Ads

Wednesday, September 19, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 033

◄◄◄◄ Kembali

Sementara itu, Dibyo Mamangkoro yang menyerang Nurseta dengan pukulan Aji Wisangnolo, disambut oleh Nurseta dengan dorongan tangan. Ketika dua pukulan itu bertemu, Dibyo Manmangkoro terhuyung ke belakang.

Bantuan Puspa Dewi mengejutkan tiga orang itu danmereka merasa jerih. Baru melawan Nurseta seorang diri saja mereka bertiga tadi belum mampu mengalahkannya. Kini muncul gadis liar itu yang memiliki ilmu yang liar pula. Maka Ratu Mayang Gupita lalu melompat dan memasuki keretanya yang lalu dilarikan cepat. Ketika Puspa Dewi hendak mengejarnya, ia disambut oleh belasan orang perajurit pengawal.

Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo lalu maju membantu para pengawal karena baru beberapa gebrakan saja, pedang hitam di tangan Puspa Dewi telah merobohkan dua orang perajurit. begitu dua orang sakti ini maju dan menyerang, Dibyo Mamangkoro dengan pukulan jarak jauhnya dan Cekel Aksomolo dengan tasbihnya, Puspa Dewi terkejut dan mau tidak mau harus berlompatan ke belakang. Terlalu berbahaya serangan dua orang itu. Begitu ia melompat kebelakang, dua orang tokoh sesat itu lalu melarikan diri bersama para pengawal, mengejar kereta yang ditumpangi Ratu Mayang Gupita yanag lari terlebih dulu. Puspa Dewi yang nekat itu hendak melakukan pengejaran sambil memaki maki.

"Heh, orang-orang pengecut hina, Hendak lari ke mana kalian?"

Akan tetapi terdengar suara di belakangnya, "Puspa Dewi, kukira tidak perlu mengejar mereka."

Dara itu menahan langkahnya dan berbalik dengan cepat, mengamati wajah Nurseta dan bertanya dengan ketus, "Heh!! Dari mana engkau mengetahui namaku, hah?"

Nurseta tersenyum. Kegalakan dara itu baginya tampak lucu sekali, seperti melihat seorang anak kecil yang bandel.

"Puspa Dewi, tentu saja aku mengenalmu karena engkau adalah seorang gadis tukang keroyok. Tanpa tahu masalahnya engkau langsung saja mengeroyok dan menyerang!"

"He? Engkau..... tak tahu diuntung, tak mengenal budi! Aku tadi bukan mengeroyokmu, malah membantu kamu yang dikeroyok! Bagaimana engkau berani mengatakan bahwa aku tukang keroyok?"

"Sekarang memang engkau membantu aku dan untuk itu, biarlah kuucapkan terima kasih. Akan tetapi tempo hari, didusun kita Karang Tirta, tiada hujan tiada angina engkau datang-datang mengeroyok aku!"

"Di..... Karang Tirta.....? Eh, oh, ingat aku sekarang. Engkau adalah Nurseta, kan?"

"Sekarang baru engkau ingat padaku, Biarlah kesalahanmu yang sudah berlalu itu kubikin habis sampai di s ini saja karena kesalahan itu telah kau tebus hari ini dengan menolongku terlepas dari ancaman bahaya."

Puspa Dewi menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya sambil memandang wajah Nurseta dengan mata bersinar.

"Bagus sekali kita dapat bertemu di sini, Nurseta. Memang aku sedang mencarimu!"

"Hemm, engkau mencari aku, Puspa Dewi? Apakah untuk minta maaf bahwa engkau dahulu itu sudah mengeroyokku bersama Linggajaya?"

"Aku? Minta maaf padamu? Huh, tak tahu diri! Engkaulah yang harus minta maaf padaku karena engkau telah berani mengganggu dan mengancam hendak membunuh ayahku?"

"Siapa hendak membunuh ayahmu?"

"Engkau mengamuk di rumah ayahku dan engkau masih berani pura-pura bertanya lagi?"

"Hemm, aku mempunyai urusan dengan Ki Lurah Suramenggala, bagaimana mungkin engkau menuduh aku mengganggu ayahmu? Apakah Ki Lurah Suramenggala itu....."

"Dia ayahku dan jangan katakan dia jahat!"

"Tapi..... setahuku engkau adalah anak Bibi Lasmi yang telah janda ....."

"Ibuku telah menjadi isteri Ki Lurah Suramenggala, maka dia adalah ayahku."

Nurseta mengangguk-angguk. Sebagai orang yang pernah bekerja pada lurah itu, tentu saja dia tahu bahwa Ki Lurah Suramenggala sudah mempunyai isteri bahkan setahu dia lurah itu sudah mempunyai dua orang selir. Hemm, tentu Bibi Lasmi menjadi selirnya yang ke tiga, pikirnya.

"Oo, begitukah?" kata Nurseta sambil memandang wajah yang cantik jelita itu.

Memang Puspa Dewi kini telah menjadi seorang dara yang dewasa dan cantik jelita. Dulu, ia seorang gadis remaja yang sederhana seperti gadis desa pada umumnya, pakaiannya sederhana dan sikapnya lembut dan pemalu. Akan tetapi kini, sungguh perubahan besar telah terjadi pada diri dara itu. Dalam usianya yang sekitar Sembilan belas tahun itu, ia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum. Kulitnya putih kuning mulus, tubuhnya sedang dan padat dengan lekuk lengkung sempurna dan menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dan di dahinya serta pelipisnya, sinom (anak rambut) melingkar-lingkar indah. Alisnya melengkung melindungi sepasang mata yang bersinar-sinar seperti bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya segar merah membasah. Tahi lalat hitam kecil di dagu itu menambah kemanisannya. Dan yang mencolok sekali, sikapnya yang dulu pendiam dan pemalu itu, kini sama sekali berubah. Kini ia menjadi seorang dara sakti mandraguna yang lincah dan tampak liar dan ganas! Juga pakaiannya serba mewah dan indah, seperti seorang puteri saja! Tentu saja ia sama sekali tidak menyangka bahwa memang Puspa Dewi telah menjadi seorang puteri, menjadi Puteri Sekar Kedaton (Puteri Bunga Istana) Kadipaten Wura wuri.

"Tadi engkau mengatakan bahwa engkau memang sedang mencari aku Nah, kita sekarang telah saling bertemu di tempat ini. Lalu apa yang kau inginkan dariku, Puspa Dewi?"

"Pertama, aku ingin membalaskan penghinaanmu terhadap ayahku ....."

"Ayah tirimu Ki Lurah Suramenggala itu?"

"Ya, ayah tiriku. Engkau telah bertindak sewenang-wenang dan menghinanya."

"Tenang dulu, Puspa Dewi. Sangat tidak adil kalau engkau hanya mendengarkan keterangan sepihak. Kau tahu apa yang telah dilakukan Ki Suramenggala padaku? Pertama, dia yang menyebabkan orang tuaku terpaksa melarikan diri dari Karang Tirta. Kedua, dia telah menipuku, membeli rumah dan pekarangan serta ladang orang tuaku hanya dengan memberi aku makan selama tiga tahun, itupun aku harus bekerja sebagai bujang untuknya. Ketiga, ketika aku datang untuk menanyakan tentang orang tuaku padanya, dia menyuruh para jagoannya untuk mengeroyok dan memukuli aku. Keempat, ternyata dia bersahabat dengan kepala gerombolan yang merampok di dusun Karang Sari. Nah, itulah sebabnya, aku menghajarnya, Puspa Dewi. Kalau engkau hendak membelanya, maka jelas bahwa engkau membela orang yang bersalah, engkau ikut salah juga. Kalau dia menjadi ayah tirimu, kewajibanmu adalah untuk menyadarkan dia agar kembali ke jalan benar, tidak memeras rakyatnya dan tidak bertindak sewenang-wenang."

Wajah gadis itu berubah merah, la memang sudah menduga bahwa ayah tirinya bukan orang baik-baik dan sebetulnya ia sendiri juga menyesal dan kecewa mengapa ibunya mau dijadikan selir lurah itu.

"Hemm, akan kuselidiki dan kalau benar semua keteranganmu, aku pasti akan menyadarkannya. Akan tetapi ada sebuah hal lagi yang lebih penting, yaitu aku memenuhi pesan guruku agar mencarimu."

"Hemm, siapa gurumu itu? Kalau menyuruhmu mencariku berarti dia sudah mengenal aku. Dan mengapa dia menyuruh engkau mencariku, Puspa Dewi?"

"Guruku adalah ibu angkatku dan juga bernama Nyi Dewi Durgakumala dan kini menjadi Permaisuri Adipati Wura-wuri" kata Puspa Dewi dengan nada bangga.

Nurseta memandang ke arah pakaian dan perhiasan yang dipakai Puspa Dewi dan mengertilah dia kini. Keterangan ini sudah menjelaskan segalanya. Nyi Dewi Durgakumala adalah wanita cantik sakti yang dulu menculik Linggajaya. Kenapa malah sekarang Puspa Dewi yang dulu diculik oleh Resi Bajrasakti yang menjadi murid wanita itu? Dia teringat akan Linggajaya yang kini juga sakti mandraguna. Kalau begitu, tentu Linggajaya menjadi murid Resi Bajrasakti. Agaknya mereka berdua itu saling bertukar anak yang mereka culik. Dan diapun tidak heran melihat Puspa Dewi begitu berubah.

Murid Nyi Dewi Durgakumala, datuk wanita sesat itu tentu saja menurunkan wataknya kepada muridnya, dan tidak aneh pula kalau Puspa Dewi memakai pakaian mewah dan perhiasan serba gemerlapan karena dara itu telah menjadi puteri Adipati Wura-wuri!

"Hemm, kiranya engkau sekarang telah menjadi anak lurah juga puteri adipati! Hebat! Lalu apa maksud Nyi Dewi Durgakumala; atau Gusti Permaisuri Adipati Wura-wuri itu mengutusmu mencari aku? ...

"Serahkan keris pusaka Sang Megatantra kepadaku, Nurseta!" kata Puspa Dewi.

"Oh-jadi itukah yang dikehendakinya? Apa hak gurumu dan engkau minta Sang Megatantra itu, Puspa Dewi? Pusaka Itu bukan milikmu atau milik gurumu'"

"Jangan banyak cerewet. Serahkan Megatantra atau aku akan merampas dengan kekerasan!"

"Pusaka Megatantra adalah hak milik Sang Prabu Ertangga di Kahuripan."

Tidak perduli, serahkan Megatantra padaku!" kata Puspa Dewi dengan alis berkerut.

"Bagaimana aku dapat menyerahkan Megatantra kepadamu kalau pusaka itu tidak berada di tanganku?"

"Bohong! Guruku mengatakan bahwa engkaulah yang menemukan pusaka itu daerah pantai Laut Kidul!"

"Benar, akan tetapi sekarang pusaka itu tidak berada padaku."

"Sudah kauserahkan kepada Sang Prabu Erlangga?"

"Belum, akan tetapi ....."

"Kalau begitu, berarti masih ada padamu?"

"Juga tidak, pusaka itu tidak ada padaku."

"Lalu di mana?"

Nurseta mepggeleng kepalanya. Sungguh aneh, pikirnya. Dara ini bersikap begini galak dan liar, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi tak senang atau marah. Agaknya tidak mungkin dia dapat marah kepada wajah yang manis dan yang amat menarik hatinya itu.

"Sayang, aku tidak dapat memberitahukan hal itu kepadamu."

"Nurseta! Kalau begitu engkau menantang aku?" bentak Puspa Dewi marah.

Nurseta tersenyum. "Puspa Dewi, aku tidak pernah menantangmu. Di antara kita berdua tidak ada urusan apapun yang patut dipertentangkan. Kalau gurumu menghendaki Megatantra dariku, katakan saja bahwa Megatantra tidak ada padaku. Aku tidak berbohong dan selebihnya aku tidak dapat memberi tahu apa-apa lagi. Puspa Dewi, aku tahu bahwa engkau seorang dara perkasa yang baik hati, buktinya tadi engkau tidak suka melihat orang dikeroyok secara tidak adil dan membantu. Sadarilah bahwa Megatantra itu hak milik Kerajaan Kahuripan. Amat tidak baik menginginkan hak milik lain orang."

"Tidak perlu memberi wejangan! Cepat katakan di mana sekarang Sang Megatantra!" bentak Puspa Dewi jengkel

"Maaf, aku tidak dapat mengatakannya, Puspa Dewi."

"Keparat, kalau begitu aku harus menggunakan kekerasan memaksamu" kata dara itu dan ia lalu memasang kuda-kuda.

Kedua kaki agak ditekuk yang kanan di depan dan yang kiri ke belakang, kedua lengan dipentang seperti burung terbang. Itulah pembukaan dari Aji Guntur Geni. Melihat sikap dan gerakan gadis itu diam-diam Nurseta kagum. Sungguh dara itu tampak gagah bukan main.

"Terserah kepadamu, Puspa Dewi. Akan tetapi yang menghendaki perkelahian bukan aku, melainkan engkau." Kata Nurseta dengan sikap tenang dan dia berdiri santai saja, menanti gadis itu menyerang lebih dulu.

"Sambut seranganku Hyaaaaattt .....!"

Dara itu sudah membuka serangan. Cepat seperti kilat menyambar tubuhnya sudah menerjang ke depan, kedua lengan yang tadinya dipentang itu meluncur dengan cepat sekali, yang kanan memukul kearah leher Nurseta dengan tangan miring, di susul tangan kiri yang mencengkeram kearah perut pemuda itu! Bukan cengkraman biasa karena ia sudah menggunakan Aji Wisakenaka dalam cengkeraman itu sehingga kuku-kuku jarinya mengandung racun dan sekali menggores kulit lawan, kalau sampai terluka, dapat mendatangkan bahaya maut seperti gigitan ular berbisa!

"Hemm .....!" Nurseta melihat datangnya serangan yang berbahaya dan juga ganas itu. Dia telah menggunakan Aji Bayu Sakti dan tubuhnya sudah berkelebat, menghindar dari serangan kedua tangan gadis itu. Akan tetapi setelah serangan pertamanya luput dan gagal, Puspa Dewi sudah menyusulkan serangan beruntun dengan cepat dan kuat.

Setelah beberapa kali mengelak, Nurseta lalu melayani dara itu dengan gerakan silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan dan terkadang melompat tinggi seperti seekor bangau terbang. Perkelahian berlangsung seru, saling serang dengan hebat. Namun sesungguhnya, Nurseta tentu saja tidak benar-benar dalam serangannya, tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya dan sama sekali tidak bermaksud melukai gadis itu. Dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai, akan tetapi hal ini sungguh amat sukar karena sepak terjang Puspa Dewi hebat dan ganas.

Setelah menahan semua serangan gadis itu dan terkadang membalas yang dapat pula dihindarkan Puspa Dewi, gadis itu menyerang dengan pukulan Guntur Geni yang mendatangkan hawa panas. Pukulan tangan kanan terbuka itu mengarah dada Nurseta. Melihat serangan ini, Nurseta mendapatkan kesempatan untuk mencapai maksudnya, yaitu mengalahkan tanpa melukai. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dari samping.

"Wuuuttt ..... dessss .....!!" Tubuh Puspa Dewi terdorong dari samping dengan kuatnya sehingga hampir saja ia terpelanting. Akan tetapi ia dapat berlompatan dan berjungkir balik tiga kali sehingga tidak sampai jatuh, hanya terhuyung saja. Namun hal itu sudah jelas menunjukkan bahwa ia kalah dalam pertandingan silat tangan kosong itu. Bukannya menerima dan mengakui kekalahannya, Puspa Dewi yang keras kepala dan keras hati itu malah menjadi semakin penasaran dan marah.

"Hemm, Nurseta! Aku belum kalah! cabut senjatamu keris pusaka Megatantra dan coba lawan pedangku ini!" Gadis itu menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar hitam berkilauan dan tahu tahu Pedang Hitam Candrasa Langking sudah berada di tangannya.

"Sudah kukatakan bahwa Sang Megatantra tidak ada padaku dan aku tidak biasa menggunakan senjata, Puspa Dewi. Sudahlah, untuk apa kita bertanding? Biar aku mengaku kalah dan anggap saja engkau menang. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, Puspa Dewi. Ingat, kita adalah orang-orang sedusun, sama sama berasal dari Karang Tirta." Nurseta membujuk.

"Kau pilih saja salah satu. Memberi tahu kepadaku di mana sekarang keris pusaka Sang Megatantra atau kalau engkau tidak mau mengatakannya, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan memaksamu dengan pedangku ini!"

"Wah, engkau ini nekat benar, Puspa Dewi. Sudah kukatakan bahwa keris pusaka itu tidak ada padaku dan keris pusaka itu adalah milik Sang Prabu Erlangga di Kahuripan karena itu merupakan pusaka Mataram yang harus diserahkan kepada keturunan raja Mataram. Untuk apa engkau nekat ingin memilikinya?"

"Tak perlu banyak cakap lagi. Aku hanya mentaati perintah guru atau ibu angkatku. Nah, katakan dimana Sang Megatantra!"

"Nurseta menggeleng kepalanya. "Tidak akan kukatakan kepada siapa juga."

"Kalau begitu sambutlah Candrasa Langking ini!" Puspa Dewi yang sudah merasa penasaran sekali karena tadi dalam pertandingan tangan kosong ia dikalahkan Nurseta, kini sudah maju dan menyerang dengan pedang hitamnya, tidak perduli bahwa Nurseta tidak membawa senjata. Pedangnya menyambar nyambar seperti kilat. Nurseta cepat menggerakkan tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti untuk mengatasi kecepatan sambaran pedang dan tubuhnya berkelebatan diantara gulungan sinar pedang hitam.

Permainan pedang dara itu memang hebat sekali dan akhirnya Nurseta terdesak juga karena dia tidak mau membalas dengan pukulan yang ampuh, takut kalau melukai gadis itu. Akan tetapi kalau terus mempertahankan diri dengan mengelak, akhirnya dia akan terancam bahaya juga karena pedang hitam itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Terpaksa Nurseta lalu mengerahkan ajinya yang jarang dipergunakan, yaitu Aji Sirnasarira. Tiba-tiba saja Puspa Dewi mengeluarkan jeritan tertahan karena tiba-tiba ia kehilangan lawannya, tubuh Nurseta lenyap dan selagi ia meragu dan bingung mencari-cari bayangan Nurseta, siku kanannya ditepuk jari-jari tangan yang kuat sekali namun tidak tampak dan seketika lengan kanannya menjadi lumpuh dan tak dapat ditahannya lagi pedang hitam yang dipegangnya itupun terlepas dari tangannya. Ia terkejut sekali dan pada saat itu ia dapat melihat Nurseta lagi yang sudah berdiri sambil tersenyum kepadanya.

Sejenak Puspa Dewi memandang nanar, tidak percaya akan apa yang dialaminya tadi. Tidak mungkin Nurseta menghilang lalu menyerangnya dengan tubuh yang tidak tampak! Akan tetapi kenyataannya, lengannya masih kesemutan dan pedangnya sudah menggeletak di atas tanah, terlepas dari pegangannya. Biarpun begitu, gadis yang berhati keras ini masih penasaran dan belum yakin bahwa dapat dikalahkan sedemikian mudahnya. Maka sambil menggigit bibir sendiri cepat menyambar pedangnya lagi dan kini mulutnya mengeluarkan jerit yang menggetarkan sekeliling tempat itu.

Itulah Aji Jerit Guruh Bairawa! Dengan jerit ini saja, Puspa Dewi sudah mampu membuat lawannya tergetar hebat dan roboh. Dengan jeritnya yang dahsyat ini masih menyayat udara, ia sudah menggerakkan pedangnya lagi, menyerang dengan sekuat tenaga, pedangnya menyambar ke arah leher Nurseta!

"Singgg .....!" Pedang itu menyambar lebih dahsyat daripada tadi karena didukung dan didorong oleh Jerit Guruh Bairawa yang melengking nyaring! Namun dengan gerakan yang lebih cepat lagi, Nurseta sudah menghindar dengan loncatan ringan ke belakang sehingga pedang itu hanya menyambar angin. Namun, Puspa Dewi yang sudah marah sekali dan hatinya dipenuhi rasa penasaran, sudah meloncat mengejar dan pedangnya berputar-putar sehingga berubah menjadi gulungan sinar yang berkelebatan mengirim serangan bertubi-tubi.

Tubuh Nurseta melompat ke atas dan "lessss .....!" tubuh itu sudah lenyap lagi dari pandangan Puspa Dewi! Dara itu kembali menjadi bingung akan tetapi kemarahannya makin berkobar, la mengamuk dan mengobat-abitkan pedangnya, membacok ke sana-sini dengan ngawur.

"Keparat kau, Nurseta! Hayo perlihatkan dirimu, jangan pergunakan ilmu setan!"

Akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya ditangkap tangan yang tak tampak dan tahu-tahu pedangnya telah dirampas. Pedang itu kini melayang dan tampaklah tubuh Nurseta dan pemuda itu berdiri di depannya sambil memegang pedang hitam yang sudah dirampasnya!

"Puspa Dewi, untuk apa kita lanjutkan pertandingan ini? Ilmu pedangmu hebat sekali, aku tidak kuat melawannya. sudahlah, aku mengaku kalah!" Setelah berkata demikian, Nurseta melemparkan pedang itu ke arah Puspa Dewi.

Dara itu terkejut melihat pedangnya meluncur dan mengancam dirinya, akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba pedang itu membalik meluncur ke arahnya dengan gagang depan. Hatinya menjadi lega dan cepat ia menyambut pedang itu dan menyimpannya kembali ke sarung pedang. Percuma saja menyerang lagi. Kalau Nurseta dapat menghilang seperti itu, bagaimana mungkin ia akan mampu mengalahkannya?

"Huh, kau ..... curang!" Dara Itu menggerutu dengan bibir meruncing cemberut dan matanya dilebarkan. Dalam keadaan begitu dara itu malah tampak semakin manis dalam pandangan Nurseta. "Jangan kau menggunakan ilmu setan yang membuat engkau bisa menghilang seperti setan!"

Nurseta tersenyum. "Puspa Dewi, ilmu Ilmu disebut ilmu setan kalau penggunanya untuk mencelakai orang. Engkau sendiri mempergunakan ilmu-ilmu yang mengandung hawa beracun, bahkan pedangmu itupun beracun sehingga kalau seranganmu mengenai lawan, lawan akan tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi aku sama sekali tidak mencelakaimu. Sekarang kuingatkan engkau sekali lagi, Puspa Dewi. Engkau seorang dara muda namun telah menguasai banyak aji yang dahsyat, sayang kalau engkau menjadi orang sesat yang mempergunakan ilmumu untuk membunuh atau melukai orang yang tidak bersalah. Ketahuilah bahwa keris pusaka Megatantra memang aku yang menemukan, dan aku hendak mengembalikan kepada yang berhak, yaitu Sang Prabu Erlangga dari Kerajaan Kahuripan. Akan tetapi sungguh celaka, dalam perjalananku, keris pusaka itu dicuri orang karena kelengahanku. Aku tertipu dan Pusaka itu dilarikan orang. Akan tetapi aku harus merampasnya kembali dari tangan si pencuri."

Mendengar semua ucapan Nurseta, di lubuk hatinya Puspa Dewi membenarkan kata-kata pemuda itu. Kebenaran yang tak dapat dibantah, Pikir gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang condong membela kebenaran itu. Hanya karena pengaruh sifat gurunya dan pengaruh lingkungan, maka menjadi liar dan ganas. Namun tetap saja ia selalu mempertahankan keadilan maka mendengar ucapan Nurseta itu ia diam-diam menbenarkan.

"Akan tetapi aku hanya menaati perintah guruku yang juga ibu angkatku, Permaisuri Kadipaten Wura-wuri .....!" katanya, seolah membantah suara hatinya yang membenarkan Nurseta. "Bukankah seorang murid harus berbakti dan setia pada gurunya yang telah melepas banyak budi?"

"Benar sekali kata-katamu itu, Puspa Dewi. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya, itu merupakan suatu kewajiban seorang murid yang baik dan tahu membalas budi. Akan tetapi ada kewajiban lain yang lebih penting lagi, Puspa, yaitu kewajiban sebagai seorang manusia. Karena itu, setiap tugas harus diperhitungkan dengan prikemanusiaan. Kalau tugas yang diberikan guru itu menyimpang dari kemanusiaan, maka kita tidak perlu melaksanakannya. Menyimpang dari prikemanusiaan berarti kejahatan dan haruskah seseorang membantu orang lain melakukan kejahatan, biarpun orang lain itu gurunya sendiri? Tidak, Puspa, engkau bukan seorang gadis yang jahat. Karena itu, tugas yang bersifat jahat amat tidak cocok dan tidak pantas kaulakukan!"

Puspa Dewi menjadi semakin bimbang, ia lalu mengangguk-angguk.

"Baiklah, aku akan mengatakan kepada guruku bahwa perintahnya untuk merampas Megatantra yang menjadi hak milik orang lain itu adalah tidak benar dan jahat sehingga aku berani melanggar perintahnya. Masih ada tugas lain yang tidak kalah pentingnya dan dapat kulakukan dengan berhasil baik."

Senang hati Nurseta mendengar ucapan ini. Kata-kata dara itu menunjukkan bahwa Puspa Dewi belum rusak betul masih mampu menyadari kesalahannya dan dapat mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang salah.

"Bagus! Aku girang mendengar bahwa engkau tidak akan membantu guru memperebutkan Sang Megatantra lagi Puspa Dewi."

Kini Puspa Dewi menatap wajah Nurseta dan sinar matanya bersinar-sinar
"Nurseta, engkau ..... engkau percaya padaku?"

"Tentu saja aku percaya padamu Puspa Dewi. Engkau tadi sudah begitu baik menolongku dari pengeroyokan tiga orang itu. Ratu Mayang Gupita tadi sungguh berbahaya, sakti dan kejam sekali. Juga dua orang yang membantunya, Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo,memiliki ilmu kepandaian yang hebat."

"Hemm, jadi raksasa wanita tadi adalah Ratu Mayang Gupita?"

"Ya, ia ratu dari Kerajaan Siluman laut Kidul."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya, dipati Bhismaprabhawa yang menjadi ayah angkatnya itu berpesan kepadanya agar bekerja sama dengan para kadipaten, termasuk Kadipaten Siluman Laut Kidul untuk menentang Kahuripan. Hemm, tak senang hatinya diharuskan bekerja sama dengan orang seperti raksasa wanita tadi!

"Dan kenapa mereka bertiga itu menyerang dan mengeroyokmu?"

"Mula-mula Ratu Mayang Gupita itu yang menyerangku karena seperti juga gurumu, ia ingin minta Sang Megatantra dariku. Lalu kedua orang yang merupakan tokoh-tokoh sesat itu membantunya."

"Nurseta, sekali lagi aku bertanya, apakah engkau benar percaya kepadaku bahwa aku tidak akan memperebutkan keris pusaka Megatantra lagi?"

Nurseta mengangguk. "Aku percaya padamu, Puspa."

"Kalau begitu, buktikan kepercayaanmu padaku itu dengan mengatakan siapa orangnya yang sudah mencuri pusaka itu dari tanganmu." Ia berhenti sebentar memandang tajam lalu melanjutkan "Kalau engkau tidak mau berterus terang, itu menandakan bahwa engkau berbohong dan sebetulnya engkau masih tidak percaya kepadaku."

Nurseta mengerutkan alisnya. Gadis ini sungguh cerdik, pikirnya. Ucapan itu menyudutkannya dan membuat dia tidak berdaya. Akan tetapi diapun bukan seorang bodoh, maka dia cepat berbalik mengajukan pertanyaan.

"Hemm, jawablah dulu pertanyaaanku ini, Puspa Dewi. Kalau engkau mengetahui siapa pencurinya, kemudian pada suatu saat engkau bertemu dengannya lalu apa yang akan kaulakukan? kaurampas Sang Megatantra itu lalu kau serahkan kepada gurumu?"

"Hemm, bukankah aku sudah berjanji tidak akan merampas keris pusaka untuk guruku? Andaikata aku merampasnya dari pencuri itu, tentu bukan kepada guruku pusaka itu kuserahkan, melainkan kepadamu!"

"Benarkah itu, Puspa Dewi? Ah, aku girang sekali! Akan tetapi kenapa tidak langsung saja kauhaturkan kepada Sang Prabu Erlangga, andaikata keris pusaka Itu dapat kaurampas dari si pencuri?"

"Hemm, tidak mungkin. Aku bukan punggawa Kahuripan, dan ingat, aku adalah Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri!"

"Ah, benar juga. Nah, dengarkan baik-baik. Dalam perjalanan aku bertemu dengan Raden Hendratama yang ternyata adalah seorang pangeran, masih keluarga sang Prabu Erlangga sendiri. Dialah yang menipuku dan mencuri keris pusaka Sang megatantra itu."

"Hemm, Pangeran Hendratama? Belum pernah aku mendengar nama itu. Betapa pun juga, terima kasih, Nurseta. Ternyata engkau benar-benar percaya kepadaku."

"Ada satu hal yang ingin kuketahui, Puspa Dewi. Kalau aku tidak keliru, dulu engkau diculik oleh Resi Bajrasakti, sedangkan Linggajaya diculik oleh Nyi Dewi Durgakumala. Akan tetapi mengapa tahu-tahu engkau dan Linggajaya yang ketika itu sudah kusuruh melarikan diri dapat tertangkap lagi dan engkau menjadi murid Nyi Dewi Durgakumala?

Puspa Dewi menghela napas panjang

"Aku dan Linggajaya melarikan diri dan saking takutnya kami berpencar. Tiba-tiba aku ditawan oleh Nyi Durgakumala dan diambil sebagai murid. Aku bersyukur sekali. Aku masih merasa ngeri membayangkan tertawan oleh raksasa Resi Bajrasakti itu. Setelah aku bertemu Linggajaya, aku mendengar dari dia bahwa ternyata diapun tertawan Resi Bajrasakti dan menjadi muridnya. Kemudian aku diambil anak angkat oleh Nyi Durgakumala dan ketika ia menjadi permaisuri Raja Bhismaprabhawa dari Kerajaan Wura-wuri, aku menjadi Sekar Kedaton

"Wah, hebat sekali engkau, Puspa Dewi. Sudah menjadi murid seorang sakti mandraguna, masih diangkat menjadi puteri istana lagi! Dan sekarang, engkau hendak pergi kemanakah?"

Puspa Dewi tersenyum. "Tidak perlu aku menceritakan semua urusanku, Nurseta. Aku masih mempunyai tugas-tugas lain yang harus kulaksanakan dengan baik setelah tugas merampas keris pusaka Megatantra kubatalkan. Nah, selamat berpisah, Nurseta."

"Selamat berpisah, Puspa Dewi. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa dalam keadaan yang lebih baik, tidak perlu kita harus saling bermusuhan."

Lanjut ke Jilid 034 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment