirnya mereka dapat melihat bayangan dua orang di dekat pondok merah di taman. Pangeran Panji Sigit berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya kepada pandang mata sendiri ketika ia melihat bahwa bayangan itu adalah Joko Pramono dan Setyaningsih. Seolah-olah berhenti denyut jantungnya, lehernya seperti tercekik, mulutnya menjadi kering dan napasnya terengah-engah.

Tanpa berkedip ia melihat betapa Joko Pramono memondong tubuh isterinya, melihat jelas betapa otot-otot lengan Joko Pramono melingkar-lingkar kuat menyangga kedua paha Setyaningsih, lengan sebelah lagi merangkul punggung. Hal ini masih tidak berarti karena memang sudah semestinya demikian kalau sedang memondong orang. Akan tetapi mengapa Joko Pramono memondong Setyaningsih? Kalau saja ia melihat isterinya itu pingsan atau menderita seperti orang sakit atau terluka, ia tentu akan cepat berlari menghampiri mereka dan tidak melihat sesuatu yang aneh kalau Joko Pramono memondong isterinya. Akan tetapi justeru keadaan Setyaningsih di saat itu tidak seperti orang sakit, apalagi pingsan!

Memang Setyaningsih seperti orang gelisah, akan tetapi gelisah diamuk nafsu berahi! Kedua lengan yang lunak halus hangat dari isterinya itu, kedua lengan yang biasanya merangkulnya, yang biasa diciuminya sehingga ia hampir mengenal di luar kepala segala bentuk lekuk-lengkung kedua lengan itu, hafal betapa di sebelah dalam pangkal
lengan kiri isterinya, di antara bulu-bulu halus mengeriting, terdapat sebuah tahi lalat. Hafal pula betapa di dekat siku kanan yang meruncing itu terdapat segores bekas luka. Kedua lengan itu kini dengan kemesraan yang sama seperti kalau memeluknya, bahkan agaknya lebih mesra lagi, sedang melingkari leher Joko Pramono! Dan jari-jari tangan isterinya yang kecil panjang dan halus itu! Jari-jari tangan itu menjambak-jambak rambut kepala Joko Pramono, menjambak mesra yang sesungguhnya merupakan belaian khas dari Setyaningsih karena seringkali isterinya itu membelai seperti itu, menjambak-jambak halus rambut kepalanya di waktu mereka berdua berada dalam keadaan semesra-mesranya. Kini kedua tangan itu, sepuluh jari-jari meruncing itu terbenam ke dalam rambut kepala Joko Pramono dan wajah isterinya diangkat-angkat mendekati wajah Joko Pramono seperti hendak menciumnya!

"Percayakah paduka Pangeran?" bisik Suminten di dekat telinganya.

Pangeran Panji Sigit kehilangan suaranya, hampir kehilangan napasnya, kehilangan pula semangat dan kemauannya. Ia diam saja.

"Akan kuperintahkan pengawal menangkap bedebah yang mengkhianatimu itu, bagaimana?" kembali bibir yang diharumkan sari bunga mawar itu berhembus membisikkan kata-kata dekat telinganya.

Pangeran Panji Sigit hampir pingsan saking marah dan sakit hatinya. Ia tidak buta! Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Isterinya Setyaningsih Begitu bergelora dalam nafsu berahi! Jelas sekali olehnya karena ia telah mengenal betul keadaan isterinya dan biarpun dia jauh, ia melihat jelas betapa saat itu Setyaningsih seperti terbakar nafsu berahi dalam pondongan dan pelukan Joko Pramono. Biarpun saat itu wajah Joko Pramono tidak membayangkan gairah yang sama, akan tetapi jelas pemuda itu memondong isterinya, dan ia yakin bahwa Setyaningsih belum begitu gila untuk bersikap seperti itu kalau tidak ada uluran cinta kasih dari fihak Joko Pramono! Keji! Hina! Dan Pangeran Panji Sigit yang mendengar pertanyaan Suminten itu hanya menganggukkan mukanya tanpa mengalihkan pandangnya yang sejak tadi tak pernah berkedip.

Suminten mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dari segala jurusan berloncatan keluarlah pasukan pengawal dengan senjata tombak, golok, atau pedang. Jumlah mereka itu tidak kurang dari tiga puluh orang dan mereka semua segera membuat gerakan mengurung Joko Pramono yang kelihatan kaget dan marah.

Pangeran Panji Sigit dapat melihat jelas betapa dengan setengah memaksa Joko Pramono melepaskan pondongannya dan betapa Setyaningsih meronta-ronta seolah-olah tidak mau dilepaskan. Akhirnya, karena para pengawal sudah menubruk maju, Joko Pramono membuat gerakan melempar sehingga tubuh Setyaningsih terguling di atas tanah, kemudian pemuda itu menerjang maju dan robohlah dua orang pengawal terdepan terkena hantaman kedua tangannya. Akan tetapi, dua orang roboh yang maju ada belasan orang, menubruknya dari kanan kiri, depan dan belakang. Joko Pramono mengeluarkan suara bentakan keras, tubuhnya berkelebat mengelak dan menangkis, bahkan senjata yang berhasil mengenai tubuhnya hanya merobek pakaiannya saja karena kulitnya kebal oleh pengerahan hawa sakti tubuhnya, kemudian ia merobohkan lagi empat orang pengeroyok.

Pada saat itu menyambar sesosok bayangan yang amat lincah. Sekali terjang, bayangan ini sudah merobohkan dua orang pengawal yang mendekati Setyaningsih yang masih duduk setengah rebah di atas tanah dan kelihatan bingung. Bayangan itu ternyata adalah Pusporini yang cepat menyambar tubuh Setyaningsih, dikempit dengan
lengan kiri sedangkan tangan kanan dara perkasa ini menghajar roboh berturut-turut dua orang pengawal lain. Joko Pramono yang dikeroyok banyak pengawal, melihat munculnya Pusporini segera berseru,

"Bagus, Rini. Kau bantu aku membasmi jahanam-jahanam ini!"

"Cih, laki-laki ceriwis, cabul dan mata keranjang!" Pusporini memaki dan tubuhnya berkelebat pergi membawa Setyaningsih yang hanya mengeluarkan suara keluhan panjang.

Joko Pramono kaget sekali, cepat ia mengerjakan tangannya dengan cepat sekali dan kembali enam orang pengawal roboh terpelanting. Melihat ini, Pangeran Kukutan yang sejak tadi pun telah bersembunyi di situ berteriak,

"Hayo maju semua, bunuh keparat itu!"

Makin banyak lagi pengawal berdatangan dan melihat gelagat buruk ini, Joko Pramono mengeluarkan suara pekik keras tubuhnya agak merendah, kedua tangannya didorong ke depan dan hawa pukulan seperti angin lesus menyambar ke depan, membuat belasan orang pengawal yang berada terdepan, terjengkang dan terpelanting. Ketika para pengawal memandang ke depan, pemuda perkasa itu ternyata telah lenyap dari tempat itu. Joko Pramono telah mempergunakan Aji Cantuka Sekti untuk memukul roboh para pengeroyoknya, kemudian ia meloncat dan pergi secepatnya menyusul Pusporini yang telah lebih dulu membawa Setyaningsih.

Pangeran Kukutan menjadi penasaran sekali ketika melihat Joko Pramono dapat meloloskan diri, terutama sekali Setyaningsih dan Pusporini. Dia sudah mendapat janji dari Suminten bahwa kalau siasat mereka berhasil dan empat orang muda itu terjatuh ke tangan mereka, dia boleh memiliki dua orang wanita muda jelita itu! Setyaningsih dan Pusporini! Betapa dia sudah tergila-gila, kalau malam sering bermimpi memangku dua orang wanita itu, dan kalau dikenang membuat ia mengilar. Kini, dikepung oleh puluhan orang pengawal pilihan, dua orang wanita itu dan Joko Pramono masih dapat lobos! Ah, dia dan Suminten terlalu memandang rendah mereka. Terlalu memandang rendah Joko Pramono dan Pusporini yang ternyata benar-benar amat sakti. Kalau mereka tahu betapa hebat kesaktian dua orang muda itu, tentu Pangeran Kukutan sudah minta bantuan Ki Patih Warutama sehingga malam itu dapat diundang beberapa orang sakti dari luar untuk membantu.

Karena penasaran, Pangeran Kukutan lalu mengerahkan barisan pengawal, sedikitnya ada lima losin jumlahnya, melakukan pengejaran di malam terang bulan itu. Akan tetapi, ilmu berlari cepat kedua orang murid Sang Resi Mahesapati ini jauh lebih tinggi daripada Pangeran Kukutan dan para pengawalnya sehingga para pengejar itu tertinggal jauh sekali. Dua orang muda perkasa itu maklum bahwa fihak istana pasti takkan membiarkan mereka pergi seenaknya, maka mereka pun tak pernah berhenti berlari dan semalam suntuk itu Pusporini yang berlari di depan sambil memondong tubuh Setyaningsih, telah jauh meninggalkan kota raja, memasuki hutan besar dan baru menjelang pagi, ia menghentikan larinya dan melepaskan tubuh Setyaningsih ke atas tanah yang bertilam rumput.

"Pusporini .......... aduhh .......... kepalaku .......... " Setyaningsih mengeluh akan tetapi ia segera terguling lemas dan tertidur pulas!.......... “

"Hemm .......... kau lemah dan keji terhadap suamimu, Setyaningsih!" kata Pusporini, nada suaranya marah dan tiba-tiba gadis yang keras hati yang gagah perkasa dan yang tak pernah mengenal takut itu menangis tersedu-sedu sambil berjongkok di dekat Setyaningsih yang tidur nyenyak.

"Rini .......... engkau mengapakah? Mengapa menangis? Dan mengapa pula kau tadi marah-marah dan memaki-maki aku tidak karuan?"

Pertanyaan Joko Pramono ini diajukan dengan suara halus karena dia melihat gadis itu menangis, akan tetapi mengandung rasa mendongkol dan penasaran karena ia merasa betapa dia dimaki-maki tidak karuan tanpa salah. Mengapa Pusporini secara tiba-tiba memaki dia ceriwis, cabul, dan mata keranjang? Maki-makian keji yang dilontarkan di depan orang banyak pula. Bahkan gadis ini tidak mau membantunya yang dikeroyok banyak pengawal. Apakah sebabnya?

Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba Pusporini mencelat bangun dan serta-merta menerjangnya dengan pukulan maut tanpa mengeluarkan suara ba atau bu lagi! Pukulan dengan tangan kanan yang ditujukan ke arah dada Joko Pramono dengan penuh tenaga terdorong kemarahan dan kebencian!

"Eiiiitttt .......... sembrono kau, Rini!" Joko Pramono terkejut sekali dan cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sampai jauh. Hanya dengan cara itulah ia dapat menyelamatkan diri dari hantaman maut yang amat dahsyat itu.

Pusporini yang memang berwatak keras dan tidak pernah mau kalah, menjadi penasaran dan terus menerjang lagi dengan dahsyatnya, tanpa memberi kesempatan kepada Joko Pramono untuk bicara atau balas menyerang, bahkan ia tidak hendak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk bernapas! Dia ingin membunuh pemuda ini yang telah menyakitkan hatinya malam tadi!

Mengapa Pusporini secara tiba-tiba marah kepada Joko Pramono? Memang tidak mengherankan kalau diketahui apa yang diucapkan Ki Mitra malam tadi ketika kakek ini menghadap dara perkasa ini.

"Paduka harus cepat-cepat menolong Raden Ayu .......... kalau tidak, akan celakalah semua .......... " kata kakek itu dengan muka pucat dan berkeringat.

"Ki Mitra .......... ada apakah?" Pusporini bertanya kaget..........

Kakek itu menghela napas panjang, menghapus peluhnya, kemudian menggeleng-geleng kepala dan berkata,

"Ah, kalau orang muda .......... kaduk wani kurang dugo (menonjolkan keberanian tanpa perhitungan), semua ini gara-gara Raden Joko mengadakan pertemuan rahasia dengan
Gusti Puteri Setyaningsih …………..”

"Apa .......... Apa kau bilang ..........? Jaga baik-baik mulutmu, Ki Mitra!" Pusporini marah sekali dan tangannya sudah gatal-gatal hendak menampar kakek itu kalau saja ia tidak ingat bahwa kakek ini adalah orang yang setia dan tentu ada sebabnya mengapa mengeluarkan kata-kata seperti itu.

"Hamba tidak menyalahkan paduka. Memang, biasanya yang terdekat malah tidak mengetahui. Sudah beberapa kali mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia, ahh.......... hamba tidak heran, yang puteri cantik jelita yang putera tampan perkasa. Akan tetapi sekali ini mereka terkena jebakan, mengadakan pertemuan di pondok dalam taman sari milik gusti selir dan mereka ketahuan, tertangkap basah! Mereka kini telah dikurung pasukan pengawal .......... ”

Demikianlah, mendengar ucapan ini, tanpa menanti sampai habis penuturan Ki Mitra, tubuh Pusporini sudah berkelebat dan ia berlari cepat memasuki taman sari itu. Dan apa yang dilihatnya? Sama dengan yang dilihat Pangeran Panji Sigit! Ia melihat betapa pria yang dicintanya itu sedang memondong tubuh Setyaningsih dan wanita itu, kakak tirinya yang amat dikasihinya, yang ia kagumi dan yang ia anggap sebagai seorang wanita sejati, seorang wanita yang patut dijadikan tauladan, dengan mesra membelai rambut kepala Joko Pramono, bersikap mesra penuh gelora nafsu berahi yang amat memalukan dan memuakkan perutnya!

Ketika para pengawal keluar menyerbu, Pusporini membatalkan niatnya menyerang Joko Pramono, sebaliknya ia lalu menyambar tubuh Setyaningsih dan membawanya pergi karena betapapun juga, dia tidak mungkin dapat membiarkan kakak tirinya itu tertimpa aib dan malu, tertangkap basah melakukan perjinahan dengan Joko Pramono.

Tentu saja, dalam kedukaan dan kecewanya, dalam penderitaan akibat hancurnya kebahagiaan cinta kasihnya dengan Joko Pramono yang sekaligus dihancurkan oleh penglihatan di taman sari tadi, begitu melihat Joko Pramono, dara perkasa ini tak dapat menahan kebencian dan kemarahannya lagi dan langsung menerjang dan menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan maut secara bertubi-tubil

"Wah .......... heiiitt.......... berhenti dulu! Aihhhh .......... !" Joko Pramono yang hanya menangkis dan mengelak itu akhirnya kena diserempet pundaknya sehingga ia roboh terpelanting. Baiknya ia memiliki tubuh yang terlatih dan kebal sehingga sebelum kaki Pusporini yang melayang datang itu sempat menghajar dan meremukkan kepalanya, Joko Pramono sudah menekankan kedua tangan ke atas tanah, mendorong dan tubuhnya mencelat jauh sehingga terhindar dari tendangan maut.

"Rini, jangan .......... , berhenti dulu dan mari kita bicara .......... !”

"Keparat, manusia tak berbudi, tidak perlu bicara lagi. Engkau atau aku yang harus mati!" bentak Pusporini yang terus menyerang sehingga kembali Joko Pramono yang terheran-heran itu dan yang selalu mengalah, terdesak hebat dan tamparan Pusporini menyerempet pipinya sehingga pinggir bibir pemuda itu pecah berdarah. Melihat darah,
Pusporini seperti menjadi semakin buas dan serangannya makin ganas.

"Pusporini .......... ! Eh, Joko Pramono .......... ! Mengapa kalian berkelahi? Berhenti.......... berhentilah .......... , apakah yang terjadi.......... ??" Setyaningsih yang telah sadar dari tidurnya tadi sejenak terbelalak menyaksikan betapa Pusporini menyerang dan mendesak Joko Pramono. Kemudian ia melompat bangun dan cepat melerai mereka, menghadang di depan Pusporini yang sudah seperti seekor harimau betina direbut anaknya itu.

Pusporini dengan alis berdiri memandang Setyaningsih, napasnya terengah dan dua titik air mata membasahi pipinya.

"Engkau .......... engkau hendak membela kekasihmu ini .......... ??”,

Ucapan ini bagi Setyaningsih dan Joko Pramono merupakan tuduhan yang amat mengejutkan, bagaikan halilintar menyambar di atas kepala mereka.

"Rini .......... ! Apa yang kau katakan ini .......... ??" teriak Joko Pramono.

Wajah Setyaningsih menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak memandang adik tirinya.

"Pusporini adikku .......... , ! mengapa kau mengeluarkan ucapan sekeji itu? Apakah yang telah terjadi .......... ? Mengapa aku berada di sini .......... dan …..... dan mengapa kalian bertempur….?”

Muka Pusporini menjadi makin merah, dadanya menjadi makin bergelombang karena rongga dadanya dibakar api kemarahan.

"Hemmm, sungguh tak tahu malu dan pengecut! Sudah berani berbuat tidak berani mengaku! Kedua mataku sendiri telah melihat betapa engkau dalam pondongannya mengerang-erang manja dan penuh nafsu. Mataku belum buta! Semalam kumelihat sendiri dan sekarang kalian berdua masih berpura-pura lagi? Aduh, sungguh kasihan Kakangmas Pangeran Panji Sigit .......... , dikhianati isteri dan sahabat palsu.......... !!" Pusporini lalu menangis terisak.

Setyaningsih memandang kepada Pusporini, lalu kepada Joko Pramono berganti-ganti dengan muka pucat, kemudian ia berkata setengah menjerit.

"Di mana suamiku? Mengapa aku berada di sini? Apa yang terjadi? Lekas ceritakan, kalian berdua. Lekas ceritakan .......... ah, aku bisa menjadi gila karena gelisah .......... !!"

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 081 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment