Ads

Monday, March 11, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 085

<<== Kembali <<==

Joko Pramono cepat membalik dan ternyata raksasa itu kini sudah berdiri di ambang pintu di belakangnya. Joko Pramono tidak menjadi gentar menghadapi dua orang musuh lama ini. Ia hanya cemas melihat keadaan Pangeran Panji Sigit yang rebah tak bergerak, agaknya pingsan karena pangeran itu sama sekali tidak terganggu oleh keributan di situ. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang dan siap untuk mengadu kesaktian melawan dua orang manusia iblis itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berderit keras di atas kepalanya. Karena mengira bahwa tentu ada alat rahasia yang akan menyambarnya dari atas, Joko Pramono memandang ke atas dan sebagian besar perhatiannya tertuju ke langit-langit ruangan itu. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh ahli pembuat alat rahasia di tempat tahanan istana Jenggala itu.

Begitu orang mengarahkan perhatiannya ke atas, tentu saja perhatiannya ke bawah berkurang dan tiba-tiba lantai yang diinjak Joko Pramono terkuak ke bawah! Pemuda itu terkejut sekali, namun terlambat. Tubuhnya sudah meluncur ke bawah dan lantai yang tadi terkuak ke bawah, itu telah menutup kembali diiringi suara tertawa Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik. Joko Pramono maklum bahwa la telah terjebak.

Akan tetapi sebagai seorang satria perkasa, ia pantang menyerah terhadap keadaan. Ia mengerahkan hawa saktinya sehingga biarpun tubuhnya meluncur ke bawah, namun ia masih menguasai dirinya dan tidak akan terbanting ke dasar sumur itu. Begitu kakinya menyentuh lantai, tubuhnya sudah bergerak seperti per sehingga daya luncuran tertahan dan sekali meloncat ia telah mematahkan daya luncuran tadi.

Ia berdiri di tengah ruangan di bawah tanah itu dan memaksa matanya untuk menembus kegelapan di situ. Akan tetapi keadaan gelap pekat, tidak tampak sesuatu sehingga akhirnya Joko Pramono terpaksa harus menggunakan kaki tangannya untuk meraba-raba. Kiranya ia telah terkurung oleh dinding yang kuat dan yang bentuknya bundar. Tidak ada pintu maupun jendelanya, sedangkan ketika ia menengadah, lantai jebakan yang kini menjadi langit-langit itu tidak tampak, hanya gelap dan hitam saja yang membayang di matanya.

Betapapun juga, Joko Pramono tidak menjadi putus asa menghadapi kenyataan bahwa dirinya benar-benar terancam bahaya maut ini. Ia melakukan hal yang terpenting, yaitu duduk bersila di tengah-tengah ruangan gelap itu untuk mengumpulkan tenaga sakti dan menenangkan pikirannya. Ia maklum bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya harus diterima dalam keadaan tenang dan wajar, karena hanya ketenangan jiwanya sajalah yang akan mampu membuat ia kuat menghadapi segala kepahitan dan kemudian mengatasinya dengan langkah-langkah yang tepat. Teringatlah pemuda ini kepada sebuah di antara wejangan-wejangan Resi Mahesapati yang pada saat itu terngiang di telinganya.

"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, yang menimpa dirimu, adalah sesuai dengan hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu, kita harus dapat menerimanya sebagai suatu kewajaran dan bersandarkan kesabaran dan ketenangan, kita harus berani memandang ke depan. Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita, apabila sudah dikehendaki demikian oleh Sang Jagad Nata (Pengatur Dunia) takkan dapat dihindarkan oleh manusia, betapapun saktinya manusia itu. Maka, jalan satu-satunya bagi manusia mahluk lemah ini hanyalah bersandar kepada Hyang Widi Wisesa dengan penuh ketulusan hati, dengan penuh pasrah namun tidak melepaskan segala ikhtiar yang menjadi kewajiban manusia yang telah diberi perlengkapan sempurna untuk kewajiban itu."

Joko Pramono tekun mengheningkan cipta dan ia menanti datangnya kesempatan baik untuk menolong dirinya sendiri. Dia tidak takut, tidak gentar karena dia telah menyandarkan dirinya kepada kekuasaan Dewa, sehingga andaikata kematian akan menjemputnya sekalipun, ia tidak merasa gentar karena maklum bahwa semua itu sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa.

Tiba-tiba terdengar bunyi seperti desis ular. Joko Pramono bangkit berdiri, bersikap tenang waspada, bersiap-siap menghadapi hal yang seburuknya, tenaga sakti telah menjalar ke arah kedua lengannya. Akan tetapi tiba-tiba ia terbatuk karena mencium bau yang amat harum namun menyengat hidung, dan tahulah ia bahwa fihak lawan telah menyerangnya dengan asap yang entah masuk di ruangan itu dari mana. la menahan napas, lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir asap harum menyengat hidung itu. Asap yang masuk berwarna putih dan menjadi buyar terkena sambaran angin pukulan Joko Pramono. Akan tetapi asap masuk makin banyak dan makin tebal, sedangkan Joko Pramono, biarpun telah menjadi pemuda sakti, namun tak mungkin dapat menahan napas selamanya. Akhirnya ia tersedak, terengah dan cepat ia duduk bersila, menghentikan perlawanan dan mengosongkan pikiran, siap untuk menerima datangnya maut yang tak dapat ia hindarkan lagi.

Sungguh patut dikagumi Joko Pramono ini, biarpun masih amat muda akan tetapi sudah dapat menghadapi bahaya maut dengan sikap yang tenang, bahkan dapat mengatur diri sehingga andaikata ia mati, pikiran dan hatinya kosong, sikap yang amat sempurna.

Sementara itu, Pusporini dan Setyaningsih yang menjaga di luar bangunan tempat tahanan itu menjadi gelisah. Menanti adalah pekerjaan yang amat sukar dan berat. Apalagi menanti seperti mereka lakukan itu, menanti Joko Pramono yang memasuki tempat tahanan, yang mereka tahu amat berbahaya. Sukar ditentukan siapa yang lebih gelisah antara kedua orang wanita muda cantik itu, karena Setyaningsih cemas memikirkan suaminya, sedangkan Pusporini tentu saja gelisah memikirkan keselamatan kekasihnya yang memasuki "guha iblis" seorang diri. Setelah lewat satu jam lebih belum juga Joko Pramono kembali, dan keadaan tetap sunyi senyap, Setyaningsih tak dapat lagi menahan kegelisahan hatinya.

"Pusporini, mari kita masuk menyusul Dimas Joko Pramono, mencari Kakangmas Pangeran," kata Setyaningsih dengan suara perlahan.

Pusporini mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
"Tidak baik kalau kita pun pergi menyusulnya, Ayunda. Bukankah tadi Joko Pramono sudah meninggalkan pesan agar kita berdua menanti dan menjaga di sini?"

"Ah, sudah begini lama dia pergi dan masih juga belum ada tanda-tanda dia kembali. Sampai kapan kita menanti di sini, adikku? Tepatkah kalau kita membiarkan dia menempuh bahaya untuk menolong Kakangmas Pangeran seorang diri? Bagaimana kalau Adimas Joko Pramono tertangkap pula? Kita harus menyusul, Rini, dan kalau kau tidak mau, biarlah aku pergi sendiri menyusul Joko Pramono dan menolong suamiku."

Pusporini menghela napas panjang. Memang sesungguhnya kekhawatiran hatinya tidak kalah besar, dan jawabannya tadipun hanya untuk menutupi kekhawatirannya, atau untuk menghibur dirinya sendiri saja. Maka is berkata,

"Baiklah, Ayunda. Memang aku pun merasa heran mengapa dia belum juga kembali. Marilah, akan tetapi biar saya jalan di depan dan Ayunda di belakang. Kita harus berhati-hati sekali, Ayunda. Musuh kita terlampau keji dan curang."

"Jangan khawatir, Pusporini. Untuk menolong suamiku, aku siap menghadapi apapun juga."

Kedua orang wanita ini melangkah masuk melalui pintu gerbang yang tadi sudah dibuka Joko Pramono. Mereka berjalan dengan hati-hati, melihat pula para penjaga yang masih tertidur pulas di bawah pengaruh aji penyirepan mereka tadi, dan terus memasuki ruangan depan. Seperti halnya Joko Pramono tadi, mereka pun tiba di dalam ruangan yang berwarna hijau. Hanya bedanya, kalau tadi di sebelah belakang itu terdapat sebuah pintu kecil, kini pintu itu lenyap menjadi dinding rata, dan di sebelah kiri muncul sebuah pintu lain. Pusporini yang berjalan di depan dalam keadaan siap itu memberi tanda kepada ayundanya dan mereka mendorong pintu sebelah kiri itu sehingga terbuka.

"Kakangmas Pangeran ......... !"

Setyaningsih menjerit lirih dan berlari memasuki kamar itu ketika melihat suaminya duduk bersila di atas sebuah pembaringan di sudut kamar.

"Ayunda, jangan......... !" Pusporini berseru.

"Isteriku ......... ,jangan masuk ........!”

Pangeran Panji Sigit juga berseru ketika melihat isterinya dan Pusporini muncul di pintu. Akan tetapi Setyaningsih tidak perduli dan sudah berlari masuk, lalu menubruk suaminya dan mereka berpelukan. Pada saat itu terdengar suara ketawa di belakang Pusporini yang cepat menengok, akan tetapi Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik telah menyerangnya darl belakang menggunakan senjata mereka.

Pusporini cepat meloncat ke belakang, ke dalam kamar itu karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dari serangan senjata nenggala dan kebutan yang ampuh itu. Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai, pintu itu tertutup sendiri dan hanya terdengar suara ketawa Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro di luar pintu.

"Ah, kalian terjebak ......... !"

Pangeran Panji Sigit berseru cemas. Pusporini menjadi marah sekali. Ia mengerahkan aji kesaktiannya, menyalurkan tenaga sakti ke dalam lengannya, kemudian sambil memekik ia meloncat ke depan menghantam pintu itu.

"Desss!!"

Hebat bukan main hantaman dara perkasa ini sehingga seluruh dinding kamar itu tergetar, akan tetapi daun pintu hijau itu ternyata terbuat daripada baja yang kuat sekali dan tertutup oleh gerakan alat rahasia sehingga hanya tergetar saja dan tidak terpecahkan. Kembali Pusporini menghantam, sampai tiga kali tanpa hasil. Ia menjadi makin marah, bertolak pinggang menghadapi daun pintu lalu membentak,

"Iblis-iblis laknat! Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro, kalau memang kalian orang-orang sakti, bukalah pintu dan mari bertanding melawan Pusporini yang akan menghancurkan kepala kalian dan memecahkan dada kalian!!"

Namun, yang menjawab tantangannya hanyalah asap putih yang masuk melalui dua buah lubang kecil di lantai. Asap itu masuk mengeluarkan suara mendesis seperti ular menyambar dan sebentar saja kamar itu penuh oleh asap yang berbau harum bercampur bau amis yang menyengat hidung.

"Awas asap beracun! Rakanda, Ayunda, bertiarap!" seru Pusporini.

Pangeran Panji Sigit yang merangkul isterinya itu menarik tubuh Setyaningsih dan mereka segera bertiarap di atas lantai, menelungkup. Adapun Pusporini, seperti juga yang dilakukan Joko Pramono tadi, menahan napas dan mengerahkan hawa sakti untuk mengayun-ayun lengannya, mendorong dengan maksud mengusir asap itu keluar dari kamar. Sambaran angin pukulannya membuat asap itu buyar dan bergerak-gerak.
Akan tetapi karena kamar itu agaknya memang tidak diberi lubang, asap yang buyar dan membubung ke atas itu menurun kembali, bersatu dengan asap baru yang keluar terus dari lantai sehingga menjadi tebal memenuhi kamar. Setelah melihat usahanya gagal, Pusporini melirik ke arah Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, melihat mereka itu telah roboh pingsan sambil berpelukan. Dia menarik napas panjang lalu. duduk bersila dalam keadaan samadhi, seperti yang dilakukan Joko Pramono tadi sehingga tak lama kemudian dia pun menjadi pingsan dalam keadaan duduk bersila!

**** 085 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 086 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment