Ads

Wednesday, April 3, 2013

Perawan Lembah Wilis Jilid 113 (TAMAT)

<<== Kembali <<==

Dua orang kakek sakti itu segera bertanding di pinggir jurang dengan seru. Retna Wilis yang sudah terluka itu ketika terbanting tadi dapat bangkit kembali dengan susah payah dan siap menghadapi pukulan lawan terakhir. Akan tetapi ia melihat munculnya Biku Janapati dan betapa pendeta ini membelanya. ia menjadi lemas dan limbung, tubuhnya terhuyung hampir terguling, kepalanya pening.

Sebuah lengan dengan halus dan lemah-lembut merangkul pundaknya dan mencegahnya roboh terguling. Retna Wilis merasa bahwa hanya lengan Adiwijaya sajalah yang akan menyentuhnya dengan kasih sayang seperti itu, maka ia memejamkan matanya. Akan tetapi ia teringat bahwa pamannya itu telah tewas, maka cepat ia membuka mata dan menoleh. Jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat bahwa yang merangkul pundaknya itu bukan lain adalah Bagus Seta, yang memandangnya dengan tersenyum dan tangan kanan pemuda itu telah memegang pedang Sapudenta yang tadi hilang terjatuh ke dalam jurang.

"Eng ........ engkau ........ Bagus Seta ........ ?" Retna Wilis bertanya gagap dan melepaskan rangkulan pemuda itu, membalikkan tubuh menghadapinya.

"Benar, adikku Retna Wilis. Aku rakandamu Bagus Seta yang selalu membayangimu."

"Berikan pedangku itu!" Retna Wilis berkata, memaksa diri bersikap gagah biarpun seluruh tubuhnya lemas.

"Hendak kau pakai untuk apakah? Untuk membunuhku sebagai murid Eyang Bhagawan Ekadenta?"

"Ohh, tidak, tidak ........ ! Akan kupakai membunuh Wasi Bagaspati!"

Bagus Seta tersenyum, memegang tangan adiknya, menariknya dan menyarungkan pedang Sapudenta di sarung pedang yang menempel di punggung Retna Wilis.

"Jangan mencampuri urusan mereka, Adikku. Lihat, mereka berdua datang ke tanah air kita tanpa ada yang mengundang, keduanya menimbulkan kekeruhan dengan cara mereka sendiri dan sekarang biarkanlah keduanya menyelesaikan segala persoalan yang timbul sebagai akibat dari perbuatan mereka sendiri. Mulai sekarang, berhati-hatilah dalam melangkahkan sesuatu, Adikku, karena setiap langkah, setiap perbuatan kita menjadi sebab timbulnya akibat di kemudian hari. Kita akan memetik setiap buah yang tumbuh dari pohon yang kita tanam sendiri, oleh karena itu, kita harus dapat memilih pohon perbuatan yang baik agar buahnya pun kelak buah yang baik. Semua hal yang menimpa diri kita adalah hasil daripada perbuatan kita sendiri, Adikku sayang, karena itu kita harus menjaga perbuatan dengan jalan membersihkan hati dan pikiran sebab perbuatan timbul daripada hati dan pikiran. Kalau hati dan pikiran kita bersih, perbuatan kita pun tentu bersih, sebaliknya hati dan pikiran kotor tak mungkin menimbulkan perbuatan yang bersih."

Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras disusul pekik yang menyeramkan keluar dari dalam jurang di depan. Kedua orang kakek yang bertanding tidak tampak lagi dan perlahan-lahan Bagus Seta menarik tubuh Retna Wilis yang dirangkul pundaknya itu mendekati tepi jurang lalu menjenguk ke bawah. Jauh di dasar jurang, di antara batu-batu dan air sungai kecil, tampak menggelatak tiga mayat orang dalam keadaan remuk, yaitu mayat dari Wasi Bagaspati, Biku Janapati, dan Wasi Bagaskolo.

Melihat mayat-mayat itu, Retna Wilis teringat akan mayat Sindupati. ia menengok, memandang mayat itu, melepaskan rangkulan Bagus Seta dan lari menghampiri, berlutut dan menangisi mayat Sindupati. Bagus Seta berjalan mendekati, dan di antara isak tangis Retna Wilis, terdengar suaranya,

"Berbahagialah dia ini yang telah sadar dan bertobat daripada dosa-dosanya sehingga mati dalam keadaan sadar. Riwayat hidup Sindupati ini dapat dijadikan tauladan dan peringatan bagi kita, Retna Wilis, bahwa tiada perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran akan mendatangkan kebahagiaan. Sikapnya yang baik sekali terhadapmu, sedikitnya telah menebus sebagian daripada dosa-dosanya yang lalu, dan nyatanya, dalam saat terakhir ia telah sadar akan dosa-dosanya dan bertobat. Sadar akan dosa sendiri dan bertobat merupakan kebahagiaan besar, Adikku."

Biarpun menangisi mayat Sindupati, namun setiap kata-kata yang keluar dari mulut Bagus Seta terdengar jelas oleh Retna Wilis. ia lalu mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata.

"Adakah ........ harapan bagiku ........ yang murtad ........ yang penuh noda dan dosa ini........ untuk kembali ke jalan benar?"

Bagus Seta tersenyum, merangkul adiknya dan diajak berdiri.
"Tidak ada dosa yang takkan terhapus asal dengan tebusan penyesalan dan bertobat lahir batin tanpa paksaan, melainkan dengan kesadaran. Engkau terluka Retna Wilis. Mari kita menyempurnakan jenazah Sindupati, kemudian ikutlah dengan aku, kakakmu yang akan membimbingmu ke arah jalan benar dan kebahagiaan."

Mereka lalu membuat api besar dan membakar jenazah Sindupati. Abunya mereka tanam di hutan itu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di pantai laut selatan tampak Bagus Seta dan Retna Wilis bergandengan tangan, berjalan perlahan menuju ke timur di mana sinar matahari yang cerah telah membakar angkasa. Kedua orang kakak beradik ini tidak merasa betapa lidah air laut menjilat-jilat kaki mereka karena mereka seperti terpesona atau tertarik oleh sinar matahari kemerahan yang makin lama makin terang itu. Keduanya mendapatkan keyakinan, terutama sekali Retna Wilis, bahwa seperti halnya sinar matahari pagi, masa depannya dengan bimbingan kakaknya akan makin gemilang. Bayang-bayang hitam kedua orang muda itu makin tampak nyata mengikuti di belakang mereka.

Bayangan kedua kakak beradik sakti mandraguna yang menuju ke arah munculnya Sang Surya itu makin lama makin mengecil, merupakan dua titik hitam yang lambat laun lenyap, meninggalkan ombak-ombak memerah di pantai yang mereka lalui tadi, meninggalkan jejak kaki di pasir yang terhapus oleh air laut. Laut dan pasir tidak kehilangan sesuatu, tidak pernah merasa kehilangan karena mereka pun tidak merasa mendapatkan sesuatu.

Akan tetapi kita sebagai manusia, merasa kehilangan dengan lenyapnya kedua orang kakak beradik, Bagus Seta dan Retna Wilis itu. Kita merasa kehiIangan di samping menemukan hal-hal yang amat berguna, yaitu kenang-kenangan akan segala peristiwa yang terjadi dalam cerita "Perawan Lembah Wilis" yang bersama menghilangnya kedua kakak beradik itu pun akan berakhir sampai di sini.

Selalu menjadi harapan pengarang setiap mengakhiri karangannya, semoga karangan ini sedikit banyak mengandung manfaat bagi para pembaca, bukan hanya mendatangkan keyakinan yang menebalkan iman akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Adil. Karena sesungguhnya manusia yang dapat menyerahkan segala sesuatu ke tangan Tuhan tanpa meninggalkan kewajiban ikhtiar, yang penuh kepercayaan akan Keputusan Tuhan, yang dapat menerima segala yang menimpanya dengan kesadaran bahwa Kehendak Tuhan tak dapat ditentang sehingga tiada rasa penasaran dan kesombongan dalam gagal dan hasil, manusia inilah yang dalam hidupnya akan dapat menikmati ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan.
Sampai jumpa kembali di dalam karangan mendatang!

T A M A T

<<== Kembali <<==
*** Sepasang Garuda Putih ***

No comments:

Post a Comment