Ads

Sunday, March 31, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 109

<<== Kembali <<==

Apakah yang telah terjadi dengan Retna Wilis? Ke mana perginya? Seorang yang memiliki watak keras, angkuh dan aneh sekali seperti dara perkasa itu memang tidak mungkin kalau melarikan diri menghadapi kekalahan dalam pertandingan.

Endang Patibroto maklum akan hal ini karena dia sendiri pun dahulu merupakan seorang wanita keras hati yang tidak pernah mau kalah atau menyerah apalagi melarikan diri! Padahal watak puterinya lebih keras lagi dan jauh lebih aneh.

Memang Retna Wilis sama sekali tidaklah melarikan diri, melainkan dilarikan oleh Wasi Bagaspati. Kakek ini sejak pertama kali dikecewakan Retna Wilis, yaitu ketika mereka menyerbu ke Jenggala dan Retna Wilis tidak mau terus menduduki Kota Raja Jenggala, telah menaruh curiga kepada Retna Wilis. Diam-diam ia menyatakan ketidakpuasan hatinya itu kepada Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik, menyatakan bahwa sungguhpun Retna Wilis memiliki kesaktian yang boleh diandalkan, namun dara itu bukan merupakan sekutu yang baik dan masih mempunyai hati sungkan dan sayang kepada keluarganya, maka ia memesan agar pembantu-pembantunya berhati-hati.

Ketika barisan Jenggala dan Panjalu datang menyerbu, diam-diam ia sudah mengatur siasat dengan para pembantunya, menyatakan bahwa apabila keadaan tidak menguntungkan, agar melarikan diri dan ia akan berusaha menculik Retna Wilis. Maka ketika ia melihat bahwa tepat seperti dugaannya, Retna Wilis yang menghadapi ayah buda dan bibinya itu tidak bertanding sungguh-sungguh, tidak mau membunuh mereka, bahkan tidak mau membantu kedua orang kakek melawan Bagus Seta, apalagi ketika ternyata betapa barisan Wilis tidak mampu membendung penyerbuan barisan musuh yang jauh lebih kuat, Wasi Bagaspati lalu mempergunakan siasat. Dia harus mengakui
bahwa menculik seorang yang sakti mandraguna seperti Retna Wilis bukanlah hal yang mudah.

Akan tetapi ia melihat kesempatan yang baik ketika Retna Wilis terlempar dalam benturan tenaga sakti melawan Bagus Seta. Maka ia menggunakan ilmu hitamnya, membuat tempat itu menjadi gelap oleh awan hitam, kemudian secepat kilat ia mendekati Retna Wilis yang roboh terguling dan masih pening itu dan menggunakan kesaktiannya untuk mengetok tengkuk Retna Wilis dengan jari tangannya sehingga dara perkasa yang sudah nanar dan tidak menyangka-nyangka karena mengira bahwa kakek itu hendak menolongnya, menjadi pingsan.

Dengan mudah Wasi Bagaspati lalu memondong tubuh Retna Wilis, kemudian pergi melarikan diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik, dan Adiwijaya yang telah berhasil menarik kepercayaan Wasi Bagaspati. Karena kakek ini menganggap bahwa Adiwijaya seorang yang cerdik dan pandai mengatur siasat, pula yang telah ia ketahui "sepak terjangnya" semenjak menjadi Patih Warutama di Jenggala, maka ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Adiwijaya bukanlah orang setia kepada Retna Wilis. Dalam hal ini, Wasi Bagaspati telah salah duga dan kembali membuktikan pandainya Adiwijaya bermain sandiwara sehingga seorang seperti Wasi Bagaspati yang sudah kawakan dan
berpengalaman pun dapat ia kelabui.

Sebelah utara pantai laut selatan terdapat barisan gunung-gunung, yang memanjang dari barat sampai ke utara dan lajim disebut pegunungan Seribu. Memang amat banyak gunung-gunung dalam barisan ini, sukar dihitung jumlahnya dan mungkin lebih dari seribu gunung kecil-kecil yang sebagian besar adalah gunung batu gamping. Kekuasaan alam memang hebat dan aneh. Barisan gunung Seribu ini seolah-olah merupakan tanggul yang menjaga daratan Pulau Jawa agar jangan sampai diamuk ombak laut kidul yang dahsyat!

Sisa pasukan yang melarikan diri bersama Wasi Bagaspati bersembunyi di sebuah di antara pegunungan ini, di daerah yang tidak begitu tandus sehingga mereka dapat tinggal di situ tanpa dapat dilihat orang dari jauh. Retna Wilis yang dilarikan Wasi Bagaspati juga dibawa ke gunung kecil ini. Dalam perjalanan melarikan diri, Retna Wilis telah diberi minum jamu buatan Ni Dewi Nilamanik yang disebut "madu perampas semangat", sehingga ketika Retna Wilis siuman dari pingsannya, ia seperti orang yang tidak mempunyai semangat dan kemauan lagi. Ia lupa segala dan hanya menurut apa yang dikatakan Ni Dewi Nilamanik atau Wasi Bagaspati.

Adiwijaya yang menyaksikan keadaan junjungannya itu, menjadi gelisah dan prihatin sekali. Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa dan ia setiap saat memutar otak untuk mencari akal agar dapat membebaskan Retna Wilis. Kalau saja tidak untuk membela gadis itu, tentu dia tidak sudi ikut melarikan diri bersama Wasi Bagaspati dan sudah pergi sendiri merantau ke tempat jauh. Namun, tak mungkin ia dapat meninggalkan Retna Wilis dan kalau perlu ia berani mempertaruhkn nyawa untuk menyelamatkan dara itu. Tentu saja ia tidak mau berbuat sembrono mempergunakan kekerasan, karena kalau hal ini ia lakukan, ia tidak akan berhasil menyelamatkan Retna
Wilis, juga berarti ia hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Ia harus menggunakan akal dan memang amatlah sukar untuk melawan orang-orang yang sakti dan cerdik seperti Wasi Bagaspati dan kawan-kawannya.Ia harus menanti kesempatan baik untuk itu.

Retna Wilis bersandar di batang pohon dalam keadaan terikat. Ia menundukkan mukanya yang agak pucat, tubuhnya lemas dan pandangan matanya tidak hidup, seperti mata orang mimpi atau termenung dalam sekali. Ia berada dalam pengaruh jamu yang setiap hari diminumkan kepadanya secara paksa oleh Ni Dewi Nilamanik. Biarpun dara perkasa ini sudah tidak berdaya karena semangatnya tertutup atau seperti dirampas ramuan jamu mujijat itu, namun Ni Dewi Nilamanik yang gentar menghadapi kesaktian Retna Wilis masih merasa perlu untuk membelenggunya.

Pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik duduk di atas batang pohon yang telah ditebang, bersama Wasi Bagaspati di depan Retna Wilis yang terikat di pohon. Wasi Bagaspati kelihatan muram wajahnya dan ia mendengarkan keterangan yang diberikan oleh Ni Dewi Nilamanik.

"Dia ini memang hebat sekali, Kakangmas Wasi! Semangat dan kemauannya dapat kupengaruhi, akan tetapi nafsunya tak dapat kubangkitkan. Sudah banyak jamu kuminumkan, bahkan madu asmara sudah banyak ia minum, akan tetapi keadaannya sama saja. Ia tidak terangsang. Lalu bagaimana baiknya?"

Dengan wajah murung Wasi Bagaspati mengelus jenggotnyaa.
"Sudah tiga hari kita berada di sini. Kalau sampai mereka datang menyusul, kita bisa celaka. Aku harus dapat menguasai bocah ini, karena dengan bantuan kesaktiannya, baru aku akan dapat menghadapi si keparat Bagus Seta, bersama adi Bagaskolo. Akan tetapi kalau dia ini tidak dapat dikuasai, tentu celaka. Hemm ........ , siapa tahu keadaan hati bocah ini. Kalau ia membalik, mengkhianati dan melawan kita, bisa konyol kita! Daripada demikian, lebih baik kubunuh saja dia sekarang!"

Ni Dewi Nilamanik mengerlingkan matanya yang indah dan bibirnya yang merah merekah.

"Kakangmas Wasi, dari dulu juga aku tidak suka kepadanya dan menaruh curiga. Memang kurasa lebih baik dibunuh saja bocah ini, karena kelak hanya akan menimbulkan kesusahan saja bagi kita."

Tiba-tina Wasi Bagaspati menoleh ke arah pohon-pohon di belakangnya dan membentak,

"Siapa di sana??"

Pendengaran kakek ini memang tajam sekali sehingga ia dapat mendengar suara napas Adiwijaya yang tersentak kaget mendengar betapa Retna Wilis akan dibunuh. Adiwijaya cepat muncul keluar dan menghadap mereka, duduk di atas tanah.

"Saya sengaja mencari Paduka, karena merasa cemas mengapa sampai sekarang masih belum diambil keputusan mengenai bocah liar ini." Ia menuding ke arah Retna Wilis yang masih menunduk seolah-olah tidak mendengar apa yang dibicarakan di depannya. "Kalau tidak segera diambil keputusan mengenai dirinya, tentu akan berbahaya sekali. Saya berani bertaruh bahwa saat ini pihak Panjalu dan Jenggala tentu sedang berusaha keras untuk mencari kita dan menolongnya."

Wasi Bagaspati termenung dan mengomel,
"Memang aku dan Ni Dewi sedang membicarakan tentang dia. Aku mengambil keputusan untuk membunuh saja bocah ini!"

Sambil berkata demikian, kakek itu menatap wajah Adiwijaya dengan penuh perhatian, amat tajam dah seolah-olah hendak menjenguk isi hati Adiwijaya. Laki-laki ini menekan keras batinnya yang terguncang dan dia menggeleng-geleng kepala.

"Kalau saja ia tidak berguna, memang lebih baik dibunuh. Akan tetapi kalau dia dibunuh, rencana kita akan macet semua, Sang Wasi. Kita sudah kehilangan banyak tenaga pembantu yang cakap, bahkan Cekel Wisangkoro pun sudah gugur. Bocah ini merupakan tenaga yang amat cakap, memiliki kesakitan yang kiranya akan dapat menandingi Bagus Seta. Kalau dibunuh, berarti kita merugikan diri sendiri."

"Hemm, kalau begitu, menurut pendapatmu bagaimana baiknya?"

Sejenak Adiwijaya bingung. Dia pun tidak tahu bagaimana baiknya dan tadi ia mengeluarkan kata-kata itu hanya untuk mencegah gadis ini dibunuh. Otaknya bekerja
cepat. Pokoknya asal gadis ini terhindar daripada bahaya maut lebih dulu, pikirnya.

"Bukankah saya telah menganjurkan agar Paduka menundukkan dia dengan pengaruh kesaktian Paduka, agar dia menjadi isteri Paduka sehingga dengan demikian dia akan membantu segala usaha Paduka dengan penuh kesetiaan?"

"Aahhh, usaha itu telah kami lakukan," kata Ni Dewi Nilamanik sambil memandang wajah Adiwijaya yang masih tampan dan gagah itu. "Sudah banyak obat guna-guna kumasukkan, akan tetapi agaknya dasar hati bocah ini masih terlalu kosong dan bersih sehingga tidak mempan. Jamu-jamu perangsang pun tidak ada gunanya, agaknya dia tidak mempunyai nafsu berahi!"

Adiwijaya memandang Ni Dewi Nilamanik dengan hati ngeri dan bulu tengkuk meremang. Betapa cantiknya wanita ini dan dia sendiri sudah beberapa kali merasakan
kelembutan dan kenikmatan bersama wanita cantik ini berenang dalam cinta, bersama-sama mereguk madu asmara yang memabukkan. Betapa indah sepasang mata itu, betapa menggairahkan dan menantang mulut yang merah itu, betapa halus kuning kulitnya. Akan tetapi betapa keji hatinya. Teringat Adiwijaya akan buah mangga yang melihat kehalusan dan warna kulitnya menimbulkan gairah, akan tetapi yang kemudian ternyata betapa di balik kulit yang halus kemerahan dan sedap maunya itu tersembunyi daging busuk yang masam dan banyak ulatnya! Betapapun benci hatinya mendengar perlakuan wanita ini terhadap Retna Wilis, ia memaksa diri tersenyum dan berkata,

"Ni Dewi, dan Sang Wasi. Betapapun juga, harus diusahakan agar bocah liar ini dapat tunduk dan menurut kepada Paduka. Dengan kekerasan kita gagal, namun kalau dia ini dapat dikuasai, kemudian secara halus Paduka dibantu oleh Sang Wasi Bagaskolo, dan Retna Wilis ini mendatangi Panjalu dan Jenggala, membunuh para tokoh yang berkuasa di sana, saya kira tidak akan sukar lagi kalau kemudian kita mengerahkan barisan untuk menaklukkan dua kerajaan itu. Saya sendiri sanggup untuk menghimpun
pasukan yang cukup besar."

"Akan tetapi bagaimana? Dia tidak mudah dipengaruhi guna-guna ........ " kata kakek itu kehilangan akal karena belum pernah ia menghadapi seorang korban yang begini ulet seperti Retna Wilis.

"Mengapa tidak dapat, Sang Wasi? Saya pernah menyaksikan pengaruh gaib yang datang mempengaruhi jiwa para wanita di waktu diadakan upacara pemujaan Sang Bathari Durgo. Mengapa tidak mengandalkan kekuasaan dan bantuan Sang Bathari? Andaikata pengaruh gaib itu masih tidak mempan, Paduka dapat melakukan kekerasan
dan saya rasa, sekali dia ini telah Paduka renggut kehormatan tubuhnya, kemudian saya sendiri akan mempengaruhinya dengan nasehat-nasehat, percayalah, dia boleh dibebaskan dari pengaruh jamu perampas semangat dan dalam keadaan sadar itu dia tentu akan tunduk. Kalau dia biarpun terjadi di luar kehendaknya, telah menjadi isteri Paduka, dan mendengarkan nasehat-nasehat saya, kiranya dia akan melihat kenyataan bahwa tidak ada jalan lain baginya kecuali melanjutkan cita-citanya dengan bantuan Paduka Sang Wasi."

Wasi Bagaspati mengangguk-angguk dan lenyaplah sedikit kecurigaannya terhadap Adiwijaya yang muncul secara tiba-tiba itu.

"Kurasa benar apa yang ia katakan itu, Ni Dewi Buatlah persiapan, malam nanti kita adakan upacara pemujaan Sang Bathari dan kita lihat hasilnya!"

"Akan tetapi, malam hari ini bulan belum purnama, Kakangmas Wasi, dan pengaruh hikmat itu tidaklah amat kuat ……….”

"Tidak apa. Kalau terlalu lama ditunda, khawatir terlambat. Siapa tahu Bagus Seta sudah mencari sampai dekat tempat ini. Andaikata tidak berhasil, masih belum terlambat untuk membunuhnya!"

Demikianlah, pada malam hari itu, di sebuah lapangan terbuka di puncak gunung kecil, dikelilingi pohon-pohon jarang yang tumbuhnya tidak subur di daerah kapur itu, diadakan tari-tarian seperti biasa dilakukan pada upacara pemujaan Sang Bathari Durgo. Sebuah arca Bathari Durgo berdiri di sudut, di samping kiri kursi tempat duduk Sang Wasi Bagaspati. Karena mereka tidak ingin menarik perhatian, maka dalam upacara tari-tarian ini tidak diiringi suara gamelan, melainkan diiringi suara wanita-wanita cantik bertembang dengan tepuk tangan dan berkerincingnya gelang kaki.

Upacara tari-tarian ini amat sederhana, akan tetapi karena sekali ini yang menari-nari di samping tiga orang gadis cantik, juga diikuti oleh Ni Dewi Nilamanik sendiri yang ternyata amat pandai menari dengan pakaian setengah telanjang sehingga tampak lekuk-lengkung tubuhnya yang menggairahkan dan amat mengherankan karena usianya yang sudah tua itu ternyata tidak menghilangkan keindahan tubuhnya, maka tari-tarian itu amat menggairahkan.

Selain Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang pembantunya, juga tampak seorang gadis yang amat cantik jelita, kecantikannya cemerlang dan menyuramkan kecantikan wanita lain, bahkan Ni Dewi Nilamanik kelihatan tidak menarik. Akan tetapi sungguh sayang, kalau Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang pembantunya menari-nari dengan gerakan lemah-gemulai dan menimbulkan rangsangan berahi dengan gerakan-gerakan leher, pundak, perut, dan pinggul, adalah dara cantik ini menari-nari dengan gerakan lucu dan kaku. Dia bukan menari, melainkan bersilat! Kalau empat orang penari lain melakukan gerakan dengan lengan lemas seperti orang melambai dan mengajak disertai senyum memikat, dara ini menggerakkan tangan ke depan dengan kaku, jari-jarinya terbuka dan bukan melambai, melainkan lebih tepat memukul atau menampar musuh! Kalau penari
yang membuang sampur ke sisi dengan gerakan lincah dan mata mengerling mulut tersenyum, dara ini membuang lengan ke sisi dengan gerakan cepat seperti orang menangkis pukulan atau tendangan lawan! Dara cantik jelita yang memiliki tubuh indah menggairahkan seperti bunga sedang mekar atau buah sedang ranum ini bukan lain adalah Retna Wilis.

Ni Dewi Nilamanik menari-nari di depan Retna Wilis, membujuk-bujuk dan memberi contoh gerakan tari yang dikuti dengan patuh oleh Retna Wilis dengan gerakannya yang kaku.

Dari tempat duduknya, Wasi Bagaspati yang mengenakan pakaian merah serba baru itu memandang penuh perhatian dan ia tersenyum gembira. Biarpun tarian dara perkasa itu tidak indah, namun gerakan-gerakan tubuhnya membayangkan kelemasan dan kelembutan yang tersembunyi tenaga mujijat. Melihat betapa mulut yang segar dan manis itu mulai tersenyum-senyum, dengan hati girang Wasi Bagaspati mengerti bahwa biarpun tidak sepenuhnya, namun dara itu mulai terkena pengaruh hikmat gairah nafsu berahi yang amat merangsang di saat itu, terbawa oleh asap dupa dan dibangkitkan oleh tari-tarian yang membayangkan dorongan nafsu berahi. Ia akan berhasil, pikirnya. Kalau Retna Wilis menyerahkan kehormatannya tanpa paksaan, tentu dara ini setelah sadar akan tunduk dan mudah ia kuasai.

Tari-tarian mencapai puncaknya menjelang tengah malam. Ni Dewi Nilamanik yang mengerahkan aji mantera guna-guna sambil menari-nari menyentuh, mengelus dan membelai bagian tubuh Retna Wilis yang mudah terangsang, untuk membangkitkan berahi gadis itu. Suasana di situ penuh dengan pengaruh mujijat sehingga Adiwijaya sendiri yang duduk menonton, tak dapat menahan getaran yang merangsang dan membangkitkan nafsu. Ia memandangi penari-penari itu dengan mata lapar dan liar seolah-olah hendak dilahapnya tubuh-tubuh yang montok setengah telanjang itu. Akan tetapi kalau ia melihat Retna Wilis, seketika nafsu berahinya lenyap terganti rasa gelisah. Ia menanti saat sebaiknya untuk bertindak. Sampai malam ini, ia telah berhasil menyelamatkan nyawa gadis pujaannya itu, sehingga tidak sampai dibunuh. Akan tetapi ia tahu bahwa nasib yang lebih mengerikan menanti diri Retna Wilis dan ia harus merenggut dara itu dari tangan Wasi Bagaspati, kalau perlu ia akan berkorban nyawa.

Retna Wilis yang menjadi murid Nini Bumigarba dan sudah digembleng dengan segala macam ilmu, yang keras hati dan berperasaan dingin, betapapun juga hanya seorang manusia dari darah daging. Kini ia berada di bawah kekuasaan yang tidak wajar, di bawah pengaruh jamu perampas semangat sehingga ia seperti orang kehilangan ingatan dan kemauan. Kemudian, di bawah hikmat malam pemujaan Sang Bathari Durgo yang seperti ayunan ombak laut memabukkan, perlahan-lahan ia hanyut dan terbawa, apalagi ditambah belain-belaian tangan Ni Dewi Nilamanik, mendengarkan bisikan-bisikan tentang cinta nafsu, tentang kenikmatan badani, ia makin hanyut dan sepasang matanya mulai bersinar-sinar dan seperti mata orang mengantuk, tanda bahwa ia mulai terangsang.

Sambil menari, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat kepada Wasi Bagaspati yang tertawa lebar, bangkit berdiri dan menghampiri tempat tarian, mendekati Retna Wilis dan memegang tangan gadis itu yang memandangnya dengan mata sayu.

"Marilah, Retna Wilis, marilah isteriku yang tercinta. Mari kuberikan cintaku untuk memuaskan dahaga hatimu .......” ia berkata lalu menuntun Retna Wilis turun dari tempat tarian menuju ke sebuah pondok yang dibangun di tempat itu.

Retna Wilis hanya menurut saja, kedua lengannya masih bergerak-gerak seperti orang menari, tidak membantah sedikit pun juga seperti seekor domba yang dituntun ke tempat penyembelihan!

Perbuatan Wasi Bagaspati ini seolah-olah merupakan pertanda bagi para penari dan yang hadir di situ untuk mulai dengan pesta gila-gilaan. Tiga puluh orang wanita anggauta pasukan Ni Dewi Nilamanik menyerbu ke tempat tari-tarian diikuti anggauta pasukan pria dan mereka mulai menari sambil berpelukan, berdekapan dan berciuman. Ni Devil Nilamanik sendiri yang sudah terangsang hebat, mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi Adiwijaya yang dicarinya tidak tampak di situ, maka ketika Wasi Bagaskolo sambil tertawa memeluk pinggangnya, ia pun balas memeluk leher kakek itu sambil mengeluarkan suara merintih seperti seekor kucing dielus-elus punggungnya!

"Sang Wasi Bagaspati ........ ! Celaka ........ !!" Pintu pondok itu didorong terbuka dari luar oleh Adiwijaya.

Wasi Bagaspati yang sudah membuka jubahnya itu cepat membalikkan tubuh dengan sikap marah karena terganggu. ia mengikatkan lagi ikat pinggangnya di luar jubah dan
membentak,

"Keparat, Adiwijaya! Apa kehendakmu?"

Adiwijaya melirik ke arah Retna Wilis yang tergolek terlentang di atas pembaringan dan diam-diam mengucap syukur bahwa ia tidak terlambat, hanya selendang yang tadi menutupi dada Retna Wilis yang sudah terbuka. Gadis ini memejamkan mata dan bibirnya tersenyum lebar!

"Celaka, Sang Wasi ........ ada serbuan ........ dipimpin oleh Bagus Seta ........ Mereka........ mereka datang dari lereng di timur ........ cepat ........ biar saya berusaha menyadarkan Retan Wilis dan membujuknya agar ia dapat membantu kita!"

"Sialan ......!” Wasi Bagaspati mendengus, lalu melompat ke pintu, akan tetapi ia teringat, mengeluarkan sebungkus obat dari saku jubahnya kepada Adiwijaya, "Nih, kausadarkan dia dan bujuk sampai dia dapat membantu!" lalu tubuhnya berkelebat keluar dari pondok.

Adiwijaya cepat menghampiri Retna Wilis, dengan jari-jari tangan gemetar ia memasangkan kembali selendang menutupi dada yang terbuka itu, kemudian membuka bungkusan obat dan setengah memaksa membuka mulut Retna Wilis, menuangkan isi bungkusan yang berwarna bubuk putih ke mulut dara itu. Retna Wilis tidak membantah, dan sambil tersenyum menelan obat itu dan lengannya yang halus itu merangkul leher AdiwiJaya.

"Aduh ........ Gusti Puteri ........ sadarlah ........ ahhh, lekas sadar dan mari lari bersama hamba !" Dengan halus ia melepaskan rangkulan lengan itu dari lehernya, menarik tangan Retna Wilis bangkit dan turun dari pembaringan, kemudian terus menyeretnya keluar.

Ketika Retna Wilis terhuyung seperti orang lemas, bahkan kini matanya dipejamkan dan napasnya menjadi panjang teratur seperti orang tidur, ia cepat memondong tubuh Retna Wilis dan membawanya lari keluar, menghilang di tempat gelap.

Wasi Bagaspati dengan marah menendangi para pengikut yang sedang bermain asmara secara tidak tahu malu di sembarang tempat, bahkan menyeret bangun Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik dari bawah pohon di mana kedua orang itu tenggelam dalam lautan cinta berahi.

"Bedebah semua! Keparat sembrono, tidak tahu ada musuh menyerbu! Cepat, siapkan semua orang. Bagus Seta dan pasukannya menyerbu dari lereng di timur. Cepat!" Bentakan Wasi Bagaspati ini mengagetkan semua orang.

Disebutnya nama Bagus Seta sekaligus mengusir semua rangsangan berahi yang mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah meloncat bangun dan siap bertempur. KEADAAN menjadi panik dan lucu. Mereka lari saling tabrak, ada yang telanjang bulat, ada yang setengah telanjang dan sambil lari mereka berusaha membetulkan pakaian mereka, bahkan ada yang terbelit kaki mereka oleh pakaian sendiri sehingga jatuh tunggang-langgang dan berteriak-teriak karena mengira bahwa mereka sudah diserbu musuh dan dirobohkan lawan!

Sang Wasi Bagaspati, diikuti oleh Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik lari ke timur dan karena bulan yang hanya sepotong itu tertutup awan, maka mereka berhati-hati melalui lereng yang belum mereka kenal baik itu. Sampai jauh mereka menuruni lereng, akan tetapi keadaan di situ sunyi saja. Mereka berhenti dan memandang penuh perhatian ke bawah, meneliti kalau-kalau dapat melihat obor atau pergerakan. Namun sunyi saja dan suara monyet cecowetan diseling suara burung malam menandakan bahwa di bawah sana pun tidak ada manusianya!

"Wah, jangan-jangan kita tertipu ..... !" kata Ni Dewi Nilamanik, tidak berani mengatakan bahwa Sang Wasi Bagaspati yang sebenarnya tertipu.

"Si keparat Adiwijaya, kalau betul berani menipu, kuhancurkan kepalanya!" Wasi Bagaspati berseru dan berkelebat kembali mendaki puncak, diikuti oleh adik seperguruannya yang diam-diam mendongkol karena ia telah diganggu dan Ni Dewi Nilamanik.

"Mana musuhnya?"

"Mana pasukan Jenggala?"

Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar dari mulut para anak buahnya itu membuat Wasi Bagaspati makin marah dan kakinya menendang ke kanan kiri sehingga para anak buahnya yang sudah panik menjadi makin bingung dan mawut.

Wasi Bagaspati menendang pintu pondok sehingga daun pintu terlempar, kemudian ia menerjang masuk sambil memaki,

"Adiwijaya pengkhianat laknat!" Akan tetapi, ketika ia memasuki pondok, tentu saja ia tidak lagi dapat menemukan Adiwijaya dan Retna Wilis.

"Ah, mereka telah melarikan diri . ...... !" Ni Dewi Nilamanik berseru.

"Retna Wilis tak mungkin lari, akan tetapi dilarikan oleh bedebah itu. Kita harus kejar, cari sampai dapat!" ia lalu melompat keluar lagi diikuti oleh adik seperguruannya, sedangkan Ni Dewi Nilamanik keluar dart pondok untuk memimpin anak buah mereka mencari Adiwijaya yang melarikan Retna Wilis.

Setelah malam berganti pagi, barulah Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo dapat menyusul dan menemukan Adiwijaya yang melarikan Retna Wilis sampai di pantai laut selatan sebelah barat. Adiwijaya yang cerdik sengaja lari ke barat setelah menipu Wasi Bagaspati dengan mengatakan bahwa musuh datang dari timur. Akan tetapi, betapapun cepatnya ia lari, tentu saja ia tidak dapat menangkan kecepatan larinya kedua orang kakek yang amat sakti itu.

"Adiwijaya, manusia khianat yang ingin mampus!" Wasi Bagaspati membentak dan biarpun ia masih jauh di belakang, suaranya sudah terdengar dekat sekali sehingga Adiwijaya menjadi terkejut dan menghentikan larinya, memutar tubuh dan memandang kedua kakek yang berlari makin dekat itu dengan wajah pucat.

Retna Wilis baru setengah sadar, maka ia terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk di atas pasir, memandang bengong dan seperti orang terheran-heran.

"Ampun ....... Sang Wasi........ ..... !" Adiwijaya berkata ketika kedua orang kakek itu sudah datang dekat. "Saya........ saya tidak bermaksud buruk ........ !!”

"Jahanam! Pengkhianat! Engkau sengaja menipuku dan hendak melarikan Retna Wilis?"

"Ampun ........ Retna Wilis tidak lari, hanya hamba........ hamba terangsang sekali semalam, ingin ........ memilikinya........ hamba yang bersalah ........ dia tidak tahu apa-apa........ "

Dalam keadaan yang amat gawat ini Adiwijaya masih ingat untuk membela Retna Wilis dan menimpakan semua kesalahan di pundaknya. Biarlah ia mati asalkan Retna Wilis
selamat, pikirnya.

"Ha-ha-ha, pandai sekali memutar lidah. Memang engkau seorang yang amat pandai menipu dan cerdik sekali, akan tetapi sekarang aku tidak lagi mau ditipu dua kali, dan engkau harus mampus!"

Sambil berkata demikian, Wasi Bagaspati memukul dari jarak jauh dengan pukulan sakti. Angin pukulan yang keras meniup ke arah Adiwijaya. Akan tetapi dengan cekatan
sekali Adiwijaya melompat ke kiri, mengelak sehingga pukulan itu hanya mengenai pasir yang membuat pasir berhamburan.

"Hemmm, kiranya engkau juga berani melawanku?"

"Wasi Bagaspati, di saat terakhir ini biarlah aku membuat pengakuan. Dengarlah baik-baik. Aku adalah hamba dari Gusti Puteri Retna Wilis, lahir batin. Aku selamanya, sejak dahulu sampai mati sekalipun, akan tetap setia kepadanya. Aku yang mengusulkan agar dia suka bersekutu denganmu untuk mencapai cita-citanya. Akan tetapi ternyata engkau mengkhianatinya, juga berniat buruk terhadap dirinya. Aku harus menyelamatkannya, membebaskannya dari tanganmu yang keji! Dan biarpun aku maklum bahwa aku bukan lawanmu, namun aku bersumpah untuk membela gustiku Retna Wilis dan melawanmu sampai detik terakhir!"

"Ha-ha-ha, manusia macam engkau masih bicara tentang kesetiaan! Lupakah engkau akan perbuatan-perbuatanmu dahulu di Jenggala?"

"Wasi Bagaspati, sekali-kali akan tiba saatnya bagi setiap orang manusia untuk menyesali perbuatan-perbuatannya yang lalu. Setelah berjumpa dengan gustiku Retna Wilis, aku sadar dan aku siap menerima segala hukuman atas dosa-dosaku. Akan tetapi kesetiaanku terhadap gustiku ini adalah tulus ikhlas dan boleh engkau mentertawakan aku sekarang, karena kelak akan tiba saatnya pula bagimu untuk menyesali perbuatanmu atau ka!au tidak, engkau akan terlambat!"

"Keparat, terimalah kematianmu!" Kini tubuh Wasi Bagaspati menerjang ke depan. Ia tahu bahwa laki-laki itu memiliki ketangkasan yang cukup sehingga kalau diserang dari jarak jauh akan memakan waktu lama dan membuang tenaga sia-sia belaka.

"Wuuuuuttttt ........ !" Pukulan tangan kiri yang menampar dari samping itu hebat bukan main. Terasa oleh Adiwijaya angin berhembus kuat dan seolah-olah lengan kakek itu seperti pohon besar tumbang menimpanya. Ia cepat meloncat dan mengelak, akan tetapi angin pukulannya masih mendorongnya sehingga ia roboh.

Biarpun demikian, dengan ajinya Trenggiling Wesi, begitu tubuhnya menyentuh tanah, ia bergulingan dan dapat meloncat bangun tanpa terluka.

==>> Perawan Lembah Wilis Jilid 110 ==>>
<<== Kembali <<==

No comments:

Post a Comment