Ads

Monday, September 10, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 009

◄◄◄◄ Kembali

Jajaran perbukitan yang membujur dari barat ke timur itu berada dekat pantai, seolah menjadi bendungan alam besar yang mencegah meluapnya air Laut Selatan ke darat. Ada dongeng menceritakan bahwa dahulu kala, terjadi perang antara Penguasa Laut Kidul dan Para Dewa penjaga Nusa Jawa. Kerajaan Laut Selatan mengancam akan menenggelamkan seluruh pulau dengan air pasang yang akan menelan Pulau Jawa. Akan tetapi para dewa mempergunakan kesaktian mereka untuk menciptakan bukit-bukit di sepanjang Pulau Jawa bagian selatan, dekat pantai untuk menolak air yang akan membanjiri daratan. Sebagian besar dari bukit-bukit ini merupakan bukit kapur yang tandus. Akan tetapi ada pula beberapa buah bukit yang bertanah subur sehingga penuh dengan tanaman menghijau. Di antara bukit-bukit subur ini terdapat sebuah bukit yang agak menjulang tinggi. Itulah Bukit Junggringslaka, menghadap ke selatan, ke arah lautan, seolah merupakan satu di antara para dewa yang berdiri dan melakukan penjagaan di situ untuk menentang kemurkaan kerajaan Laut Kidul!

Biarpun memiliki tanah subur, Bukit Junggringslaka ini merupakan tempat yang wingit. Para petani di sekitar bukit ini tidak berani mendirikan rumah di bukit itu sehingga dari kaki sampai ke puncak bukit, tidak tampak ada dusun. Dusun-dusun yang ada didirikan agak jauh di sekeliling bukit. Orang-orang memilih daerah yang kurang subur tanahnya dari pada Bukit Junggringslaka, karena bukit itu dianggap keramat dan menjadi tempat para dewa mengadakan pertemuan. Sudah terjadi beberapa kali ada petani kedapatan tewas ketika berani mendaki bukit untuk mencari kayu atau tanaman. Apa lagi setelah para penghuni dusun di sekitarnya tahu bahwa di puncak bukit itu terdapat seorang pertapa yang aneh dan kabarnya sakti mandraguna.

Pertapa itu adalah Ki Nagakumala yang tidak menghendaki seorangpun melanggar bukit yang telah dianggap sebagai milik pribadi dan wilayahnya. Juga semua orang tahu bahwa kakek pertapa itu tinggal di puncak bukit bersama dua orang gadis yang luar biasa cantik jelitanya sehingga mereka semua sepakat untuk mengakui bahwa dua orang wanita muda itu sudah pasti bukan manusia, melainkan dewi atau peri atau siluman. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani berterus terang mengatakan hal ini dan kala sewaktu-waktu seorang di antara mereka atau keduanya turun bukit mengunjungi dusun mereka, mereka menyambutnya dengan ramah dan hormat.

Apa lagi karena dua orang gadis cantik jelita bernama Lasmini dan Mandari itu tak pernah mengganggu penduduk, dan bahkan setiap membutuhkan sesuatu mereka membeli dari penduduk dan royal sekali dalam memberi hadiah. Akan tetapi, keramahan mereka itu tetap saja tidak membuat para pria di seluruh dusun sekitar situ berani bersikap kurang hormat, apa lagi kurang ajar. Hal ini merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu. Karena dua orang gadis itu memang cantik jelita luar biasa, maka setiap orang laki-laki yang memandang mereka, langsung tergila-gila. Pada waktu itu, maklum orang muda, ada dua orang pemuda yang datang dari dusun yang agak jauh dari situ, berani bersikap kurang ajar untuk menarik perhatian Lasmini dan Mandari. Dan apa akibatnya? Banyak sekali penduduk dusun melihat betapa dua orang gadis itu menghajar dua orang pemuda itu sampai tewas dengan tubuh remuk-remuk! Semenjak itu, tahulah semua orang bahwa dua orang gadis itu sakti mandraguna dan semua orang menganggap mereka berdua itu sebangsa peri atau siluman. Sejak itu tak ada seorangpun berani bersikap kurang ajar, bahkan menatap wajah mereka secara langsung saja mereka tidak berani.

Siapakah K i Nagakumala yang hidup sebagai pertapa di puncak Bukit Junggringslaka itu? Nama kakek ini sudah terkenal sejak puluhan tahun yang lalu. Dia adalah kakak dari Ratu Durgamala yang memerintah Kerajaan kecil Parang Siluman di pantai Laut Kidul. Mestinya dia mewarisi tahta kerajaan kecil itu dari ayah mereka, akan tetapi karena Ki Nagakumala ingin menikah dengan Ratu Mayang Gupita yang memerintah Kerajaan Siluman, juga di pantai Laut Kidul sebelah timur, maka dia mengalah dan menyerahkan kerajaan kecil Parang Siluman itu kepada adiknya. Setelah menikah dengan Ratu Mayang Gupita yang sakti, Nagakumala memperdalam ilmunya dan saling berlatih dengan isterinya yang sakti mandraguna. Akan tetapi, setelah belasan tahun menjadi suami isteri dan tidak mempunyai keturunan, Ki Nagakumala menjadi jenuh juga. Apa lagi ketika adiknya yang menjadi ratu di Kerajaan Parang Siluman menjadi janda karena suaminya telah pergi meninggalkannya dan kini ia hidup dengan dua orang puterinya, Nagakumala lalu meninggalkan Ratu Mayang Gupita dan kembali ke Parang Siluman.

Keluarga ini sejak dahulu memang memusuhi Mataram yang kini berganti nama menjadi kerajaan Kahuripan. Nagakumala senang melihat dua orang keponakan perempuan yang cantik-cantik itu. Maka, dia lalu mengambil Lasmini dan Mandari menjadi muridnya. Biarpun dua orang gadis ini sudah mendapat pelajaran aji kanuragaan dari ibu mereka yang juga sakti, namun mereka gembira sekali mendapat gemblengan dari uwa mereka yang lebih sakti daripada ibu mereka. Mereka lalu dengan senang hati mengikuti Kl Nagakumala ke puncak Bukit Junggringslaka untuk memperdalam ilmu-ilmu yang amat dahsyat. Bukan hanya ilmu pencak silat, aji kanuragan, juga ilmu-ilmu sihir!

Pada hari itu, Ki Nagakumala duduk di luar pondoknya di puncak Bukit Junggringslaka. Sinar matahari pagi yang hangat terasa nyaman sekali di badan yang diselimuti hawa dingin puncak itu. Kabut pagi mulai terusir perlahan-lahan oleh sinar matahari pagi. Kakek Nagakumala duduk bersila di atas sebuah dipan bambu yang berada di luar pondok. Tubuhnya masih tampak gagah walaupun usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Wajahnya juga gagah seperti Gatutkaca dengan kumis sekepal sebelah yang sudah mulai berwarna dua. Ki Nagakumala memang tampan gagah, pantas menjadi kakak Ratu Durgamala yang terkenal cantik jelita. Sungguh mengherankan sekali mengapa pria segagah dan setampan ini mau menjadi suami seorang wanita raksasa yang bertubuh tinggi besar, berperut gendut, wajahnya mengerikan karena bertaring, seperti Ratu Mayang Gupita, ratu Kerajaan Siluman itu. Ini pula menunjukkan betapa besar kebencian dalam hati Ki Nagakumala terhadap Mataram atau keturunan Mataram. Dia rela mengorbankan diri, memperisteri Ratu Mayang Gupita yang buruk rupa dan mengerikan itu, hanya untuk dapat menambah kesaktiannya agar kelak dia dapat menghancurkan Kahuripan atau keturunan Mataram! Dan kini, untuk memperkuat diri, dia menurunkan semua aji kesaktiannya kepada dua orang keponakan yang telah menjadi muridnya agar kelak dua orang gadis itu dapat membantunya melawan Erlangga yang menjadi raja Kahuripan sekarang. Ki Nagakumala duduk seorang diri termenung. Kemudian seperti teringat akan sesuatu, tiba-tiba dia menoleh ke arah pondok dan berseru, suaranya nyaring seperti suara Sang Gatotkaca.

"Murid-muridku cah ayu thinik-thinik, Nini Lasmini dan Nini Mandari, di manakah kalian? Tinggalkan dulu kesibukan kalian, aku mau bicara dengan kalian'"

Tak lama kemudian, tampak dua bayangan berkelebat dan dari pintu pondok muncullah dua orang gadis. Gerakan mereka demikian cepat dan ringan seperti melayang saja sehingga yang tampak hanya bayangan merah dan bayangan kuning. Setelah bayangan itu berhenti di depan Ki Nagakumala, tampaklah bahwa mereka adalah seorang gadis berpakaian serba merah muda dan yang seorang berpakaian serba kuning. Pakaian mereka dari sutera halus dan begitu serasi di tubuh mereka sehingga mereka tampak seperti dewi-dewi saja. Pakaian itu bersih, membungkus tubuh yang indah menggairahkan, serba sempurna lekuk lengkungnya, dada dan pinggulnya membusung sehingga pinggang mereka yang memakai sabuk berlapis emas itu tampak ramping bukan main, pinggang yang disebut nawon kemit (pinggangnya seperti lebah kemit)! Kaki yang tampak dari betis ke bawah itu berkulit kuning putih mulus dan bentuknya memadi bunting, dan bagian atas tumitnya mencekung. Tanda-tanda kewanitaan pilihan!

Yang berpakaian merah muda adalah Lasmini, berusia dua puluh tiga tahun. Yang pertama menarik dari gadis ini adalah rambutnya. Rambut itu panjang sampai ke pinggul, hitam sekali dan bergelombang, indah menggairahkan, dengan sinom (anak rambut) halus lembut bergantungan di atas dahi dan di pelipis. Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing, manis sekali. Semua bagian wajahnya amatlah cantiknya, terutama sekali mata dan bibirnya, amat menggairahkan, seperti menantang dan menjanjikan kenikmatan dan kemesraan yang memabokkan, apalagi ditambah pemanis di pipi kiri dengan adanya sebintik tahi lalat hitam. Sungguh merupakan seorang wanita yang sudah masak, bagaikan setangkai bunga sedang mekar-mekarnya. Dan hebatnya, wanita yang masih perawan berusia dua puluh tiga tahun ini tiada ubahnya seorang dara berusia delapan belas tahun saja!

Adapun gadis yang berpakaian serba kuning bernama Mandari, berusia dua puluh satu tahun. Ia adalah adik Lasmini. Berbeda bentuk wajahnya dengan mbakayunya, Mandari berwajah agak bulat dengan mata yang lebar bersinar-sinar, hidungnya mancung dan mulutnya juga amat indah dengan bibir yang selalu merekah dan merah basah. Seperti juga mbakayunya, kulit gadis ini kekuningan, putih mulus dan kedua pipinya yang putih halus itu agak kemerahan tanpa gincu, tanda bahwa tubuh yang muda itu sehat segar. Seperti juga Lasmini, Mandari yang berusia dua puluh satu tahun itu kelihatannya seperti baru berusia tujuh belas tahun saja.

Sukar untuk menilai siapa yang lebih menarik di antara kedua orang gadis kakak beradik ini. Keduanya memiliki kecantikan yang berbeda, namun sama sama menarik dan menggairahkan. Pakaian mereka juga indah, dengan perhiasan-perhiasan dari emas dan batu permata. Kedua orang gadis itu lalu duduk di atas bangku-bangku berhadapan dengan Ki Nagakumala.

"Uwa, ada keperluan apakah gerangan maka uwa memanggil kami dengan teriakan nyaring?" tanya Lasmini, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya yang semringah.

"Kami sedang mempersiapkan sarapan untuk uwa." Kata pula Mandari.

"Eh, keponakanku yang ayu merak-ati, murid-muridku yang dhenok montrok-montrok, aku tadi duduk termenung di sini dan melihat burung-burung itu terbang berpasang-pasangan dengan gembira. Aku lalu teringat kepada kalian dan merasa berdosa mengapa dua orang keponakanku yang ayu manis kubiarkan hidup merana dan kesepian. Lasmini dan Mandari, ingatkah kalian berapa usia kalian tahun ini?"

"Usiaku dua puluh tiga tahun, uwa Nagakumala." Kata Lasmini.

"Dan usiaku dua puluh satu tahun, uwa." kata Mandari, keduanya tersenyum, seolah merasa geli mengapa uwa mereka menanyakan usia mereka.

"Nah, usia kalian sudah cukup dewasa, bahkan usia sekian itu sudah sepatutnya kalau kalian menjadi ibu! Akan tetapi sampai sekarang kalian masih saja perawan dan belum mempunyai suami. Padahal, sejak beberapa tahun yang lalu, sudah ratusan orang muda, bangsawan dan hartawan, datang meminang. Akan tetapi selalu kalian menolak pinangan mereka. Bagaimana sih kalian ini? Jangan-jangan nanti ibu kalian, Nimas Ratu Durgamala, menyalahkan aku yang disangka menghalangi kalian memilih jodoh!"

"Ah, kami masih belum suka melayani pria, uwa!" kata dua orang gadis itu dengan suara hampir berbareng.

"Mustahil! Jangan bohongi aku. Dari gerak gerik kalian, dari senyum dan kerling mata kalian, aku tahu bahwa kalian bagaikan dua tangkai bunga segar yang selalu merindukan datangnya kupu-kupu untuk menghisap sari madumu." kata Ki Nagakumala sambil tersenyum dan mengelus sepasang kumisnya yang melintang di bawah hidungnya.

Lasmini tersenyum manja. "Kami berdua telah bersepakat uwa hanya akan suka melayani seorang suami yang sakti mandraguna dan mampu mengalahkan kedigdayaan kami."

"Juga kami tidak sudi menjadi isteri laki-laki biasa, uwa. Haruslah dia seorang raja, pangeran atau setidaknya seorang ponggawa kerajaan yang berkedudukkan tinggi!" kata pula Mandari.

Ki Nagakumala terkekeh dan mengangguk-angguk. "Ya-ya, aku mengerti dan memang sudah sepatutnya kalian mendapatkan seorang suami yang pilihan. Akan tetapi betapa akan sulitnya menemukan pria seperti yang kalian kehendaki itu."

"Masih ada lagi syarat kami, uwa."

"Hemm, masih ada lagi? apa itu?"

"Pria yang berkedudukan tinggi dan sakti mandraguna itu juga harus muda dan tampan!" kata Lasmini sambil tersenyum.

"Wah-wah-wah, agaknya kalian menghendaki para dewa sengaja menciptakan laki-laki yang kalian kehendaki! Ksatria seperti itu kiranya hanya terdapat di Mataram, keturunan keluarga istana atau setidaknya seorang priyayi agung trah ingkusuma rembesing madu. Pada hal Mataram adalah musuh besar kita!"

Tiba-tiba Ki Nagakumala memandang ke depan. Tampak beberapa ekor burung terbang dari pohon seolah terkejut dan ketakutan.

"Hernm, ada orang datang. Kalian berdua masuklah dan lanjutkan membuat persiapan sarapan. Biar aku yang menyambut tamu itu!" kata Ki Nagakumala dan dua orang gadis itu tersenyum lalu masuk ke dalam pondok.

KI NAGAKUMALA masih tetap duduk bersila di atas bangku. Dia adalah orang yang sakti mandraguna, seorang yang telah mempelajari dan menghayati olah raga, olah batin dan olah rasa. Dia dapat merasakan bahwa yang datang ini bukan orang biasa, walaupun dia belum dapat melihat orangnya. Karena itulah dia tadi minta kepada dua orang muridnya agar masuk. Dia ingin tahu lebih dulu siapa orang yang berani mendaki Bukit Jungringsiaka ini. Tidak sembarang orang berani mendaki bukit ini, apalagi sampai ke puncak. Sudah pasti orang yang sakti dan jelas bukan orang daerah sini karena semua penduduk pedusunan di sekitar Bukit Junggringslaka tidak ada yang berani mendaki bukit ini.

Tak lama kemudian orang itu muncul dari balik pohon besar. Dari jauh Ki Nagakumala sudah- melihat bahwa orang Itu masih muda, seorang laki-laki bertubuh tegap dan wajahnya tampan berwibawa walaupun pakaiannya sederhana saja. Langkahnya tegap dan tenang bagaikan langkah seekor harimau. Timbul niat di hati Ki Nagakumala untuk menguji kesaktian pendatang ini sebelum berkenalan. Mulutnya berkemak-kemik, tangannya dijulurkan ke bawah mengambil segenggam batu kerikil dan setelah ucapan mantranya selesai, dia melempar segenggam batu kerikil itu ke depannya.

"Blarrr .....I" Tampak asap mengepul dibarengi ledakan dan tahu-tahu sebuah dinding besi menghalangi antara dia dan pemuda pendatang itu.

Pemuda itu bukan lain adalah Ki Patih Narotama. Tadi ketika dia mulai mendaki Bukit Junggringslaka, sejak tiba di lereng bukit dekat puncak, dia sudah dihadang berbagai rintangan. Ada ular sebesar batang pohon kelapa menghadang, akan tetapi dia berhasil mengusir ular besar itu tanpa membunuhnya. Kemudian ada hutan yang menyesatkan, yang jalan setapaknya berputar-putar dan orang biasa pasti akan tersesat dan tidak dapat naik ke puncak, juga tidak dapat turun kembali. Akan tetapi Narotama dapat melalui rintangan ini karena maklum bahwa semua ini adalah pengaruh rajah ilmu sihir yang kuat. Kini, setelah tiba di depan pondok, dia melihat seorang laki-laki tua bersila di atas dipan depan pondok. Dia sudah dapat menduga bahwa laki-laki yang tampak gagah itu tentulah Ki Nagakumala yang sudah didengar namanya namun belum pernah dilihat orangnya. Ketika laki-laki itu melontarkan batu kerikil dan menciptakan sebuah dinding besi dari hasil sihirnya, Narotama tersenyum. Dia tahu bahwa kakek itu kembali menggunakan sihir untuk menghalanginya atau mengujinya. Karena kedatangannya membawa perintah Prabu Erlangga untuk mengajukan pinangan dan menawarkan perdamaian, maka Narotama tidak ingin menggunakan kekerasan. Dia hanya mengambil segenggam kerikil dan terucap dengan- suara lembut.

"Sampurasun .....!" Dilontarkan segenggam kerikil itu ke arah dinding besi dengan ucapan lembut namun berwibawa, "Berasal dari kerikil kembali menjadi kerikill"

"Blarrr .....!" Asap mengepul dan dinding besi jadi-jadian itu runtuh dan kembali menjadi segenggam kerikil yang berserakan.

"Jagad Dewa Bathara .....! Teja-teja sulaksana tejanya ksatria yang baru datang. Siapakah andika, orang muda, berani lancang mendaki puncak Junggringslaka tanpa ijin?" Ki Nagakumala bertanya sambil tetap duduk bersila.

Diam diam dia terkejut melihat betapa orang yang masih muda belia ini dapat memunahkan sihirnya dengan cara lembut. Biarpun memiliki watak liar dan keras, namun karena Ki Nagakumala adalah putera mendiang Raja Parang Siluman, pernah menjadi suami Ratu Mayang Gupita dan dia kakak kandung Ratu Durgamala, maka tentu saja sikap kebangsawanannya masih nyata dan diapun memiliki wibawa yang cukup kuat.

"Maaf beribu maaf, Paman Nagakumala."

"Hemm, orang muda. Andika mengenal aku?"

"Siapa yang tidak mengenal nama paman yang besar sebagai seorang pangeran Kerajaan Parang Siluman dan sebagai suami Ratu Mayang Gupita? Harap paman sudi memaafkan kelancangan saya, menghadap tanpa ijin, karena saya menjadi utusan untuk menyampaikan sesuatu yang amat
penting kepada paman."

"Hemm, orang muda, sebelum andika menceritakan apa yang menjadi keperluan andika datang ke sini, lebih dulu perkenalkan dirimu kepadaku agar dapat kupertimbangkan apakah andika seorang yang cukup berharga dan pantas untuk berwawancara dengan aku!" Ada keangkuhan seorang bangsawan tinggi terkandung dalam ucapan ini.

Narotama tersenyum. Dia cukup mengenal watak para bangsawan. Seorang yang benar-benar berdarah bangsawan kilir batin, seperti misalnya Sang Prabu Erlangga, memiliki wibawa yang amat kuat namun lembut dan wajar, wibawa yang bagaikan sinar yang mencorong dari dalam, tanpa dibuat-buat, bahkan seorang bangsawan yang adiluhung biasanya bersikap rendah hati, tidak pernah menyombongkan kebangsawanannya, bagaikan emas yang sudah mencorong tanpa digosok. Sebaliknya,orang yang hanya bangsawan secara lahiriah, karena memperoleh kedudukan, karena pangkat atau harta, maka wibawanya ditonjolkan karena sikap yang dibuat-buat, karena keangkuhan dan kesombongan. Orang seperti ini bagaikan gentong kosong yang tampaknya saja gendut dan nyaring suaranya, namun isinya tidak ada apa-apanya. Ki Nagakumala ini agaknya termasuk model bangsawan gentong kosong ini!

"Paman, nama saya adalah Narotama."

Ki Nagakumala nampak terkejut bukan main. Dia memandang Narotama dengan mata terbelalak lebar, seolah tidak percaya akan apa yang didengarnya tadi.

"Andika Rakyan. Kanuruhan Mpu Dharmamurti Narotama Danasura, patih dari Kahuripan, pembantu utama Sang Prabu Erlangga?"

Narotama tersenyum dan membungkuk dengan hormat sambil merangkap kedua tangannya di depan dada. "Saya memang pembantu Gusti Sinuwun Prabu Erlangga yang diutus untuk menghadap paman di sini. Sebelumnya perkenankan saya menyampaikan salam hormat dari Gusti Sinuwun untuk paman."

Melihat sikap dan mendengar ucapan Narotama, Ki Nagakumala sejenak termangu, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang musuh besar, tokoh besar Kerajaan Mataram di Kahuripan. Dia bangkit berdiri dan bertolak pinggang, sepasang matanya melotot dan kumis gatotkaca-nya bergerak-gerak.

"Babo-babo, Narotama! Besar sekali nyalimu, berani mendatangi guha harimau! Tidak tahukah andika bahwa kami adalah musuh-musuh besar Mataram? Rajamu adalah musuh besar kami, maka andika sebagai utusannya berani datang, berarti sama dengan menyerahkan nyawamu!"

"Paman Nagakumala, justeru karena sikap andika yang memusuhi Gusti Sinuwn itulah maka saya diutus untuk menemui andika. Bukan sekali-kali untuk menanggapi sikap permusuhan paman dengan pertentangan, melainkan saya diutus untuk mengulurkan tangan perdamaian."

K i Nagakumala terbelalak heran. "Mengulurkan tangan perdamaian? Apa maksud andika?"

"Begini, Paman Nagakumala. Saya di utus Kanjeng Gusti Sinuwun untuk meminang dua orang keponakan andika dan murid andika untuk menjadi garwa selir Gusti Sinuwun. Dengan cara ini Gusti Sinuwun hendak mengikat pertalian keluarga dan menyudahi semua pertentangan dan permusuhan."

Ki Nagakumala hampir tak dapat mempercayai ucapan yang baru saja didengarnya itu. Sang Prabu Erlangga melamar Lasmini dan Mandari untuk menjadi garwa selirnya? Bukan main! Raja besar yang masih muda, tampan dan sakti mandraguna itu akan menjadi suami kedua orang muridnya! Sungguh merupakan anugerah yang luar biasa besarnya bagi kedua orang gadis itu! Calon suami yang luar biasa! Merupakan seorang maha raja, masih muda, terkenal gagah perkasa dan tampan, dan dia tahu betapa sakti mandraguna Raja Kahuripan itu! Akan tetapi sekilas berkelebat dalam benaknya bahwa raja itu adalah musuh besarnya musuh besar keluarganya yang harus dibunuh dan sama sekali tidak dapat diampuni, apalagi dijadikan mantu keponakan! Hampir saja dia melompat dan menyerang Narotama ketika dia teringat akan hal ini. Akan tetapi kemarahan itu ditahannya. Sekilas gagasan bersinar dalam pikirannya. Inilah kesempatan paling baik untuk membalas dendam! Dia dapat mempergunakan dua orang muridnya itu untuk membunuh atau setidaknya menghancurkan keturunan kerajaan Mataram itu! Kilatan gagasan ini membuat dia cepat menekan kemarahannya dan tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, Ki Patih Narotama. Berita yang andika bawa ini sungguh Demikian mengejutkan dan mengherankan hatiku sehingga sejenak aku kehilangan akal."

"Paman Nagakumala, saya harap paman cukup berakal untuk melihat kebijaksanaan Gusti Sinuwun dan dapat menerima pinangan ini dengan baik demi kebahagian bersama."

"Nanti dulu, kipatih! Urusan perjodohan adalah urusan yang amat penting dan hal ini tak dapat diputuskan olehku seorang. Karena itu, aku minta waktu untuk merundingkan hal ini dengan kedua orang murid, eh, kedua orang keponakanku. Besok pagi-pagi datanglah andika ke sini dan aku akan dapat memberi jawaban yang pasti."

Lega rasa hati Narotama mendengar jawaban itu. Setidaknya, kakek yang dia tahu amat membenci keturunan Mataram itu, tidak langsung menolak mentah-mentah dan kalau dia hendak merundingkan pinangan itu dengan dua orang gadis keponakannya, besar harapan pinangan itu akan diterima. Gadis-gadis mana yang tidak akan menjadi bahagia mendengar dirinya dipinang Sang Prabu Erlangga untuk menjadi garwa selirnya?

"Baiklah, paman dan sebelumnya atas nama Gusti Sinuwun Prabu Erlangga, saya mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian andika. Selamat tinggal dan sampai jumpa besok pagi." Setelah berkata demikian, Narotama meninggalkan tempat itu menuruni bukit karena bagaimanapun juga, dia tahu bahwa bermalam di bukit yang berada di bawah kekuasaan Ki Nagakumala itu amatlah berbahaya. Di waktu siang dia dapat menjaga dan membela diri dengan baik. Akan tetapi di waktu malam gelap berada di daerah yang asing baginya itu sungguh amat berbahaya.

"Benarkah itu, uwa? Sang Prabu Erlangga meminang kami berdua?" tanya Lasmini dengan sepasang matanya yang indah terbelalak dan bersinar gembira.

"Bukan main! Baru saja tadi kita bicara tentang jodoh, kini tiba-tiba kami berdua dilamar orang dan pelamarnya adalah Sang Prabu Erlangga!" kata Mandari dengan wajah gembira sekali.

"Dia terkenal sebagai seorang pria yang masih muda dan tampan juga sakti mandraguna seperti Sang Arjuna! Aku mendengar bahwa dia memiliki kesaktian seperti Sang Bathara Wisnu! Wah, kalau dia yang meminangku, aku mau, uwa, aku mau menjadi garwanya!" kata Lasmini sambil tersenyum dan mukanya berubah kemerahan karena biarpun ia seorang gadis yang kenes (genit), namun ia sama sekali belum pernah bergaul dekat dengan pria karena merasa dirinya jauh lebih tinggi daripada laki-laki biasa yang suka menaksirnya dengan pandang mata, senyum dan sikap mereka.

"Aku juga mau, uwa!" kata pula Mandari, agaknya tidak mau kalah oleh kakaknya.

"Hemm, dia memang meminang kalian berdua!" kata Ki Nagakumala.

"Kalau begitu kami mau, uwa. Engkau terima sajalah pinangan itu!" kata mereka berdua dengan suara hamper berbareng.

Ki Nagakumala mengerutkan alisnya. "Hemm, Lasmini dan engkau Mandari, lupakah kalian kita
ini dari keluarga mana?"

Mendengar suara yang bernada ketus dalam pertanyaan itu Lasmini dan Mandari terkejut. "Tentu saja kami tidak lupa, uwa. Kita ini keturunan keluarga kerajaan Parang Siluman!" kata Lasmini.

"Hemm, kalau begitu kalian tentu tahu bahwa Mataram adalah musuh bebuyutan kita!"

Lasmini dan Mandari saling pandang, lalu Mandari membantah. "Akan tetapi, uwa. Sang Prabu Erlangga adalah raja yang baru dan muda, tidak pernah ada permusuhan pribadi antara dia dan keluarga Kerajaan Parang Siluman!"

"Siapa bilang tidak ada permusuhan? Kita masih ada ikatan keluarga dengan Kerajaan Wurawari, juga menjadi sekutu kita kerajaan itu sejak dahulu jaman Kanjeng Raja Dirgabaskara masih menjadi Raja Parang Siluman. Akan tetapi Kerajaan Wurawari yang berhasil mengalahkan Mataram dan membunuh Sang Prabu Teguh Dharmawangsa kemudian diserbu Erlangga yang kemudian menjadi raja sampai sekarang. Sang Prabu Erlangga adalah musuh kita, musuh besar keluarga kita!"

"Wah, kalau begitu aku tidak bisa menjadi garwanya!" kata Lasmini.

"Aduh, alangkah sayangnya!" seru Mandari kecewa sekali.

"Kapan lagi kita bisa mendapatkan seorang calon suami sehebat itu?"

"Kalau begitu, uwa tentu sudah menolak pinangan itu!" kata Lasmini, juga merasa kecewa.

"Tidak, aku hanya menangguhkan jawaban sampai besok pagi, karena aku ingin mengajak kalian berunding lebih dulu. Dengar baik-baik, Lasmini dan Mandari. Kalian adalah keturunan keluarga kerajaan Parang Siluman, karena itu sudah menjadi kewajiban kalian untuk membalas dendam kepada Mataram. Sangupkah kalian?"

"Tentu saja kami sanggup, uwa. Bukankah kanjeng ibu menyuruh kami memperdalam aji kanuragan di bawah bimbingan uwa juga agar kelak kami dapat membalas dendam kepada Mataram?" kata Lasmini.

"Bagus sekali kalau begitu! Tidak sia sia selama ini aku mewariskan seluruh ilmuku kepada kalian berdua. Ketahuilah, musuh besar yang memperkuat Mataram ada dua orang, yaitu Sang Prabu Erlangga sendiri dan patihnya, yaitu Kipatih Narotama. Nah, sekarang aku menugaskan kalian berdua untuk membagi tugas yang seorang membunuh Sang Prabu Erlangga dan yang lain membunuh Kipatih Narotama."

"Akan tetapi bagaimana caranya, uwa? Aku pernah mendengar bahwa Erlangga dan Narotama itu tunggal guru dan sakti mandraguna. Pula, mereka itu adalah raja dan patih, tentu dilindungi bala tentara. Kami yang hanya berdua ini bagaimana mungkin dapat membunuh dua orang sakti itu?" tanya Mandari.

"Caranya mudah dan akan memuaskan dan menyenangkan hati kalian, yaitu dengan menerima pinangan itu."

"Hehh .....? Bagaimana sih uwa ini? Mau membalas dendam kok disuruh menjadi isterinya!" seru Lasmini sambil memalalakan kedua matanya yang indah.

"Begitulah! Bukankah kalian tadi mengatakan bahwa kalian akan senang sekali menjadi garwa Sang Prabu Erlangga? Nah, kesempatan baik itu datang. Kalian menjadi garwanya, dapat emenuhi keinginan hati mempersuamikan seorang pria ganteng berpangkat tinggi berdarah bangsawan dan sakti mandraguna, juga kalian mendapat kesempatan baik sekali untuk membalas dendam. Bukankah itu bagus sekali?"

"Akan tetapi uwa tadi mengatakan bahwa kami berdua harus membagi tugas, yang seorang membunuh Sang Prabu Erlangga dan yang lain membunuh Kipatih Narotama. Kalau kami berdua menjadi garwa Prabu Erlangga, lalu bagaimana dapat membunuh Kipatih Narotama?" Tanya Mandari.

"Oya, aku belum memberitahukan kalian bahwa yang diutus Sang Prabu Erlangga untuk mengajukan pinangan adalah Narotama sendiri! Malam ini dia turun bukit dan besok pagi dia akan datang lagi ke sini. Kalau bukan dia yang diutus, orang lain mana mampu mendaki sampai ke puncak menghindarkan semua rajah yang sudah kupasang di sepanjang lereng menuju puncak ini?"

"Wah, kalau begitu dia tentu datang membawa pasukan?" tanya Lasmini.

"Tidak, dia hanya datang seorang diri saja."

"Kalau begitu kebetulan sekali, uwa Kita turun tangan membunuhnya kala besok pagi dia muncul. Dengan demikian berarti kita telah menyingkirkan seorang musuh!" kata Mandari.

Ki Nagakumala menggeleng kepalanya! "Tidak. Biarpun Narotama merupakan orang penting di Mataram yang harus di bunuh, namun kalau hal itu kita lakukan kita akan gagal membunuh Erlangga, hal yang lebih penting lagi. Kematian Narotama hanya akan memperlemah Mataram, namun kcmatian Erlangga berarti menghancurkan Mataram. Justeru kebetulan sekali Narotama yang menjadi utusan sehingga engkau mempunyai alasan yang Kuat untuk menolak menjadi garwa Erlangga dan memilih menjadi isteri Narotama, Lasmini."

Tiba-tiba di tengah malam itu terdengar bunyi burung malam yang terbang melintas di atas pondok.

"Kulik! Kulik! Kulik!"

"Sstt ..... kita harus berhati-hati. Narotama itu sakti mandraguna. Siapa tahu burung tadi merupakan penyelidik yang dikirimnya. Mari dengar bisikanku. Kita harus menggunakan siasat begini ....." Ki Nagakumala lalu berbisik-bisik, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Kedua orang keponakan yang juga menjadi muridnya yang amat disayangnya itu.

Setelah merencanakan siasat yang hendak mereka lakukan terhadap Narotama, dua orang perawan Bukit JungKringslaka yang cantik jelita itu lalu masuk kamar dan tidur. Ki Nagakumala sendiri duduk bersila di dalam pondok, memusatkan tenaganya agar besok dapat siap menghadapi segala kemungkinan.

Lanjut ke Jilid 010 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment