Ads

Tuesday, March 19, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 087

<<== Kembali <<==

Kita tinggalkan dulu Bagus Seta untuk menjenguk keadaan di dalam tempat tahanan di istana Jenggala. Di dalam sebuah ruangan tahanan yang berbentuk persegi dan terbuat daripada dinding batu-batu tebal tampak empat orang muda terbelenggu dengan rantai-rantai baja yang amat tebal dan kuat.

Kedua lengan mereka, pada pergelangan tangan, terbelenggu dan karena rantai itu dikaitkan pada besi pengait yang dipasang di dinding di atas kepala mereka, maka mereka berempat terpaksa mengangkat kedua lengan mereka di kanan kiri dan dalam keadaan seperti itu sukar sekali bagi mereka untuk mencoba melarikan diri atau mempergunakan kekerasan. Mereka dibelenggu pada dinding itu berjajar.

Paling kanan adalah Pusporini, di sebelah kirinya Joko Pramono,. Kemudian Setyaningsih dan paling kiri adalah Pangeran Panji Sigit. Ketika mereka berempat itu siuman dari pingsan, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di dalam kamar tahanan ini. Pangeran Panji Sigit menoleh ke kanan, terkejut melihat Joko Pramono juga terbelenggu di sebelah kanan isterinya bersama Pusporini, mereka berpandangan mata dan pangeran itu berkata dengan suara dingin dan tajam melebihi pedang habis diasah,

"Joko Pramono, setelah engkau berhasil memikat burung, mengapa tidak memelihara dan menjaga burung itu baik-baik akan tetapi membiarkannya celaka dan terancam maut?"

Tentu saja Joko Pramono tahu apa makna ucapan ini, akan tetapi ia sudah maklum betapa pangeran ini, seperti halnya Pusporini, juga menjadi korban tipu muslihat keji dan curang dari Suminten, maka dengan sikap sabar dan bibir tersenyum ia menjawab,

"Kakangmas Pangeran, burung itu suci, tidak terpikat dan juga tidak pernah kupikat, melainkan sedang gelisah mencari pasangannya yang terkurung dan aku bersama Pusporini hanya membantunya untuk berusaha menolong pasangannya ......"

"Joko Pramono! Sungguhpun rayuanmu berhasil menjatuhkan hati isteri orang, jangan harap akan dapat menjatuhkan hatiku, setelah mataku sendiri menyaksikan semua yang terjadi. Aku tidak mendendam, aku rela menyerahkannya kepadamu, rela mengalah kalau memang dia cinta kepadamu, aku ......... aku .........”

"Kakangmas Pangeran!" Terdengar Setyaningsih menjerit lirih di sampingnya, sedangkan Pusporini berbisik kepada Joko Pramono, "Kau maafkanlah dia seperti engkau memaafkan aku, Joko." Joko Pramono tersenyum dan memandang ke depan.

"Tidak ada yang dimaafkan, Rini, karena memang seperti engkau juga, dia tidak bersalah. Melainkan si iblis betina itulah yang bersalah."

"Rakanda Pangeran, jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap Joko Pramono. Dia telah mengerahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menolong kita, bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk kita. Dia bersama Pusporini sekarang ikut pula tertawan, untuk siapa lagi kalau bukan untuk membela kita? Paduka telah khilaf, terjebak menjadi korban tipu muslihat keji yang juga mengorbankan Pusporini. Tahukah paduka, bahwa karena kesalahfahaman yang sama seperti paduka, Pusporini hampir saja membunuh Joko Pramono yang tidak berdosa?"

Dengan singkat namun jelas Setyaningsih lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di dalam taman, kemudian tentang pertemuan mereka dengan Ki Wiraman dan Widawati, tentang Ki Mitra yang mereka percaya itu sesungguhnya Ki Mitra palsu, mata-mata yang sengaja dipergunakan oleh Suminten untuk memalsu Ki Mitra yang telah dibunuh. Pangeran Panji Sigit mendengarkan dengan mata terbelalak, mukanya menjadi berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat. Apalagi ketika ia mendengar penjelasan dari Pusporini kemudian dari Joko Pramono, tak tertahankan olehnya lagl dua titik air mata membasahi pelupuk matanya ketika ia memandang kepada Joko Pramono.

"Dimas ......... Dimas Joko Pramono ......... maukah andika mengampuni aku yang seperti buta mata ini?" katanya dengan suara menggetar saking terharu. Joko Pramono tersenyum lebar.

"Kakangmas Pangeran, paduka tidak bersalah apa-apa, bahkan saya merasa terharu sekali mendengar ucapan dan menyaksikan sikap paduka tadi. Sungguh sikap yang bijaksana dan saya sendiri tak mungkin dapat bersikap sebijaksana paduka andaikata saya yang tertipu seperti paduka. Sekarang tidak perlu kiranya persoalan itu dibicarakan karena sudah jelas bahwa kita semua menjadi korban tipu muslihat keji wanita iblis itu dan bahwa semenjak kita berempat menjejakkan kaki di kota raja ini, kita telah berada dalam cengkeraman mereka, sudah diawasi seluruh gerak-gerik kita. Sekarang kita tertawan, jalan satu-satunya hanya dapat menyerahkan diri dalam tangan Dewata sambil bersikap waspada akan gerak-gerik mereka selanjutnya."

"Andika hebat dan mengagumkan sekali, Dimas. Apa pun yang terjadi, aku tidak menyerah terhadap bujukan Suminten yang berusaha menarik kita menjadi sekutunya. Daripada mengkhianati Kanjeng Rama, lebih baik aku tewas di tangan iblis betina itu."

"Tepat sekali, Kakanda. Saya pun rela tewas di samping Kakanda sebagai dharma bakti kita terhadap Kanjeng Rama Prabu dan terhadap kerajaan paduka, Jenggala," kata Setyaningsih.

"Kita lihat saja apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh wanita iblis itu terhadap kita," kata Joko Pramono.

Dan apa yang dilakukan selanjutnya oleh Suminten segera dihadapi oleh empat orang muda itu. Suminten adalah seorang wanita yang kukuh dalam mengejar hasrat hatinya. Ia masih tergila-gila kepada Pangeran Panji Sigit, dan takkan puaslah hatinya kalau hasrat itu belum terpenuhi. Daya upaya dengan muslihat yang betapa rendah dan keji sekali pun akan ditempuhnya untuk mencapai cita-cita hatinya. Tidak sampai lama setelah mereka berempat sadar, pintu kamar tawanan yang kokoh kuat itu terbuka dan tampaklah Suminten yang dikawal oleh enam orang pengawal bersenjata tombak.

"Kalian menanti dan menjaga di luar!" kata Suminten dengan suaranya yang serak basah mengandung penuh getaran nafsu berahi.

Enam orang pengawal yang muda-muda dan kelihatan gagah dan kuat itu membungkuk dengan hormat dan menjaga di luar pintu, sedang Suminten lalu melangkah masuk dan menutupkan daun pintunya. Ia melangkah maju dan berdiri dalam jarak yang cukup aman, sejauh dua meter sehingga andaikata empat orang tawanan itu yang hanya dapat menggunakan kaki menyerangnya takkan dapat mencapai tubuhnya. Ia tersenyum manis sekali, lalu menggeleng kepalanya dan berkata,

"Sungguh sayang sekali bahwa empat orang muda belia yang gagah perkasa, wanitanya cantik-cantik dan prianya tampan-tampan akhirnya harus mengakhiri hidup dalam keadaan begini menyedihkan. Aku sendiri ikut terharu dan bersedih, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan setelah kalian berempat menjadi pemberontak-pemberontak yang membahayakan Kerajaan Jenggala?"

"Suminten, wanita iblis yang kelak menjadi intip neraka jahanam!" Pangeran Panji Sigit memaki penuh kemarahan karena ia teringat betapa wanita itu telah mengatur tipu muslihat keji sehingga ia sampai kehilangan kepercayaan akan kesetiaan isterinya, bahkan telah menjatuhkan tuduhan rendah terhadap Joko Pramono. "Tak perlu memutar lidahmu yang seperti lidah ular bercabang! Kami tidak akan mendengarkan dan kalau kau hendak membunuh kami, lakukanlah, kami adalah orang-orang berjiwa satria yang tidak gentar menghadapi kematian!"

"Duh Pangeran yang bagus seperti Harjuna, yang gagah perkasa seperti Gatutkaca, betapa gagah beraninya engkau. Suminten takkan pernah meragukan kegagahanmu, Pangeran. Akan tetapi kaulihatlah baik-baik keadaan isterimu, keadaan Joko Pramono dan Pusporini. Tidakkah engkau merasa kasihan kepada mereka bertiga ini, Pangeran?
Mengapa engkau begini kukuh mempertahankan kegagahan dan kekesatriaan sendiri tanpa mengingat akan kehidupan mereka bertiga ini? Engkau menyerahlah dan menjadi pengeran terhormat di sini, menghentikan permusuhanmu denganku dan aku berjanji akan membebaskan mereka bertiga ini. Tidakkah ini amat murah hati dariku? Tiga orang yang kauhormati dan kaukasihi ini kubebaskan dan sebagai tebusannya, engkau bersekutu dengan aku, meraih kebahagiaan bergelimang kesenangan di sini sebagai seorang pangeran ......... ah, tidak, sebagai pangeran mahkota di sini !"

Hebat dan muluk bukan main bujuk rayu ini sehingga hati Setyaningsih menjadi amat khawatir, akan tetapi karena ia percaya penuh kepada suaminya, ia tidak berkata sesuatu, hanya memandang Suminten dengan sinar mata penuh kebencian. Memang sejenak Pangeran Panji Sigit termenung dan memikirkan penawaran ini. Ia tidak berpikir demi keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Jauh daripada itu. Yang dipikirkan sekarang adalah kemungkinan membebaskan tiga orang muda itu, terutama sekali isterinya, Setyaningsih! Kalau ia berpura-pura menurut dan menyerah, kemudian isterinya Joko Pramono dan Pusporini sudah dibebaskan, bukankah dia dapat memberontak sampai terbunuh mati?

DARIPADA menolak dan mereka semua terbunuh, bukankah lebih menguntungkan kalau dia seorang saja yang tewas sedangkan mereka bertiga itu bebas? Suminten hanya menghendaki dirinya, maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkan isterinya, Pusporini dan Joko Pramono adalah berpura-pura menyerah. Mereka masih muda-muda, berhak untuk hidup puluhan tahun lagi. Tiba-tiba terdengar suara Pusporini melengking nyaring, tertawa. Kemudian gadis yang agaknya menyelami pikiran Pangeran Panji Sigit itu berkata,

"Heh, Suminten perempuan tak bermalu! Kalau penawaran itu kau ajukan kepada orang
lain, mungkin mereka itu akan menganggap amat baik mengorbankan diri sendiri demi kebebasan tiga orang yang dikasihinya. Akan tetapi andaikata aku yang kautawari hal rendah itu aku akan mengatakan bahwa aku akan bangga menyaksikan tiga orang yang kukasihi tewas sebagai satria-satria sejati, berkorban demi negara dan demi kebenaran!"

Ucapan gadis perkasa ini seolah-olah percikan air sewindu yang dingin sejuk, menyadarkan Pangeran Panji Sigit dari lamunannya. Ia kini sadar bahwa yang terpenting bukanlah nyawa dan hidupnya tiga orang yang dikasihinya itu, melainkan kehormatan mereka sebagai pembela-pembela kebenaran. Kalau ia menyerah lalu tewas dan mereka bertiga itu terbebas, mereka bertiga akan hidup merana dan merasa terhina selamanya. Apalagi Setyaningsih, tentu akan tersiksa hidupnya dan menganggap suaminya seorang pengecut yang mudah tunduk terhadap rayuan seorang wanita iblis macam Suminten.

"Duh Yayi Pusporini, terima kasih! Suminten, kau sudah mendengar sendiri, dan begitulah jawabanku untuk penawaran dan rayuanmu yang keji dan palsu itu!"

Suminten merasa seperti ditampar mukanya, akan tetapi ia masih belum putus asa. Pendirian Pangeran Panji Sigit dan Pusporini seperti itu, akan tetapi belum tentu demikian pendirian Joko Pramono, pemuda yang bertubuh tegap dan kejantanannya menarik hatinya dan membangkitkan berahinya itu. Ia memandang kepada Joko Pramono dan berkata,

"Bagaimana dengan engkau, Joko Pramono? Bagaimana pendapatmu kalau kau kuangkat menjadi komandan pengawal dalam istana, hidup di sini dengan aman dan makmur seorang diri atau berdua dengan Pusporini yang kaucinta?"

"Aku tidak sudi! Kalau engkau ingin menjilati telapak kaki iblis betina ini, Joko, silahkan akan tetapi aku lebih baik mati!” bentak Pusporini dengan galak.

Joko Pramono tersenyum.
"Jangan khawatir, Rini dewi pujaan hati yang terkasih. Wanita ini kuanggap sebagai ular
beracun, mana aku sudi mendengarkan bujukannya? Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepada wanita ini!"

Suminten tidak merasa sakit hati mendengar jawaban ini, malah kini ia memandang kepada Setyaningsih yang sejak tadi memandangnya penuh kebencian, lalu berkata,

"Setyaningsih, aku tahu betapa engkau mencinta suamimu. Mengapa engkau tega benar melihat suamimu terancam bahaya maut? Apakah kau akan tega kalau melihat suamimu disiksa sampai mati, sekerat demi sekerat, di depan kakimu? Kau bujuklah suamimu agar suka menyerah dan menuruti permintaanku dan engkau akan hidup bahagia di sini bersama suamimu yang akan menjadi pangeran mahkota dan kelak mungkin menjadi raja di Jenggala dan engkau menjadi permaisurinya!"

Setyaningsih memandangnya dengan sinar mata makin marah, lalu menjawab,
"Suminten, aku mendengar bahwa engkau adalah bekas pelayan, bekas abdi dalem Ayunda Endang Patibroto. Biarpun sekarang dengan kelicikanmu engkau telah menduduki tempat tinggi, namun watakmu lebih rendah daripada watak seorang abdi dalem yang paling rendah. Lebih rendah daripada watak seorang Sudra yang paling hina! Aku adalah seorang wanita berdarah satria, apa yang diucapkan suamiku, apa yang menjadi pendirian suamiku adalah pendirianku pula sampai mati!"

Suminten merasa mendongkol sekali hatinya, akan tetapi patut dipuji wanita ini yang pandai menyembunyikan perasaan tidak senang ini di balik senyum manis. Senyumnya manis memikat, kerling matanya seperti kerling mata orang yang ramah, akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya sebelum meninggalkan empat orang tawanan itu mengandung ancaman yang mengerikan.

"Baiklah, saat ini kalian boleh merasa bangga akan kekerasan hati dan menganggap kalian gagah dan menang boleh menertawakan aku dan menganggap aku kalah. Akan
tetapi kalian belum mengenal Suminten! Akan tiba saatnya kalian menyembah dan meratap minta diampuni." Setelah berkata demikian, wanita ini membalikkan tubuhnya dan pergi dari tempat itu, meninggalkan empat orang muda yang saling pandang dan sama sekali tidak bernapsu untuk mentertawakan Suminten.

**** 087 ****

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 088 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment