Ads

Friday, May 10, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 022

**** BACK ****

"Baik, kami percaya kepadamu!" kata Retno Wilis dan gadis ini lalu menyarungkan kembali pedangnya. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan banyak orang.

"Tangkap maling!"

"Tangkap penjahat!"

Kurang lebih duapuluh orang perajurit mengepung tempat itu dengan senjata di tangan. Melihat ini, Retno Wilis dan Harjadenta sudah siap pula untuk menyambut pengeroyokan mereka. Akan tetapi Ki Demang Kebolinggo sudah melompat ke depan dan mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu berseru,

"Tahan ... ! Jangan kalian salah paham. Kedua orang ini bukan maling bukan pula penjahat, mereka adalah sahabat-sahabatku yang datang berkunjung padaku."

Tentu saja para perajurit itu terkejut dan surut.
"Pergilah kalian dan jangan ganggu kami!" kata pula Ki Demang Kebolinggo dan semua perajurit lalu pergi. Tentu saja mereka semua merasa heran karena tadi ada seorang penjaga yang melihat atasannya itu berkelahi, dan kalau kedua orang itu benar sahabat yang datang bertamu, mengapa mereka tahu-tahu telah berada di dalam? Dari mana mereka lewat? Akan tetapi karena Ki Demang Kebolinggo sendiri yang melarang mereka, tentu saja mereka tidak berani membantah dan tidak berani pula banyak bertanya.

Retno Wilis mengangguk-angguk senang.
"Melihat sikapmu ini, kami percaya bahwa andika tentu akan memegang teguh janji untuk mengadakan pemeriksaan dan melarang perbuatan cabul yang merusak para muda."

"Percayalah, karena aku sendiri tidak suka akan kejahatan." kata Ki Demang Kebolinggo dengan suara mantap.

"Kalau begitu, kami sekarang hendak pergi. Selamat tinggal, Ki Demang!" Sekali melompat, Retno Wilis telah lenyap dari depan demang itu, disusul Harjadenta yang sekali lompat sudah menghilang ditelan kegelapan.

Ki Demang Kebolinggo menghela napas panjang. Dia tahu bahwa dua orang muda itu adalah orang-orang gagah perkasa untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, orang-orang yang memiliki kesaktian. Akan tetapi dia juga sudah mendengar bahwa para pimpinan agama baru itu merupakan orang-orang sakti pula. Dia menjadi serba salah. Akan tetapi di dalam hatinya, dia sudah mengambil keputusan untuk membujuk para anggauta dan pimpinan agama baru itu agar tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan. Kalau perlu dia akan melaporkan kepada Adipati di Nusabarung.

Dua orang muda itu berjalan berdampingan di bawah sinar bulan yang masih terang. Beberapa kali Harjadenta ingin membuka mulut bicara, akan tetapi dibatalkannya. Begitu sukar dia bicara setelah berdampingan dengan Retno Wilis. Semua kata-kata yang telah disusunnya semenjak dia bertemu dengan gadis perkasa itu, seolah runtuh semua dan dia tidak tahu harus bicara dari mana dan bagaimana.

"Andika diam saja sejak tadi. Ada apakah, kakangmas Harjadenta?" akhirnya Retno Wilis yang bertanya. Mereka sedang berjalan kembali ke pondokan Mbok Rondo Gati.

"Ah, aku ... aku mengenang kembali peristiwa di candi itu, diajeng. Kalau tidak ada engkau dan kakangmas Bagus Seto,entah bagaimana jadinya dengan diriku."

Retno Wilis tersenyum.
"Engkau tentu akan jadi pengikut dan teman yang baik sekali dari Ni Dewi Durgomala." Ia menggoda.

"Ihhh! Amit-amit! Aku tentu akan mencari jalan untuk membunuh perempuan iblis itu!" kata Harjadenta dengan marah.

"Kenapa? Ia cantik sekali." kembali Retno Wilis menggoda.

"Aku benci sekali pada perempuan itu. Ia telah mencuri pusaka guruku, dan ia seorang wanita tak tahu malu."

"Engkau tentu tidak mau mengkhianati gadis yang menjadi tunanganmu, bukan?"

"Wah, diajeng, aku tidak mempunyai tunangan!"

"Akan tetapi engkau tentu telah mempunyai gadis pilihan hati yang menjadi kekasihmu." Retno Wilis berkata dengan lugu dan terus terang.

"Sungguh mati aku tidak mempunyai kekasih. Dan tentang gadis pilihan hati, memang ada, akan tetapi aku tidak berani mengakuinya."

"Eh, kenapa kakangmas?"

"Aku merasa rendah diri. Aku, seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan bodoh, sungguh tidak berhak dan tidak pantas mencintai seorang dara seperti itu. Pantasnya ia menjadi jodoh seorang pangeran atau seorang pria yang benar-benar sepadan dengan dirinya."

Retno Wilis berhenti melangkah.
"Hemm, apakah gadis pilihan hatimu itu seorang puteri istana, kakangmas?"

"Lebih dari sekedar puteri istana biasa."

Retno Wilis mengerutkan alisnya.
"Kalau begitu ia tentu puteri kahyangan?"

"Juga lebih dari sekedar puteri kahyangan. Ia seorang dara yang tiada cacat, seorang wanita yang sempurna, baik keelokan lahirnya maupun batinnya. Ia cantik jelita, gagah perkasa, bijaksana dan budi pekertinya seperti dewi. Ia tiada keduanya di dunia ini ... "

"Huh, wanita seperti itu hanya terdapat dalam angan-anganmu saja, kakangmas, bukan seorang manusia dari darah daging!" Retno Wilis merasa penasaran sekali.

"Tidak diajeng. Ia seorang manusia seperti juga kita, hanya ia manusia pilihan."

"Hemm, ingin aku bertemu dengan wanita seperti itu. Di mana ia berada? Di awang-awang? Atau di antara bintang-bintang?" Retno Wilis mengejek.

"Kalau dibilang jauh, ia jauh sekali, di luar jangkauanku, akan tetapi kalau dibilang dekat, ia dekat sekali berada di hadapanku." kata Harjadenta dengan jantung berdebar tegang karena dia sudah membuka rahasia hatinya dan merasa takut kalau-kalau Retno Wilis akan marah.

"Ehh ... ?" Retno Wilis memandang tajam dan mukanya berubah merah, bukan karena marah melainkan karena jengah, "Kau ... kau maksudkan diriku?"

Harjadenta merasa kedua kakinya lemas tak bertenaga dan dia menjatuhkan dirinya berlutut.
"Ampunkan aku, diajeng ... tidak semestinya aku bersikap lancang, aku tahu betapa tidak pantasnya bagi seorang seperti aku mencintaimu, akan tetapi itulah kenyataannya. Kalau engkau marah nah, makilah aku, pukullah aku ... "

Retno Wilis membalikkan tubuhnya membelakangi pemuda itu.
"Kakang Harjadenta, kuminta jangan sekali-kali engkau membicarakan tentang hal ini lagi kepadaku. Aku tidak menyalahkanmu, akan tetapi aku ... sama sekali aku tidak mempunyai pikiran tentang cinta." Setelah berkata demikian, gadis itu berlari cepat meninggalkan pemuda itu.

Harjadenta menghela napas panjang, merasa tidak enak hati, akan tetapi juga lega karena sudah mengeluarkan isi hatinya. Dan memang tidak mengharapkan bahwa cintanya akan diterima oleh Retno Wilis. Dia merasa bahwa dirinya tidak berharga untuk mempersunting bunga yang amat mulia itu. Retno Wilis puteri Patih Panjalu, ia seorang wanita yang sakti mandraguna, namanya terkenal sekali. Sedangkan dia hanya seorang pemuda yatim piatu yang miskin, keturunan orang tua dari dusun, sungguh ibarat burung dia hanya seekor burung gagak dan Retno Wilis adalah seekor burung merak yang amat indah!

Dengan lemas diapun bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju ke pondokan Mbok Rondo Gati. Setibanya di rumah sederhana itu, dia mendengar berita yang mengejutkan. Para tetangga berkumpul di rumah itu dan ternyata Mbok Rondo Gati telah mati menggantung diri setelah mendapat kenyataan bahwa kedua orang anaknya mati dan hanyut di Kali Mayang. Agaknya ia tidak lagi dapat menahan kesedihan hatinya. Ia hanya memiliki kedua orang anaknya itu, dan kini mereka telah mati dalam keadaan amat menyedihkan, mayat mereka hanyut di Kali Mayang dan tidak dapat ditemukan. Saking sedihnya, setelah tiga orang muda yang menjadi tamunya pergi, ia lalu menggunakan sabuk pinggangnya untuk menggantung diri sampai mati!

Ketika Bagus Seto yang tidak ikut Retno Wilis dan Harjadenta pergi ke rumah Ki Demang, tiba di rumah pondokan itu, dia mendapatkan Mbok Rondo Gati sudah tewas dan tergantung di ruangan belakang. Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat menurunkan tubuh Mbok Rondo Gati dari gantungan, namun wanita tua itu telah tewas. Bagus Seto lalu memberitahu para tetangga yang berdatangan melayat. Retno Wilis yang mendahului Harjadenta pulang ke pondokan, terkejut mendengar akan kematian Mbok Rondo Gati. Akan tetapi ia mengerti. Memang wanita itu hanya akan menderita sengsara dalam hidupnya, tanpa kedua orang anaknya yang dicintainya. Kalau ia hidup terus, tentu setiap hari ia hanya akan menangisi kematian kedua orang anaknya.

Harjadenta merasa heran sekali dan juga terkejut mendengar akan kematian Mbok Rondo Gati.
"Apa yang telah terjadi?” tanyanya kepada Bagus Seto.

"Ia menggantung diri, tidak dapat menahan kesedihan hatinya mendengar kedua anaknya telah mati." jawab Bagus Seto singkat.

"Ah, kenapa ia melakukan hal ini? Kenapa ia memilih mati menggantung diri?" tanya Harjadenta yang merasa kasihan kepada janda itu.

"Ia menderita sekali dengan kematian kedua anaknya dan agaknya ia hendak mengakhiri kedukaannya itu dengan membunuh diri," kata Retno Wilis.

"Hemm, apakah dengan cara membunuh diri orang akan dapat melepaskan diri dari kedukaan? Apakah kedukaan itu terpisah dari dirinya? Kedukaan adalah ulah hati akal pikiran dan akan mengikuti orang sampai kepada kematiannya sekalipun." kata Bagus Seto lirih, seperti kepada diri sendiri.

"Akan tetapi, apa yang meyebabkan ia melakukan perbuatan nekat itu, kakangmas Bagus Seto?" Tanya Harjadenta.

"Karena kedukaan menggelapkan hati akal pikirannya. Kemilikan mendatangkan kemelekatan, dan inilah yang menjadi akar dari kedukaan. Memiliki sesuatu, baik yang dimilikinya itu berupa harta, kedudukan, atau anak, menimbulkan kemelekatan dan kalau sudah melekat, sekali dipisahkan tentu akan menimbulkan luka dihati. Padahal, memiliki tidak akan lepas dan pada perpisahan dengan yang dimilikinya. Akan tiba saatnya dia harus meninggalkan atau ditinggalkan oleh yang dimiliki, dan kalau hal ini terjadi, timbullah duka yang menggelapkan hati akal pikiran. Karena itu, orang yang bijaksana boleh mempunyai namun tidak memiliki."

"Nanti dulu, kakang! Di sini aku menjadi bingung. Apa bedanya mempunyai dan memiliki?"

"Yang kumaksudkan, mempunyai itu hanya lahiriah saja. Aku mempunyai harta, aku mempunyai kedudukan, aku mempunyai anak. Mempunyai ini hanya lahiriah dan kita bersikap dan berbuat sesuatu terhadap apa yang kita punyai secara wajar dan sesuai dengan kewajiban kita. Akan tetapi tidak memiliki, karena memiliki ini berarti melekatkan yang kita punyai itu ke dalam batin, menjadi satu dengan kita, dan kemilikan itu menguasai diri kita lahir batin. Mempunyai itu dengan kesadaran bahwa yang dipunyai itu hanyalah titipan saja, bukan miliknya. Yang memiliki hanya Hyang Widhi, dan kita ini hanya dititipi saja. Kita harus menjaga sebaiknya apa yang dititipkan kepadakita, dan kita harus rela apabila yang dititipkan kepada kita itu sewaktu-waktu diambil kembali oleh yang menitipkan, diambil kembali oleh Yang Memiliki."

"Hebat, kakangmas Bagus Seto! Keteranganmu sungguh amat jelas dan gamblang. Akan tetapi, apakah hal itu akan dapat meringankan penderitaan batin orang yang sedang berduka? Dapatkah kita melawan duka?" tanya Harjadenta.

"Duka timbul dari akal pikiran yang mengenang masa lalu. Kita teringat akan masa lalu yang penuh kesenangan, maka setelah kita dipisahkan dari kesenangan ini, timbullah iba diri yang menjadikan duka. Kalau kita senantiasa memandang saat ini, tidak mengenang masa lalu, maka segala apapun yang telah terjadi kita sadari bahwa hal ituudah dikehendaki Hyang Widhi dan tidak mungkin dapat diubah pula. Dengan kesadaran seperti itu, hanya memandang saat ini, kita akan menghadapi segala sesuatu dengan tabah dan semua ingatan ditujukan untuk menanggulangi keadaan saat ini. Iba diritiada kesempatan untuk masuk ke dalam batin dan kita terhindar dari kedukaan yang berlarut-larut sehingga sampai membunuh diri seperti halnya Mbok Rondo Gati."

"Kalau begitu, kematian Mbok Rondo Gati ini juga sudah menjadi kehendak Hyang Widhi, kakangmas?" tanya Retno Wilis dengan nada membantah.

"Tentu saja. Apa lagi soal mati dan hidup, semua berada sepenuhnya di tangan Hyang Widhi. Akan tetapi yang kita persoalkan bukan kematiannya yang sudah sewajarnya begitu, melainkan cara kematian itu terjadi. Cara yang ditempuh Mbok Rondo Gati bukan cara yang benar dan hanya akah menjadi beban keadaannya sesudah mati. Kita harus selalu waspada terhadap daya-daya rendah yang akan menjerumuskan kita ke dalam kesesatan."

"Apakah daya-daya rendah itu, kakang?" tanya Retno Wilis.

"Daya-daya rendah adalah setan-setan nafsu yang selalu mengejar kesenangan dan kepuasan melalui badan danpikiran kita, tidak lagi memperdulikan caranya mengejar, pokoknya asal bisa mendapatkan yang diinginkan untuk memuaskan dan menyenangkan diri. Karena pengejaran tanpa pantangan itulah maka kita terseret melakukan hal-hal tercela demi mendapatkan kepuasan dan kesenangan. Dan bekerjanya nafsu menyeret kita tidak berhenti sampai terlaksana dan tercapainya yang kita kejar, karena setelah tercapai, nafsu mendorong kita untuk mengejar lain kesenangan lagi yang dianggap lebih menyenangkan dari pada yang kita peroleh. Maka, terjadilah lingkaran setan di mana kita dipermainkan tiada hentinya, terseret melakukan perbuatan tercela demi tercapainya yang kita kejar."

"Wah, jahat sekali kalau begitu. Nafsu merupakan musuh pribadi yang harus dihancurkan dan dimatikan!" kata Retno Wilis.

"Keliru pendapat itu, diajeng Retno Wilis," kata Bagus Seto. "Nafsu tidak mungkin kita matikan karena tanpa adanya nafsu, kita tidak dapat hidup. Nafsu telah ada semenjak kita lahir, menjadi peserta kita yang amat berguna bagi kelangsungan hidup. Nafsu yang membuat kita enak makan, melihat dan merasakan keindahan, mendengarkan kemerduan, bahkan nafsu pula yang menjadi sarana perkembang biakan manusia. Kita tidak dapat membunuh nafsu karena nafsu merupakan peserta penting."

"Menjadi peserta penting akan tetapi juga menjadi penggoda yang amat berbahaya?" tanya Harjadenta.

"Benar sekali. Nafsu menjadi peserta penting kalau dia berfungsi tetap sebagai peserta atau sebagai pembantu yang baik. Akan tetapi jangan biarkan dia merajalela, kalau dia merajalela dan dari pembantu berubah menjadi majikan dan kita menjadi pembantunya, celakalah kita yang akan diseret ke dalam perbuatan jahat."

"Semua keteranganmu sudah jelas, kakangmas Bagus Seto dan aku berterima kasih sekali mendapat penerangan darimu. Kesimpulannya, kalau aku tidak salah, kitaharus dapat mengendalikan nafsu sehingga dia akan tetap menjadi hamba kita. Bukankah demikian?"

"Benar, dimas. Akan tetapi mengendalikan nafsu itu lebih mudah dikatakan dari pada dikerjakan. Nafsu telah menyusup ke dalam diri kita, sampai ke hati akal pikiran, sehingga rasanya tidak mungkin bagi manusia biasa seperti kita untuk dapat mengendalikan nafsu."

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, kakang? Nafsu pembantu penting akan tetapi juga penyeret yang jahat, dan kita tidak dapat mengendalikannya. Lalu bagaimana? Engkau membuat kita tidak berdaya!”

"Memang manusia mahluk lemah dan tidak berdaya, adikku! Baik sekali kalau dapat menyadari akan kelemahan kita ini. Akan tetapi engkau lupa, diajeng. Di dalam ketidakberdayaan kita, ada satu Kekuasaan yang mutlak, Kekuasaan yang Satu dan hanya Kekuasaan itulah yang akan dapat mengembalikan nafsu kita pada tempat semula, yaitu menjadi pembantu yang baik. Kekuasaan Mutlak itu bukan lain adalah Ke kuasaan Hyang Widhi. Kita sendiri tidak berdaya akan tetapi kita dapat menyerahkan diri kepada Hyang Widhi, mohon bimbingannya dengan penuh kepercayaan, keikhlasan dan penyerahan. Kalau Hyang Widhi sudah berkenan menjamah kita dengan sentuhan suci dari TanganNya, tidak ada hal yang tidak mungkin."

"Aduh, kakangmas Bagus Seto. Terima kasih, terima kasih atas segala petunjukmu. Hatiku lega sekarang dan makin menguatkan batinku untuk menyerahkan diri ke Tangan Hyang Widhi sebagai dasar dari segala ikhtiar kita."

"Benar, adimas. Kalau sudah menyerah kepada Hyang Widhi, bukan berarti kita lalu menganggur dan segalanya terserah kepada Hyang Widhi. Itu pandangan keliru. Kita sudah diberi kelengkapan tubuh yang sempurna, maka kita harus mempergunakan setiap anggauta tubuh sesuai dengan fungsinya. Hanya saja, segala ikhtiar itu harus dilandaskan kepasrahan dan penyerahan tadi, sehingga apapun hasil dari ikhtiar kita, akan kita terima dengan ikhlas."

Semalam itu mereka tidak tidur, hanya berbincang-bincang di sudut ruangan itu. Pada keesokan harinya, jenazah Mbok Rondo Gati dikuburkan orang dan setelah selesai pemakanan, tiga orang muda itu lalu berpamit dari para tetangga dan meninggalkan kota Bulumanik. Mereka berjalan bersama menuju ke Kali Mayang. Matahari telah naik tinggi dan setelah tiba di tempat di mana mereka menambatkan perahu mereka, Bagus Seto berkata kepada Harjadenta.

"Adimas Harjadenta, sekarang kita harus berpisah. Engkau kembalilah ke Gunung Raung untuk menyerahkan pusaka Ki Carubuk kepada gurumu, dan kami akan melanjutkan perantauan kami ke timur."

Harjadenta mengerutkan alisnya, memandang kepada Bagus Seto lalu kepada Retno Wilis, dan berkata,
"Sesungguhnya aku ingin sekali dapat pergi merantau bersama kalian untuk meluaskan pengalaman, kakangmas Bagus Seto. Aku merasa bertemu dengan guru-guru baru yang membuka kedua mataku melihat kenyataan hidup dan aku ingin banyak belajar dari kalian."

Bagus Seto tersenyum dan memegang pundak Harjadenta.
"Ada waktunya kelak kita dapat bertemu kembali, adimas Harjadenta. Akan tetapi pesan gurumu itu harus kauselesaikan dulu, keris pusaka gurumu itu harus kaukembalikan dulu kepada gurumu, dan setelah urusan itu selesai, engkau dapat saja merantau seorang diri. Perbekalanmu sudah lebih dari cukup. Engkau bijaksana dan cukup tangguh untuk menjaga diri sendiri. Nah, sampai jumpa, adimas." Setelah berkata demikian, Bagus Seto berjalan menyusuri Kali Mayang menuju ke selatan.

Harjadenta menggunakan kesempatan selagi berdua dengan Retno Wilis untuk berkata,
"Diajeng, sekali lagi maafkanlah kelancanganku kepadamu semalam."

"Engkau tidak bersalah, kakangmas. Sudah menjadi hakmu untuk mencintai siapa saja termasuk aku. Akan tetapi aku sendiri belum berpikir tentang cinta. Engkau akan kukenang sebagai seorang sahabatku yang baik. Selamat tinggal!" Retno Wilis melompat dan mengejar kakaknya.

Harjadenta mengikuti mereka dengan pandang matanya sampai mereka itu lenyap dari pandangannya. Dia menghela napas panjang, tiba-tiba saja merasa betapa hidupnya sepi dan kosong. Kembali dia menghela napas, kemudian mendorong perahunya ke sungai dan menaiki perahunya, mendayung ke hulu untuk kembali ke pegunungan Raung.

**** 022 ****

*** Sepasang Garuda Putih Jilid 023 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment