Ads

Friday, September 14, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 011

◄◄◄◄ Kembali

Narotama tersenyum dan mengangguk. "jangan khawatir, nimas berdua. Sesungguhnya, kereta untuk memboyong andika berdua itu sudah siap menanti di kaki bukit ini."

Narotama tidak berbohong. Memang ketika dia pergi ke Bukit Junggringslaka, dia sudah mempersiapkan sebuah kereta untuk menjemput dua orang puteri itu kalau pinangannya diterima. Kereta itu dia titipkan pada seorang lurah di dusun yang berada di kaki bukit dan seorang kusirnya yang berpakaian dinas juga menanti di sana. Mendengar ucapan Narotama itu, Ki Nagakumala lalu tertawa.

"Sekarang berkemaslah, Lasmini dan Mandari. Bawa segala barang kebutuhanmu. Nanti kita bersama-sama turun bukit Kalian ikut Kipatih Narotama ke Kahuripan dan aku akan pergi melaporkan kepada ibu kalian di Parang Siluman."

Kedua orang gadis itu lalu berkemas Narotama menanti di ruangan pendapa. Setelah selesai berkemas, dua orang gadis itu bersama Ki Nagakumala mengikuti Narotama turun bukit menuju ke dusun di mana dia menitipkan kereta, kuda dan kusirnya di rumah kepala dusun.

Siang hari itu juga berangkatlah Narotama mengawal kereta menuju ke Kahuripan, sedangkan Ki Nagakumala pergi ke selatan, ke arah Kerajaan Parang Siluman di mana adiknya Ratu Durgamala memerintah, untuk melaporkan bahwa kedua orang puterinya pergi ke Kahuripan untuk menjadi garwa selir Sang Prabu Erlangga.

Ketika Ratu Durgamala mendengar pelaporan kakaknya bahwa kedua orang puterinya menerima pinangan untuk menjadii selir Sang Prabu Erlangga, wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik seperti seorang gadis itu menjadi marah sekali. Ia menggebrak meja dan memandang kakaknya dengan mata melotot.

"Gilakah andika, Kakang Nagakumala? dan sudah gila pulakah Nini Lasmini dan Nini Mandari maka mereka sudi menjadi garwa selir Raja Erlangga? Dia itu musuh bebuyutan kita, kakang! Mataram sejak dulu adalah musuh Parang Siluman! bagaimana sekarang dua orang puteri Parang Siluman, anak-anakku sendiri, menjadi selir Raja Mataram yang menjadi musuh besar kita?"

"Tenang dan bersabarlah, yayi ratu. Penerimaan pinangan Prabu Erlangga ini disetujui oleh Nini Lasmini dan Nini Mandari sendiri. Pertama karena memang keinginan dua orang puterimu itulah yang menghendaki agar mereka yang sudah dewasa mendapatkan suami seorang bangsawan tinggi yang muda tampan, dan sakti mandraguna. Dan siapakah orang muda yang dapat melebih Prabu Erlangga dalam tiga hal itu? Hanya Kipatih Narotama yang dapat mengimbanginya.  Karena itu, Nini Lasmini memilih agar diperisteri Kipatih Narotama dan Nini Mandari memilih untuk diperisteri Prabu Erlangga. Dan hal kedua yang tidak kalah pentingnya, justeru perjodohan ini telah kami rencanakan untuk menjadi sarana penghancuran Mataram."

"Ehh?? Penghancuran Mataram melalui perjodohan anak-anakku dengan Erlangga dan Narotama? Apa maksudmu kakang?"

"Begini, yayi ratu. Kedua orang puterimu itu, murid-muridku yang pintar pintar, telah menyetujui rencana kami itu. Dengan penuh keyakinan mereka percaya bahwa mereka akan mampu membuat raja dan patihnya mabok kepayang dan selanjutnya mengadakan bujukan-bujukan agar raja dan patih yang sakti mandraguna itu saling bertikai dan bertentangan sehingga Mataram menjadi lemah. Bahkan kalau usaha itu gagal, mereka akan meningkatkan usaha mereka, yaitu membunuh Erlangga dan Narotama."

"Ahh! Mereka..... para puteriku yang ayu manis, mau melakukan itu?" Ratu Durgamala membelalakan matanya dan wajahnya menjadi cerah gembira.

"Ya, itulah yang kami rencanakan. Maka mereka tidak merasa ragu lagi untuk menerima pinangan dan mengikuti Kipatih Narotama menuju Kahuripan."

"Dan mereka mengorbankan diri untuk itu! Aih, anak-anakku yang manis, anak anakku yang hebat, kalian tidak mengecewakan, kalian pantas menjadi anak anakku, kalian persis watak ibu kalian! I leh-he-he-hi-hik!"

Ratu Durgamala tertawa senang, agaknya sudah lupa betapa beberapa tahun yang lalu ia selalu merasa bersaing dengan dua orang puterinya yang makin dewasa menjadi semakin cantik sehingga ia merasa terancam. Ialah yang menjadi ratu. La yang menjadi wanita nomor satu, paling cantik, di Parang Siluman, la tidak mau disaingi atau dikalahkan dalam hal kecantikannya oleh wanita manapun juga, bahkan kecantikan dua orang puterinya yang menonjol itu membuatnya iri dan khawatir kalau kedudukannya sebagai wanita tercantik akan tergeser oleh dua orang puterinya. Karena itulah maka ia mengharuskan dua orang puterinya itu ikut kakaknya, Ki Nagakumala di Bukit Junggringslaka untuk memperdalam ilmu mereka. Di lain pihak, dua orang puterinya juga merasakan ketidak-senangan bahkan mendekati kebencian ibu kandung mereka sendiri terhadap mereka. Karena itulah mereka lebih senang ikut uwa mereka mempelajari ilmu, dan ketika mereka menerima pinangan Raja Erlangga, mereka sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk minta ijin atau pamit kepada ibu kandung mereka!

Memang Ratu Durgamala ini memiliki watak yang seperti iblis, gila akan kecantikannya sendiri Bahkan ia mempelajari segala macam ilmu untuk dapat membuat dirinya awet muda, dan akhirnya ia menemukan Suket sungsang, semacam rumput yang langka dunia ini dan rumput ajaib inilah yang membuat ia awet muda dan tampak seperti berusia dua puluh tahun saja walaupun usianya sudah empat puluh tahun lebih. la juga memberi jamu Suket Sungsang kepada dua orang puterinya sehingga dua orang gadis itupun menjadi awet muda. Iapun seorang petualang nafsu berahi dan inilah yang membuat suaminya, ayah dari Lasmini dan Mandari, meninggalkannya dan lebih suka menjadi seorang pertapa di pantai Blambangan.

Tadinya, mendengar dua orang puteri kandungnya hendak menjadi garwa Raja Erlangga dan Patih Narotama tanpa seijinnya, tanpa pamit, kasih saying seorang ibu dalam hatinya tersentuh. Akan tetapi setelah mendengar bahwa kedua orang puterinya itu sengaja mengorbankan diri untuk kepentingan Parang Siluman, yaitu menghancurkan Mataram, ia menjadi bangga dan gembira sekali. Demikianlah, kasih sayang manusia antara berhubungan apapun juga, suami isteri, sahabat, bahkan ibu dan anaknya, kalau sudah dikuasai nafsu pementingan diri sendiri, maka kasih sayang itu menjadi kotor. Kasih sayang seperti itu hanya merupakan sarana untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau kasih sayang murni yang sejati ada, maka si-aku yang mementingkan kesenangan hati dan perasaan sendiri, tidak akan muncul. Kalau si-aku yang berupa nafsu hati akal pikiran muncul, apa yang dinamakan cinta kasih itu hanyalah ulah nafsu yang pamrihnya tidak lain untuk mencari keenakan dan kesenangan diri sendiri, untuk pemuasan jasmani.

Maklum bahwa kakaknya adalah seorang yang sakti mandraguna, Ratu Durgamala lalu menahan kakaknya dan membujuk agar kakaknya itu suka tinggal di Parang Siluman membantunya. Ki Nagakumala yang merasa kesepian setelah ditinggalkan dua orang keponakannya, menerima ajakan itu dan sejak hari itu, diapun tinggal di Parang Siluman dan menjadi penasihat dari Ratu Durgamala.

Kereta itu meluncur dengan cepatnya menuju ke kota raja Kahuripan. Sang kusir yang berpakaian indah itu mengendalikan empat ekor kuda penarik kereta dan dua orang puteri Parang Siluman pun duduk di dalam kereta, berbisik-bisik sehingga suara percakapan mereka Tidak terdengar oleh sang kusir. Di belakang kereta itu, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter, Narotama menunggangi kudanya, mengawal dari belakang. Hatinya merasa gembira bukan main
karena dia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Beruntung sekali bahwa pinangan itu dapat diterima oleh Ki Nagakumala dan dua orang puteri itu, tanpa ada syarat yang terlalu berat.

Andaikata Ki Nagakumala sendiri yang menguji kepandaiannya, dia dapat menduga bahwanya tidak akan begitu mudah baginya untuk mengalahkannya. Dan andaikata mereka menolak, tentu akan terjadi perkelahian. Akan tetapi semua itu tidak jadi dan dia hanya harus mengalahkan Lasmini. Dia telah berhasil dan Sang Prabu Erlangga tentu akan merasa senang sekali.

Akan tetapi tiba-tiba wajah Lasmini terbayang di pelupuk matanya. Sayang sekali Lasmini akan menjadi garwa selir sang prabu! Ah, mengapa Sang Prabu Erllanga begitu tamak? Bukankah garwa selirnya sudah ada sedikitnya tujuh orang muda-muda dan cantik-cantik pula. Kenapa sekarang hendak mengambil Lasmini dan Mandari pula? Kedua-duanya? Sedangkan dia sendiri hanya hidup berdua dengan Listyarini, isterinya. Dia tidak mempunyai selir seorangpun! Sudah pantasnyalah kalau sang prabu menyerahkan Lasmini kepadanya, untuk menjadi selirnya, sebagai hadiah atas keberhasilannya. Sudah tepat dan pantas sekali. Bukankah dia yang bersusah payah mengajukan pinangan sehingga berhasil membawa dua orang puteri itu ke Kahuripan

TANPA terdengar oleh kusir dan oleh Narotama, dua orang gadis dalam kereta itu merencanakan sesuatu. Mereka bicara bisik-bisik.

"Akalmu itu baik sekali, Mbakayu Lasmini. Sebaiknya kita lakukan sekarang juga."

“Lakukanlah, Mandari, akan tetapi hati-hati, batasi dan kendalikan tenaga. Jangan terlalu kuat sehingga nyawaku terancam, juga jangan terlalu lemah hingga akan mencurigakan. Tunggu bentar kalau kereta sudah memasuki hutan di depan."

Kereta meluncur masuk ke dalam hutan di perbatasan kerajaan Kahuripan. Tiba-tiba terdengar suara wanita mengeluh dan disusul teriakan Mandari.

"Ki kusir, hentikan dulu keretanya! Mbakayuku sakit!"

Mendengar teriakan ini, kusir menghentikan empat ekor kudanya. Melihat kereta berhenti tiba-tiba di dalam hutan itu, Narotama lalu melompat turun dari kudanya dan menghampiri kereta. Dia juga mendengar keluhan tadi dan mendengar teriakan Mandari. Ketika dia mendekati kereta, dia masih mendengar keluh kesah itu. Tirai kereta dibuka dari dalam dan Mandari meloncat keluar Mukanya pucat dan ia cepat berkata ketika melihat Narotama mendekat.

"Cepat, Kipatih Narotama, cepat tolonglah Mbakayu Lasmini. Sakit perutnya kambuh lagi, aku khawatir sekali."

Narotama dengan khawatir lalu menjenguk ke dalam kereta dan dia mengerutkan alisnya, terkejut bukan main. Di melihat Lasmini duduk setengah rebah di atas bangku kereta, wajahnya pucat sekali, bahkan agak membiru tanda bahwa gadis itu menderita keracunan! Gadis itu menekan perutnya dan menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Cepat dia meraba dahi gadis itu dan dia semakin terkejut Dari wajah yang pucat kebiruan dan dahi yang terasa panas seperti terbakar api itu, segera Narotama tahu bahwa Lasmini benar-benar menderita luka dalam yang keracunan dan berbahaya sekali. Kalau hawa beracun dalam tubuh gadis itu tidak segera dikeluarkan, besar kemungkinan gadis itu akan tewas!

Karena tidak mungkin mengobati gadis itu dalam kereta karena tempat itu sempit dan gadis itu tidak dapat direbahkan telentang, tanpa ragu lagi Narotama lalu memondong tubuh Lasmini yang udah lemas itu keluar dari kereta.

Tiba-tiba terdengar suara Mandari, "Kipatih, bawalah ia ke sini. Di sini ada tempat bersih!"

Narotama menengok dan melihat Mandari menunjuk ke kiri. Dia memondong tubuh Lasmini dan menghampiri dan benar saja, Mandari telah menemukan sebuah tempat di mana terdapat rumput tebal dan tempat itu bersih, agak jauh dari kereta. Narotama lalu merebahkan tubuh Lasmini, telentang di atas rumput tebal.

"Agaknya kambuh kembali penyakit perutnya," kata Mandari sambil berlutut dan memandang kepada Narotama.

"Ki patih, dapatkah andika mengobatinya. Menurut uwa kami kalau ia sedang begini, nyawanya terancam kalau tidak segera diobati dengan pengerahan hawa sakti."

"Dia terluka sebelah dalam, luka yang beracun dan cukup berbahaya. Hanya aku belum tahu di bagian mana ia terpukul dan sampai berapa parahnya akibat pukulan itu. Tahukah andika mengapa ia menderita luka dalam seperti ini?"

"Ini akibat latihan Aji Ampak-ampak yang salah menurut keterangan Uwa Nagakumala. Karena keliru ketika latihan dan terlalu ingin cepat menguasai, Mbakayu Lasmini membuat tenaga pukulan aji itu membalik dan menurut uwa kami, ia terluka di bagian pusarnya. Berbahaya sekali. Tolonglah, kipatih, andika yang berkepandaian tinggi pasti dapat menolongnya." kata Mandari khawatir.

"Aduhhh..... ah, mati aku..... Kakangmas Narotama..... tolonglah aku, kakangmas....." Lasmini merintih-rintih sambil menekan-nekan perutnya.

"Di bagian mana yang nyeri, nimas?" tanya Narotama, merasa iba sekali.

"Di sini..... ah, perut..... pusar ini..... dingin sekali, seperti ditusuk-tusuk rasanya....." Lasmini menggigit bibirnya dengan giginya yang putih dan berderet rapi seperti mutiara.

"Jangan khawatir, nimas. Aku akan mengobatimu dan mudah-mudahan aku akan dapat menyembuhkanmu. Akan tetapi..... maafkan aku, nimas. Terpaksa aku harus memeriksa dan melihat keadaan bagian tubuhmu yang terkena pukulan itu."

"Aih, kipatih. Dalam keadaan seperti ini, nyawa Mbakayu Lasmini terancam bahaya maut, mengapa andika masih bersikap sungkan-sungkan segala? Lakukanlah pemeriksaan dan pengobatan itu, aku hendak memberi tahu ki kusir agar melepaskan kuda-kuda biar mengaso dan makan rumput."

Setelah berkata demikian Mandari lalu cepat meninggalkan mereka berdua.

"Aduhh..... cepat periksalah..... kakangmas..... ah, aku tidak kuat lagi ....." Lasmini lalu menurunkan kain yang membungkus perutnya sehingga perutnya sampai ke pusar tampak telanjang.

"... ini ..... di sini..... yang nyeri..... aduh....." Lasmini menekan perutnya di bagian samping pusar.

Narotama terpaksa memejamkan kedua matanya. Pemandangan itu terlalu indah merangsang sehingga jantungnya berdebar keras sekali. Kulit itu demikian putih mulus kemerahan, perut itu begitu halus dan rata, bentuk pusar yang kecil mungil itu. Dia membuka matanya, akan tetapi mata itu kini seperti tidak lagi melihat keindahan tadi karena dia sudah menyatukan hati akal pikirannya, dipusatkan menjadi satu saja perhatian tujuan, yaitu perhatian terhadap penyakit yang diderita Lasmini dan tujuannya hanyalah mengobati penyakit itu Dijulurkan tangan kirinya, meraba sipusar yang tampak kemerahan. Terasa jari-jarinya menyentuh kulit yang dingin luar biasa dan tahulah dia bahwa di situlah letak luka dalam, di bawah kulit itulah hawa dingin beracun agaknya mengeram di bagian itu, sedangkan bagian tubuh lain, terasa panas membakar. Narotama mengerutkan alisnya. Pantasnya gadis ini terkena pukulan yang ampuh, kirnya. Atau, seperti diceritakan Mandari tadi, mungkin juga terkena hawa pukulan sendiri yang membalik sehingga luka dalam. Dan dia tahu bagaimana harus mengusir hawa dingin beracun itu.

"Maaf, Nimas Lasmini. Mudah-mudahan aku dapat mengobati penyakitmu ini. Andika terluka di sebelah dalam, di dekat pusar ini, seperti terkena pukulan beracun dingin..... akan tetapi mungkin juga terluka oleh pukulanmu sendiri yang membalik. Pengobatannya sederhana saja, yaitu hawa dingin beracun itu harus diusir keluar dan untuk itu..... sekali lagi maaf, aku harus menempelkan telapak tanganku untuk beberapa lamanya di bagian yang terluka ini."

"Aduh ....., kakangmas ..... kenapa andika masih malu dan sungkan segala? Aku .... aku percaya padamu ..... kuserahkan jiwa ragaku kepadamu. Cepat lakukan pengobatan itu, kakangmas ...aku tidak kuat lagi menahan rasa nyerinya ..... aduhhh ....."

Melihat penderitaan Lasmini, Narotama tidak membuang waktu lagi. Dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya lalu menempelkan kedua telapak tangannya di kedua sisi pusar perut Lasmini. Tangan kiri menempel tepat pada bagian yang terluka dan berwarna merah lalu dia mengerahkan tenaga saktinya untuk menyedot. Adapun telapak tangan kanan yang menempel di sisi yang lain menyalurkan hawa panas dari Aji Bojrodahono untuk menyerang dan mendesak hawa dingin beracun yang berasal dari Aji Ampak-ampak itu.

Sementara itu, Mandari menghampiri kereta dan memerintahkan kusir kereta untuk melepaskan empat ekor kuda agar dapat mengaso dan makan rumput, sedangkan ia sendiri duduk di bawah pohon yang rindang sambil tersenyum-senyum, membayangkan hasil akal yang dipergunakan Lasmini. Tentu saja tadi ia yang sengaja memukul sisi pusar perut mbakayunya dengan Aji Ampakampak, cukup kuat untuk mendatangkan luka sehingga tidak mencurigakan Narotama akan tetapi tidak cukup kuat untuk membahayakan nyawa mbakayunya.

Ternyata siasat yang dipergunakan dua orang puteri itu berhasil baik. Narotama terkecoh dan mengira bahwa Lasmini benar-benar terluka oleh pukulannya sendiri yang membalik karena salah latihan. Akan tetapi akibatnya cukup hebat baginya. Dia telah melihat perut bahkan pusar gadis itu, bukan hanya melihat, bahkan telah meraba dan menempelkan kedua telapak tangannya dalam waktu yang cukup lama!

Aji Bojrodahono (Api Halilintar) yang dikerahkan Narotama memang hebat bukan main. Panasnya hawa dari aji itu dapat diatur dan perlahan-lahan hawa panas dari Bojrodahono dapat membakar hawa dingin Aji Ampak-ampak sehingga mencair dan hawa beracun itu tersedot oleh telapak tangan kiri Narotama.

Kalau tadi bagian sisi pusar yang terluka itu terasa dingin seperti embun di puncak Mahameru, kini mulai terasa hangat dan kehangatan ini menimbulkan getaran aneh yang mengusik hati akal pikiran Narotama yang tadi dia pusatkan. Merasakan ini, jantung Narotama berdebar dan dia lalu mengangkat kedua tangannya. Lasmini tidak mengeluh dan merintih lagi, bahkan kini kedua matanya tengah terpejam memandang kepada Narotama dan bibirnya tersenyum manis melebihi madu.

"Nimas, hawa dingin beracun itu telah pergi, andika telah sembuh." Narotama melihat tangan kirinya yang berubah agak menghitam karena menyedot hawa beracun itu. Dia mengerahkan hawa Bojrodahono ke dalam telapak tangan kirinya dan tampak telapak tangannya mengepul dan
perlahan-lahan warna hitam telapak tangannya itupun lenyap.

Tiba-tiba Lasmini bangkit dan tanpa membereskan kainnya yang tadi terbuka di bawah ia merangkul leher Narotama dengan kedua lengannya. Bagaikan dua ekor ular, lengan itu merangkull dan ia merapatkan mukanya di dada Narotama.

"Duh Kakangmas Narotama ..... andika telah menolongku, menyelamatkan nyawaku ..... ahh, bagaimanakah aku dapat membalas budimu yang setinggi gunung sedalam lautan ini, kakangmas..?!

Semula Narotama menganggap bahwa perbuatan Lasmini ini hanya dorongan rasa syukur dan terima kasihnya saja yang mendatangkan keharuan. Namun ketika merasa betapa jantungnya tergetar hebat, dia menyadari akan bahaya gejolak berahinya. Cepat dengan lembut mendorong kedua pundak gadis itu dan melepaskan rangkulan sambil berkata dengan suara agak gemetar.

"Jangan begini, nimas. Ini tidak benar. Bersukurlah kepada para dewa yang telah menyembuhkanmu dan mari kita melanjutkan perjalanan kita." Dia memegang tangan Lasmini, ditariknya bangkit berdiri dan diajaknya kembali ke kereta.

Lasmini tidak membantah, akan tetapi ia tidak mau melepaskan tangan Narotama yang memegangnya sehingga mereka bergandengan tangan sambil berjalan menuju ke kereta. Mandari menyambut mereka dengan senyum gembira.

"Ah, Mbakayu Lasmini, sungguh beruntung engkau' Dari wajahmu saja aku sudah dapat melihat bahwa Engkau tentu telah sembuh, diobati oleh Kipatih Narotama. Engkau berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepadanya, mbakayu!"

"Aku tahu, Mandari. Mudah-mudahan saja kelak aku dapat membalas budinya itu."

Narotama tidak ingin mendengarkan lagi tentang budi itu dan dia segera memerintahkan kusir untuk memasang kembali empat ekor kuda di depan kereta dan setelah dua orang gadis itu memasuki kereta, kusir lalu menjalankan keretanya kembali dengan laju.

Karena dikawal oleh Narotama yang selain sakti mandraguna juga dikenal semua pejabat-pejabat di daerah, maka perjalanan itu lancar dan tidak ada halangan. Di sepanjang jalan mereka mendapat sambutan para demang dan lurah dan mendapat bantuan seperlunya. Akhirnya kereta memasuki kota raja Kahuripan dan Narotama langsung mengajak Lasmini dan Mandari menghadap Sang Prabu Erlangga setelah menyuruh pengawal melaporkan kedatangannya kepada Sang Prabu Erlangga.

Sang Prabu Erlangga sudah menanti duduk di singgasana, tempat duduk terbuat dari gading berlapis emas, hanya seorang diri karena dia ingin menyambut kedatangan Kipatih Narotama bersama dua gadis itu tanpa disaksikan para ponggawa. Bahkan para pengawal istanapun tidak diperkenankan hadir dalam ruangan itu. Memang Sang Prabu Erlangga berbeda dengan para raja yang lain, yang selalu ingin dikawal ke manapun dia berada untuk menjaga keselamatannya Sang Prabu Erlangga merasa tidak enak dan tidak leluasa kalau ke manapun pergi dijaga pengawal. Hal ini adalah karena raja yakin akan kesaktian sendiri yang jauh lebih dapat diandalkan daripada penjagaan ratusan orang pengwal pribadi! Apalagi di dalam istana. bahkan kalau Sang Prabu melakukan perjalanan keluar istana, hanya dalam perjalanan resmi saja Sang Prabu Erlangga diiringkan sepasukan pengawal. Akan tetapi kalau melakukan perjalanan seorang diri, untuk urusan pribadi atau sengaja hendak memeriksa keadaan rakyat jelata, Sang Prabu Erlangga tidak pernah didampingi seorang pengawalpun.

Kipatih Narotama berlutut dan menyembah sebagai penghormatan ketika dia menghadap Sang Prabu Erlangga.

"Sembah hormat hamba haturkan kepada paduka gusti sinuwun junjungan hamba."

"Aih, Kakang Patih Narotama, andika baru kembali? Bagaimana dengan perjalananmu? Semoga selamat dan berhasil baik." kata Sang Prabu Erlangga sambil memandang ke arah dua orang puteri yang sudah duduk bersimpuh dengan sikap hormat.

"Dengan bekal doa restu paduka, hamba telah selesai melaksanakan tugas dan berhasil baik, gusti. Mereka inilah Nini Lasmini dan Nini Mandari, dua orang puteri Kanjeng Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman, keponakan dan murid Ki Nagakumala di Bukit Junggringslaka. Pinangan paduka telah diterima dengan baik dan kini kedua orang puteri sudah menghadap paduka menanti perintah."

Prabu Erlangga tersenyum dan mengangguk-angguk, memandang dua orang gadis yang masih duduk bersimpuh sambil menundukkan muka mereka itu. Walaupun mereka menunduk dan Sribaginda tidak dapat melihat wajah mereka dengan jelas namun diam-diam Sang Prabu Erlangga kagum dan harus mengakui bahwa dua orang dara itu memiliki bentuk tubuh yang amat indah menggairahkan.

"Siapa di antara andika berdua yang bernama Lasmini?" tanya Sang Prabu dengan suara ramah dan lembut.

Lasmini menggerakkan kedua tangannya menyembah, gerakannya luwes seperti sedang menari. "Hamba yang bernama Lasmini, gusti."

"Lasmini, coba angkat mukamu dan pandang kami." perintah sang prabu dengan suara ramah dan lembut.

Lasmini mengangkat mukanya. Sejenak mereka berdua saling pandang. Sepasang mata Sang Prabu Erlangga mengamati wajah gadis itu penuh selidik. Cantik jelita nian gadis ini, pikirnya, sungguhpun dia hanya melihat kecantikan kulit saja. Namun harus diakuinya bahwa jarang dia melihat wanita secantik itu. Di lain pihak, Lasmini juga mendapat kenyataan bahwa raja itu selain masih muda, juga tampan luar biasa. Hanya sinar mata Sang Prabu Erlangga membuat ia merasa gentar dan tidak berani ia menatap sepasang mata itu berlama-lama dan menunduk kembali.

Sang Prabu Erlangga mengalihkan pandang matanya kepada gadis ke dua yang lebih muda. Kalau Lasmini tampak berusia delapan belas tahun, Mandari ini tampak lebih muda seperti dara remaja berusia tujuh belas tahun saja.

"Andika yang bernama Mandari? Angkat mukamu dan pandang kami, Mandari." perintahnya.

Mandari mengangkat muka dan gadis ini memandang wajah Sang Prabu Erlangga dengan senyum manis, pandang mata kagum sekali. Ia merasa berbahagia telah memilih raja ini untuk menjadi suaminya. Ternyata Sang Prabu Erlangga amat ganteng, melebihi semua harapan dan dugaannya.

Sang Prabu juga kagum. Dara ini tidak kalah elok dibandingkan Lasmini sehingga sukarlah untuk menilai siapa antara mereka yang lebih menarik. Bahkan yang lebih muda ini memiliki kelebihan, yaitu pada rambutnya yang panjang dan indah sekali. Dia menduga kalau rambut itu diurai, tentu akan mencapai kaki!

"Mandari, berapakah usiamu?" tanya sang prabu dan Mandari tidak menundukan muka seperti mbakayunya yang tadi menundukkan muka bukan semata karena jerih, melainkan memang sesuai dengan siasat yang direncanakan.

"Usia hamba dua puluh satu tahun gusti."

"Ahh? Andika masih tampak seperti seorang gadis remaja! Dan berapa usia mbakayumu, Lasmini ini?"

"Usianya dua puluh tiga tahun, gusti." jawab Mandari lancar.

Mendengar itu, sang Prabu Erlangga menjadi semakin heran dan kagum. Akan tetapi dia sudah maklum bahwa Kerajaan Parang Siluman merupakan pusat para ahli sihir. Tentu dua orang gadis ini mempergunakan ilmu atau jamu tertentu yang membuat mereka tampak begitu awet muda! Kembali sang prabu memandang kepada Lasmini yang masih menundukkan mukanya. Sungguh berbeda dengan sikap Mandari yang selalu berani memandangnya sambil tersenyum.

"Lasmini," kata sang prabu. "Benarkah seperti yang dilaporkan Kakang Patih Narotama bahwa engkau menerima pinanganku, suka menjadi garwa selirku?"

Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Lasmini menangis. Tidak menangis keras, hanya terisak dan beberapa butir air mata menetes diatas kedua pipinya. Melihat ini, Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya.

"Lasmini, kenapa andika menangis?ceritakanlah, apa yang menyusahkan hatimu? Kalau andika tidak suka menjadi garwa selir kami, mengapa tidak andika tolak saja pinangan yang diajukan Kakang Patih Narotama? Setelah tiba di sini kenapa andika menangis!" Tentu saja sang prabu merasa tidak senang hatinya melihat gadis itu menangis di depannya seolah akan dipaksa menjadi garwa selir di luar kemauannya. Dia tidak akan pernah sudi melakukan paksaan terhadap wanita manapun!

Lasmini menahan isaknya dan menyembah. "Mohon beribu ampun, gusti. Hamba sudah lama mendengar akan kebijaksanaan paduka yang berlimpah budi, Mohon pertimbangkan paduka, gusti, Bagaimana seorang gadis seperti hamba dapat berserah diri kepada seorang prabu agung seperti paduka setelah ada pria lain yang tidak saja telah melihat pusar hamba, bahkan telah menyentuh dan merabanya? Hamba tidak mungkin dapat melayani pria lain....."

Bukan main kagetnya Sang Prabu Erlangga mendengar ini. Alisnya berkerut dan kulit wajahnya berubah merah. "Lasmini, siapa yang telah berani melakukan hal itu kepadamu?"

Lasmini menoleh ke arah Kipatih Narotama. "Harap paduka tanyakan kepada Kakangmas Narotama, gusti."

Sang Prabu Erlangga terbelalak heran dan terkejut sekali mendengar jawaban gadis itu. Dia segera memandang Narotama dan bertanya.

"Kakang Patih Narotama, apa artinya semua ini? Benarkah andika melakukan hal yang tidak patut itu terhadap diri Lasmini?"

Narotama menyembah dan menjawab dengan sikap tenang. "Sesungguhnya benarlah apa yang dikatakan Nimas Lasmini itu, gusti. Dalam perjalanan, di tengah hutan mendadak Nimas Lasmini mengeluh kesakitan. Setelah hamba periksa, ternyata ia terkena pukulan yang mengandung hawa dingin beracun. Menurut keterangan Nimas Lasmini, ia terluka dalam karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika ia berlatih Aji Ampak-ampak secara keliru. Ia terluka dalam di bagian sisi pusarnya. Melihat keadaannya yang amat berbahaya, maka terpaksa hamba lalu mengobatinya dengan menggunakan Aji Bojrodahono untuk mengusir hawa dingin beracun itu dan menempelkan telapak tangan hamba pada bagian perut yang terluka dalam."

Mendengar keterangan ini, Sang Prabu Erlangga tersenyum lega. "Lasmini, Kakang Patih Narotama melakukan hal itu adalah dalam rangka pengobatan hendak menyelamatkan nyawamu, bukan karena dia sengaja hendak bertindak melanggar susila!"

"Hamba mengakui akan hal itu, gusti. Akan tetapi, sejak remaja dahulu hamba dan Mandari sudah bersumpah bahwa hamba berdua hanya mau menikah dengan seorang pria yang dapat mengalahkan hamba dalam adu kesaktian. Hamba telah bertanding melawan Kakangmas Narotama dan hamba sudah dia kalahkan. Itu merupakan kenyataan pertama. Kenyataan kedua adalah bahwa Kakangmas Narotama sudah menyelamatkan nyawa hamba dengan mengobati penyakit hamba sehingga hamba berhutang budi, berhutang nyawa kepadanya. Kenyataan ketiga adalah hal itu tadi, gusti, bahwa ialah satu-satunya pria yang pernah melihat dan meraba pusar dan perut hamba. Karena itu, bagaimana mungkin hamba dapat melayani pria lain?"

Mendengar ini, tiba-tiba Sang Prabu Erlangga tertawa geli karena tahulah dia bahwa gadis ini telah jatuh hati kepada Narotama!

"Ha-ha-ha! Lasmini, jawab saja terus terang. Andika ingin menjadi garwa selir Kakang Patih Narotama, bukan?"

Bagaimanapun juga, karena ia masih seorang perawan, Lasmini tersipu dan dengan muka berubah merah yang ditunjukkan, ia menjawab lirih. "Duh gusti sinuwun, keputusannya tentu hanya paduka dan Kakangmas Narotama yang dapat menentukan. Kalau kakangmas Narotama sudi menerima hamba, hamba ..... hamba ..... menurut saja ....."

Lanjut ke Jilid 012 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment