Ads

Thursday, September 20, 2012

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 038

◄◄◄◄ Kembali

Senopati Sindukerta adalah seorang senopati sepuh (tua) yang sudah menjadi senopati sejak muda, di bawah pimpinan mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Ketika Erlangga menjadi raja menggantikan kedudukan mendiang Teguh Dharmawangsa, dia mengikut-sertakan bekas punggawa ayah mertuanya itu dan di antaranya dia memberi kedudukan yang sama kepada Senopati Sindukerta.

Senopati Sindukerta tinggal dalam sebuah gedung di kota raja bersama keluarganya. Usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih tampak sehat dan gagah. Biarpun sudah tergolong tua, namun Senopati Sindukerta masih disegani karena dia pandai mengatur barisan, pandai memimpin pasukan dalam perang dan sudah banyak jasanya menghadapi musuh-musuh Kerajaan Mataram sejak dia masih muda dulu. Tidak mengherankan kalau Sang Prabu Erlangga menaruh kepercayaan kepadanya sungguhpun kini tugasnya lebih banyak sebagai penasihat yang memberi petunjuk dan pelajaran kepada para senopati muda.

MALAM itu terang bulan. Bulan purnama amat indahnya bertahta di angkasa raya. Bintang-bintang menjadi suram bahkan banyak yang tidak tampak terhalang sinar bulan yang terang keemasan. Bulan purnama bulat penuh dan di langit yang cerah itu tampak lingkaran putih di sekeliling bulan. Bulan ndadari, bulan kalangan, begitu indahnya sehingga menciptakan suasana sejuk gembira di muka bumi. Banyak orang betah berada di luar rumah karena sinar bulan memandikan segala sesuatu yang berada di permukaan bumi dengan sinarnya yang menenteramkan hati, membuat semua tampak gemilang dan indah, juga aneh penuh rahasia. Segala sesuatu seperti diselimuti cahaya keemasan. Kanak-kanak memenuhi pelataran rumah dan bermain-main dengan bertembang riuh rendah. Orang-orang tua bercengkerama di luar rumah. Banyak pula yang menggelar tikar di pelataran dan bercakap-cakap membicarakan masa lalu.

Bulan purnama mendatangkan kenangan lama yang indah-indah. Para muda juga bergembira ria. Sinar bulan agaknya mengobarkan gairah dan semangat hidup mereka. Terutama sekali mereka yang sedang dimabuk asmara dan mengadakan pertemuan dengan kekasih mereka dibawah sinar bulan purnama. Pada saat seperti itu, kekasih mereka tampak lebih cantik, lebih tampan, lebih menarik dan menggairahkan.

Senopati Sindukerta duduk seorang diri di dalam taman bunganya yang cukup luas. Harum bunga melati yang tumbuh di sekeliling kolam ikan memperindah suasana. Akan tetapi Senopati Sindukerta yang duduk tak jauh dari kolam ikan, di atas bangku panjang, sama sekali tidak tampak gembira.

Bahkan berulang kali dia menghela napas panjang dan wajahnya tampak muram, seolah dia menanggung derita kesedihan yang mendalam. Di atas sebuah meja kecil didepannya terdapat sebuah poci dan sebuah cangkir. Tadi pelayan datang menghidangkan air teh panas manis itu dan
dia suruh pelayan itu pergi meninggalkannya dan berpesan agar jangan ada yang datang mengganggunya di dalam taman karena dia ingin bersendirian di situ. Wajahnya yang masih memperlihatkan bekas ketampanan itu berkerut. Tidak ada kumis dan jenggot di wajahnya. Rambutnya sudah banyak yang putih. Tubuhnya sedang, akan tetapi tampak kurus. Dari keadaan jasmaninya dapat diduga bahwa Senopati Sindukerta banyak mengalami penderitaan batin. Tentu saja hal ini tidak disangka orang. Dia adalah seorang senopati tua yang berkedudukan tinggi, cukup kaya, terhormat dan tidak kekurangan sesuatu. Bagaimana mungkin seorang punggawa tinggi seperti dia hidup mengalami penderitaan batin?

Senopati Sindukerta duduk di situ sejak tadi, sudah lebih dari dua jam dia duduk melamun seorang diri. Sementara itu bulan purnama naik semakin tinggi. Keadaan di luar gedung senopati itu sudah mulai berkurang keramaiannya. Anak-anak sudah disuruh masuk dan tidur. Hanya tinggal beberapa orang tua saja yang masih tinggal di luar. Malam mulai larut. Senopati Sindukerta mulai merasa kedinginan. Makin tinggi bulan purnama naik, makin larut malam, makin dinginlah hawa udara. Pada saat dia merasakan kedinginan dan minum air teh dari poci dituangkan ke cangkir dan air teh itu masih hangat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu di depannya, dalam jarak tiga meter, telah berdiri seorang pemuda.

Senopati Sindukerta terkejut dan meletakkan kembali cangkirnya di atas cawan, lalu menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Dia terkejut, akan tetapi sama sekali tidak takut, hanya merasa heran bagaimana ada seorang pemuda yang begitu berani datang mengganggunya, dan kemunculannya begitu tiba-tiba.

"Siapa engkau? Mau apa engkau menggangguku, dating tanpa diundang?" bentak Senopati Sindukerta sambil menatap tajam wajah tampan pemuda yang pakaian dan sikapnya sederhana itu. Pemuda itu memberi hormat dengan membungkuk, lalu bertanya dengan suara lembut dan hormat.

"Maafkan saya, apakah saya berhadapan dengan Senopati Sindukerta?"

"Hemm, benar aku Senopati Sindukerta. Siapa engkau?"

"Maafkan saya. Nama saya Nurseta dan saya sengaja menghadap paduka untuk menanyakan sesuatu yang teramat penting dan hanya paduka saja yang dapat menjawab pertanyaan saya Itu, Kerut alis Senopati Sindukerta semakin mendalam.

"Sungguh engkau seorang pemuda yang tidak tahu aturan. bagaimana engkau berani kurang ajar menemui aku malam-malam begini dan memasuki tamanku seperti seorang pencuri?"

"Sudah dua kali saya minta maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, pertanyaan saya ini penting sekali dan saya harap paduka tidak menolak untuk menjawabnya."

"Sudahlah, coba katakan, apa yang ingin kauketahui dariku?"

"Saya ingin bertanya, apa yang paduka ketahui tentang orang yang bernama Dharmaguna?"

Senopati Sindukerta terbelalak dan dia bangkit berdiri dengan cepat.

"Keparat" Telunjuknya menuding ke arah Nurseta. "Kiranya engkau ini suruhan si jahanam Dharmaguna? Mampuslah!" Tiba-tiba Senopati Sindukerta menendang meja kecil di depannya dan meja itu meluncur ke arah Nurseta. Poci dan cangkir tadi terlempar jauh.

Nurseta menggerakkan tangannya, menangkap kaki meja yang menyambar ke arahnya dan menaruh meja itu di atas tanah, di sampingnya. Akan tetapi Senopati Sindukerta sudah mencabut kerisnya dan melompat maju, menyerang Nurseta dengan tusukan kerisnya. Agaknya dia marah sekali mendengar disebutnya nama Dharmaguna tadi.

"Wuutt ..... tukk!" Senopati Sindukerta terkejut setengah mati ketika keris yang dia tusukan itu mengenai dada pemuda itu, dia merasa betapa kerisnya itu bertemu dengan benda yang lunak namun kenyal dan kuat sekali sehingga kerisnya membalik dan tidak dapat menembus. Sebelum hilang rasa kagetnya tahu-tahu keris itu telah direnggut lepas dari pegangannya dan pemuda itu melangkah mundur sambil berkata ejekan lembut

"Harap paduka bersabar dan tenang Saya sama sekali tidak datang untuk memusuhi paduka, melainkan hanya untuk minta keterangan. terimlah kembali pusaka paduka ini."

Nurseta menjulurkan tangan dan menyerahkan keris itu kepada pemiliknya. Senopati Sindukerta terkejut bukan main. keris pusakanya itu bukan keris biasa, melainkan pusaka ampuh sekali. Akan tetapi pemuda itu memiliki kekebalan yang luar biasa, membuktikan bahwa dia seorang yang sakti mandraguna. Maka mendengar ucapan Nurseta, dia menerima keris, mundur lalu duduk kembali ke atas bangku, mengawasi pemuda itu penuh perhatian.

"Orang muda. sebetulnya apakah yang kaukehendaki? Siapa namamu tadi?"

"Nama saya Nurseta dan saya hanya ingin mengetahui mengapa paduka memusuhi Dharmaguna, mengapa paduka membencinya dan di mana adanya dia sekarang?"

Senopati Sindukerta memandang heran, "jadi engkau bukan suruhan dia? Engkau juga menanyakan di mana dia? Ah, kalau saja aku tahu di mana dia, si keparat itu!"

"Harap paduka suka menceritakan kepada saya mengapa paduka begitu membencinya."

"Engkau mau tahu mengapa aku membencinya? Huh, dia sudah merampas kebahagiaan kami sudah dua puluh dua tahun ini dia membuat aku selalu merasa berduka. Bawalah meja itu dekat sini dan duduklah di atas meja kalau engkau ingin mendengarkan persoalannya."

Nurseta menurut. Dia mengambil meja, membawanya ke depan Senopati Sindukerta lalu duduk di atas meja kecil yang rendah itu. Senopati Sindukerta lalu bercerita dan Nurseta mendengarkan dengan penuh perhatian. Senopati Sindukerta menghela napas panjang lalu berkata,

"Peristiwa itu telah lama terjadi, kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi rasanya baru kemarin saja terjadinya." Kemudian senopati tua itu lalu bercerita.

Senopati Sindukerta telah menjadi senopati pada waktu Teguh Dharmawangsa menjadi raja. Senopati yang setia ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Endang Sawitri. Pada waktu itu Endang Sawitri berusia delapan belas tahun, la terkenal sebagai seorang dara yang selain cantik jelita, juga baik budi bahasanya dan berbakti kepada ayah ibunya. Tidak mengherankan kalau Senopati Sindukerta dan isterinya merasa amat sayang kepada Endang Sawitri. Tentu saja, seperti para orang tua lainnya Senopati Sindukerta dan isterinya mengharapkan agar puteri mereka itu mendapatkan suami yang tinggi kedudukannya, kaya raya, dan baik budi serta bijaksana. Dengan demikian maka selain puteri mereka itu akan hidup bahagia juga mereka sebagai orang tuanya akan merasa senang dan terangkat derajat dan martabatnya. Akan tetapi, dalam kehidupan ini, lebih sering harapan manusia tidak terpenuhi, kenyataan yang terjadi sering berlawanan dengan apa yang diinginkan, apa yang diharapkan, sehingga banyak kekecewaan dan duka melanda kehidupan manusia.

Pada suatu pagi, seorang tamu yang di hormati dating berkunjung ke rumah Senopati Sindukerta. Sang senopati dan isterinya menyambut kedatangan tamu ini dengan ramah dan hormat karena tamu itu adalah seorang pangeran yang terkenal gagah perkasa. Dia adalah Pangeran Hendratama
yang pada waktu itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Seorang pria yang tampan dan gagah, apalagi karena pakaiannya amat indah, mewah dan mentereng. Sebagai seorang pangeran, putera Sang Prabu Teguh Dharmawangsa yang beribu seorang wanita berkasta rendah, Pangeran Hendratama tentu saja mempunyai hubungan baik dengan para pamong-praja dan juga mengenal baik Senopati Sindukerta.

"Selamat datang, Pangeran." sambut Senopati Sindukerta ramah. Isterinya juga menyambut dengan senyum ramah.

"Silakan masuk, kita duduk di ruangan dalam agar lebih leluasa bercakap-cakap."

"Terima kasih, paman senopati dan bibi." kata Pangeran Hendratama dengan sikap halus.

Mereka memasuki ruangan dalam dan dua orang selir sang senopati juga menyambut dan memberi hormat kepada pangeran itu, akan tetapi mereka segera mengundurkan diri, tidak berani mengganggu. Pangeran Hendratama hanya duduk berhadapan dengan Ki Sindukerta dan garwa padminya.

"Paman dan bibi, di mana diajeng Endang Sawitri ? Tanpa kehadirannya, rumah paman ini tampak sepi."

"Endang sedang sibuk di dapur, membantu para abdi mempersiapkan makan, Pangeran." kata Nyi Sindukerta.

"Begitukah? Sayang, saya ingin sekali melihatnya, walaupun sebentar saja, bibi."

Nyi Sindukerta lalu memanggil pelayan dan memberi perintah agar pelayan Itu memberitahu kepada puterinya bahwa Pangeran Hendratama datang berkunjung.

"Minta kepada Den Ajeng Endang agar keluar dan menemui Gusti Pangeran Hendratama sebentar!" perintahnya.

Pelayan itu menyembah lalu pergi. Tak lama kemudian, selagi Pangeran Hendratama bercakap-cakap dengan Ki Sindukerta dan isterinya, muncullah seorang gadis cantik jelita mengiringkan seorang pelayan wanita yang membawa baki terisi makanan dan minuman yang dihidangkan di atas meja.

Gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, cantik jelita dan manis merak ati, dengan sikap dan gerak-gerik lembut menawan. Itulah Endang Sawitri, puteri tunggal Senopati Sindukerta yang terkenal sebagai seorang di antara para puteri yang cantik di kota raja. Bagaikan setangkai bunga
yang sedang mekar mengharum memancing datangnya banyak kumbang, Endang Sawitri juga membuat banyak pemuda bangsawan maupun bukan bangsawan tergila gila.

Akan tetapi Endang Sawitri tidak menyambut rayuan mereka, bahkan menolak pinangan beberapa orang pemuda bangsawan. Semua ini karena dara jelita itu sudah mempunyai pilihan hati sendiri, yaitu seorang pemuda bernama Dharmaguna. Akan tetapi Senopati Sindukerta marah-marah dan melarang puterinya melanjutkan pergaulannya dengan pemuda itu. Bukan karena pemuda pilihan puteri mereka itu kurang tampan. Sebaliknya, Dharmaguna adalah seorang pemuda yang tampan dan lemah lembut, baik budi pekertinya.

Akan tetapi dia hanya putera seorang pendeta yang miskin, sudah tidak beribu lagi karena ibunya sudah meninggal dunia. Dharmaguna hanya tinggal di padepokan ayahnya, sebuah bangunan yang reyot. Bagaimana mungkin sang senopati dan isterinya mau menyerahkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal kepada seorang pemuda miskin, tidak memiliki kedudukan apapun? Mereka mengidamkan seorang mantu yang berpangkat tinggi dan kaya raya! Ketika Endang Sawitri muncul. Pangeran Hendratama segera bangkit dari tempat duduknya dan tersenyum memandang kepada dara yang telah mengobarkan gairah berahinya itu.

"Diajeng Endang Sawitri .....!" sapanya, tanpa menyembunyikan kekagumannya walaupun ayah ibu gadis itu berada di situ.

"Selamat datang, Gusti Pangeran. Hamba menghaturkan hormat." kata gadis itu dengan sikap hormat.

"Ah, diajeng Endang! Jangan menyebut gusti padaku, sebut saja Kakangmas Pangeran!"

"Hamba..... tidak berani....." kata gadis itu sambil menundukkan mukanya, ngeri melihat pandang mata pangeran itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.

"Kenapa tidak berani? Takut? Aku bukan harimau yang perlu ditakuti, diajeng. Mari, duduklah. Aku ingin meyampaikan suatu berita kepada orang tuamu dan engkaupun perlu mendengarkan dan menyaksikan berita yang amat menggembirakan ini."

Endang Sawitri meragu. Ia sudah lama merasa tidak senang dan tidak aman kalau pangeran itu datang berkunjung Biarpun pangeran itu tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan bahkan sangat ramah kepadanya, namun pandang mata pangeran itu seiaiu seolah menggerayangi seluruh bagian tubuhnya. la menoleh kepada orang tuanya dan Senopati Sindukerta mengangguk kepadanya.

"Duduklah, Endang." kata ayahnya.

Terpaksa gadis itu mengambil tempat duduk di dekat ibunya. Ibu yang menyayang puterinya ini lalu merangkulnya.

"Sebetulnya, kepentingan apakah yang hendak paduka sampaikan kepada kami sekeluarga, pangeran?" Tanya senopati itu dengan hati merasa tidak enak karena sungguh aneh kalau untuk kepentingan kerajaan misalnya, puterinya diharuskan menjadi saksi. "Apakah paduka membawa perintah dari Gusti Prabu?"

"Sesungguhnya memang saya membawa surat dari Ramanda Prabu, paman."

"Tugas apakah yang diperintahkan Sribaginda kepada hamba?"

Pangeran Hendratama tersenyum.

"Sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugas pemerintahan, paman. Ini adalah urusan pribadi saya. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menaruh hati, jatuh cinta kepada puteri paman, yaitu Diajeng Endang Sawitri. Akan tetapi saya menunggu sampai ia menjadi dewasa. Setelah sekarang Diajeng Endang Sawitri dewasa, maka saya datang untuk mengajukan pinangan kepada paman dan bibi atas diri Diajeng Sawitri."

"Ahh .....!" Seruan tertahan ini keluar dari mulut Endang Sawitri yang menjadi pucat wajahnya dan gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di pundak ibunya.

Di dalam hatinya, tentu saja Senopati Sindukerta tidak rela kalau puterinya dikawin pangeran ini, bukan karena pangeran ini kurang tinggi kedudukannya atau kurang kaya. Sama sekali tidak! Pangeran Hendratama adalah putera Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, biarpun bukan putera mahkota namun tentu saja kedudukannya cukup tinggi dan diapun kaya raya. Andaikata sang pangeran itu masih perjaka, atau setidaknya belum mempunyai garwa padmi (isteri sah) tentu dia dan isterinya akan merasa girang mempunyai mantu seorang pangeran!

Akan tetapi kenyataannya, Pangeran Hendratama itu telah mempunyai garwa padmi, bahkan mempunyai banyak garwa ampil (selir), maka tentu saja mereka merasa keberatan. Endang Sawitri tentu hanya dijadikan garwa ampil, itupun entah yang ke berapa! Melihat suami isteri itu saling pandang dengan alis berkerut, tampak tidak gembira menyambut pinangannya, Pangeran Hendratama lalu mengeluarkan segulung surat.

"Paman Senopati Sindukerta, ini saya dititipi surat dari Kanjeng Rama untuk paman!"

Melihat surat dari Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, tergopoh-gopoh dengan sembah sang senopati menerimanya lalu membacanya. Isinya merupakan pernyataan mendukung pinangan itu dan sang prabu mengharapkan agar Senopati Sindukerta menerima pinangan itu sehingga menjadi besan sang prabu!

Setelah membaca surat itu, Ki Sindukerta menghela napas. Kalau Sribaginda sendiri turun tangan, tentu tidak mungkin baginya untuk menolak! Kemudian, dia memandang kepada Pangeran Hendratama dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.

"Pangeran, kami merasa berbahagia dan mendapat kehormatan besar sekali bahwa paduka bermaksud meminang puteri kami yang bodoh. Akan tetapi ....." Senopati itu tidak berani atau meragu untuk melanjutkan kata-katanya.

"Akan tetapi, apa, paman?" tanya Pangeran Hendratama sambil mengerutkan alisnya yang tebal.

"Akan tetapi, maafkan sebelumnya, pangeran. Kami sebagai ayah ibu Endang Sawitri, terus terang saja merasa kurang marem (puas) kalau puteri kami hanya dijadikan garwa ampil. Kami sejak dahulu berkeinginan agar puteri kami menjadi garwa padmi yang dihormati..... maafkan kami, pangeran. Bukan sekali-kali kami menolak pinangan paduka, hanya..... bukankah paduka telah mempunyai garwa padmi?"

Pangeran Hendratama yang sudah tergila-gila kepada Endang Sawitri tidak menjadi marah, malah tertawa.

"Ha-ha..hal itu jangan dirisaukan, paman. Kala paman dan bibi sudah menerima pinangan saya, hari ini juga saya akan pulangkan garwa padmi saya itu kepada orang tuanya dan Diajeng Endang Sawitri saya angkat menjadi garwa padmi!"

Tentu saja hati Senopati Sindukerta menjadi lega. Bagaimanapun juga, tidak mungkin dia berani menolak pinangan sang pangeran yang sudah diperkuat oleh surat Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Surat itu saja berarti sebuah perintah yang tidak mungkin dapat ia tolak. Kalau puterinya diangkat menjadi garwa padmi pangeran, biarpun di dalam hatinya dia tidak begitu suka kepada pangeran ini ia boleh merasa puas karena dia akan menjadi besan Sang Prabu Teguh Dharmawangsa! Derajatnya akan naik tinggi sekali Dia menoleh kepada isterinya dan ternyata isterinya juga tersenyum dengan wajah berseri. Sang senopati mengerutkan alisnya ketika dia melihat puterinya menangis tanpa suara di pundak isterinya.

"Bagaimana jawaban andika, paman senopati?" Tiba-tiba senopati itu terkejut mendengar pertanyaan pangeran itu. Dia cepat menoleh dan memandang wajah Pangeran Hendratama.

"Oh, baik, Pangeran. Hamba sekeluarga menerima pinangan paduka dengan gembira!"

Tiba-tiba terdengar isak dan Endang Sawitri lalu melepaskan rangkulannya dari pundak ibunya dan ia berlari masuk ke ruangan dalam meninggalkan ruangan itu. Terdengar isaknya ketika ia melarikan diri itu. Pangeran Hendratama mengerutkan alisnya.

"Mengapa diajeng Endang Sawitri menangis, paman?"

"Oh, maaf, Pangeran. Maklum puteri kami itu masih amat muda, tentu ia merasa malu-malu. Biarlah nanti hamba berdua yang akan membujuknya agar ia tidak takut-takut dan malu-malu lagi."

Pangeran Hendratama tersenyum lega mendengar ucapan senopati itu.

"Baiklah, paman dan bibi. Saya mohon pamit dulu, akan saya urus perceraian saya dengan isteri saya. Besok saya akan mengirim utusan untuk membicarakan tentang perayaan pesta pernikahan saya dengan Diajeng Endang Sawitri."

"Terima kasih, pangeran, dan selamat jalan." kata sang senopati yang mengantar pangeran itu sampai ke pelataran rumahnya.

Sementara itu, Nyi Sindukerta memasuki kamar puterinya dan ia mendapatkan puterinya rebah menelungkup di atas pembaringan dan membenamkan mukanya pada bantal. Nyi Sindukerta lalu duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak puterinya.

"Nini, sudahlah jangan menangis. Engkau akan dijadikan garwa padmi Pangeran Hendratama, mengapa engkau menangis? Dia itu putera Sang Prabu, kedudukannya tinggi, kaya raya dan diapun berwajah tampan dan gagah. Juga belum tua benar, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Engkau beruntung sekali menjadi mantu Sang Prabu, Endang Sawitri. Kenapa menangis?"

"Ibu, aku tidak mau menjadi isterinya, ibu ....." Endang Sawitri bangkit duduk dan merangkul ibunya sambil menangis. Bantal di mana ia membenamkan mukanya tadi sudah basah air mata.

"Akan tetapi kenapa, nini? Engkau hanya anak senopati dan dia itu putera junjungan kita. Siapa tahu kelak dia akan menjadi raja dan engkau menjadi permaisurinya!"

"Ibu, kenapa ibu tidak berpikir secara mendalam dan berpemandangan jauh? Pangeran itu bukan suami yang baik, bukan laki-laki yang bertanggung jawab! Aku akan celaka kelak kalau menjadi isterinya!"

"Hemm, bagaimana engkau dapat berpikir demikian?"

"Ibu, sekarang dia menginginkan aku dan untuk terlaksananya keinginan itu, dia tega untuk menceraikan garwa padminya yang tidak bersalah apa-apa! Apakah ibu berani memastikan bahwa kelak aku tidak akan mengalami nasib yang sama Kalau dia melihat gadis lain yang lebih muda dan lebih cantik lalu meminangnya, apakah diapun tidak akan menceraikan aku dan mengirim aku pulang kepada ayah dan ibu?"

Diserang ucapan seperti itu, Nyi Sindukerta tidak dapat menjawab! Bahkan iapun mulai merasa khawatir kalau-kalau apa yang ditakutkan puterinya itu kelak akan terjadi. Membayangkan betapa puterinya terkasih itu kelak diceraikan begitu saja oleh Pangeran Hendratama yang menjadi suaminya karena pangeran itu tergila gila kepada wanita lain, ibu ini tak dapat menahan kesedihan hatinya dan iapun lalu merangkul puterinya sambil menangis. Ibu dan anak itu bertangisan. Senopati Sindukerta memasuki kamar itu dan dia marah sekali melihat isteri dan puterinya menangis.

"Heh, apa-apaan ini kalian .berdua bertangisan? Semestinya kalian berdua bergembira! Apa yang perlu disedihkan? Endang Sawitri akan menjadi garwa padmi Pangeran Hendratama, menjadi mantu Gusti Prabu! Adakah keberuntungan yang lebih besar daripada Itu? Kenapa kalian malah menangis?"

Nyi Sindukerta dapat menguasai perasaannya yang hanya merasa khawatir akan terjadinya apa yang tadi dibayangkan puterinya. Ia menghapus air matanya dan membujuk puterinya.

"Sudahlah, nini, hentikan tangismu. Ramamu benar, sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan disedihkan."

"Dikhawatirkan? Apa yang perlu dikhawatirkan?" Ki Sindukerta bertanya dengan suara membentak karena penasaran.

"Begini, kakangmas. Endang Sawitri merasa khawatir kalau-kalau kelak setelah menjadi isteri sang pangeran, dia akan dicerai pula karena sang pangeran hendak menikah dengan gadis lain, seperti yang dilakukannya pada garwanya yang sekarang."

"Omong kosong! Tidak mungkin dia berani mempermainkan puteriku. Apalagi sang prabu sendiri yang ikut mengajukan dukungan. Sang prabu sendiri yang meminang. Senopati Sindukerta bukanlah orang yang boleh dipermainkan begitu saja. Tidak, aku berani tanggung bahwa kelak engkau tidak akan diceraikan begitu saja, nini. Akan tetapi tahukah kalian bagaimana akibatnya kalau aku menolak pinangan Pangeran Hendratama yang didukung oleh Sang Prabu sendiri? Aku tentu akan dianggap menghina Sang Prabu dan akan dicopot dari kedudukanku, bahkan mungkin sekali kita sekeluarga akan mendapatkan hukuman berat! Nah, sekarang bergembiralah dan tidak perlu bertangis-tangisan lagi!" Setelah berkata demikian, Senopati Sindukerta meninggalkan kamar puterinya.

Nyi Sindukerta juga segera meninggalkan puterinya untuk menyusul suaminya dan mencairkan kemarahan suaminya setelah ia menasihati puterinya agar tidak membantah lagi dan menerima dengan senang hati perjodohan yang sudah ditentukan ayahnya itu.

Setelah ditinggalkan seorang diri, Endang Sawitri tidak menangis lagi. la harus cepat mengambil keputusan dan bertindak. Urusan ini menyangkut nasib hidupnya di masa depan. Sekali ia keliru mengambil keputusan, ia akan menderita selama hidupnya, la merasa yakin bahwa menjadi isteri laki-laki yang pandang matanya penuh nafsu itu akan membuat hidup sengsara selamanya, la hanya akan menjadi permainan nafsu pangeran itu yang kalau sudah bosan tentu akan menyepaknya. Kalau ia setuju dan ayahnya menikahkannya dengan Pangeran Hendratama, ia akan sengsara selama hidupnya. Akan tetapi sebaliknya kalau ia berkukuh menolak, ayahnya tentu akan memaksanya karena kalau ayahnya menolak pinangan itu, ayahnya sekeluarga akan celaka menerima kemarahan Sang Prabu.

Tidak ada jalan lain, pikirnya. Menerima atau menolak juga salah. Satu-satunya jalan keluar hanyalah minggat! Kalau ia minggat dan pernikahan tidak jadi dilaksanakan, bukan berarti bahwa ayahnya menolak pinangan! Ayahnya tidak dapat disalahkan. Ialah yang bersalah. Setelah mengambil keputusan tetap, dengan nekat malam itu Endang Sawitri minggat dari dalam kamarnya. Kamar itu pintunya masih terkunci dari dalam, Ia menanti sampai rumah itu sepi dan semua orang sudah tidur, lalu ia keluar dari kamar melalui jendela yang menghadap taman, kemudian berjingkat-jingkat ia menyeberangi taman menuju ke belakang dan keluar melalui pintu belakang taman.

Tentu saja keluarga Senopati Sindukerta menjadi geger dengan hilangnya Endang Sawitri. Sang senopati mengerahkan anak buahnya untuk mencari. Dan tentu saja dia merasa curiga kepada Dharmaguna, pemuda yang dulu bergaul akrab dengan putennya. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itupun menghilang dari rumahnya tanpa ada orang mengetahui kemana dia pergi, tahulah Ki Sindukerta bahwa puterinya tentu minggat dengan Dharmaguna. Dia marah sekali dan menyuruh banyak perajurit mencari, namun tidak ada hasilnya. Endang Sawitri dan Dharmaguna lenyap seperti ditelan bumi, tanpa meninggalkan jejak.

Sampai di situ ceritanya, Senopati Sindukerta menghela napas panjang dan menatap wajah Nurseta yang sejak tadi mendengarkan dengan tertarik sekali, senopati tua itu melihat betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya dengan sayu, seolah terharu sekali.

"Nah, begitulah ceritanya, Nurseta. kau dapat membayangkan apa akibat perbuatan Dharmaguna yang membawa minggat puteriku itu. Pangeran Hendratama amat marah kepadaku, menuduh aku sengaja menyembunyikan Endang Sawitri. Sang Prabu Teguh Dharmawangsa juga marah sehingga pangkatku sebagai senopati dicopot dan aku diusir keluar dari kota raja. Masih untung bagiku bahwa aku membantu perjuangan Pangeran Erlangga mengusir musuh-musuh kerajaan dan membangun kembali Kahuripan sehingga beliau kini menjadi raja. Aku diangkatnya kembali menjadi senopati. Nah, engkau tahu mengapa aku membenci Dharmaguna. Dia sudah menyebabkan kami kehilangan anak kami dan juga kedudukan kami pada waktu itu."

Nurseta merasa terharu sekali, akan tetapi dia mampu menahan perasaannya itu. Kini dia berhadapan dengan kakeknya Ibunya adalah Endang Sawitri, puteri kakek ini.

"Akan tetapi, eyang senopati, saya kira Dharmaguna itu tidak bersalah. Adalah puteri paduka sendiri yang melarikan diri dari rumah. Juga puteri paduka tidak bersalah, bahkan ia telah memberi jalan keluar yang baik sekali."

"Eh? Apa maksudmu?" tanya Senopati Sindukerta yang tidak merasa heran atau aneh mendengar pemuda itu menyebutnya eyang senopati karena melihat usianya memang sudah sepatutnya kalau pemuda itu sebaya dengan cucunya, andaikata dia mempunyai cucu.

"Begini maksud saya. Puteri paduka tidak suka diperisteri Pangeran Hendratama yang saya juga tahu merupakan orang yang buruk wataknya itu sehingga kalau ia menerima pinangan itu, ia akan hidup sengsara. Sebaliknya kalau ia menolak, atau kalau paduka menolak pinangan, tentu akan berakibat buruk bagi keluarga paduka. Oleh karena itu puteri paduka memilih minggat karena kalau ia minggat, paduka tidak dipersalahkan sebagai orang yang menolak pinangan dan kesalahan akan terjatuh kepada puteri paduka sendiri."

Lanjut ke Jilid 039 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment