Ads

Friday, June 14, 2013

Sepasang Garuda Putih Jilid 041

**** BACK ****

Mempersilakan lawan memilih senjata adalah sikap yang gagah dan ini diperlihatkan Wasi Shiwamurti untuk menutupi rasa malunya karena dua kali serangan ilmu sihirnya dapat digagalkan lawan. Akan tetapi sekali inipun dia kecelik karena Bagus Seto tersenyum dan berkata dengan sikap tenang dan lembut.

"Paman Wasi Shiwamurti, sejak tadi aku sudah memegang senjataku. Inilah senjataku!" Dia memperlihatkan kain pengikat rambut di tangan kanan kanan dan bunga cempaka putih di tangan kiri.

Wajah Wasi Shiwamurti menjadi merah sekali sampai ke lehernya. Diam-diam dia merasa terkejut dan juga penasaran. Terkejut karena dia maklum bahwa kalau orang berani bersenjatakan benda-benda lemah seperti kain dan bunga cempaka, orang itu pasti memiliki kesaktian tinggi, dan dia merasa penasaran karena dengan memegang senjata remeh macam itu, pemuda itu seolah memandang rendah kepadanya! Akan tetapi kemarahan lebih menguasai hatinya dan dia segera memutar tongkatnya sehingga tongkat itu melintang di depan dadanya.

"Bagus! Sambutlah keampuhan tongkat kepala nagaku!"

Dan dia sudah menyerang dengan dahsyat sekali. Retno Wilis sendiri sampai mengerutkan alisnya karena darisam baran angin serangan itu saja maklumlah dara perkasa ini betapa sakti orang itu dan betapa dahsyat dan berbahaya tongkatnya. Namun Bagus Seto bergerak sedemikian ringannya seolah tubuhnya berubah menjadi asap dan sambaran tongkat yang bertubi-tubi itu tidak pernah dapat mengenai tubuhnya. Ketika Retno Wilis sedang memandang dengan mata tidak pernah berkedip dan dengan hati tegang, tiba-tiba terdengar orang bicara di dekatnya.

"Diajeng Retno Wilis, kakakmu ini sungguh seorang yang sakti mandraguna. Juga seorang yang bijaksana. Aku kagum sekali kepadanya."

Senang hati Retno Wilis mendengar pujian itu dan merasa bangga, walaupun kekhawatiran masih menyelinap di hatinya karena ia maklum benar bahwa sekali ini kakaknya menghadapi seorang lawan yang teramat sakti.

"Akan tetapi lawannya juga seorang yang sakti mandraguna, kakang. Aku khawatir...."

"Ingat, diajeng. Kita harus pasrah kepada kekuasaan Hyang Widhi. Aku yakin, karena kakangmas Bagus Seto berada di pihak benar, maka dia tidak akan terancam bahaya. Soal kalah menang bukan yang terpenting, akan tetapi yang lebih baik dia selalu berada daiam lindungan kekuasaan Sang Hyang Widhi."

Entah mengapa, setelah mendengar suara dan kata-kata Jayawijaya ini, hati Retno Wilis menjadi tenteram dan timbul pula keyakinan dalam hatinya bahwa kakaknya akan terlindung kekuasaan Hyang Widhi seperti yang dikatakan Jayawijaya.

Sementara itu, pertarungan antara Wasi Shiwamurti dan Bagus Seto masih berlangsung dengan serunya. Tampak sekali perbedaan dalam sepak terjang kedua orang sakti mandraguna itu. Kalau tongkat kepala naga di tangan Wasi Shiwamurti menyambar-nyambar ganas dan merupakan tangan maut yang haus darah, setiap serangannya dimaksudkan untuk membunuh, sebaliknya Bagus Seto hanya berusaha menghindarkan diri dan kalau sewaktu-waktu kain pengikat rambutnya membalas serangan, maka serangan itu hanya untuk menotok jalan darah dan untuk melumpuhkan saja, tidak ada niat untuk membunuh.

Akan tetapi sikap mengalah dari Bagus Seto ini merugikan dirinya sendiri dan dengan sendirinya gerakan tongkat Wasi Shiwamurti menjadi semakin ganas sehingga Bagus Seto terdesak hebat. Tiba-tiba Shiwa-murti mengeluarkan suara gerengan panjang. Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung mereka yang menonton dan mereka cepat-cepat mengerahkan tenaga batin untuk menahan jantung mereka dari guncangan yang .akan mendatangkan luka dalam. Akan tetapi, bersamaan dengan getaran hebat itu, gerakan tongkat sang wasi menjadi semakin hebat pula. Ujung tongkatnya tergetar-getar menjadi banyak dan ujung tongkat itu menyerang secara bertubi-tubi ke arah tubuh Bagus Seto.

Menghadapi serangan dahsyat dan ganas ini, tiba-tiba tubuh Bagus Seto mumbul ke atas. Tongkat itu mengejarnya pada saat tubuh pemuda itu masih berada di atas, akan tetapi sungguh hebat. Tubuh itu dapat mengelak seolah burung yang sedang terbang saja, atau tubuh itu seolah telah menjadi asap atau uap. Inilah aji kesaktian yang disebut Mego Gemulung, yang membuat tubuh Bagus Seto laksana awan mendung yang berarak di angkasa, serangan tongkat yang bertubi-tubi tidak pernah dapat menyentuhnya. Dengan sedikit elakan saja semua serangan itu luput dan kadang-kadang ujung tongkat dikebut kain pengikat rambut sehingga menyeleweng tusukannya. Tubuh Bagus seto bergerak-gerak di udara seperti seekor kupu-kupu!

Pada saat itu terdengar suara gemuruh dan dari jauh tampak datang ratusan orang perajurit Blambangan. Hal ini memang telah diatur sebelumnya oleh Wasi Shiwamurti. Setelah tadi melihat bahwa pihaknya kalah tiga dua melawan pihak Retno Wilis, sebelum dia sendiri maju sebagai jago terakhir, dia telah membisiki Senopati Kurdolangit untuk mendatangkan bala bantuan pasukan untuk mengepung dan menangkap enam orang itu.

Melihat datangnya demikian banyak perajurit dan melihat pula betapa belasan orang perajurit yang berada di situ mulai mengepung mereka, pihak Retno Wilis menjadi terkejut sekali. juga Bagus Seto melihat ini maka dia melayang turun. Ketika tongkat kepala naga menyambar ke arahnya, dia menangkis dengan kain pengikat kepala yang melibat tongkat itu sehingga tongkat itu tidak mampu digerakkan lagi. Bagus Seto menyimpan bunga cempaka dan pada saat itu, Wasi Shiwamurti menghantamnya dengan tangan kiri yang terbuka. Pukulan ini dahsyat sekali mengandung hawa sakti yang amat kuat. Melihat ini, Bagus Seto juga mendorongkan telapak tangan kirinya menyambut.

"Blarrrr.......;.!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Wasi Shiwamurti terhuyung ke belakang dan tongkatnya terlepas dari libatan kain pengikat kepala yang dipegang Bagus Seto.

Pada saat itu, Endang Patibroto yang melihat datangnya pasukan, segera berteriak kepada putera puterinya.

"Bagus! Retno! Cepat lari .........! Mereka curang, mendatangkan pasukan. Lari!"

Retno Wilis menyambar pergelangan tangan kiri Jayawijaya dan mengajaknya lari dari tempat itu. Harjadenta dan Jarot juga melihat bahaya, maka merekapun melompat dan merobohkan perajurit yang berani menghalangi mereka, lalu melarikan diri. Endang Patibroto menggerakkan kaki tangannya dan empat orang perajurit pengepung berpelantingan dan tidak ada lagi yang berani menghalangi wanita ini lari. Demikian pula Retno Wilis. Biarpun sebelah tangannya ia menarik tangan Jayawijaya, namun dengan kaki dan tangan kirinya ia merobohkan dua orang perajurit lalu berlari cepat sambil menarik Jayawijaya. Bagus Seto sendiri juga melompat dan lari paling belakang untuk melindungi yang lari di depannya.

Pasukan itu telah datang dan dua orang senopati, Rajah Beling dan Kurdolangit, segera mengerahkan mereka untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi Wasi Shiwamurti dan para pembantunya tidak melakukan pengejaran. Sebetulnya para pembantu itu melihat Wasi Shiwamurti tidak melakukan pengejaran, merekapun tidak berani mengejar karena mereka merasa jerih terhadap Endang Patibroto, Retno Wilis, dan terutama Bagus Seto. Wasi Shiwamurti sendiri tidak melakukan pengejaran karena merasa malu kalau harus ikut mengeroyok. Diapun maklum dari pertemuan tenaganya dengan tenaga Bagus Seto tadi bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda luar biasa itu.

Enam orang itu melarikan diri dengan cepat sekali sehingga pengejaran pasukan Blambangan itu menjadi sia-sia. Mereka tertinggal jauh. Setelah tiba di luar batas Blambangan, baru mereka berhenti berlari. Endang Patibroto lalu berkata kepada kedua orang putera putrinya.

”Bagus Seto dan engkau Retno Wilis, aku sudah mendengar bahwa kalian sudah melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan sekarang juga berada di daerah Blambangan. Kita semua sudah tahu belaka bahwa Blambangan dan Nusabarung telah mengadakan persiapan untuk memberontak terhadap Jenggala. Selain itu juga mereka mendatangkan pendeta-pendeta dari Cola yang menyebarkan agama sesat kepada rakyat jelata dengan paksaan. Semua ini sudah cukup untuk dijadikan laporan kepada Sang Prabu di Panjalu. Oleh karena itu, mari kita pulang ke Panjalu melapor kepada ayah kalian."

"Kanjeng Ibu, saya menduga bahwa setelah mendengar laporan ini, Panjalu dan Jenggala tentu akan mengirim pasukan untuk menundukkan Nusabarung dan Blambangan. Akan terjadi perang dan kalau sudah begitu, saya tidak suka terlibat dalam perang."

"Aku juga tidak suka ikut berperang," kata Retno Wilis dan pernyataan puterinya ini mengherankan hati Endang Patibroto.

Biasanya, puterinya ini adalah seorang yang suka berperang dan merobohkan sebanyak mungkin musuh. Sekarang ia menyatakan tidak suka ikut berperang. Ia tahu bahwa tentu puterinya sedikit banyak telah terpengaruh kakaknya yang biarpun amat sakti namun tidak suka akan kekerasan.

"Urusan perang adalah urusan ayah kalian. Kalian tidak perlu mencampuri. Akan tetapi keadaan di Nusabarung dan Blambangan harus dilaporkan karena kalau dibiarkan saja, dapat membahayakan Panjalu dan Jenggala. Marilah kita pulang dan melaporkan kepada ayah kalian agar ayah kalian dapat melapor kepada Sang Prabu dan dapat diambil tindakan terhadap Nusabarung dan Blambangan sebelum terlambat," kata Endang Patibroto.

Retno Wilis menoleh dan memandang kepada Bagus Seto seolah hendak minta keputusan dari kakaknya itu. Bagus Seto mengangguk dan berkata kepada adiknya,

"Diajeng, sudah semestinya kalau kita menuruti kata-kata kanjeng ibu dan kembali ke Panjalu menghadap kanjeng romo."

"Kalau begitu, marilah kita segera pergi sebelum mereka mengejar sampai di sini Anakmas Jayawijaya, anakmas Harjadenta, dan anakmas Jarot, kami bertiga hendak kembali ke Panjalu. Andika bertiga hendak ke mana?"

"Saya akan pulang ke kadipaten Pasisiran, melapor kepada kanjeng romo agar mengadakan persiapan dan kalau tiba saatnya kami akan membantu gerakan pasukan Panjalu dan Jenggala," kata jarot. "Setelah Nusabarung dan Blambangan dapat ditundukkan, barulah saya akan pergi ke Panjalu dan mengunjungi keluarga kanjeng bibi."

"Baik sekali anakmas Jarot. Bantuan dari Pasisiran tentu akan sangat berguna bagi kami. Dan Andika, anakmas Harjadenta?"

Harjadenta memandang kepada Retno Wilis.
"Sayapun ingin sekali berkunjung ke Panjalu menyambung persahabatan saya dengan kakangmas Bagus Seto dan diajeng Retno Wilis, akan tetapi tentu saja saya akan menunggu sampai akhirnya perang terhadap Nusabarung dan Blambangan yang memberontak. Sekarang saya akan pulang dulu ke Gunung Raung menghadap Eyang Empu Gandawijaya."

"Baiklah, kami tunggu kunjunganmu kelak, anakmas Harjadenta. Dan bagaimana dengan andika, anakmas Jayawijaya?"

Jayawijaya memandang kepada Retno Wilis. Rasanya berat untuk berpisah dari gadis itu, akan tetapi dia tersenyum dan memberi hormat kepada Endang Patibroto dan berkata,

"Kanjeng Bibi Endang Patibroto, saya telah mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan kanjeng bibi sekeluarga. Sekarang saya akan kembali ke Pegunungan Tengger menceritakan pengalaman saya kepada kanjeng room dan setelah keadaan damai saya akan mengajak kanjeng romo untuk berkunjung kepada kanjeng bibi sekeluarga."

"Jangan lupa aku selalu menunggu kunjunganmu, kakang Jaya," kata Retno tanpa malu-malu karena ucapannya ini sedikit banyak membuka rahasia hatinya terhadap pemuda itu.

Jarot mengerutkan alisnya dan memandang kepada Jayawijaya, akan tetapi Harjadenta menundukkan mukanya. Pemuda ini pernah menyatakan cintanya kepada Retno Wilis namun ditolak dengan halus oleh gadis itu dan diapun tahu diri, tidak berani lagi mengharapkan dara perkasa itu untuk menjadi jodohnya.

"Mari kita berpencar dan pergi dari sini sekarang juga, jangan sampai keburu mereka yang mengejar kita sampai di sini!" kata Endang Patibroto dan setelah saling memberi salam perpisahan, mereka semua meninggalkan tempat itu, mengambil jalan masing-masing.

**** 041 ****
*** Sepasang Garuda Putih Jilid 042 ***
**** BACK ****

No comments:

Post a Comment