Ads

Monday, September 10, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 008

◄◄◄◄ Kembali

Melihat Widarti datang, keduanya bangkit berdiri dan ternyata tenaga mereka telah pulih kembali.

"Widarti, engkau membocorkan rahasia Pangeran? Engkau mengkhianatinya?" tanya Sukarti sambil menatap wajah madunya dengan penuh selidik.

"Engkau diapakan olehnya, Widarti?" tanya Kenangasari sambil memandang dengan senyum mengejek.

"Aku sama sekali tidak mengkhianati pangeran, Mbakayu Sukarti. Dan akupun tidak diapa-apakan oleh Kakangmas Nurseta, Mbakayu Kenangasari." bantah Widarti.

"Ihh, siapa mau percaya? Dia telah memondongmu pergi, mau apa lagi kalau tidak begitu7 Engkau pasti sudah dianu, setidaknya satu kali!" ejek Kenangasari yang centil.

Merah wajah Widarti, ia marah bukan karena dirinya sendiri, melainkan marah karena merasa betapa Nurseta yang demikian baik dan bersih, seorang ksatria sejati, disamakan dengan laki-laki kebanyakan yang hidung belang dan mata keranjang!

"Mbakayu Kenangasari! Kakangmas Nurseta bukanlah seorang laki-laki macam itu!" teriaknya penasaran dan marah.

"Nah-nah, engkau membelanya mati-matian. Sudah jatuh cinta rupanya!" Kenangasari menggoda dengan hati curiga dan juga iri karena ia sendiri harus mengakui bahwa seorang pemuda yang demikian sakti mandraguna sungguh merupakan pria yang menggairahkan hatinya.

"Mbakayu Kenangasari! Engkau menuduh yang bukanbukan!" kembali Widarti berteriak untuk menyembunyikan perasaan hatinya yang terguncang karena dugaan Kenangasari itu memang tepat. Ia memang telah jatuh cinta kepada Nurseta.

"Sudahlah, jangan ribut!" Sukarti melerai dan mencela.

"Sekarang ceritakanlah apa maunya membawamu pergi dari sini tadi."

"Dia memang membujukku agar memberi tahu di mana Pangeran Hendratama berada, akan tetapi tentu saja aku tidak mau memberitahukannya. Akhirnya dia pergi meninggalkan aku dan aku lalu cepat kembali ke sini. Hanya itulah yang terjadi dan jangan menuduh yang bukan bukan! Bagaimanapun juga, aku harus mengakui bahwa Kakangmas Nurseta itu seorang laki-laki yang bijaksana dan sopan, sama sekali tidak menggangguku!"

"Sudahlah, mari kita susul Pangeran dan melapor kepadanya agar dia berhati-hati, jangan sampai dapat ditemukan pemuda yang sakti mandraguna itu." kata Sukarti dan tiga orang wanita ayu itu segera meninggalkan tempat itu.

Kita tinggalkan dulu Nurseta yang kehilangan keris pusaka Megatantra, dan mari kita menjenguk keadaan Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Sang Prabu Erlangga yang terkenal arif bijaksana. Pada suatu pagi, bukan hari persidangan menghadap raja, Sang Prabu Erlangga mengutus seorang perajurit pengawal dalam istana untuk pergi memanggil Ki Patih Narotama agar datang menghadap dengan segera.

Ki Patih Narotama yang sedang duduk seorang diri di gedung kepatihan tidak merasa heran menerima panggilan mendadak bukan pada hari paseban (menghadap raja) ini karena antara Sang Prabu Erlangga dan dia memiliki hubungan yang amat dekat. Bukan sekadar hubungan antara raja dan patihnya, melainkan lebih dari itu. Sebagai sahabat, juga sebagai saudara seperguruan yang memiliki ikatan batin yang jauh lebih dekat daripada saudara sekandung. Karena itu, diapun segera membereskan pakaian lalu cepat pergi ke istana raja dan langsung memasuki ruangan pustaka di mana Sang Prabu Erlangga biasanya bicara berdua dengannya.

Tepat seperti diduganya, ketika dia memasuki ruangan tertutup itu, dia melihat Sang Prabu Erlangga sudah duduk menantinya di atas sebuah kursi berukir indah. Ki Patih Narotama cepat maju berlutut dan memberi hormat dengan sembah.

"Ah, apa andika lupa akan kebiasaan kita, Kakang Narotama? Dalam pertemuan resmi, aku memang gustimu Sang Prabu Erlangga dan engkau pembantuku, Kakang Patih Narotama. Akan tetapi, dalam pertemuan tidak resmi, engkau adalah Kakang Narotama sahabat karibku dan aku bagimu adalah Adi Erlangga. Bangkit dan duduklah. Bicara begini tidak enak dan tidak leluasa." kata Sang Prabu Erlangga yang usianya sekitar dua puluh lima tahun dan tampak tampan, berkulit kuning bersih, berwajah cerah dan matanya bersinar tajam mencorong penuh wibawa.

Narotama menyembah lagi, lalu bangkit berdiri dan duduk di atas kursi di depan junjungannya. "Terima kasih dan ampunkan kelancanganku, gusti....."

"Lha! Andika mulai lagi. Bersikaplah biasa, kakang, agar kita dapat bicara dengan santai dan enak."

"Baiklah, Yayi Prabu. Perintah apakah gerangan yang hendak paduka berikan kepada hamba. Hamba siap melaksanakan semua perintah paduka dengan taruhan nyawa hamba."

Prabu Erlangga tertawa. Suara tawanya renyah dan sedap didengar. Dalam persidangan resmi, tentu saja dia tidak akan tertawa sebebas itu. Akan tetapi, bicara dengan Narotama dia merasa seperti bicara dengan keluarga sendiri.

"Ha-ha-ha, Kakang Narotama! Tidak perlu andika berjanji lagi karena aku sudah yakin sepenuhnya akan kesetiaanmu kepadaku. Untuk itu, aku tiada hentinya berterima kasih dalam hatiku kepadamu. Kakang Narotama, pernahkah andika mendengar akan nama Ki Nagakumala yang bertapa di Bukit Junggringslaka di pantai Laut Kidul?"

Narotama mengangguk-angguk. "Ki Nagakumala yang mengundurkan diri ke Bukit Junggringslaka itu adalah kakak dari Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman. Dia itukah yang paduka maksudkan?"

"Benar sekali, kakang. Ki Nagakumala adalah kakak Ratu Kerajaan Parang Siluman dan dia juga bekas suami Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman yang berada di sebelah timur Kerajaan Parang Siluman, dekat perbatasan Blambangan."

"Ada apakah dengan Ki Nagakumala, Yayi Prabu? Tampaknya dia kini tidak membuat gerakan apa-apa untuk menentang kita, tidak membantu Parang Siluman, juga tidak membantu Kerajaan Siluman dekat Blambangan."

"Begini, kakang. Kalau saja kita dapat mengulurkan tangan persaudaraan dengan Ki Nagakumala, maka melalui dia kiranya akan mudah membujuk Kerajaan Siluman dan juga Kerajaan Parang Siluman untuk berdamai sehingga berkuranglah daerah yang memusuhi kita."

"Akan tetapi bagaimana caranya, Yayi Prabu? Mohon petunjuk paduka."

"Pernahkah engkau mendengar bahwa Ki Nagakumala mempunyai dua orang keponakan perempuan yang juga menjadi murid-muridnya? Menurut laporan penyelidik, dua orang gadis keponakan Ki Nagakumala itu cantik jelita bagaikan dewi kahyangan! Nah, aku dapat memetik dua keuntungan kalau tugasmu berhasil baik, kakang. Yaitu mendapatkan dua orang selir cantik jelita dan sakti mandraguna, dan di samping itu, Ki Nagakumala dapat menjadi jembatan untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan dua orang ratu yang selama ini memusuhi kita."

Narotama mengangguk-angguk. Biarpun pada wajahnya tidak tampak sesuatu, namun dalam hatinya dia tertawa. Dia mengenal benar junjungannya ini. Seorang raja yang masih muda dan tampan, dan berjiwa romantis seperti watak Arjuna Perang dan memboyong puteri cantik, itu merupakan satu di antara kegemarannya. Walaupun demikian, tidak pernah raja ini menggunakan kekerasan untuk menundukkan wanita.

Biasanya, para wanita yang saling berebutan untuk dapat menjadi kekasih atau selirnya. Hal ini tidaklah mengherankan. Perawan mana (pada jaman itu) yang tidak rindu untuk menjadi kekasih Prabu Erlangga, raja yang masih belia, elok dan tampan, gagah perkasa dan sakti mandraguna di samping arif bijaksana pula itu?

"Bagaimana, kakang. Kenapa andika diam saja?" Narotama terkejut dan sadar dari lamunannya.

"Sendika dhawuh paduka, Yayi Prabu. Akan tetapi, bagaimana selanjutnya? Apa yang harus hamba lakukan?"

"Ah, apakah andika masih belum dapat menduga apa yang harus kaulakukan, kakang?"

Narotama tersenyum. "Apakah hamba harus mendatangi Ki Nagakumala dan mengajukan pinangan atas diri dua orang keponakan atau muridnya itu?"

Prabu Erlangga tertawa. "Ha-ha, aku mengira tadi kecerdikan andika sudah mulai berkurang. Ternyata andika masih cerdik dan tanggap seperti dulu, Kakang Narotama. Memang itulah yang kukehendaki. Kalau pinanganku d iterima, berarti aku mendapatkan dua orang gadis cantik sebagai selir dan pengawal pribadi, juga Ki Nagakumala dapat berjasa mendamaikan kita dengan dua orang ratu kerajaan kecil yang merongrong kita itu."

"Hamba mohon petunjuk, Yayi Prabu, bagaimana kalau pinangan ditolak Ki Nagakumala?"

Prabu Erlangga termenung dan mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya dan hitam. "Ditolak? Mungkinkah itu? Hemm, ya, mungkin saja ditolak. Nah, kalau ditolak, aku menyerahkan purba wasesanya sepenuhnya kepadamu, kakang. Andika boleh melakukan apa saja atas namaku dan sebagai wakilku. Sudah jelaskah, Kakang Narotama?"

"Sudah jelas bagi hamba, Yayi Prabu."

"Nah, kalau begitu berangkatlah sekarang juga. Andika boleh membawa pasukan sesukamu dan kubekali doa restuku semoga tugasmu berhasil baik."

"Terima kasih, Yayi prabu, hamba pamit undur."

Narotama lalu meninggalkan istana dan kembali ke gedung kepatihan, di mana isterinya, Listyarini, yang baru dinikahi setahun yang lalu dan belum mempunyai keturunan, menanti dengan tidak sabar. Wanita yang berasal dari kaki Gunung Mahameru ini tahu benar bahwa kalau suaminya dipanggil Sang Prabu pada waktu bukan sidang, tentu ada perkara yang gawat sekali, yang biasa dirundingkan berdua saja oleh raja dan patihnya yang masih muda-muda dan sakti mandraguna itu.

"Kakangmas, urusan apakah gerangan yang menyebabkan Gusti Sinuwun memanggil paduka?" sambut Listyarini dengan wajah manis.

Narotama merangkul isterinya dan mengajaknya duduk di atas balai-balai di ruangan depan kepatihan. "Urusan penting sekali, diajeng. Aku diminta untuk mewakili gusti sinuwun melakukan pinangan."

"Pinangan? Siapa yang dipinang gusti sinuwun?" Tanya Listyarini heran. Biasanya, kalau sang prabu menginginkan seorang selir, dia tinggal mengutus pengawal biasa saja untuk mengurusnya. Kalau sekarang suaminya, patih dan merupakan orang ke dua di Kerajaan Kahuripan setelah Sang Prabu Erlangga, maka dua orang gadis yang dipinang itu tentulah bukan orang sembarangan!

"Yang dipinang itu keponakan yang juga merupakan murid-murid Ki Nagakumala, pertapa di Bukit Junggringslaka. Karena pinangan ini ada hubungannya dengan kepentingan kerajaan, maka Gusti Sinuwun mengutus aku sendiri yang melakukan pinangan."

Setelah berpamit kepada isterinya, pada hari itu juga Ki Patih Narotama berangkat melaksanakan tugasnya. Seperti biasa kalau menerima tugas urusan pribadi dari Sang Prabu Erlangga, Narotama berangkat seorang diri, tidak mau membawa pasukan, apa lagi tugas ini hanya untuk menghadapi seorang pertapa, bukan tugas untuk menggempur atau berperang. Juga seperti sudah menjadi kebiasaannya, kalau melakukan perjalanan, Ki patih Narotama yang usianya baru dua puluh tujuh tahun ini tidak suka menggunakan kereta kebesaran dan tidak mengenakan pakaian sebagai pejabat dan bangsawan tinggi. Dia merasa lebih leluasa berpakaian biasa saja, seperti dulu sebelum menjadi patih dan merantau dari Nusa Bali ke Nusa Jawa bersama Sang Prabu Erlangga yang ketika itu masih menjadi seorang pangeran Bali. Dia hanya menunggang seekor kuda pilihan yang tinggi besar dan kuat, menyusuri Kali Brantas menuju ke selatan.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment