Ads

Thursday, April 25, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 012

**** BACK ****

Sang Adipati Martimpang juga bukan seorang yang lemah. Akan tetapi ketika dia berusaha untuk meronta dan melepaskan tangannya dari pegangan dara itu, dia sama sekali tidak mampu berkutik. Bukan main kuatnya tangan yang memegang pergelangan tangannya itu. Karena takut, akan ancaman Retno Wilis, diapun berteriak,

"Kalian jangan menghalangi Retno Wilis! Mundur dan jangan ada yang mencoba menyerangnya!"

Retno Wilis merasa lega. Ia telah menemukan cara yang terbaik untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ini jauh lebih mudah dan baik dari pada ia harus melawan sekian banyaknya pengeroyok. Ia lalu mendorong tubuh sang adipati dan mengajaknya keluar dari kota kadipaten, terus ke hutan di luar pintu gerbang. Hari telah hampir gelap dan ketika Retno Wilis tiba di depan guha, ia melihat Bagus Seto telah berada di sana, berdiri sambil menyilangkan lengan di depan dada dan tersenyum.

"Bagus sekali, kakangmas! Andika enak-enak saja di sini membiarkan aku menghadapi pengeroyokan ratusan orang perajurit!" kata Retno Wilis dengan suara kesal.

"Suatu latihan yang baik bagimu, terutama untuk menahan kesabaranmu, diajeng. Ini buntalan pakaianmu, tukarlah pakaian di dalam guha dan tinggalkan sang adipati disini. Dia tidak akan begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri." Bagus Seto menyerahkan buntalan pakaian Retno Wilis. Dara itu menerimanya lalu menghilang ke dalam guha yang sudah gelap.

Kini Adipati Martimpang berdiri di depan guha, hanya berdua saja dengan Bagus Seto. Adipati itu mempertimbangkan keinginannya untuk melarikan diri. Biarpun adiknya amat sakti, pemuda ini belum tentu memiliki kesaktian seperti dara itu, pikirnya. Dia akan mencoba-coba. Cuaca sudah mulai gelap dan dia lebih mengenal medan dari pada pemuda asing ini. Dia dapat menghilang ke dalam hutan yang lebat itu. Melihat pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan dia dan memandang ke arah lain, Adipati Martimpang menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan seluruh tenaganya meloncat dan melarikan diri. Dan betapa lega hatinya ketika dia tidak melihat pemuda itu berteriak atau mengejarnya. Dia telah lolos! Dengan sekuat tenaga diapun berloncatan sambil berlari cepat.

Tiba-tiba dia terbelalak, memandang ke depan. Di sana, di depannya, telah berdiri pemuda berpakaian putih tadi, tersenyum sambil menyilangkan kedua lengan di depan dadanya seperti tadi ketika dia meninggalkannya di depan guha! Adipati Martimpang cepat memutar tubuhnya dan berlari cepat ke lain jurusan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat pemuda itu sudah berdiri pula di depannya tanpa bicara hanya tersenyum saja. Dia bergidik ngeri, lalu timbul kenekatannya. Dia segera menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah dada pemuda itu. Pemuda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak.

"Wuuutt ... bukkk!" Pukulan itu tepat mengenai dada pemuda itu, akan tetapi pemuda itu tidak bergoyang sedikitpun juga. Sebaliknya, Adipati Martimpang menahan teriakannya karena tangan kanan yang memukul itu seperti remuk rasanya, seolah dia memukul sebuah dinding baja. Dia hanya dapat memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kirinya dan mendesis-desis menahan rasa nyeri.

"Kanjeng Adipati, mari kita kembali ke guha." kata pemuda itu dengan suara yang lemah lembut.

Adipati Martimpang maklum bahwa dia menghadapi seorang yang bahkan lebih sakti dari pada Retno Wilis, maka diapun tidak banyak membantah, seperti seekor domba dituntun dia mengikuti pemuda itu kembali ke tempat tadi. Retno Wilis keluar dari dalam guha dan di bawah sinar matahari yang hampir tenggelam, sang adipati memandang dengan bengong! Dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Sukar untuk dapat percaya bahwa dara secantik ini dapat menjadi seorang yang amat sakti!

"Kanjeng Adipati Martimpang, sekarang andika harus mengawal kami sampai menyeberang ke daratan sana. Mari, kakangmas Bagus, kita tinggalkan pulau ini."

Mereka bertiga lalu keluar dari dalam hutan itu. Dari jauh tampak banyak perajurit, dipimpin oleh lima orang senopati dengan senjata lengkap seperti hendak maju perang. Akan tetapi mereka hanya berani mengawasi dari jauh saja. Ketika tiga orang itu berjalan menuju keselatan, merekapun hanya berani membayangi dari jauh. Demikian pula, ketika Retno Wilis memaksa Adipati Martimpang mencarikan sebuah perahu dan mereka bertiga dengan naik perahu menyeberang ke daratan, para senopati Nusabarung juga sibuk mencari perahu dan membayangi dari jarak jauh.

Retno Wilis cukup cerdik untuk tidak melepaskan sang adipati ketika ia telah memperoleh perahu. Kalau begitu halnya, tentu anak buah Nusabarung itu akan beramai-ramai mengejar dengan perahu dan kalau sampai mereka tersusul, celakalah ia dan kakaknya. Kalau perahu mereka digulingkan, mereka akan tidak berdaya berada dalam air sehingga akhirnya tentu dapat tertangkap atau terbunuh. Baru setelah tiba di pantai daratan, Retno Wilis berkata kepada Adipati Martimpang.

"Sekarang kami bebaskan andika, Adipati Martimpang. Aku hanya berpesan agar andika tidak menjodohkan puterimu dengan orang-orang kasar dan sombong seperti Kalinggo. Kasihan sekali sang puteri kalau terjatuh ke tangan orang-orang seperti itu. Nah, selamat tinggal!" Retno Wilis lalu pergi bersama kakaknya.

Adipati Martimpang hanya dapat memandang kepada dua bayangan putih itu yang menuju ke timur, perlahan-lahan ditelan kegelapan malam. Ketika orang-orangnya mendarat, Adipati Martimpang tidak menyuruh mereka melakukan pengejaran, melainkan memerintahkan mereka kembali ke pulau Nusabarung.

**** 012 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 013 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment