Ads

Saturday, April 20, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 006

**** BACK ****

Malam itu, kembali Lembu Alun dan Lembu Tirta menghadap guru mereka, Wasi Surengpati, di dalam guha di tebing Laut Kidul itu.

"Anak mas berdua, mengapa kelihatan gugup dan lesu malam ini. Apakah yang mengganggu perasaan kalian berdua?" Tanya Wasi Surengpati setelah kedua orang muridnya itu menghadap di depannya. Sinar dua batang obor yang apinya bergerak-gerak tertiup angin itu menimbulkan pemandangan yang menyeramkan di guha itu.

"Ah, celaka, Bapa Guru. Secara tiba-tiba Jarot telah muncul kembali. Benar seperti petunjuk Bapa Guru, Jarot masih hidup dan ternyata dia memiliki kepandaian tinggi sehingga kami berdua tidak mampu menandinginya." Lembu Alun dan adiknya menceritakan pertemuan mereka dengan Jarot di luar pintu gerbang utara sore tadi. Wasi Surengpati mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Hemmm, kalau sudah begini, lalu apa yang andika berdua hendak lakukan? Bantuan apa yang dapat kuberikan kepada kalian?"

"Dengan munculnya Jarot, maka usaha melenyapkan kanjeng Rama tidak ada gunanya lagi. Sebelum meninggal, kanjeng Rama tentu akan mengangkat jahanam itu menjadi penggantinya. Sekarang sasaran harus ditujukan kepada Jarot, Bapa Guru. Kalau dia mati, berarti penghalangnya tidak ada lagi. Kami mohon agar Bapa Guru membunuh Jarot."

"Hemm ... " Wasi Surengpati mengelus jenggotnya yang tebal. "Kalau pemuda itu memiliki kadigdayaan, mampu mengalahkan kalian berdua, maka tidak akan demikian mudah membunuh dengan guna-guna. Akan tetapi aku dapat memancingnya untuk datang ke tempat ini dan di sini kita bertiga dapat mengeroyok dan membunuhnya. Tempat ini sunyi dan baik, tidak akan ada orang yang melihat dan mengetahuinya ... juga kalau mayatnya kita buang ke bawah, dia akan ditelan ombak dan lenyap."

Dua orang kakak beradik ini menjadi girang bukan main.
"Apakah untuk itu ada juga syaratnya, Bapa Guru?"

"Tentu saja, akan tetapi untuk mengguna-gunai agar dia datang ke sini syaratnya hanya mudah. Sepotong baju yang telah dipakai dan belum dicuci akan cukup untuk memaksa dia datang ke sini."

"Baik, Bapa Guru. Kalau hanya itu saja akan kami usahakan dan bawa ke sini secepatnya. Akan tetapi sekarang kami harus menghadapi hal yang amat tidak enak. Kalau Jarot sudah pulang ke Kadipaten, terpaksa kami berdua akan bertemu dengannya. Sungguh amat tidak enak bagi kami berdua."

"Akan tetapi, kakangmas Lembu Alun. Kenapa bingung? Kita pura-pura baru tahu bahwa dia benar-benar adik kita Jarot dan kita minta maaf kepadanya bahwa sore tadi kita tidak mengenalnya dan menyangkanya orang lain yang menyamar sebagai Jarot. Dengan demikian kita dapat menutup rasa malu kita dan menghilangkan kecurigaannya terhadap kita," kata Lembu Tirta kepada kakaknya.

Demikianlah, pada keesokan harinya, ketika Jarot baru saja bangun dari tidurnya dan mandi, dua orang kakaknya itu menemuinya di kamarnya.

"Adimas Jarot, kiranya benar-benar engkaukah yang datang?" kata Lembu Alun dengan wajah berseri dan dia melangkah maju memegang tangan Jarot.

"Sungguh mati, hal ini sukar dipercaya."

"Aku juga tadinya tidak percaya sama sekali bahwa engkau benar-benar masih hidup dan pulang, adimas Jarot. Sungguh kami menyesal sekali bahwa kemarin kami tidak percaya dan menyangka engkau orang lain yang hendak mengacau," kata pula Lembu Tirta dengan wajah sungguh-sungguh.

"Benar, adimas Jarot. Aku merasa menyesal dan malu sekali kepadamu bahwa kemarin aku tidak mengenalmu, bahkan menyerangmu sebagai seorang jahat. Aku khawatir kanjeng Rama akan marah sekali kepada kami berdua."

Jarot tersenyum.
"Tidak mengapalah, kakangmas. Aku tidak menyalahkan kalian, kalau kalian kemarin tidak mengenalku dan tidak percaya bahwa aku masih hidup dan pulang. Dan tentang kanjeng Rama, harap kalian jangan khawatir karena mengenai peristiwa kita kemarin, aku tidak menceritakan kepada siapapun juga. Kanjeng Rama tidak tahu akan peristiwa itu."

Tentu saja kedua orang pemuda itu merasa girang dan lega mendengar ucapan Jarot ini. Mereka berdua kini bersikap ramah dan baik sekali kepada Jarot, bahkan seolah memperlihatkan rasa sukur dan kangennya.

"Dahulu itu aku kebingungan sekali karena engkau tidak muncul kembali dan aku telah berteriak-teriak memanggilmu, mencari-cari sampai hari menjadi sore. Terpaksa aku pulang sendiri sambil menangis karena khawatir sekali. Apakah yang telah terjadi denganmu, adimas Jarot? Ke mana engkau pergi?"

"Ada orang memanah punggungku, kakangmas Lembu Alun. Orang memanahku dari belakang dan anak panahnya mengenai punggungku sehingga aku roboh dan hanyut di Kali Rejali," kata Jarot sambil menatap tajam wajah Lembu Alun. Akan tetapi wajah kakaknya itu tidak menunjukkan sesuatu, hanya tampak heran mendengar jawabannya itu.

"Ada orang memanahmu dari belakang? Akan tetapi, siapakah orangnya yang bertindak sedemikian kepadamu, adikku?"

"Aku tidak tahu, kakangmas. Begitu terkena anak panah, aku lalu jatuh dan tidak ingat apa-apa lagi."

"Ah, aku tahu! Pemanahnya tentulah anggauta perampok yang suka bersembunyi di dalam hutan. Karena khawatir ketahuan oleh adimas Jarot, maka dia memanahnya agar tempat persembunyiannya tidak diketahui orang," kata Lembu Tirta.

"Hemm, boleh jadi benar kata-katamu itu, dimas Lembu Tirta. Lalu bagaimana, adimas Jarot? Engkau pingsan dan hanyut di Kali Rejali, bagaimana engkau dapat tertolong dan siapa yang menyelamatkanmu?"

"Tentu ada orang yang menolongmu, bukan? Kalau tidak tentu adimas Jarot akan tewas di kali itu."

"Ehh, nanti dulu. Apakah engkau menyimpan anak panah itu, adimas Jarot? Barangkali dari anak panahnya kita dapat mengenal dan menemukan pemanahnya."

Jarot menggeleng kepalanya.
"Anak panah itu biasa saja, berbulu hitam. Banyak orang memakai anak panah seperti itu, kakangmas, bagaimana kita dapat mengenal orangnya?"

"Ah, sayang. Lalu, siapa yang menolongmu, dimas?"

"Ketika aku sadar dari pingsan, aku telah berada dalam sebuah pondok dan ternyata ada orang yang menolongku dari Kali Rejali dan membawaku ke pondok itu. Dia yang mengobati dan merawatku sampai aku sembuh kembali."

"Siapa dia, adimas?"

"Dia adalah Bhagawan Dewondaru yang kemudian menjadi guruku selama tujuh tahun ini. Dari dialah aku mempelajari sedikit ilmu kanuragan."

Wajah Lembu Alun berubah merah karena dia teringat akan peristiwa kemarin sore di mana dia dan Lembu Tirta mengeroyok Jarot dengan keris namun mereka berdua tidak mampu menandinginya.

“Ahh, engkau sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dimas Jarot. Aku ikut merasa gembira."

Dua orang itu bersikap ramah dan akrab sekali sehingga Jarot sudah melupakan apa yang pernah terjadi di antara mereka di luar pintu gerbang itu. Dan karena dia tidak menaruh curiga sama sekali, mudah saja bagi Lembu Alun untuk mengambil sepotong bajunya yang kotor dan yang sudah diserahkan pembantu untuk dicuci. Baju itu segera dibawanya ke Guha Iblis di tebing Laut Kidul itu.

Dua hari kemudian, pada suatu pagi Jarot mendadak merasa hatinya gelisah sekali. Dia tidak betah tinggal di rumah dan untuk melenyapkan hati yang gelisah itu dia lalu keluar untuk berjalan-jalan. Kadipaten Pasisiran masih sama dengan tujuh tahun yang lalu, hanya sedikit saja perubahannya. Dia masih mengenal rumah-rumah di kadipaten itu, dan diapun bertemu dengan banyak orang yang pernah dikenalnya ketika dia masih remaja dahulu.

Akan tetapi, setelah berjalan-jalan sampai keliling kota kadipaten, perasaan gelisah dalam hatinya tidak lenyap, bahkan bertambah dengan perasaan yang aneh. Dia merasa seperti dipanggil orang untuk keluar dari kota Kadipaten Pasisiran melalui pintu gerbang sebelah selatan. Diapun menurutkan dorongan hati ini dan pergilah dia keluar kota. Setelah tiba di luar pintu gerbang, masih saja ada sesuatu yang menariknya dengan kuat sekali sehingga dia menjadi semakin heran. Daya tarik itu mendorongnya untuk berjalan terus ke selatan! Dia mulai merasa bahwa dorongan hati ini tidaklah wajar, akan tetapi hal itu bahkan membuat dia tertarik sekali. Apa yang mendorongnya demikian kuatnya menuju ke pantai Laut Selatan? Dia menjadi ingin tahu dan tidak melawan daya tarik itu, bahkan dia lalu mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat.

Setelah tiba di daerah pantai, dia melihat seorang wanita cantik sedang berjalan seorang diri. Sekilas pandang saja Jarot maklum bahwa wanita itu bukan penduduk biasa. Usianya sudah kurang lebih lima puluh tahun akan tetapi wanita itu masih cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh seperti seoang dara saja. Wanita itupun memandang kepadanya, akan tetapi Jarot tidak memperhatikan atau memperdulikannya. Daya tarik itu semakin kuat dan dia berlari cepat mendaki bukit di tepi laut karena dari sanalah daya tarik itu datangnya. Dari atas bukit di tepi laut!

Sementara itu, wanita yang sedang berjalan itu juga memandang penuh perhatian. Tadinya wanita itu hendak mengeluarkan kata-kata, akan tetapi ditahannya kembali. Ketika melihat Jarot menggunakan ilmu berlari cepat ia semakin tertarik dan tak lama kemudian wanita itupun menggunakan gerakan yang cepat sekali membayangi Jarot.

Siapakah gerangan wanita setengah tua yang cantik itu? Wanita itu bukan lain adalah Endang Patibroto! Sebagaimana kita ketahui, Endang Patibroto melakukan perjalanan menyusuri pantai Laut Kidul menuju ke timur dalam usahanya mencari jejak puterinya. Ketika tiba di situ bertemu seorang pemuda tampan yang jelas bukan pemuda dusun, tadinya ia ingin menyapa dan bertanya kalau-kalau pemuda itu pernah melihat puterinya atau melihat Bagus Seto. Akan tetapi ketika pemuda itu berlari kencang sekali, jelas bukan lari biasa melainkan lari yang menggunakan aji kesaktian, Endang Patibroto terkejut dan tertarik, maka iapun cepat menggunakan Aji Bayu Tantra untuk berlari secepat angina membayangi pemuda tampan itu.

Karena seluruh perhatian Jarot ditujukan ke depan, ke arah tenaga mujijat yang menariknya semakin kuat untuk berjalan terus, dia sama sekali tidak tahu bahwa ada orang membayanginya dari belakang. Dia mendaki bukit yang cukup tinggi itu, bukit berbatu-batu karang yang tajam dan runcing, harus berhati-hati kalau berlari di atas batu-batu karang itu. Akhirnya dia tiba di ujung jalan yang menuju ke tebing yang amat curam. Dia menjenguk ke bawah dan bergidik ngeri. Tebing itu amat curam. Air laut dan batu-batu karang tampak di bawah, sejauh tiga ratus meter lebih. Kalau orang terjatuh dari atas tebing, tentu tubuhnya akan hancur lebur disambut karang tajam dan runcing, dan disambut ombak laut yang ganas. Akan tetapi anehnya, kekuatan yang menariknya itu makin terasa dan kini menarik dari bawah! Dia menjadi makin terheran-heran, akan tetapi dia melihat sejalur jalan setapak menuruni tebing itu. Ada bekas kaki orang di jalan setapak, tanda bahwa ada orang menuruni jalan itu. Kalau orang lain berani menuruni jalan itu, mengapa dia tidak? Dan lagi, daya tarik itu terus terasa semakin kuat, datangnya dari bawah!

Tanpa ragu lagi Jarot lalu menuruni jalan setapak yang terjal itu. Berpegang kepada akar-akar kayu-kayuan atau kepada batu-batu karang yang menonjol, dia terus menuruni jalan setapak itu dengan cekatan dan cepat. Akhirnya tibalah dia di tempat datar dan dari situ dia melihat beberapa buah guha yang besar. Tenaga yang menariknya itu datang dari sebuah di antara guha-guha itu, yang berada di tengah. Di depan guha itu terdapat tanah datar yang cukup luas. Dengan berani Jarot menurutkan daya tarik itu dan melangkah ke depan. Setelah tiba didepan guha itu, dia mendengar suara orang tertawa. Tiga orang muncul dari dalam guha itu dan dia terbelalak. Dua di antara mereka dikenalnya dengan baik karena mereka itu bukan lain adalah Lembu Alun dan Lembu Tirta! Kedua orang ini mengiringkan seorang kakek yang tertawa-tawa. Jarot memandang penuh perhatian. Kakek itu amat menyeramkan. Rambutnya panjang dan gimbal, matanya bundar dan besar, hidungnya pesek dan mulutnya yang lebar itu menyeringai ganas, namun mata yang besar itu mencorong seperti mata harimau. Pakaiannya seperti baju pendeta yang longgar dan panjang, berwarna kuning dekil. Tangan kanan kakek itu memegang sebatang tongkat berbentuk ular, seperti seekor ular yang dikeringkan.

"Hoa-ha-ha-ha, andika telah datang, Jarot?"

Jarot tidak memperdulikan kedua orang kakaknya, melainkan menatap tajam wajah kakek itu. Dia tidak mengenalnya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek ini yang memiliki ilmu yang menariknya tadi.

"Jadi andika yang menggunakan ilmu hitam menarikku datang ke sini?"

"Hoa-ha-ha-ha, siapapun akan datang kalau kupanggil. Tak seorangpun dapat melawan ilmu sihirku!" Wasi Surengpati membanggakan diri.

"Orang tua, apa kehendakmu memanggil aku datang ke sini?" tanya Jarot, suaranya tetap tenang dan tabah.

"Hoa-ha-ha! Kalau engkau ingin tahu, tanyakan saja kepada dua orang saudaramu ini!"

Mendengar ini, Jarot memandang kepada kedua orang kakaknya dengan alis berkerut. "Kakangmas Lembu Alun dan Lembu Tirta, apa artinya semua ini?"

"Artinya, engkau akan mati hari ini, Jarot!" kata Lembu Alun. "Akan kami sempurnakan usahaku tujuh tahun yang lalu!"

Jarot membelalakkan kedua matanya.
"Jadi ... jadi engkau yang dulu melepaskan anak panah menyerangku, kakangmas?"

Lembu Alun tidak menjawab, melainkan mencabut kerisnya dan berkata kepada Wasi Surengpati.

"Bapa, cepat habisi dia!"

Sambil tertawa kakek itu lalu menerjang dengan tongkat ularnya. Terdengar angin berdesir ketika tongkat itu menyambar dan cepat Jarot mengelak karena dari angin sambarannya saja maklumlah dia bahwa kakek itu memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi tongkat ular itu menyambar lagi dan kini Lembu Alun dan Lembu Tirta juga sudah menerjang maju dengan keris mereka. Jarot dikeroyok tiga! Tiga orang lawannya semua bersenjata sedangkan dia sendiri hanya bertangan kosong, maka sebentar saja dia terdesak hebat.

Tongkat ular menyambar lagi.
"Wuuutt... !" Jarot terpaksa menangkis dengan lengan kirinya sambil mengerahkan tenaga.

"Plakkk ... !" pertemuan lengannya dengan tongkat itu membuat tubuh Jarot tergetar hebat dan dia terhuyung.

Lembu Alun mengejar dan menusukkan kerisnya, akan tetapi dapat dielakkan oleh Jarot. Ketika Lembu Tirta menyusul dengan tusukan kerisnya, dia menangkis dengan tangan kirinya.

"Plakk!" Lembu Tirta terhuyung ke samping. Akan tetapi kini Wasi Surengpati sudah menerjang lagi sambil mengeluarkan teriakan nyaring, teriakan nyaring itu mengandung tenaga yang amat kuat dan Jarot merasa jantungnya tergetar dan diapun terhuyung-huyung ke belakang. Ternyata kakek itu dapat menyerang dengan suaranya yang mengandung tenaga mengguncang jantung lawan seperti auman seekor singa!

Selagi terhuyung, kembali dua orang kakak beradik itu sudah menyerang dengan keris mereka. Namun, Jarot dapat menggulingkan tubuhnya dan terluput dari tusukan kedua keris kakaknya. Ketika dia melompat berdiri dan berniat melarikan diri dari keadaan gawat itu, Wasi Surengpati telah menghadang di depannya. Kembali kakek ini mengeluarkan gerengannya yang dahsyat dan kembali Jarot terhuyung dan pada saat itu tongkat ular telah menyambar dengan cepat dan kuat sekali ke arah kepalanya.

"Wuuuuuuttt ... tukk!" Tongkat yang sudah menyambar dekat kepala Jarot itu terpental karena ada sepotong batu menangkisnya.

Kakek ini terkejut dan memandang ke kiri darimana sepotong batu tadi melayang dan menangkis
tongkatnya. Dia melihat seorang wanita yang cantik jelita berdiri di sana sambil memandang tajam kepadanya. Wanita itu adalah Endang Patibroto yang sekali melompat sudah berada didepan Wasi Surengpati. Endang Patibroto tersenyum mengejek. Sikapnya tenang dan pandang matanya demikian tajam bersinar sehingga Wasi Surengpati diam-diam terkejut sekali dan menduga-duga siapa adanya wanita yang telah menangkis tongkatnya dengan sambitan batu tadi.

"Hemm, orang tua jelek! Sungguh tidak malu mengeroyok seorang pemuda yang tampaknya tidak bersalah apa-apa! Kalau andika mencari lawan, akulah lawanmu, kakek tua bangka buruk!" Endang Patibroto berseru.

Wasi Surengpati menjadi marah sekali. Biarpun dia dapat menilai bahwa wanita itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia tidak takut.

"Babo-babo, wanita lancang tangan. Siapakah kamu berani menentang Wasi Surengpati dari Guha Iblis? Apakah nyawamu rangkap maka berani engkau mencampuri urusan kami?"

"Biar ditambah lima orang macam kamu, aku tidak takut. Wasi Surengpati, kamu adalah manusia jahat yang pantas dijadikan hamba iblis. Biarpun aku belum tahu duduk perkaranya, melihat penampilanmu saja aku sudah tahu bahwa pemuda yang kau keroyok itu tentulah berada di pihak yang tidak bersalah!"

"Keparat, lancang mulutmu! Heiiiiii ... " Kembali dia berteriak melengking, suaranya menggetarkan seluruh tempat itu.

Akan tetapi Endang Patibroto tidak menjadi gentar, bahkan wanita inipun lalu mengeluarkan ajinya, menjerit dengan lengkingan panjang. Itulah Pekik Sardulo Bairowo dan lengkingan ini seolah menelan jeritan Wasi Surengpati tadi! Wasi Surengpati menjadi semakin marah dan diapun sudah menerjang maju dengan tongkat ularnya. Endang Patibroto menangkis dengan lengan kirinya.

"Dukkk!" Endang Patibroto merasa betapa lengannya tergetar, akan tetapi sebaliknya tongkat Wasi Surengpati terpental ke atas!

Dari pertemuan dua tenaga ini saja sudah dapat dinilai bahwa tenaga Wasi Surengpati masih kalah setingkat dibandingkan tenaga wanita sakti itu. Akan tetapi Wasi Surengpati masih penasaran dan mulailah dia mengamuk dengan tongkat ularnya yang menyambar-nyambar bagaikan ular hidup yang pandai terbang. Namun, Endang Patibroto selalu dapat mengelakkannya dan ketika ia mendapat kesempatan, ia membalas serangan lawan dengan pukulan Pethit Nogo!

"Plakk!" Ujung jari tangan Endang Pati broto mengibas ke arah kepala Wasi Surengpati, akan tetapi kakek itu dapat menangkis dengan ujung tongkatnya. Mereka kini bertanding dengan hebat, saling serang dan kakek itu mendapat kenyataan betapa hebatnya kepandaian lawannya.

Sementara itu, dua orang kakak beradik itu masih tetap mengeroyok Jarot. Namun mereka bukan tandingan Jarot. Tusukan-tusukan keris mereka dengan mudah dihindarkan Jarot dengan elakan atau tangkisan dan ketika dia balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya, dua orang kakak beradik itu menjadi repot berloncatan ke sana sini untuk mengelak.

"Haiiiiitt ... ! Pergilah!" Bentak Endang Patibroto kepada lawannya dan kini ia menyerang dengan pukulan jarak jauh Gelap Musti.

Kakek itu mencoba untuk menahan serangan ini dengan pengerahan tenaga saktinya, namun dia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sampai lima meter. Agaknya kakek itu maklum bahwa ia tidak akan menang melawan wanita sakti itu, maka diapun melompat dan melarikan diri melalui tebing yang curam itu, merayap naik seperti seekor monyet. Endang Patibroto tidak mengejar melainkan menonton pertandingan antara Jarot yang dikeroyok dua oleh Lembu Alun dan Lembu Tirta.

Endang yang menonton pertandingan itu menjadi heran sekali. Sudah jelas bahwa pemuda tampan bertangan kosong yang dikeroyok dua orang pemuda berkeris itu jauh lebih kuat, akan tetapi dia melihat betapa pemuda tampan itu selalu membatasi diri. Kalau saja dia kehendaki, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya. Agaknya dia memang tidak mau memukul kedua orang itu. Sebaliknya, dua orang berkeris itu mati-matian berusaha untuk membunuh si pemuda tampan.

Endang Patibroto menjadi penasaran sekali. Ia tidak tahu ada urusan apa di antara mereka, Dua orang pemuda pengeroyok itupun tampaknya seperti pemuda baik-baik dan berpakaian pantas seperti putera bangsawan. Akan tetapi yang jelas mereka itu licik, mengeroyok seorang pemuda yang bertangan kosong dengan menggunakan keris. Apalagi kalau mengingat bahwa kakek iblis tadi membantu dua orang pemuda itu, hatinya condong memihak pemuda yang dikeroyok.

Melihat betapa pemuda bertangan kosong itu masih belum juga mau merobohkan dua orang lawannya, Endang Patibroto lalu menggerakkan tangan kirinya yang mengambil kerikil kecil ke arah perkelahian itu. Terdengar jerit kesakitan dua kali dan dua orang pengeroyok itupun roboh!

Jarot yang tadi maklum bahwa ada wanita sakti datang membantunya, bahkan wanita itu telah mengusir kakek iblis, maklum bahwa dua orang kakaknya itu roboh oleh wanita sakti itu. Sekali menggerakkan kaki, wanita itu telah berada dekat Lembu Alun dan Lembu Tirta, membentak dengan suara mengancam.

"Kalian dua orang muda ini tentu juga bukan manusia baik-baik, tiada bedanya dengan kakek iblis tadi!'

Lembu Alun dan Lembu Tirta yang sudah roboh dan kehilangan keris mereka, menjadi jerih. Mereka takut sekali karena Jarot telah mengetahui rahasia mereka. Kalau Jarot mengadu kepada ayah mereka, mereka berdua tentu akan mendapat marah besar dan akan dihukum berat. Maka, keduanya lalu merangkak, bangkit berdiri hendak melarikan diri. Akan tetapi, dua kali kaki Endang Patibroto menendang dan dua orang pemuda itu roboh lagi, kini menyeringai kesakitan karena tendangan yang mengenai dada mereka itu membuat mereka sukar untuk bernapas.

"Kanjeng Bibi, harap ampunkan mereka dan jangan dibunuh," tiba-tiba Jarot berkata dengan suara memohon kepada Endang Patibroto.

Wanita sakti itu menoleh dan memandang kepada Jarot dengan alis berkerut.
"Apa? Mereka berusaha mati-matian untuk membunuhmu, dan sekarang engkau malah mintakan ampun untuk mereka?"

Jarot berkata lembut.
"Kanjeng Bibi, mereka ini adalah kakak-kakakku sendiri."

"Kakakmu sendiri? Akan tetapi mengapa mereka hendak membunuhmu dan mereka dibantu kakek sakti tadi? Hayo ceritakan yang jelas sebelum aku mengambil keputusan, hendak kubunuh atau tidak dua orang muda jahanam ini!"

Jarot menghela napas panjang dan memandang kepada dua orang kakaknya.
"Mereka adalah kakak-kakak saya berlainan ibu, Kanjeng Bibi. Mereka hendak membunuhku mungkin karena mereka menghendaki agar ayah kami mengangkat mereka menjadi calon adipati. Ayah kami adalah Adipati di Pasisiran dan mereka khawatir kalau saya yang kelak diangkat menggantikan ayah. Akan tetapi rupanya Hyang Widhi belum menghendaki saya mati, maka kanjeng bibi muncul dan menolong saya."

"Keparat betul dua orang ini. Memperebutkan kedudukan dan berusaha membunuh adik sendiri? Orang muda, siapa namamu?"

"Nama saya Jarot, Kanjeng Bibi, dan mereka ini adalah kakangmas Lembu Alun dan kakangmas Lembu Tirta."

Mendengar jawaban Jarot, timbul harapan dalam hati kedua orang muda itu.
"Dimas Jarot, ampunkan kesalahanku," kata Lembu Alun.

"Aku minta ampun darimu, dimas Jarot," kata Lembu Tirta.

"Anakmas Jarot, dua orang ini tidak semestinya diberi ampun. Hayo bawa mereka menghadap ramandamu dan ceritakan semua perbuatan mereka terhadap dirimu. Mereka layak mendapat hukuman berat. Kalau engkau tidak mau melaporkan perbuatan mereka kepada orang tua kalian, akulah yang akan menghadap Sang Adipati dan melaporkan semua peristiwa ini. Hayo kau bawa mereka ke Kadipaten."

"Baik, Kanjeng Bibi. Terima kasih atas pertolongan Kanjeng Bibi."

"Tidak usah berterima kasih. Ingat, orang muda, seorang saudara, apa lagi saudara tiri yang sudah memperlihatkan sikap bermusuhan merupakan musuh yang amat berbahaya. Aku menghargai sikapmu yang mengalah, akan tetapi hal ini harus dilaporkan kepada ayahmu. Tentu mereka yang licik ini akan menyangkal di depan ayah kalian, maka biarlah aku menyertaimu menghadap ayahmu sebagai saksi."

Karena Endang Patibroto menyertai mereka, maka kedua orang saudara itu tidak mampu berbuat sesuatu dan mereka mengikuti dengan gentar ketika Jarot membawa mereka pulang ke kadipaten. Demikian pula Jarot. Biarpun dia bermaksud untuk memaafkan kedua orang kakaknya, namun desakan Endang Patibroto membuat dia tak berdaya dan terpaksa menuruti permintaan wanita sakti itu. Kalau dia tidak melapor, dan wanita itu yang melaporkan kepada ayahnya, tentu dia akan dipersalahkan ayahnya pula.

Sang Adipati Kertajaya menyambut kedatangan ketiga puteranya yang diiringkan seorang wanita cantik itu dengan heran. Apa lagi melihat sikap Lembu Alun dan Lembu Tirta yang tidak wajar, seperti dua orang yang ketakutan.

"Jarot, engkau bersama dua orang kakakmu menghadap aku disertai seorang wanita ini, ada urusan apakah dan siapa wanita ini?"

"Maafkan, Kanjeng Rama, saya datang menghadap tanpa dipanggil. Kami bertiga menghadap Kanjeng Romo untuk menceritakan suatu peristiwa yang perlu Kanjeng Romo ketahui. Dan Kanjeng Bibi ini yang namanya ... belum saya ketahui, akan tetapi kanjeng Bibi ini telah menyelamatkan nyawa saya, Kanjeng Romo."

Mendengar pengakuan ini, terkejutlah Adipati Kertajaya. Dia memandang kepada Endang Patibroto dengan penuh perhatian. Seorang wanita yang memiliki kepribadian agung dan anggun, cantik dan gagah, mendatangkan sikap hormat dalam hatinya.

"Selamat datang, Nyi Sanak. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu terhadap putera kami Jarot. Bolehkah kami mengetahui siapa gerangan nama Nyi Sanak dan berasal dari mana?"

Endang Patibroto tersenyum dan merasa senang. Adipati ini bukan seorang yang sombong dan suka mengagungkan kedudukannya. Sikapnya demikian hormat, maka iapun memperkenalkan diri dengan terus terang.

"Sang Adipati, saya bernama Endang Patibroto dan datang dari Panjalu."

Begitu mendengar nama dan tempat tinggal itu, Adipati Kertajaya lalu bangkit berdiri dan matanya terbelalak, kemudian dia membungkuk dengan sikap hormat sekali.

"Jagad Dewa Bathara. Kiranya paduka adalah Gusti Puteri Endang Patibroto! Silakan duduk dan kami menghaturkan selamat datang di Kadipaten Pasisiran."

Semua orang yang melihat sikap Adipati menjadi heran. Adipati ini tentu saja sudah mendengar akan nama Endang Patibroto yang terkenal di seluruh daerah Panjalu dan Jenggala. Siapa yang tidak mengenal wanita sakti yang pernah menjadi isteri Pangeran Panjirawit dari Jenggala dan kemudian menjadi isteri Kipatih Tejolaksono di Panjalu? Wanita sakti ini dahulu pernah membuat geger ketika mengamuk di Nusabarung dan di Blambangan!

Setelah dipersilakan duduk di atas kursi yang sejajar dengan sang adipati Endang Patibroto segera duduk di kursi itu tanpa sungkan lagi. Sementara itu, Jarot dan dua orang kakaknya itu memandang dengan mata terbelalak kepada Endang Patibroto. Jarot memandang penuh kagum karena dia juga pernah mendengar nama itu disebut-sebut orang, akan tetapi Lembu Alun dan Lembu Tirta memandang dengan terkejut dan semakin takut. Habislah sudah riwayat mereka, mereka berpikir. Sungguh sial sekali. Setelah usaha mereka sudah hampir berhasil, mendadak muncul wanita sakti itu.

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 007
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment