Ads

Monday, September 10, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 010

◄◄◄◄ Kembali

Pada keesokan harinya, Narotama mendaki Bukit Junggringslaka. Seperti biasa, orang muda perkasa ini selalu dalam keadaan waspada. Sikap "eling lan waspada" (sadar dan waspada) ini merupakan sikap yang tidak pernah meninggalkan dirinya lahir batin setiap saat. Sadar dan waspada saat demi saat. Sadar akan keberadaan dirinya, sadar akan Kekuasaan Maha Tinggi yang menguasai dan mengatur segala sesuatu yang tampak dan tidak tampak, termasuk diri pribadinya lahir batin, sadar dan ingat selalu bahwa dirinya merupakan ciptaan dan alat Sang Hyang Widhi Wasa (Gusti Allah), bahwa Kekuasaan Maha Tinggi itu merupakan awal akhir, merupakan sangkan paraning dumadi (awal dan akhir semua keberadaan). Di samping kesadaran rohani ini, juga selalu ada kewaspadaan dalam dirinya melalui panca-inderanya, pengamatan yang selalu baru akan segala yang berada di dalam dan di luar dirinya. Dengan demikian, maka segala gerak hati akal pikiran dan kelakuan dibimbing oleh Sang Dewa Ruci (Roh Suci) sehingga yang berada dalam hati sanubari hanyalah upaya untuk "memayu hayuning bawana" (menjaga keindahan alam).

Dalam bimbingan Sang Dewa Ruci, si aku, yang bukan lain hanya nafsu-nafsu daya rendah yang saling berlumba untuk menguasai diri manusia lalu mengaku ku sebagai "aku", menjadi lenyap atau setidaknya melemah sehingga hati menjadi sabar dan tenang, tidak mudah terbakar emosi yang bukan lain hanyalah gejolak nafsu daya rendah.

Narotama melangkah perlahan-lahan dan santai mendaki bukit. Matahari pagi mulai mengusir halimun yang semalam memeluk bumi, meninggalkan butir-butir mutiara embun bergantung di ujung-ujung daun dan merupakan butir-butir air mata kelopak-kelopak bunga. Air mata tangis bahagia, sama sekali tidak tersentuh duka walau pada bunga yang sudah layu sekalipun. Semua itu seperti digelar di depan Narotama, tampak semuanya, dan yang ada hanya satu kesan, yaitu indah dan bahagia! Terasa benar oleh Narotama semua itu merupakan hasil karya Seniman Maha Besar, merupakan ciptaan agung yang tiada taranya. Namun, biarpun semua itu merupakan berkah 5ang Hyang Widhi Wasa, berkah yang paling besar berada dalam dirinya sendiri. Apa yang membuat kesemuanya itu tampak indah? Karena ada penglihatan di matanya! Kalau Sang Hyang Widhi Wasa tidak memberi berkah penglihatan pada kedua matanya, semua keindahan yang terbentang di jagad raya ini takkan ada arti baginya. Juga semua keindahan bunyi, kemerduan kicau burung, kokok ayam, dengus kerbau dan embik kambing nun jauh di bawah bukit, takkan ada artinya kalau dia tidak diberkahi dengan pendengaran pada telinganya!

Mata Narotama yang memandang tanpa ditunggangi nafsu daya rendah, dapat melihat dengan hati akal pikiran yang jernih tanpa penilaian, tanpa pendapat, tanpa keinginan sehingga tidak ada pertentangan dengan keadaan seperti apa adanya. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi bagus atau jelek, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Yang ada hanya indah sempurna, wajar dan pas, karena yang ada hanyalah terjadinya Kehendak Sang Hyang Widhi. Kehendak si aku, yaitu nafsu daya rendah, sama sekali tidak bekerja.

Sedikit gerakan di antara rumput hijau gemuk itu cukup membuat Narotama yang selalu waspada menyadari bahwa ada sesuatu terjadi di situ. Dia cepat menoleh dan mengamati. Kiranya seekor ular dumung sedang bergerak perlahan sekali, menyusup di antara rumput menghampiri seekor kelinci putih yang sedang makan daun. Narotama melihat betapa indahnya kulit ular itu tertimpa matahari pagi yang bersinar lembut.Tidak akan ada tangan seorang seniman lukis dapat membuat coretan garis-garis seperti yang tergambar pada kulit ular itu!

Setelah jarak antara ular dan kelinci itu t inggal kurang lebih dua kaki lagi,ular itu mengangkat kepalanya ke atas, gerakannya perlahan sekali sehingga kelinci itupun tidak mendengar atau melihatnya. Kemudian, bagaikan kilat menyambar, kepala ular itu meluncur ke depan, moncong yang terbuka lebar itu,menyambar dan tengkuk kelinci putih itu sudah digigitnya. Darah merah menodai bulu kelinci yang putih. Kelinci itu menjerit lirih dan meronta, namun suara jeritan dan tubuhnya segera tak terdengar dan tak tampak lagi dibelit tubuh ular. Belitan kuat yang meremukkan tulang-tulang kelinci itu.

Narotama tersenyum. Teringat dia ketika baru saja berguru di Pulau Bali dan melihat peristiwa seperti ini, seekor ular yang menggigit lalu mencaplok seekor katak, hatinya dipenuhi perasaan marah dan kengerian. Timbul keinginan hatinya untuk membela katak dan memusuhi ular yang dianggapnya kejam dari ganas. Masih terngiang dalam ingatannya apa yang dikatakan gurunya ketika itu. Gurunya tertawa melihat dia marah dan penasaran.

"Narotama, yang baru saja engkau saksikan itu sama sekali bukan merupakan keganasan dan kekejaman seekor ular, melainkan terjadinya hukum atas segala mahluk seperti yang sudah dikodratkan oleh Sang Hyang Widhi yang menciptakan segala alam maya pada berikut seluruh isinya. Binatang itu hidup menurutkan naluri dan pembawaannya. Ular makan binatang kecil lain, hal itu adalah merupakan hukum yang berlaku atas dirinya, tak mungkin diubah lagi oleh siapapun juga kecuali kalau Sang Hyang Widhi menghendaki. Ular itu sudah menjadi kodratnya tidak bisa makan daun atau akar. Makannya ya binatang kecil itulah. Kalau engkau menghalangi dia makan katak dan sebagainya, yaitu binatang kecil, dia akan mati kelaparan. Demikian pula engkau tidak dapat memaksa seekor kerbau makan ular atau binatang lain. Makannya, menurut kodratnya, adalah daun-daun atau rerumputan. Apakah engkau hendak menentang kodrat yang ditentukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa?"

Kini, melihat seekor ular mencaplok seekor kelinci, tidak ada lagi perasaan penasaran dalam hati Narotama, bahkan dia melihat betapa tertib, sempurna, dan indahnya semua hokum alam sesuai dengan Kehendak Hyang Widhi berlangsung dan berjalan tanpa diikat dan dikuasai ruang dan waktu. Semua Kehendak Hyang Widhi Wasa sudah baik, benar, adil dan suci. Terjadilah segala kehendakNya. Salahnya, manusia menilai atas dasar kehendak masing-masing yang bukan lagi adalah ulah nafsu daya rendah. Oleh karena itu muncullah konflik-konflik dalam diri sendiri yang mencuat menjadi konflik antar manusia, bahkan konflik antara kehendak manusia yang dibandingkan dengan Kehendak Hyang Widhi.

Jadilah kehendakMu, demikian seharusnya seorang bijaksana berserah diri kepadaNya. Jangan sekali-sekali menambah kalimat suci dari dua kata itu menjadi Jadilah kehendakMu sesuai dengan keinginanku! karena kalau demikian kita akan bertemu dengan konflik batin yang berkepanjangan.

Ketika Narotama tiba di depan pondok tempat tinggal Ki Nagakumala, dia melihat Ki Nagakumala sudah menanti diatas dipan depan pondok bersama dua orang wanita muda yang dia duga pasti dua orang gadis yang dipinang oleh Sang Prabu Erlangga.

"Selamat pagi, Paman Nagakumala dan ..... nimas berdua!" kata Narotama dengan ramahnya.

Di dalam hatinya Narotama terpesona juga melihat dua orang dara itu. Memang sukarlah mencari dua orang dara yang demikian cantik jelita, ayu manis, luwes kuwes merak ati seperti mereka yang duduk di atas bangku sebelah kiri Ki Nagakumala dengan pandang mata mereka yang demikian indah sambil tersenyum simpul.

Bibir manis merah basah itu merekah seperti bunga mawar sedang mekar di pagi hari bermandi embun pagi yang segar. Akan tetapi, dasar seorang ksatria yang kokoh kuat batinnya, pada pandang matanya, Narotama tidak menunjukkan kekagumannya dan hanya memandang biasa dengan tenang dan penuh sopan santun.

"Selamat pagi, Kipatih Narotama dan silakan duduk." Ki Nagakumala menunjuk ke arah sebuah bangku yang sudah disediakan untuk tamunya, berhadapan dengan mereka bertiga.

Narotama memandang ke arah bangku yang ditawarkan. Sekilas pandang saja tahulah dia bahwa bangku kayu itu sudah dirajah (diisi dengan aji). Agaknya kembali Ki Nagakumala hendak mengujinya. Dia pura-pura tidak tahu dan duduk di atas bangku yang ditawarkan. Tentu saja diam-diam dia mengerahkan aji kesaktiannya untuk melindungi diri terhadap serangan rajah yang sudah dipasang pada bangku itu.

Tiga orang itu, terutama Lasmini dan Mandari, memandang dengan hati tegang. Mereka tahu bahwa barang siapa menduduki bangku yang sudah dirajah dengan Rajah Banaspati itu tentu akan terbakar Narotama duduk dan.....

"cesssssss ....." tampak asap mengepul tebal dari bangku yang diduduki Narotama. Narotama bangkit berdiri dengan tenang dan bangku itupun hancur menjadi arang setelah baru saja dibakar api yang besar, padahal pakaian Narotama sedikitpun tidak ada yang terbakar, apalagi kulit tubuhnya.

"Maaf, Paman Nagakumala. Bangku ini rusak." Kata Narotama dan dia mengambil sebuah bangku lain dan duduk berhadapan dengan tiga orang itu.

"Ha-ha-ha-ha! Bagus, Anakmas Narotama! Tidak percuma andika menjadi maha patih di Kahuripan. Kami menerima andika sebagai utusan Sang Prabu Erlangga dengan penuh penghormatan."

"Terima kasih, Paman Nagakumala, atas kebijaksanaan andika."

"Perkenalkan, anakmas. Ini adalah keponakanku, juga murid-muridku. Ini adalah Nini Lasmini dan yang lebih muda Nini Mandari. Mereka adalah kakak beradik, puteri-puteri adikku Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman. Nini berdua, inilah Rakyana Patih Narotama dari Mataram."

Dua orang gadis itu memberi hormat dengan sembah di depan hidung mereka. Narotama membalas dengan sembah di depan dada.

"Paman Nagakumala, bagaimana jawaban paman atas pinangan yang saya ajukan kemarin? Apakah sudah ada keputusan jawabannya?"

"Ha-ha-ha! Sudah kami rundingkan dengan dua orang anak yang bersangkutan, anakmas. Sebaiknya kalau anakmas mendengar sendiri apa yang menjadi jawaban mereka. Nini Lasmini, engkau sudah mendengar sendiri pertanyaan Ki patih Narotama dan aku sudah menceritakan kepada kalian berdua tentang pinangan yang diajukan Kipatih atas nama Sang Prabu Erlangga. Nah, sekarang, engkau jawablah sendiri saja pertanyaan itu dan terserah kepadamu sendiri apakah engkau dapat menerima pinangan itu ataukah tidak."

Lasmini menatap tajam wajah Narotama dan pada sinar matanya terbayang kekaguman kepada pria perkasa itu. Pria yang masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun usianya, tubuhnya tinggi tegap dan jelas berisi tenaga yang amat kokoh kuat walaupun sikapnya sederhana. Wajahnya tampan dan penuh wibawa. Tidak mengenakan pakaian kebesaran seperti seorang bangsawan tinggi, melainkan seperti seorang muda dari pulau Bali. Kepalanya terbungkus kain pala yang ujungnya meruncing di bagian belakang. Mata yang tajam seperti mata elang itu memandang dengan lurus dan wajar, sama sekali tidak membayangkan perasaan hatinya, namun bibir yang tersenyum itu membayangkan kesabaran dan penuh pengertian. Wajah seorang laki-laki, seorang jantan dan begitu bertemu pandang, Lasmini segera jatuh hati. la merasa tertarik sekali dan ada kemesraan menyentuh hati sanubarinya. Kalau laki-laki ini benar memiliki kedigdayaan seperti yang pernah didengarnya, maka inilah calon suami yang di nanti-nantinya dan ia segera merasa cocok dan setuju dengan siasat yang telah direncanakan semalam bersama Mandari dan Ki Nagakumala.

Mendengar ucapan uwanya itu, Lasmini tersenyum, menjaga agar senyum itu keluar dengan wajar tidak dibuat-buat dan tampak semanis-manisnya. Memang manis bukan main ketika ia tersenyum itu. Bahkan tahi ialat hitam kecil di sudut mulut bagian kiri itu seolah menari.

"Karena andika ternyata masih amat muda, Kipatih, bolehkah saya menyebut andika Kakangmas Narotama saja?" katanya dengan lembut dan sikap sopan, agak malu-malu.

Narotama tersenyum. Wajah Lasmini begitu menarik dan mempesona hatinya, namun dia ingat bahwa dia dalam tugas dan wanita ini bersama adiknya dipinang oleh Sang Prabu Erlangga, hendak dijadikan selir dan dia hanyalah seorang utusan sehingga sama sekali tidak boleh perasaannya ikut berulah.

"Tentu saja, Nimas Lasmini. Tentu andika boleh menyebutku Kakangmas Narotama saja. Sesungguhnya sayapun tidak ingin membanggakan kedudukanku sebagai patih dan saya sekarang ini hanya bertindak sebagai seorang utusan."

"Baiklah kalau begitu, kakangmas. Sekarang, apakah kakangmas menghendaki jawaban atas pinangan itu langsung dari mulut saya?"

"Sebaiknya begitulah. Saya hanya utusan dan apapun yang menjadi jawaban andika sekalian atas pinangan itu, saya hanya akan melaporkannya kepada Gusti Sinuwun."

"Terus terang saja aku dan adikku mandari sudah saling berembuk dalam hal ini dan sudah mengambil keputusan. Andika tadi sudah mendengar bahwa kami alalah puteri-puteri Kanjeng Ibu Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman, dan ayah kami adalah Sang Bhagawan Kundolomuko yang kini menjadi pertapa di pantai Blambangan. Nah, setelah mengetahui akan hal itu, bahwa ayah ibu kami adalah musuh-musuh Mataram, apakah andika masih hendak melanjutkan pinangan itu, kakangmas?"

"Kanjeng Gusti Sinuwun tahu benar akan hal itu, nimas. justeru karena selama ini Kerajaan Parang Siluman memusuhi Mataram, maka beliau mempunyai keinginan untuk mengulurkan tangan persahabatan, bahkan kekeluargaan dengan Kerajaan Parang Siluman. Maka, mendengar bahwa Kerajaan Parang Siluman mempunyai dua orang puteri yang bijaksana, sakti dan cantik jelita, lalu timbul keinginan Gusti Sinuwun untuk meminang andika berdua."

Lasmini tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Hal itupun sudah kami dengar dari keterangan Uwa Nagakumala. Akan tetapi semenjak kami remaja, kami berdua sudah menentukan syarat bagi pria yang hendak mempersunting kami sebagai isteri. Pertama .dia harus seorang ksatria yang berkedudukan t inggi."

"Gusti Sinuwun Erlangga adalah seorang ksatria besar dengan kedudukan sebagai raja!" kata Narotama.

"Syarat yang ke dua, dia harus seorang pria muda yang tampan dan bijaksana."

"Itu syarat yang sudah terpenuhi, nimas. Siapa yang tidak mengenal bahwa Sang Prabu Erlangga adalah seorang pria muda yang tampan dan gagah, berbudi bawa laksana, sugih bandha bandhu lagi bijaksana?"

"Dan syarat ke tiga yang penting kali bagi kami, pria itu harus sakti mandraguna dan dapat mengalahkan kami dalam pertandingan adu kesaktian!"

"Sang Prabu Erlangga adalah seorang raja yang sakti mandraguna pilih tanding, lebih lebih digdaya dibandingkan aku. Akan tetapi beliau tidak berada di sini untuk membuktikan kesaktiannya. Aku adalah utusannya yang berkuasa penuh, bertanggung jawab dan berhak mewakili beliau menghadapi segala rintangan dan tantangan. Oleh karena itu, syarat ketiga itu dapat dipenuhi dan aku yang menjadi wakilnya."

"Kalau begitu, andika yang akan mewakili Sang Prabu Erlangga menandingiku, kakangmas?" tanya Lasmini dan matanya memandang begitu indahnya, setengah tertutup sehingga bulu mata yang lentik panjang itu hampir saling merapat.

"Kalau memang itu merupakan sayembara bagimu, akan kuhadapi, nimas!"

Lasmini tersenyum menoleh kepada Ki Nagakumala. "Uwa, aku akan menerimaan di mana lagi kalau tidak di sini? Pelataran pondok kami ini cukup luas untuk dijadikan tempat berdinding kesaktian. Mari, Kakangmas Narotama, mari saling menguji kesaktian masing-masing. Sudah lama aku mendengar akan kehebatan Kipatih Narotama dan ingin sekali aku merasakan sendiri sampai berapa hebat dan ampuh kepandaiannya!”

Setelah berkata demikian, Lasmini melompat ke depan. Sekali lompat ia sudah melayang ke pelataran yang terbuka, tidak kurang dari lima tombak jauhnya, bagaikan seekor burung srikatan saja gesitnya, la berdiri tegak seperti srikandi, pendekar wanita digdaya dalam cerita Mahabharata itu.

Narotama bangkit berdiri, membungkuk kepada Ki Nagakumala seolah minta perkenan tuan rumah itu. Kakek itu tersenyum dan mempersilakan dengan gerakan tangannya. Narotama lalu melangkah menghampiri Lasmini yang telah berdiri menanti sambil bertolak pinggang.

Mereka saling berhadapan, saling mengamati seperti lagak dua ekor ayam yang hendak bertarung. Lasmini mengamati wajah dan tubuh Narotama penuh perhatian. Pria itu memang tampan dan gagah sekali walaupun sikapnya lembut bersahaja. Tubuhnya yang tinggi tegap Itu menunduk seolah memperlihatkan kerendahan hatinya, namun kepalanya tegak penuh wibawa dan keagungan Pancaran pandang matanya penuh pengertian dan penuh kekuatan batin, pandang mata yang begitu dalam dan tenang seperti permukaan air telaga yang dalam Namun di balik semua kekuatan tersembunyi Itu, terbayang kelembutan seorang ksatria yang selalu merasa rendah dan tunduk akan kekuasan Yang Maha Tinggi. Biarpun pakaiannya juga tidak terlalu mewah, namun dalam kesederhanaan itu terbayang keagungan seorang priyayi yang berkedudukan tinggi. Sebatang keris berwarangka kayu terukir terselip di ikat pinggangnya. Itulah keris pusaka Kolomisani, sebatang keris kecil berbentuk lurus.

Di lain pihak, Narotama juga mengamati calon lawannya dan kembali hatinya tergetar dan terguncang oleh daya tarik yang luar biasa dari dara ayu itu. Tubuh Lasmini ramping dan padat, denok dan kewes. Dadanya yang membusung itu tampak membayang di balik kemben sutera halus, seolah-olah bukit dadanya hendak memberontak karena ditutup dan ditekan kemben, seperti sepasang gunung berapi siap meletus. Rambutnya yang hitam panjang berombak itu digelung lebar terhias emas bermata intan yang amat indah.

Gelung rambut itu ujungnya terurai di leher sebelah kanan, terhias untaian bunga melati. Wajahnya gemilang seperti bulan purnama, dihalus-putihkan dengan bedak tipis-tipis. Kulitnya yang putih mulus itu demikian halus sehingga ketika tertimpa sinar matahari pagi, seperti berkilau laksana emas. Sebilah keris kecil terselip di pinggangnya. Sungguh merupakan seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, bagaikan Dyah Srikandi, cantik dan juga gagah perkasa.

Lasmini melepas lagi senyumnya. Senyum yang lebih tajam dan lebih berbahaya daripada anak panah yang dilepas dari gendewa di tangan Srikandi. Senyum itu bagaikan anak panah mujijat yang langsung menyambar ke arah jantung Narotama! Namun, kipatih ini cepat menangkis dengan tekanan batinnya, mengingat bahwa wanita itu adalah calon garwa selir junjungannya sehingga tidak pantaslah kalau dia jatuh cinta!

"Kakangmas Narotama, sudah siapkah andika?" Tanya Lasmini, suaranya merdu sekali, bukan seperti orang menantang bertanding, begitu mesra dan bersahabat

"Sudah, nimas. Aku sudah siap. Mulailah." kata Narotama tenang.

Lasmini sudah merencanakan siasat bersama adik dan uwaknya. Ia juga tahu bahwa ia tidak akan mungkin dapat menandingi kipatih yang sudah amat terkenal kedigdayaannya itu. Sudah diatur bahwa ia harus berhasil menjadi garwa atau selir Kipatih Narotama yang nama jabatannya adalah Rakryan Patih Kanuruhan Mpu Dharmamurti Narotama Danasura itu.

Karena itu, setelah kini berhadapan dengan Narotama dan mulai bertanding, iapun memasang gaya yang amat menarik, la membuka gerakan silatnya dengan indah sekali. Ia berdiri memasang kuda-kuda dengan kaki kanan di belakang dan kaki kiri di depan, kedua lutut ditekuk dan kaki kiri berdiri pada ujung kakinya, sikapnya "ndegeg", yaitu dada dibusungkan kedepan dan pinggul ditonjolkan ke belakang, tangan kiri dengan siku ditekuk dan jari-jari terpentang berada di depan dahi dengan telunnjuk menuding ke atas, tangan kanan berkembang ke belakang dengan jari jari terbuka pula.

Gerakan pembukaan ini indah sekali, seperti seorang penari Bali beraksi, dadanya dan pinggulnya makin tampak membusung dan pinggangnya tampak begitu ramping seperti akan patah, pasangan pembukaan yang indah dan juga mengandung daya tarik yang menggairahkan. Narotama terpesona akan semua keindahan gerak tubuh wanita ini, akan tetapi dia bersikap tenang, menanti dara itu melakukan penyerangan.

"Sambut seranganku!" Tiba-tiba Lasmini berseru dan tubuhnya mulai bergerak menyerang. Tangan kirinya menyabar dari atas mencengkeram ke arah kepala Narotama disusul tangan kanan yang meluncur ke arah dada dengan tusukan dua jari tangan.

"Hyaaaaattt .....!"

Narotama kagum. Serangan itu sungguh dahsyat. Namun baginya tidak merupakan ancaman bahaya. Dia lalu mengelak dan ketika Lasmini menyusulkan serangan bertubi-tubi sambil dibarengi dengan bentakan-bentakan nyaring, Narotama hanya membela diri dengan elakan dan tangkisan. Kalaupun menangkis, dia membatasi tenaganya, tidak mempergunakan tenaga yang mengandung kekerasan, melainkan menggunakan tenaga lemas sehingga Lasmini merasa seolah lengannya ditangkis sebatang lengan yang hanya terdiri dari kulit dan daging tanpa tulang, begitu
empuk walaupun amat kuat sehingga tidak membuat lengannya nyeri.

Diam-diam Lasmini merasa girang sekali. Kenyataan ini saja menunjukkan bahwa kipatih ini "ada rasa" kepadanya, menyayangnya dan tidak ingin menyakitinya. Bahkan sampai tiga puluh jurus ia menyerang terus secara bertubi-tubi, tidak satu kalipun patih itu membalas!

Bagaimanapun juga, Lasmini merasa penasaran sekali. Ia memang sudah diberi tahu uwanya bahwa Narotama amat sakti mandraguna dan ia tidak mampu menandingmya, namun kini ia merasa tegitu tidak berdaya seperti seorang anak kecil saja. la merasa penasaran juga karena selama ini belum pernah ia dikalahkan orang.

Setelah kembali sebuah tangkisan lengan yang lunak seperti karet itu membuatnya terpental ke belakang, Lasmini diam-diam membaca mantra dan mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Segera terasa hawa dingin menyelubungi sekitar dara itu, terutama sekali Narotama merasa ada hawa dingin menyergapnya. Dia maklum bahwa gadis itu mempergunakan aji kesaktian yang mengandung hawa dingin dan tentu merupakan pukulan yang memiliki daya serang berbahaya. Maka, diapun sudah siap siaga untuk menyambut serangan aji yang mengandung kekuatan sihir itu. Lasmini mengumpulkan tenaga dan setelah merasa tenaganya mencapai titik puncak, ia lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Narotama sambil berseru melengking.

"Aji Ampak-ampak ..... hyaaaaahh....!!"

Tampak cahaya kebiruan menyambar dari kedua telapak tangan itu meluncur ke arah tubuh Narotama. Ampak-ampak adalah semacam halimun atau kabut dingin yang biasanya terdapat di puncak puncak gunung yang wingit, yang mengandung hawa dingin menyusup tulang dan juga mengandung bisa yang dapat mematikan manusia maupun tumbuh tumbuhan.

Narotama yang sudah siap siaga, lalu mengerahkan tenaga saktinya, menyambut dengan dorongan kedua tangannya sambil berseru nyaring.

"Aji Bojrodahono (Api Halilintar) .....!"

Tidak ada lawan yang lebih ampuh untuk melawan Aji Ampak-ampak yang dingin seperti salju itu kecuali Aji Bojrodahono yang panas bagaikan api.

"Blarrrrr .....!"

Masih untung bagi Lasmini bahwa Narotama tidak mempergunakan seluruh tenaga saktinya, hanya membatasi dan cukup untuk menolak serangan dara itu saja. Namun, pertemuan dua tenaga sakti itu tetap saja membuat tubuh denok Lasmini terdorong ke belakang dan nyaris ia jatuh terjengkang kalau saja ia tidak cepat berjungkir balik ke belakang sampai tiga kali.

Perbuatan ini tentu saja membuat kain yang menutupi tubuhnya tersingkap sedikit sehingga tampak oleh Narotama kulit paha yang putih mulus dan betis kaki yang indah memadi bunting. Kembali darahnya berdesir kencang.

Lasmini merasa kagum sekali. Akan tetapi dasar ia berwatak liar dan biasaya suka menyombongkan kepandaian sendiri, kekalahan demi kekalahannya itu membuat ia semakin penasaran. Ia lalu mencabut keris kecil yang terselip di pinggangnya. Sambil mengacungkan senjata itu, ia berkata, suaranya menantang.

"Kakangmas Narotama, beranikah andika menyambut keris pusakaku ini? Kalau engkau berani dan mampu mengalahkan aku sekali ini, barulah aku menerima kekalahanku!"

Narotama tersenyum. Dia harus menjaga kebesaran nama junjungannya. Pertandingan ini memang dilakukan olehnya namun sebagai wakil Sang Prabu Erlangga sehingga kemenangannya atau kekalahannya, juga merupakan kemenangan atau kekalahan Sang Prabu Erlangga. Dia memandang keris kecil itu dan melihat betapa ujung keris itu mengeluarkan sinar hitam. Dia dapat menduga bahwa keris itu pasti telah direndam racun yang amat berbahaya dan sedikit tergores saja, kalau sampai kulit terobek dan berdarah, cukup untuk membunuh orang. Dia maklum bahwa betapapun cantik jelitanya, dara ini adalah keturunan keluarga kerajaan sesat.

Kerajaan Parang Siluman memang terkenal memiliki tokoh-tokoh ahli sihir dan racun. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, mengingat bahwa tingkat kesaktian Lasmini sudah diukurnya dalam pertandingan tadi dan tenaga dara itu tidak terlalu kuat baginya. Dia lalu menanggalkan baju atasnya agar jangan sampai terobek, lalu dengan dada terbuka dia melangkah maju.

"Marilah, Nimas Lasmini, akan ku tadahi keris pusakamu dengan dadaku. Hendak kulihat bagaimana ampuhnya keris pusakamu itu!"

Lasmini terbelalak. Benarkah pemuda ini hendak menerima tusukan kerisnya yang ampuh beracun dengan bertelanjang dada? Bagaimana kalau Narotama tewas oleh kerisnya? Jadi berantakan siasat yang telah direncanakan dan diatur sebelumnya. Akan tetapi, timbul pula keinginan dalam hatinya untuk menguji kesaktian pria ini. Untuk menyerahkan dirinya yang masih perawan itu kepada seorang laki-laki, ia harus yakin bahwa laki-laki itu memang patut memiliki dirinya, menerima cinta kasihnya, patut untuk dilayaninya sebagai seorang suami.

"Baik, sambutlah ini, kakangmas!" la melangkah maju dan tangan kanannya yang memegang gagang keris itu bergerak menusukkan kerisnya ke arah ulu hati Narotama.

"Syuuuttt ..... tukk!"

Keris itu membalik, seperti menusuk benda yang kenyal lunak namun kuat seperti karet! Dan kulit dada yang putih bersih itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikitpun tidak! Lasmini terkejut dan kagum sekali. Ia sendiri juga memiliki aji kekebalan, akan tetapi kalau harus menerima tusukan keris pusakanya ini, tentu saja ia tidak berani. Keris pusakanya ini sudah dirajai dan ditapai, dapat menembus kekebalan lawan. Akan tetapi kekebalan yang dimiliki Narotama ternyata sama sekali tidak dapat ditembus.

Setelah bertubi-tubi menusuk dada dan perut sampai tujuh kali dan selalu kerisnya membalik, Lasmini mengertakan gigi dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya, lalu menusuk lagi ke arah lambung Narotama.

"Hyaattt ..... ahhh!"

Tadi Lasmini sudah merasakan betapa semakin kuat ia menusuk, semakin kuat pula kerisnya terpental. Akan tetapi ia tidak kapok, kini malah menusuk dengan seluruh tenaganya. Begitu kerisnya mengenai lambung keris itu terpental dan membawa tubuhnya terjengkang. Ia tentu terbantai roboh kalau saja Narotama tidak cepat menyambar dan merangkul pinggangnya untuk mencegah tubuh gadis itu terbanting. Dalam rangkulan sejenak ini, Narotama mencium bau kembang melati dan rambut gadis itu dan bau harum seperi cendana keluar dari tubuh Lasmini. Kedua tangannya juga merasakan tubuh yang kenyal dan lunak lembut hangat Kembali jantungnya berdebar, akan tetapi segera dia teringat akan lugasnya dan dengan lembut dia melepaskan rangkulanya.

"Maaf, nimas ....." katanya sambil melangkah mundur.

Lasmini tersenyum dan kedua pipinya menjadi kemerahan, terutama di bagian tulang pipi yang menonjol di bawah kedua matanya. Ia seperti tersipu malu padahal kemerahan wajahnya bukan hanya karena tersipu, melainkan terutama karena ia tadi telah mengerahkan banyak tenaga sehingga jantungnya berdetak kencang.

"Uwa, aku telah dikalahkan oleh Kangmas Narotama, maka aku menerima pinangan itu."

"Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa engkau tentu tidak akan mampu menandingi Kipatih Narotama. Dan engkau bagaimana Mandari?" kata Ki Nagakumala sambil memandang Mandari.

Dara ini tersenyum. "Kalau Mbakayu ini sudah mengaku kalah, tentu saja akupun mengaku kalah, uwa, dan aku juga menerima pinangan Gusti Sinuwun Sang Prabu Erlangga."

"Anakmas Patih Narotama, andika sudah mendengar sendiri kesanggupan kedua orang keponakanku. Nah, sekarang bagaimana? Kapan anakmas akan mengajak mereka ke istana Sang Prabu Erlangga?"

"Karena urusannya telah beres, maka sedapat mungkin saya akan memboyong mereka ke istana Gusti Sinuwun secepatnya, paman." kata Narotama sambil memandang kepada dua orang gadis cantik jelita itu.

Kini Mandari yang bicara dengan sikap manja. "Kami masih mempunyai sebuah permintaan sebagai syarat, Kakang Patih Narotama'"

Narotama terkejut dan diam-diam mencatat dalam hatinya bahwa sikap gadis yang lebih muda ini sungguh penuh arti. Karena merasa telah menjadi calon garwa Sang Prabu Erlangga, maka gadis ini sudah menganggap dirinya sebagai isteri raja dan memanggilnya Kakang Patih, tidak seperti Lasmini yang memanggilnya kakangmas!

"Syarat apakah itu, nimas?" tanya Narotama sambil menatap wajah gadis yang memiliki rambut lebih gemuk dan lebih panjang ketimbang rambut mbakayunya.

"Begini, kakang patih. Mba ayu Lasmini dan aku adalah keturunan bangsawan tinggi, ibu kami adalah seorang ratu. Biarpun dalam urusan perjodohan ini telah diputuskan oleh Uwa Nagakumala dan kami sendiri, namun kami merasa sudah sepatutnya kalau Sang Prabu Erlangga menghargai kami sebagai puteri puteri yang diboyong karena pinangan, bukan diboyong karena kalah perang. Oleh karena itu, kami minta agar andika jemput kami dengan menggunakan buah kereta kebesaran dan ditarik oleh empat ekor kuda."

"Ah, permintaanmu itu pantas sekali, adikku. Kakangmas Narotama, aku memperkuat permintaan Mandari. Kalau andika akan memboyong kami, harus menggunakan kereta kebesaran, dengan demikian kami merasa dihormati dan tidak dipandang rendah orang." kata Lasmini.

Lanjut ke Jilid 011 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment